Penjagaan di istana Kerajaan Mulia sangat ketat. Di luar, dalam bahkan di setiap sisi ada penjagaannya. Di tempat Bhayangkara pun cukup banyak yang beraktivitas tapi ada satu yang tidak ada.“Yang paling terkenal justru tidak ada di sini.” Sesosok wanita familiar, bernama Dwi Rahma datang menyelinap masuk ke istana. Dia menggunakan rupa Abimanyu yang secara kebetulan tidak ada di sekitar. Memanfaatkan seseorang yang berpangkat tinggi bukan ide yang buruk namun Rahma tetap berhati-hati terutama saat bertemu dengan para prajurit. “Anda sudah menyelesaikan urusannya?” tanya salah satu prajurit penjaga benteng.“Ya, aku sudah menyelesaikannya.” Rahma memiliki kemampuan berkat jin yang dimilikinya. Jin yang mampu merubah wujud seseorang dari penampilan hingga suara. Sehingga takkan mudah dicurigai dan takkan seorang pun sadar bahwa Abimanyu yang mereka temui itu palsu. Dengan langkah santai dia bersenandung riang seolah tak ada beban, padahal dia baru saja mengkhianati dua orang sekali
Abimanyu mengeluarkan mereka dari benteng. Saking lemasnya kedua kaki Rahma, dia terjatuh ke lantai. Tubuhnya tak berhenti gemetar. Dia begitu ketakutan dengan sosok Abimanyu yang ternyata lebih sadis dari bayangannya. “Hah ... hah ... apa-apaan? Benarkah prajurit yang murah senyum seperti Abimanyu sanggup melakukan kekejaman seperti itu? Dia sengaja tidak membunuhnya di sini bukan karena tidak mampu tapi karena hal lain.” Terasa sesak di dada, Rahma menangis sesenggukan. Dia berharap waktu bisa diputar kembali namun itu adalah hal mustahil di dunia ini. “Aku menyesal karena membuat mereka dalam masalah besar. Nyawa mereka dalam bahaya tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sungguh bodoh.” Rahma menyalahkan diri sendiri akibat dari ketidakmampuannya dalam menolong. “Apakah sudah terlambat menyelamatkan mereka?” pikirnya. “Tidak!” Dia kembali bangkit meski kedua kaki itu masih terasa lemas. Efek dupa juga berpengaruh padanya namun untungnya aroma itu tidak tercium lama karena
Kejadian itu terjadi begitu singkat. Najendra hanya bisa diam lantaran tak cukup kuat tuk melawan. Kekuatannya masih melemah karena efek dupa yang menyimpang. Tubuhnya gemetar dan terus mengingat wajah pria itu. Abimanyu tersenyum licik, dia tampak sangat senang ketika melihat sosok yang dianggap penjahat tak lama lagi akan mati di tangan manusia biasa. "Datang lagi orang dungu yang perlu kuhabisi." Najendra membatin. Setelah menyelesaikan urusannya di sana, Abimanyu pergi ke gudang tak terpakai. Letaknya tidak terlalu jauh dari pusat Kota Purnama yang dipadati banyak orang. “Apa kau sudah bangun?” Dia bertanya pada sosok pria yang kedua tangan dan kakinya terikat. Wira hanya menggerutu sepanjang waktu, dan menatap tajam Abimanyu. Dia sedang amarah besar.“Aku tahu kau khawatir tentang temanmu, tapi tenang saja karena kau sebentar lagi akan menyusulnya,” ucap Abimanyu.“Di mana dia?” “Sampai sekarang pun kau tidak mau menyebutkan namanya. Apakah nama dia sangat terkenal atau sej
Terjatuh dan terbaring di jalanan, terasa dingin dan lengket akibat banjir darah dari tubuhnya. Sekujur tubuh mulai mati rasa namun tak satu pun dari mereka mau mengampuninya. Satu persatu dari mereka melancarkan serangan, memukul, menendang bahkan ada juga yang menyerang dengan benda tajam ataupun balok kayu. Lagi dan lagi, proses itu berulang dengan kejam dan tanpa ampun. Pria itu, Najendra hanya bisa diam dengan pasrah lantaran kekuatannya cenderung kembali tak stabil karena syok setelah ditusuk dari belakang sebelumnya. "Ah .... aku akan mati sebentar lagi. Aku menyusul mereka lebih cepat dari dugaanku, ini situasi yang aneh." Ucapan dalam benaknya mulai melantur, dengan wajah pucat yang tercerminkan dari genangan darah, dia tersenyum tipis, menertawakan dirinya yang lemah tak bertenaga. “Mampus kau! Siapa suruh mengacaukan tempat tinggal kami dan membuat kehebohan?”“Tidak hanya di Kota Purnama, Kota Lama juga jadi korban. Apa kau tahu perasaan kami?”“Rumah kami hancur se
Tubuh Najendra menerima dampak serangan secara berulang tanpa henti. Ditambah efek dupa dan bekas luka dari serangan ilmu hitam, tubuhnya sulit meregenerasi sehingga tanpa sadar Najendra membangkitkan sisi lain yang berkebalikan dengannya. Najendra memiliki sifat dingin, dia berpikir secara logika, penuh perhitungan dan selalu membuat rencana ke depan jika suatu waktu keadaan berubah namun sekarang dia menjadi liar tak terkendali, seperti hewan buas pada umumnya yang tidak punya akal. Hawa membunuh Najendra tersebar hingga memenuhi Kota Purnama di dalam pelindung magis, membuat semua penduduk berlari dalam ketakutan. Tentu saja ningrat termasuk Raja dan Ratu hingga para prajurit pun menyadarinya. “Tragedi akan datang jika anak itu tetap hidup.” Inilah yang pernah dipikirkan oleh Raja Anshar terkait keberadaan Najendra. Bahkan Abimanyu mulai gelisah karena hawa membunuh ini membuat dia sedikit tertekan.Putra dari Kawula Dalem Aji Trisatya tak sanggup lagi berdiri. Ekspresi kebenci
Hidup dan mati dalam genggaman Najendra sendiri. Jika memikirkan akan mati maka dia pun akan mati dan begitu pula sebaliknya. Di alam bawah sadar, dua Najendra saling berhadapan satu sama lain. Sisi jahat yang mempunyai pikiran aneh itu tertawa lepas seakan beban berat sudah tidak ada. Sementara Najendra yang asli terlihat menikmati pertarungan ini meski sedikit kesal karena kembarannya selalu pandai menghindar. “Hahaha! Kau tidak akan bisa menangkapku, Najendra!” “Berisik! Kau sendiri juga Najendra!” Bertarung saling bersahutan satu sama lain. Waktu yang berjalan di sini pun sangat lama, tidak begitu berpengaruh di dunia nyata walaupun saat sisi jahat itu mendominasi maka tubuh Najendra di dunia nyata akan bersikap liar seperti sebelumnya. “Jangan mengacau!”“Aku tidak sedang mengacau, aku hanya ingin bermain sebentar. Sebentar saja.”“Kemari kau, dasar peniru!” pekik Najendra. Kekuatan mereka setara, fisik dan magis tidak ada bedanya dan sama kuatnya. Kepribadian yang saling b
Abimanyu datang sambil membawa kepala Wira yang sudah terpisah dari tubuhnya. Sesaat Najendra terdiam kaku, dia sangat terkejut dan terpukul karena kejadian buruk telah menimpa Wira. Sedikit memiliki perasaan bersalah namun di sisi lain Najendra marah. “Lihat apa yang aku bawa? Ini adalah yang sedang kau cari-cari bukan?” Abimanyu menenteng kepala itu seperti sedang menenteng barang atau semacamnya. Penghinaan yang membuat semua orang merasa geram, Najendra mengepalkan kedua tangan dan menatap tajam ke arahnya. Lantas bertanya, “Kau membunuh Wira dengan tanganmu sendiri?”“Ya,” jawab Abimanyu,“aku yang membunuhnya sendiri.” Pagi menjelang siang hari, di perkotaan yang terlihat semakin sepi ini terdapat beberapa orang dan ratusan jin yang berada di sekitar mereka. Cuaca yang tadi sangat menyengat panas sekarang tidak lagi, langit mulai terlihat mendung. Tanda-tanda cuaca buruk akan datang. Tidak lama setelah mereka bertukar tatap sembari memperhatikan celah masing-masing, hujan pu
Tindakan agresif yang hanya memperdulikan lawan di depan mata, cenderung akan menunjukkan celah di samping ataupun bawah. Najendra memanfaatkan hal itu, lalu mencekik lehernya. “Apakah ini cara ... pendekar bertarung? Caramu bertarung sama sekali tidak mencerminkannya.” Dengan suara serak, dia memaksa berbicara, Abimanyu bertanya sembari mengenggam tangan Najendra yang mencekik lehernya. Abimanyu hendak melepaskan tangan itu.“Persetan dengan caraku bertarung. Salahmu sendiri yang terlalu percaya diri karena berpikir kau akan menang dengan mudah,” tutur Najendra, masa bodoh. Di tengah hujan deras, masa hidup seorang prajurit kerajaan berada di ambang batas. Tangan yang mencekik lehernya semakin kuat namun Najendra tak bermaksud menghabisinya dengan cara seperti ini. “Kau sudah memenggal kepala rekanku, jadi aku harus melakukan hal yang sama.” Abimanyu kesulitan mengeluarkan tangannya dari lubang, dan dalam keadaan terpaksa dia pun memotong lengannya sendiri dengan ajian Saifi Ang