Tindakan agresif yang hanya memperdulikan lawan di depan mata, cenderung akan menunjukkan celah di samping ataupun bawah. Najendra memanfaatkan hal itu, lalu mencekik lehernya. “Apakah ini cara ... pendekar bertarung? Caramu bertarung sama sekali tidak mencerminkannya.” Dengan suara serak, dia memaksa berbicara, Abimanyu bertanya sembari mengenggam tangan Najendra yang mencekik lehernya. Abimanyu hendak melepaskan tangan itu.“Persetan dengan caraku bertarung. Salahmu sendiri yang terlalu percaya diri karena berpikir kau akan menang dengan mudah,” tutur Najendra, masa bodoh. Di tengah hujan deras, masa hidup seorang prajurit kerajaan berada di ambang batas. Tangan yang mencekik lehernya semakin kuat namun Najendra tak bermaksud menghabisinya dengan cara seperti ini. “Kau sudah memenggal kepala rekanku, jadi aku harus melakukan hal yang sama.” Abimanyu kesulitan mengeluarkan tangannya dari lubang, dan dalam keadaan terpaksa dia pun memotong lengannya sendiri dengan ajian Saifi Ang
Ritual malam yang dilakukannya untuk memanggil jiwa Wira telah berhasil. Jiwa Wira muncul dengan wujud transparan sebagai mahluk setengah siluman. Ternyata jiwa manusia Wira telah menyatu dengan jiwa siluman yang hidup di dalam tubuhnya. Alasan Najendra menginginkan Wira selain pengetahuannya tentang negeri ini, dia juga menginginkan kemampuan wujud siluman itu. Pada awalnya Najendra sangat tidak suka jika mengandalkan kekuatan siluman namun selama beberapa waktu dia sadar, ajian saja tidak cukup. Di lain sisi, Najendra merasa enggan jika harus menyatu dengan pelindungnya sendiri sehingga dia berpikir untuk memanfaatkan Wira yang memiliki kemampuan itu. Sebagai kawan lama, Wira tidak berniat menolak setelah akhirnya dia menyalahpahami sesuatu terkait "mengikat jiwa." Najendra mengorbankan tubuh sebagai perantara agar Wira dapat menggunakan kekuatan silumannya.Wira pun berpikir, “Bukankah itu sama saja? Siluman milikmu juga bisa melakukan itu. Bahkan tanpa diriku, kau mampu, Najen
Sebulan telah berlalu, waktu yang cukup panjang untuk meningkatkan kekuatan. Hari-hari yang tidak cukup tenang mengingat Najendra masih dicari banyak orang. Di suatu tempat, berdekatan dengan gunung mati, terdapat sebuah pendapa yang dibangun di atas bukit kecil. Rahma kembali bersama burung gagaknya lalu berlutut memberi hormat pada sosok wanita yang duduk di kursi panjang. Wanita itu duduk dengan anggun sambil tersenyum, dia menyambut kedatangan Rahma. “Gusti Kanjeng Ratu, saya telah kembali. Sesuai permintaan ratu, saya bersikap akrab dengan pangeran lalu mengawasinya dari kejauhan.”“Ya, aku sudah memanggilmu kembali sudah sejak lama, tapi sepertinya kau betah juga.”“Ratu bicara hal yang sudah jelas. Tentu saja Dwi Rahma adalah bagian dari ratu sendiri,” ucap Rahma. “Kau benar. Kau betah di sana karena aku menginginkannya ... berada dekat dengan putraku,” tutur sang ratu lantas tertawa lirih.Pakaian khas ningrat masih melekat, dengan minim aksesori dan rambut yang disanggu
Surat balasan datang begitu cepat. Najendra hari itu terlihat sangat bersemangat sekali. Tentu saja penyebabnya adalah surat itu. Sesampainya di balai, dia pun menceritakannya. “Ada surat yang datang setelah aku mengirim surat untuk dia,” ucap Najendra seraya menunjukkan isi surat tersebut. “Surat ini dari siapa?” tanya Wira.“Dari pengkhianat,” jawab Najendra. Seketika semua yang ada di sana pun terkejut dalam diam. Termasuk Wira yang tidak menyangka akan hal itu. “Jangan bercanda.”“Aku tidak bercanda, Wira.” Najendra terkekeh mendengar Wira masih saja tidak mempercayai perkataannya. Kemudian Najendra menceritakan apa saja yang terjadi sampai seperti sekarang ini.Bermula saat bertemu dengan Abimanyu di dalam benteng, di sana Tuyul dan Najendra menyepakati sesuatu. Najendra memintanya untuk terus mengawasi wanita bernama Rahma, maka Najendra akan memberikan uang sebanyak yang dia mau. Tuyul itu tidak bisa menolak karena tawarannya, terlebih dia sudah menjadi bagian dari Najend
Pendopo yang dibangun di atas bukit, rasanya tidak masuk akal namun mengingat ini adalah alam jin, ini bukanlah hal yang mustahil. “Kalian semua jangan keluar dari tubuhku sebelum aku menyuruh,” titah Najendra yang kemudian berjalan mendaki bukit.Bukit yang mereka daki seharusnya tidak begitu tinggi namun lambat laun mulai terasa bahwa pemilik wilayah tidak mengijinkan dia masuk dengan mudah. Najendra menyeringai bukan karena senang melainkan tertantang. Sedangkan Wira yang berada di bawahnya justru terlalu sering menghela napas saking lelahnya dia mendaki. Padahal tubuh yang dia gunakan adalah mayat. “Kau masih bisa merasakan lelah meskipun kau sekarang adalah mayat?” tanya Najendra.“A-aku ...,”“Jangan bilang kau ingin kabur. Aku butuh kekuatanmu, jadi jangan harap kau melarikan diri.” Tinggal selangkah lagi mereka sampai, melihat Wira yang begitu lamban, Najendra lantas menarik kerah pakaian pria pengecut itu lalu melemparnya ke atas. “Wah!!” teriak Wira terkejut. “Tak kus
Rahma mendorong dua pintu di hadapannya dengan sekuat tenaga. Pintu itu sedikit berat sehingga membutuhkan waktu beberapa saat agar pintunya terbuka lebar. Ruangan di dalamnya begitu luas bahkan juga minim barang yang tertata. Hanya sekarang kursi dan meja di bagian sudut kiri. Lalu meja dengan belasan laci disertai beberapa pot kecil di bagian sudut kanan.Tidak ada pilar yang menjadi pembatas, selain karpet yang terbuat dari kulit harimau di lantai depan sana, ada seseorang sedang duduk santai di kursi panjang. Sekilas terlihat seperti singgasana seorang raja. Dialah sosok pengkhianat itu, seorang wanita. Namun belum ada setengah langkah setelah memasuki ruangan, Najendra terkejut dan mematung diam di tempat. “Najendra, apa yang sedang kau lakukan? Lihat ke depan dan beritahu aku itu siapa?” tanya Wira berbisik-bisik.“Dia ibuku,” jawab Najendra.“Hah?!” Tanpa sengaja Wira berteriak, saking dia terkejutnya dengan jawaban barusan. Setelah sadar dia berteriak, dengan cepat Wira mem
Cahyaningrum merupakan gadis yang serakah. Tidak cukup hanya posisi ratu di tempat itu, dia berniat merenggut posisi raja juga. “Akan aku buktikan bahwa aku jauh lebih pantas menyandar gelar yang lebih berharga darimu!” Sembari melampiaskan emosinya, Cahyaningrum membuat rencana diam-diam. Mulai dari mencari setiap kesalahan Mahendra dan berbagai hal yang akan membuatnya dibenci oleh para pejabat atau prajurit lainnya. Namun semua hal itu ternyata tidak bisa. “Melakukan ini sia-sia. Aku bisa dihukum jika melakukannya terang-terangan.”Selama kurang lebih dua tahun lamanya, dia pun mengandung anak raja. Saat lahir, anak lelaki itu memiliki kemiripan dengan ayahnya. Saking miripnya membuat ratu muak. “Anak ini adalah anak dia,” gumam Cahyaningrum. Berbeda dengan Cahyaningrum yang tidak senang dengan kehadiran buah hatinya, Mahendra justru sangat senang. Dia menangis bahagia.“Aku sangat senang akhirnya kita punya keturunan, istriku.” Mahendra kemudian mengecup keningnya lembut.“Iy
Kebebasan dan hak yang dimiliki oleh Najendra ternyata telah benar-benar mempengaruhinya. Ucapan ratu didengar dan dilakukan oleh Najendra tanpa ragu. Hal itu membuat ratu semakin senang. “Benar, pergilah sepuasmu, putraku. Dengan begitu kau tidak perlu merasa canggung dengan dunia yang akan kau pimpin nanti,” celetuk Cahyaningrum.***Semua, segala hal diberikan oleh Cahyaningrum pada Najendra seorang. Dia yang terlihat sebentar lagi akan mati itu kini menyunggingkan senyum lebar. “Aku ingin menjadikanmu sebagai Raja yang ideal bagiku, sosok pemimpin yang akan menguasai dunia hingga alam jin sekalipun.” Dia berkata dengan bangga seakan mimpi itu akan terwujud. “Itu tidak mungkin,” sangkal Najendra. “Kamu hanya tidak terlalu paham, Najendra. Suatu saat nanti kamu akan benar-benar melampaui langit itu sendiri,” ucap Cahyaningrum. Mimpinya bahkan terdengar lebih konyol dari mimpi anak-anak. Dia memiliki fantasi yang luar biasa kuat sehingga membuatnya mengambil langkah hina dan men