Share

3. Kehilangan

Penulis: Fitri Soh
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-11 12:04:27

Memangnya dengan menangis terus, bisa mengembalikan Rofi!" Terus saja begitu tatapan kakak iparku, sinis tak bersahabat. Aku terkadang heran, kenapa Mbak Mira mau bertunangan dengan duda satu anak itu. Aku sering memergoki saat ia berduaan dengan Mbak Mira di ruang tamu, seringnya duduk diam-diaman. 

Jika sosok Mbak Ndari tak terganti, kenapa memaksa membuka hati?

Mungkin juga, alasannya karena ibu turut andil mencampuri hidupnya, tak henti menyuruh Mas Rasya menikah lagi demi Adnan. Anak lelaki kakak iparku itu tinggal bersama ibu karena Mas Rasya sangat sibuk. Bekerja dari pagi pulang sore, kadang menjelang dini hari. Rumah kami berdekatan, berjarak 3 kilo dari rumah ibu mertua. Jadi aku tahu betul kebiasaannya. 

"Puspita, sudah." Bapak berkata lirih. Tangan Qila kuangkat dari wajah Mas Rofi yang terus membisu, tampak begitu marah. 

Tak tahan lagi menanggung kepedihan, aku berlari pergi. Sakit rasanya, andai kamu tahu. Enam tahun kami ihtiar demi datangnya bayi, lalu setelah Qila menjadikan keluarga kami semakin berwarna oleh tangisan dan celotehnya yang menggemaskan, kini Mas Rofi pergi. Apa ini lucu?

Kustop taksi yang melintas, sambil terus menangis dengan Qila dalam dekapan kusebutkan alamat rumah. Sepanjang jalan tak henti menangis, membuat lelaki tua yang terus mengemudi sesekali menatap dari spion. Aku tak peduli. Manakah yang lebih sakit dari ini? Ditinggal pergi untuk selamanya. Andai aku tahu bakal seperti ini ... Ya Allah. Aku benar-benar tak menyangka kejadian seperti ini akan terjadi. Niat baik ingin membuat Mas Rofi bahagia malah berakhir petaka.

Sebagai istri, aku tahu semua tentang suamiku. Luar dalam. Ia terlihat sehat selama ini. Selalu menjaga pola makan dan menghindari makanan berlemak, tak ingin gendut, katanya. Mbak War selalu menyediakan makanan sehat untuk suamiku. Jadi, mana mungkin suamiku meninggal karena serangan jantung? 

Jantungku berdetak kencang saat memasuki kamar kami yang ceria. Dindingnya pink terang dengan gambar-gambar Hello Kitty nyaris memenuhi dindingnya. Ada beberapa bunga aneka warna yang telah mengering di sudut, dari Mas Rofi. Hampir setiap hari, diberikannya bunga untukku. Kalau dikoleksi dari awal menikah, mungkin sudah berton-ton sampah mengering itu.

Aku menghela napas saat tatapan tertumbuk pada ranjang besar berseprei hewan melata tampak begitu nyata. Warna hewan-hewan mengerikan itu hijau terang dengan sisik-sisik yang membuat merinding. Di meja kecil samping ranjang tempat biasa Mas Rofi menyelesaikan pekerjaan yang harus dibawanya ke rumah, tampak kotak mungil dengan pita pink lembut. Kuletakkan Qila ke atas sprei yang membuatnya seolah tengah tidur di badan beberapa ular lalu meraih kotak di meja, membukanya pelan dan menahan napas.

Seharusnya, jam ini ada di tangan Mas Rofi saat ini.

Seharusnya, kami sedang tertawa-tawa di ruang tamu dengan ibu dan bapak, dan aku akan menyuapi Mas Rofi potongan kue tar penuh cinta dengan Qila di pangkuannya. Seharusnya ....

Ya, Allah. Apa ini mimpi? Aku menggigit bibir kuat, rasa nyeri yang ditimbulkannya menegaskan bahwa yang kini terjadi bukan halusinasi. Nyata. Seprei hewan melata yang membuatku bergidik itu adalah bukti bahwa beberapa hari lalu, aku menerima tawaran Susi atas barang yang dijajakannya. Katanya, aku harus mencoba sesuatu yang baru. "Memberi kejutan kok, monoton," katanya sambil mwngerling menggoda, menyenggol bahuku agar temannya ini mau membeli yang ditawarkannya. 

Kupikir, tak ada salahnya. Pasti lucu melihat ekspresi Mas Rofi saat melihat motif seprei di mana Qila tengah tengkurap menghadapku. Membuatnya seolah tengah berada dalam tubuh ular-ular besar. Ya. Mas Rofi paling benci ular. Jangankan hewan itu, ketiban cicak saja lelakiku sudah teriak-teriak.

Tak puas hanya dengan seprei bermotif ular, aku memutar otak bagaimana agar kejutan kali ini tak biasa-biasa saja. Kuhubungi semua kerabat Mas Rofi, mengatakan agar datang. Mas Rofi pasti akan senang dengan perhatian istrinya ini. Tapi, apa yang terjadi? Ini mendadak dan begitu cepat.

Tatapanku terpantik pada foto di atas meja, Mas Rofi tengah tersenyum menggoda, memintaku agar aku segera merebah di dadanya. Saat itu, aku cepat-cepat mengambil HP dan mengabadikan gayanya yang lucu itu. Aku tersenyum kecil terngiang sepenggal kisah kebersamaan kami dulu, lalu menangis kencang.

Bagai mimpi.

Semua terjadi begitu cepat.

"Ooeeek. Oeeeek. Oeeeeek."

Aku menoleh menatap ke arah Qila, tangannya bergerak-gerak dengan mimik wajah sedih, minta diangkat. Matanya yang bundar jernih berkaca-kaca.

Menatap bocah tanpa dosa itu, seolah silet tajam tengah digerakkan ke arah dadaku dengan begitu cepat. Ngilu. Sangat ngilu. Tuhaaan, kenapa ini terjadi begitu cepat?

"Oeeeeek. Oeeeeek."

Qila pasti haus, begitu kata suami sambil membopong Qila ke arahku saat bayi mungilnya mulai menangis. Biasanya sambil menyerahkan Qila ke pangkuanku, ia akan mengecup keningku.

Kuraih Qila dalam dekapan, membuka jilbab, lantas tanganku bergerak membuka dua kancing teratas. Qila langsung menyusu dengan tak sabar, membuatnya sesekali tersedak. Di sudut mulutnya tampak air kental warna putih, bergulir ke dagunya lalu membasah di lehernya. Tangan Qila bergerak-gerak di payudaraku, dengan tatapan bening berkaca-kaca, memandangku lekat. 

Siapa yang akan menyangka, boca polos seperti Qila mendadak kehilangan sosok yang dibutuhkannya? Atas ketaksengajaan ibunya.

Kejadian siang tadi saat aku berkata tengah hamil pada Mas Rofi, tiba-tiba menghantam benak. Saat ia menyentuh dadanya dengan tatapan kecewa dan luar biasa geram, saat ia menepis tanganku kuat.

"Mas Rofiii!" 

Aku tak tahan lagi. Beban ini begitu berat.

"Mas Rofiii!" Teriakku sambil terisak. Beban ini sangat menyakitkan. 

Mengalun lagu ulang tahun. Aku sengaja merekam suaraku sendiri. Mengalun merdu.

Selamat ulang tahun

Selamat ulang tahun

Panjang umurnya

Panjang umurnya

Panjang umurnya Mas Rofi tercinta

Mas Rofi tercinta

Aku tersengal-sengal dengan Qila dalam gendongan. Mulut Qila berhenti bergerak, ia menatapku dengan matanya yang jernih lalu perlahan-lahan bibirnya melekuk senyum lebar. Duhai lucunya anakku ini, yang harus kehilangan ayahnya karena kelalaian ibunya.

Selamat ulang tahun

Semoga panjang umur

"Mas Rofiii!"

"Mas Rofiii!" 

Aku berteriak-teriak sambil mengusap air mata di pipi. Air mata yang sebagian jatuh di wajah Qila yang terus memandang ibunya lekat, dengan bibir mungil yang sebentar-sebentar tersenyum lebar. Ia kembali menyusu, dengan tatapan lekat ke wajahku. Sesekali ia berhenti menghisap untuk melekuk senyuman.

Apa dikira Qila, aku sedang mengajak bercanda?

Sesuatu yang besar sedang terjadi, Nak. Anakku. Andai kamu tahu.

Melihat Qila, membuat tangisku semakin kencang, menggema berbarengan dengan lagu yang telah kurekam.

Selamat ulang tahun

"Maas Rofiii!"

Aku tersentak saat pintu kamarku didorong membuka. Mas Rasya berdiri di ambang pintu dengan tatapan seperti binatang buas tengah mengintai mangsa. Aku cepat-cepat memasukkan p*yud*r*ku lalu mengenakan jilbab. Tindakanku yang tergesa, membuat Qila yang tengah menyusi menangis kencang.

Oeeeeek. Oeeeeek. Oeeeeek.

Aku terisak-isak.

"Tangisi saja terus! Biar adikku semakin tidak tenang!"

Tatapan Mas Rasya yang sinis memancar permusuhan tak kuhiraukan. Aku sangat sedih. Tak bolehkan menangis?

Ia mendekat lalu meraih Qila yang terus menangis. 

Selamat ulang tahun

Semoga panjang umur

Terdengar bunyi bel. Ting nung! Ting nung!

"Apa ada di dalam?"

Itu suara Susi, kawan karibku.

"Halllooo." 

"Kami masuk, ya?"

"Halllooo!"

"Puspitaa, Rofii, kami masuk, yaa!"

Selamat ulang tahun

Semoga panjang umur

Selamat ulang tahun

Selamat ulang tahun

Aku terisak-isak. 

"Puspitaa." Suara itu semakin dekat. Semakin dekat. Lalu Susi melambai di ambang pintu kamar, berdiri di dekat Mas Rasya yang membisu. Qila dalam gendongannya berceloteh riang, menatap ke arahku seolah ingin kembali diberi ASI.

"Pita, mana Rof--" ucapan Arman, saudara jauh Mas Rofi terhenti. Ia menatap ke sekeliling ruangan lalu berkata dengan suara lirih, "Apa belum selesai kejutannya? Kuletakkan di mana ini kadonya?"

Lalu tamu yang lainnya berdatangan membawa bingkisan besar. Mas Rasya terus membisu, menatap ke arahku penuh permusuhan.

Bab terkait

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   4. Ingin Pulang

    "Bibi, ditunggu nenek di ruang makan. Cepet keluar, katanya nenek.”Aku yang tengah duduk melipat pakaian menoleh sekilas memperhatikan Adnan yang berdiri di ambang pintu. Setelah aku mengangguk kecil, bocah berumur 6 tahun lewat dua bulan itu langsung ngeloyor pergi.Kuhela napas dalam saat tatapanku terpacak pada foto Mas Rofi di atas meja. Di sebelah foto yang tersenyum lebar dengan tatapan menggoda itu, ada beberapa bingkisan kado warna-warni yang ditumpuk memanjang ke atas, membuatku lagi-lagi menghela napas dalam. Walau sudah empat bulan berlalu sejak kepergian Mas Rofi, tetap saja rasanya masih begitu sesak. Kado ulang tahun pemberian teman-teman Mas Rofi di hari suamiku merenggang nyawa itu, tak pernah dibuka sama sekali.Tanganku terus bergerak melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Di luar, terdengar Qila yang tengah tertawa riang dengan Adnan. Sesekali, Ibu mertua dan Bapak menimpali.HP yang berdering nyaring, membuatku dengan cepat mengangkatnya. Menempelkan k

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-11
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   5. Nikah dengan Mas Rasya?

    Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama."Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu."Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di dada.Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila.Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih."Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak, no! Mira mau dikemanakan!"Kulihat tangan kedua kakakku mengepal dengan wajah menegang."Kamu sejak

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-11
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   6. Uneg-Uneg

    Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga."Mas yakin mau anter aku pulang?"Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.Tanpa membuang waktu Mas Rasya langsung mengemudik

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-11
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   7

    "Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, ma

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-03
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   8

    Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. "Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. "Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-03
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   9

    Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.) Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.) Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas Hanif tak tampak. Jangan-jangan bohong, lagi.(Mas, aku di mana, coba.)Ceklis dua telah berganti biru terang. Lama menunggu tak juga ada balasan. Mas Hanif bohong, nih, jangan-jangan.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-04
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   10

    POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja. Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak ketulungan."Besok aku tidak mau ngedate lagi bareng bocah itu," kataku sambil meletak

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-05
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   11

    "Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan tas pink bergambar Hello Kitty pada Ibu. Ibu mengangguk."Letakkan di flizer, Bu. Kalau mau diminum, rendam dulu di air hangat botol

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-06

Bab terbaru

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   30

    Sejak tadi, aku tak bisa tenang dan begitu gugup. Nanti, kalau saat ML mas Rasya bersikap kasar bagaimana?Aku mondar-mandir di kamar dengan jantung yang terus berdetak kencang. Sesekali menatap Qila yang baru saja tidur di ranjangnya. Di dinding, jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Mas Rasya pasti sebentar lagi pulang. Ya ampuun, bagaimana caranya mengatasi gugup? Saat akan malam pertama dengan Mas Rofi dulu, rasanya tak segugup dan setakut ini.Aku terlonjak saat mendengar bunyi pintu dibuka. Aku langsung membaringkan tubuh di ranjang lalu memejamkan mata dengan dada bergemuruh. Bagaimana ini? Mas Rasya bakal kasar tidak nanti?Aku sungguh takut.Tegang.Juga gugup.Jantungku mengentak-entak kuat sekali, dadaku juga bergemuruh hebat. Keringat dingin terasa di leherku saat mendengar pintu kamar dibuka. Aku menahan napas.Hening.Deg. Deg. Deg. Aku begitu gugup."Pus."Sebaiknya, aku pura-pura tidur saja. Aku begitu tegang. Mungkin lebih baik besok saja melakukannya. Aku belum siap

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   29 B

    Aku mengangguk mantap. "Aku dan Mas Rasya sangat romantis. Mas Rasya pasti akan sangat marah kalau lihat Mas Dewa menggodaku." Langsung kutepis tangannya yang hendak melingkar di bahuku lagi."Tapi Rasya selalu bilang, katanya kamu seperti anak kecil. Cingeng, membuat kepalanya terasa mau meledak."Mas Rasya benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia mengeluhkan semua tentangku pada temannya yang sangat menyebalkan ini?"Brooo!""Gaeees!" Aku langsung menatap ke sumber suara. Tampak lelaki berambut pirang dan berambut cepak berjalan kemari. Di belakang mereka, kulihat Mas Rasya menatap kemari dengan wajah terkejut."Sini, Gaees!" Mas Asep menggeser kursi lalu melambai pada Mas Rasya. Lelaki itu berjalan kemari sambil menatapku seperti harimau kelaparan. Ia duduk persis di hadapanku."Siapa yang sangka jika kreator sekaligus penulis komik itu adalah istrimu, Ras? Istrimu sungguh mengagumkan," kata Mas Dewa sambil menoleh ke arahku, tangannya melingkar di bahuku. Aku melihat reaksi Ma

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   29 A

    "Mau ke mana kamu?!" Mas Rasya yang tengah duduk di sofa menyaksikan televisi langsung menelisik penampilanku saat aku lewat di sampingnya dengan Qila yang terlelap dalam gendongan. "Mau menemui lelaki bernama Adam?" Mas Rasya menatapku dengan pandangan menyelidik. "Aku kan sudah bilang pada Mas Rasya akan dapatkan satu lelaki yang lebih baik dari Mas Rasya di luar sana.""Jadi kamu mau selingkuh?" Ia menatapku kesal."Gak kok, Mas. Tenang aja. Selingkuh itu dosa. Nanti setelah kita cerai baru aku akan melakukannya."Ia menyentak napas. Lalu tangannya menekan tombol renote. Televisi langsung mati.Mas Rasya menatapku tajam. "Jangan main api!"Segera kubuka WA lalu menunjukkan pesan dari sederet nomer belum tersimpan."Ada yang mau adaptasi komikku jadi novel. Juga mau filemin cerita yang kubuat.""Awas saja kalau sampai bermain api lalu membuat bapak masuk rumah sakit."Tanpa mempedulikan ucapannya, aku melangkah cepat keluar rumah. Benar-benar menyebalkan si manusia harimau itu. He

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   28 B

    Terdengar tangisan Qila. Bocah di sampingku langsung beranjak bangun dan menggendong Qila. Ia duduk di tepi ranjang lalu tertawa pada bocah yang tengah menangis itu."Cup, Sayang. Dedek kaget, yaa?"Qila tersenyum, lalu mulai menyusu. Sesekali anak kecil itu berhenti menyusu, bibirnya melekuk senyum lebar.Aku menghela napas. Sabar Rasya. Sabaaar. Kuurut-urut dada."Pok amee-amee, belalang terbang tinggi, kalau gede nanti, Dek Qila jadi pegawai negerii."Qila dalam pangkuannya yang menghadap Bocah itu, tertawa-tawa. Sementara Puspita mengusap sudut matanya."Pok amee-amee, belalang terbang rendaaah, kalau gede nanti, dek Qila jadi pegawai pemerintah."Ia kembali mengusap sudut matanya. Aku menyentak napas berkali-kali. Sabar, Rasyaa.Puspita menoleh padaku, menatapku lekat dengan mata berkaca-kaca. Qila dalam gendongannya di dekapnya erat. Tangan Qila memberontak mencoba melepaskan diri. Akhirnya ia dudukkan Qila di sampingnya, Qila langsung merangkak ke arahku. Aku mengulurkan tangan

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   28 A

    POV RasyaDering HP membuatku perlahan membuka mata, memicingkan mata mencari sumber suara. Kuhela napas panjang saat melihat si Bocah tengah bersandar di dinding dengan rambut terurai berantakan, ia masih mengenakan pakaian tadi, matanya terkatup rapat. Satu tangan menggenggam HP yang menyala terang di pangkuan sementara satunya lagi terkulai di lantai.Aku kembali menyentak napas, berusaha tak menatap ke arah tubuhnya yang terlihat begitu menggoda. Aku memang membencinya tapi aku juga lelaki dewasa. Dasar bocah. Ish. Sepertinya, dia memang sengaja melakukannya. Tingkahnya terlalu nyata. Siapa yang tak tahu kalau sikapnya saja tampak begitu nyata? Mulai dari tiba-tiba mencium sampai mengenakan pakaian seperti itu.Aku yakin, dia bertingkah seperti tadi karena merindukan suaminya itu. Aku juga yakin dia juga pura-pura menelepon, tadi.Aku membuang napas. Membayangkan dia menciumku tapi yang dipikirkannya Rofi, membuatku kesal sendiri. Enak sekali mau jadikan orang pelarian."Pus, pin

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   27

    Bibir Mas Rasya terasa lembut di bibirku, tubuhnya menegang. Dengan jantung mengentak-entak dan dada berdebar hebat, kubuka mata.Mas Rasya menatapku tajam seolah menembus jantungku. Kulepas pelukan lalu melangkah mundur."Maaf," ucapku lirih tanpa berani memandangnya. Ia pasti sedang sangat kesal saat ini. Tak seharusnya kutanggapi ucapan Susi dan Fitri. Mas Rasya pasti berpikir yang tidak-tidak.Cukup lama aku berdiri di hadapan Mas Rasya dan tak juga ada sahutan darinya. Hanya keheningan yang panjang. Jujur, aku merasa sangat malu. Akhirnya, kubalikkan badan lalu melangkah pelan keluar kamar."Mau ke mana kamu?" tanyanya datar."Dapur. Aku mau masak aku sejak tadi belum makan," sahutku gugup sambil menahan luapan rasa malu yang terus menerjang benak."Delivery saja. Aku juga belum makan.""Ada ayam di kulkas. Aku mau masak. Kalau Mas Rasya mau pesan ya pesan saja! Kok, repot!" Aku sendiri pun heran kenapa tiba-tiba begini marah. Mungkin, aku marah karena begitu malu. Ia sama sekal

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   26

    "Ada apa dengan suamimu?" tanya Susi begitu Mas Rasya membalikkan badan dan melangkah pergi. Aku mengedikkan bahu. "Tau, deeh." Memang agak aneh sikap Mas Rasya sejak tadi aku pulang dari pasar. Mungkin, ia begitu tertekan dengan pekerjaannya."Harimaumu ganteng juga," ucap Fitri tanpa berhenti mengunyah."Iya, mirip Rofi kan?" Imbuh Susi, menatapku lalu ganti menatap Fitri yang terus mengunyah burgernya. Fitri mengedikkan bahu. "Mana kutahuu. Kalau Rofi, aku beberapa kali ngeliat pas anter Pus sama Adnan ke sekolah. Yang tadi siii gak pernah. Siapa sih, namanya? Kamu kebangetan deh, yaa, nikah gak undang-undang.""Mas Rasya. Terlihat galak kan diaa? Aku bagai hidup sekandang dengan harimau," sahutku sambil membenarkan posisi Qila dalam gendongan. Bocah bertubuh montok ini mulai memejamkan mata. Aku sedikit mengayunnya dengan lenganku. Bukannya tidak mau bilang pun mengundang mereka. Tapi pernikahan itu juga mendadak, hanya sebulan untuk mempersiapkan semuanya. Aku juga tak ada per

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   25

    Pov RasyaAku mengerutkan kening melihat Bocah di sampingku yang memberikan HP dengan gerakan lelet seperti siput. Dengan wajah dihiasi keraguan. Ish. Apa sih. Seolah bakal kuterkam saja.Aku memicingkan sebelah mata, menatapnya tak sabar. Benar-benar lelet itu Bocah. Lagian kenapa juga pegang-pegang HP-ku segala.“Jangan pernah sentuh HP-ku lagi! Ngerti?” kataku sambil menyambar HP dalam genggamannya. Aku lagi-lagi memicingkan mata melihat wajahnya yang begitu tegang. Yaelah, biasa aja kali. Kusentak napas kuat lalu menyentuh HP-ku, mengernyit saat melihat ada puluhan notif. Biasanya, HP-ku tak pernah dipenuhi banyak notif. Hanya ada satu dua notif saat Ibu membuat status.“Mas Rasya, tolong jaga Qila ya, Mas. Aku mau ke pasar cari nasi uduk juga cari sayuran. Aku mau masak.”Aku mengerutkan kening, menatapnya tak percaya. “Memang bisa?” Tumben.“Bisaaa.”“Pakai bumbu instan?” kataku mengejek. Ia tak menanggapi, hanya langsung mengambil dompet di lemari kemudian tergesa melangk

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   24

    Aku membuka mata sedikit saat mendengar tangisan kencang Qila. Lalu dengan gerakan perlahan beranjak bangun, mengulurkan tangan pada Qila yang terus menangis dalam posisi tengkurap. Terlihat dua bulir air mata di pipinya yang gembul.Aku mengendus. “Duuh, kamu pup, yaa? Puantes anak bunda nangis terus.”Kubawa Qila ke ruang tengah di mana Mas Rasya tengah duduk di sofa menonton acara sepak bola. Aku mengambil tisu basah dari tas bedak di laci dekat televisi lalu memasukkan pempes ke dalam plastik. Jarum jam telah menujukkan 02;30.“Tidak dicebokin?”Aku menoleh. Mas Rasya menatapku dengan kening berkerut.“Ini tisu basah sama saja, Mas.”“Memang bersih?” Ia memicingkan sebelah matanya.“Bersih.”“Harusnya dicebokin. Qila kan bukan bayi satu bulan lagi.”Kucueki saja. Kalau urusan masak memang aku tidak bisa, tapi kalau soal anak, bisalah. Ketika Adnan masih bayi lebih seringnya aku yang mengurus bukannya si baby sitter yang dikerjakan Ibu. Doaku waktu itu, siapa tahu dengan rajin meng

DMCA.com Protection Status