Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama.
"Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu."Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di dada.Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila.Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih."Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak, no! Mira mau dikemanakan!"Kulihat tangan kedua kakakku mengepal dengan wajah menegang."Kamu sejak dulu selalu nolak dijodohkan sama Mira kok sekarang tiba-tiba mau, Ras?" Ibu mengerutkan kening, ia menunduk dan mendaratkan ciuman di kepala Qila."Kalian harus nikah. Ibu tidak mau pisah sama Qila!" Tegas ibu terlihat jelas tak mau dibantah. Tatapannya lekat pada Mas Rasya yang menyentak napas kuat, terlihat sangat keberatan.Keluarga ini menurutku semuanya keras kepala. Bapak kalau sudah marah biasanya sering mendiamkan Mas Rofi atau Mas Rasya sampai berhari-hari. Sementara ibu, kalau sedang marah biasanya akan terus ngomel-ngomel. Kalau si monster yang adalah kakak suamiku itu, kalau sedang marah seperti ayahnya, selalu sinis dan banyak diam. Satu-satunya di keluarga ini yang tak suka marah hanya Mas Rofi. Suamiku itu kalau sedang marah masih bisa tersenyum. Ah, pokoknya beda kalau dibandingkan keluarganya yang lain. Mas, apa kamu hidup senang di sana? Aku menghela napas panjang saat teringat wajahnya untuk terakhir kali yang tampak sangat marah. Ingatan wajah kesakitannya saat menyentuh dada dan menepis kuat tanganku tak juga lekang dalam ingatan meskipun sudah menyoba membuangnya.Mas, maafkan aku."Tapi aku tak mau nikah sama dia, Pak!" Tuding Mas Rasya ke wajahku, membuatku tersentak kaget."Dia itu aib!" Tudingnya lagi ke wajahku. "Malu aku kalau sampai nikah sama dia! Dan lagi, dia tak becus melakukan apa-apa. Lebih baik aku nikah sama Mira saja yang paling gak dia bisa masak!"Mas Rasya beda sekali dengan Mas Rofi yang selalu menurut ucapan bapak dan ibu. "Jangan begitu, Rasya!" Bapak tampak kesal. Aku sendiri terus terisak. Tiba-tiba saja, Mas Hanif berdiri lalu mendaratkan tinju bertubi-tubi ke wajah Mas Rasya. Mas Rasya dengan cepat membalas. Mas Fadil ikut berdiri dan melayangkan pukulan ke perut Mas Rasya. Dua lawan satu, Mas Rasya kalah telak. Ibu berteriak-teriak menyuruh berhenti. Bapak mendekat dan berusaha melerai tapi si kembar jago karate itu terus beraksi. Tangannya yang terkepal terus menghantam wajah dan perut Mas Rasya dengan membabi buta, membuat wajah Mas Rasya lebam kebiruan."Hentikan! Hentikan!" Ibu berseru panik. Qila dalam gendongan ibu menangis keras.Bug. Bug. Bug. "Bilang gitu lagi sama adek gue! Ayo bilang lagi!"Tak sepatah kata pun terlontar dari bibir Mas Rasya. Lelaki itu hendak membalas, tapi lagi-lagi serangan bertubi-tubi menghantamnya."Gue bunuh lo sampai berani buat adek gue nangis lagi!" kata Mas Hanif sangat emosional.Meskipun Mas Rasya selalu jahat, tapi aku tak tega melihat ibu terus menatap ngeri sambil berteriak histeris."Mas! Sudah maaas!" Teriakku pada kedua kakak kembarku yang terus melayangkan tinju ke wajah Mas Rasya."Apa yang salah dengan ucapanku?! Memang dia aib!" Tegas Mas Rasya, membuat Mas Hanif kembali melayangkan tinju bertubi-tubi ke wajahnya. Ibu menjerit-jerit, sementara bapak terus mencoba melerai. Dua kakakku itu memang sangat emosional. Mungkin karena aku bungsu adik satu-satunya.Dulu, pernah, saat masih kuliah dan aku ternyata menjadi taruhan pacarku, ia memberi pelajaran pada cinta pertamaku itu sampai masuk rumah sakit. "Ayo bilang lagi! Gue buat lo dead sekarang juga!" Ganti Mas Fadil yang berkata. Mereka memang kembar. Tapi begitu mudah membedakannya. Mas Fadil yang mempunyai mata jernih sepertiku berpenampilan lebih kalem. Sementara Mas Hanif seperti preman. Rambutnya panjang sebahu dengan tindik berkilauan di telinga. Berbeda dengan saudara kembarnya yang berambut cepak dan tak berpenampilan neko-neko.Beberapa tetangga yang datang mendekat, membuat Mas Fadil dan Mas Hanif akhirnya mau melepaskan mangsanya. Keduanya kembali duduk lalu menyentak napas kuat. Bersamaan."Tidak ada apa-apa. Hanya masalah keluarga." Bapak yang menjawab. Dengan ramah mengangguk pada tiga lelaki tua yang langsung melangkah keluar. Mas Rasya menyentuh pipinya. "Aku tak setuju adikku menikah dengannya." Mas Hanif menatap ibu. Meskipun dia sering menyelesaikan masalah dengan kekerasan, tapi pada orang tua dia sopan. Itu ajaran papa dan mama."Kalau tidak setuju, biar Qila di sini!" Tegas ibu, memberi tatapan tak mau dibantah."Qila butuh ibunya." Aku menimpali. Kakak kembarku mengangguk bersamaan."Kalau begitu ibu akan tuntut Puspita karena telah membuat Rofi meninggal!"Bukan aku juga yang tersentak kaget, tapi bapak dan Mas Rasya juga. Begitu pun kedua kakakku."Bu, Puspita menantu kita." Bapak memandang ibu."Sekarang tidak lagi! Ibu akan tuntut dia jika pergi bawa Qila! Tinggal pilih, nikah sama Rasya atau masuk penjara!"Aku terisak-isak, memandang ibu dengan tatapan tak percaya. Kalau aku dipenjara, bagaimana dengan Qila? Duh Gusti ....Mas Rasya menegakkan tubuh, mulutnya yang memar terbuka seakan hendak bicara, tapi dengan tatapannya ibu menyuruhnya diam."Kalian pulang sekarang. Pus, masuk kamar!" kata ibu tak mau dibantah. Kuulurkan tangan ke arah Qila yang balas mengulurkan tangan kemudian membopong bocah menggemaskan ini menuju kamar. Aku terisak sejadi-jadinya. ***Entah berapa lama aku menangis dengan Qila terus menyusu. Tahu-tahu mataku memberat, dan kembali terjaga saat mendengar bunyi ketukan. Sinar matahari transparan yang memanjang dan jatuh di bawah jendela menandakan hari telah berganti. Ternyata, aku tidur dari sore dan lupa menutup jendela.Bunyi ketukan kembali terdengar. Kukenakan jilbab lalu berjalan menuju pintu. Saat pintu mengayun membuka, aku menganga melihat Mas Rasya di depan mata. Tangannya yang terangkat seolah ingin kembali mengetuk pintu kamarku dengan cepat ia letakkan ke bibirnya sendiri lalu berkata pelan, nyaris menyerupai bisikan."Ayo cepat.""Ke mana, Mas?"Hiiits. "Cepat mumpung ibu bapak masih tidur.""Maksudnya Mas apa?""Kuantar ke rumahmu."Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga."Mas yakin mau anter aku pulang?"Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.Tanpa membuang waktu Mas Rasya langsung mengemudik
"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, ma
Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. "Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. "Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku
Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.) Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.) Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas Hanif tak tampak. Jangan-jangan bohong, lagi.(Mas, aku di mana, coba.)Ceklis dua telah berganti biru terang. Lama menunggu tak juga ada balasan. Mas Hanif bohong, nih, jangan-jangan.
POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja. Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak ketulungan."Besok aku tidak mau ngedate lagi bareng bocah itu," kataku sambil meletak
"Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan tas pink bergambar Hello Kitty pada Ibu. Ibu mengangguk."Letakkan di flizer, Bu. Kalau mau diminum, rendam dulu di air hangat botol
POV RasyaCk. Ck. Ck. Dasar bocah! Aku bersikap masa bodoh melihat matanya yang berkaca-kaca saat Dewa merebut tas tangannya. Buat apa juga tolongin dia, yang ada, teman-teman malah jadi mengejekku nantinya. Sohib-sohibku tahu benar, sejak dulu, temannya ini tak menyukai perempuan manja itu. Tak jarang, aku mengeluh pada mereka kenapa ada orang model Puspita yang begitu manja. Beberapa kali, aku melihat Puspita suap-suapan dengan Rofi di rumah Ibu sambil menggelendot di lengan mediang adikku. Malu, kan, kalau ada tamu? Aku saja yang melihatnya sampai ilfil. Yaa bedalah kalau di kamar, kan? Langsung kusentak napas kesal saat bertemu tatap dengan Bocah itu, wajahnya begitu memohon. Ck ck ck. Jadi orang, kok, tidak ada pintar-pintarnya. Tepis, kek, tangannya Dewa. Bukannya terus diam menatap kakak iparnya dengan pandangan memelas. Entah kelewat bodoh atau apa tuh, Bocah. Tangan buat apa, coba. Pasrah banget seperti bayi. Geram banget ngelihatnya, sumpah. Kok bodoh, gitu, jadi orang."
Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dadaku berdebar keras. "Anterin aku pulang, gak, kalau gak, aku bakal loncat!""Tenang ajaa, aku bukan orang jahat, kok," sahutnya santai. Ia menepikan mobil di depan gedung tinggi lantas
Sejak tadi, aku tak bisa tenang dan begitu gugup. Nanti, kalau saat ML mas Rasya bersikap kasar bagaimana?Aku mondar-mandir di kamar dengan jantung yang terus berdetak kencang. Sesekali menatap Qila yang baru saja tidur di ranjangnya. Di dinding, jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Mas Rasya pasti sebentar lagi pulang. Ya ampuun, bagaimana caranya mengatasi gugup? Saat akan malam pertama dengan Mas Rofi dulu, rasanya tak segugup dan setakut ini.Aku terlonjak saat mendengar bunyi pintu dibuka. Aku langsung membaringkan tubuh di ranjang lalu memejamkan mata dengan dada bergemuruh. Bagaimana ini? Mas Rasya bakal kasar tidak nanti?Aku sungguh takut.Tegang.Juga gugup.Jantungku mengentak-entak kuat sekali, dadaku juga bergemuruh hebat. Keringat dingin terasa di leherku saat mendengar pintu kamar dibuka. Aku menahan napas.Hening.Deg. Deg. Deg. Aku begitu gugup."Pus."Sebaiknya, aku pura-pura tidur saja. Aku begitu tegang. Mungkin lebih baik besok saja melakukannya. Aku belum siap
Aku mengangguk mantap. "Aku dan Mas Rasya sangat romantis. Mas Rasya pasti akan sangat marah kalau lihat Mas Dewa menggodaku." Langsung kutepis tangannya yang hendak melingkar di bahuku lagi."Tapi Rasya selalu bilang, katanya kamu seperti anak kecil. Cingeng, membuat kepalanya terasa mau meledak."Mas Rasya benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia mengeluhkan semua tentangku pada temannya yang sangat menyebalkan ini?"Brooo!""Gaeees!" Aku langsung menatap ke sumber suara. Tampak lelaki berambut pirang dan berambut cepak berjalan kemari. Di belakang mereka, kulihat Mas Rasya menatap kemari dengan wajah terkejut."Sini, Gaees!" Mas Asep menggeser kursi lalu melambai pada Mas Rasya. Lelaki itu berjalan kemari sambil menatapku seperti harimau kelaparan. Ia duduk persis di hadapanku."Siapa yang sangka jika kreator sekaligus penulis komik itu adalah istrimu, Ras? Istrimu sungguh mengagumkan," kata Mas Dewa sambil menoleh ke arahku, tangannya melingkar di bahuku. Aku melihat reaksi Ma
"Mau ke mana kamu?!" Mas Rasya yang tengah duduk di sofa menyaksikan televisi langsung menelisik penampilanku saat aku lewat di sampingnya dengan Qila yang terlelap dalam gendongan. "Mau menemui lelaki bernama Adam?" Mas Rasya menatapku dengan pandangan menyelidik. "Aku kan sudah bilang pada Mas Rasya akan dapatkan satu lelaki yang lebih baik dari Mas Rasya di luar sana.""Jadi kamu mau selingkuh?" Ia menatapku kesal."Gak kok, Mas. Tenang aja. Selingkuh itu dosa. Nanti setelah kita cerai baru aku akan melakukannya."Ia menyentak napas. Lalu tangannya menekan tombol renote. Televisi langsung mati.Mas Rasya menatapku tajam. "Jangan main api!"Segera kubuka WA lalu menunjukkan pesan dari sederet nomer belum tersimpan."Ada yang mau adaptasi komikku jadi novel. Juga mau filemin cerita yang kubuat.""Awas saja kalau sampai bermain api lalu membuat bapak masuk rumah sakit."Tanpa mempedulikan ucapannya, aku melangkah cepat keluar rumah. Benar-benar menyebalkan si manusia harimau itu. He
Terdengar tangisan Qila. Bocah di sampingku langsung beranjak bangun dan menggendong Qila. Ia duduk di tepi ranjang lalu tertawa pada bocah yang tengah menangis itu."Cup, Sayang. Dedek kaget, yaa?"Qila tersenyum, lalu mulai menyusu. Sesekali anak kecil itu berhenti menyusu, bibirnya melekuk senyum lebar.Aku menghela napas. Sabar Rasya. Sabaaar. Kuurut-urut dada."Pok amee-amee, belalang terbang tinggi, kalau gede nanti, Dek Qila jadi pegawai negerii."Qila dalam pangkuannya yang menghadap Bocah itu, tertawa-tawa. Sementara Puspita mengusap sudut matanya."Pok amee-amee, belalang terbang rendaaah, kalau gede nanti, dek Qila jadi pegawai pemerintah."Ia kembali mengusap sudut matanya. Aku menyentak napas berkali-kali. Sabar, Rasyaa.Puspita menoleh padaku, menatapku lekat dengan mata berkaca-kaca. Qila dalam gendongannya di dekapnya erat. Tangan Qila memberontak mencoba melepaskan diri. Akhirnya ia dudukkan Qila di sampingnya, Qila langsung merangkak ke arahku. Aku mengulurkan tangan
POV RasyaDering HP membuatku perlahan membuka mata, memicingkan mata mencari sumber suara. Kuhela napas panjang saat melihat si Bocah tengah bersandar di dinding dengan rambut terurai berantakan, ia masih mengenakan pakaian tadi, matanya terkatup rapat. Satu tangan menggenggam HP yang menyala terang di pangkuan sementara satunya lagi terkulai di lantai.Aku kembali menyentak napas, berusaha tak menatap ke arah tubuhnya yang terlihat begitu menggoda. Aku memang membencinya tapi aku juga lelaki dewasa. Dasar bocah. Ish. Sepertinya, dia memang sengaja melakukannya. Tingkahnya terlalu nyata. Siapa yang tak tahu kalau sikapnya saja tampak begitu nyata? Mulai dari tiba-tiba mencium sampai mengenakan pakaian seperti itu.Aku yakin, dia bertingkah seperti tadi karena merindukan suaminya itu. Aku juga yakin dia juga pura-pura menelepon, tadi.Aku membuang napas. Membayangkan dia menciumku tapi yang dipikirkannya Rofi, membuatku kesal sendiri. Enak sekali mau jadikan orang pelarian."Pus, pin
Bibir Mas Rasya terasa lembut di bibirku, tubuhnya menegang. Dengan jantung mengentak-entak dan dada berdebar hebat, kubuka mata.Mas Rasya menatapku tajam seolah menembus jantungku. Kulepas pelukan lalu melangkah mundur."Maaf," ucapku lirih tanpa berani memandangnya. Ia pasti sedang sangat kesal saat ini. Tak seharusnya kutanggapi ucapan Susi dan Fitri. Mas Rasya pasti berpikir yang tidak-tidak.Cukup lama aku berdiri di hadapan Mas Rasya dan tak juga ada sahutan darinya. Hanya keheningan yang panjang. Jujur, aku merasa sangat malu. Akhirnya, kubalikkan badan lalu melangkah pelan keluar kamar."Mau ke mana kamu?" tanyanya datar."Dapur. Aku mau masak aku sejak tadi belum makan," sahutku gugup sambil menahan luapan rasa malu yang terus menerjang benak."Delivery saja. Aku juga belum makan.""Ada ayam di kulkas. Aku mau masak. Kalau Mas Rasya mau pesan ya pesan saja! Kok, repot!" Aku sendiri pun heran kenapa tiba-tiba begini marah. Mungkin, aku marah karena begitu malu. Ia sama sekal
"Ada apa dengan suamimu?" tanya Susi begitu Mas Rasya membalikkan badan dan melangkah pergi. Aku mengedikkan bahu. "Tau, deeh." Memang agak aneh sikap Mas Rasya sejak tadi aku pulang dari pasar. Mungkin, ia begitu tertekan dengan pekerjaannya."Harimaumu ganteng juga," ucap Fitri tanpa berhenti mengunyah."Iya, mirip Rofi kan?" Imbuh Susi, menatapku lalu ganti menatap Fitri yang terus mengunyah burgernya. Fitri mengedikkan bahu. "Mana kutahuu. Kalau Rofi, aku beberapa kali ngeliat pas anter Pus sama Adnan ke sekolah. Yang tadi siii gak pernah. Siapa sih, namanya? Kamu kebangetan deh, yaa, nikah gak undang-undang.""Mas Rasya. Terlihat galak kan diaa? Aku bagai hidup sekandang dengan harimau," sahutku sambil membenarkan posisi Qila dalam gendongan. Bocah bertubuh montok ini mulai memejamkan mata. Aku sedikit mengayunnya dengan lenganku. Bukannya tidak mau bilang pun mengundang mereka. Tapi pernikahan itu juga mendadak, hanya sebulan untuk mempersiapkan semuanya. Aku juga tak ada per
Pov RasyaAku mengerutkan kening melihat Bocah di sampingku yang memberikan HP dengan gerakan lelet seperti siput. Dengan wajah dihiasi keraguan. Ish. Apa sih. Seolah bakal kuterkam saja.Aku memicingkan sebelah mata, menatapnya tak sabar. Benar-benar lelet itu Bocah. Lagian kenapa juga pegang-pegang HP-ku segala.“Jangan pernah sentuh HP-ku lagi! Ngerti?” kataku sambil menyambar HP dalam genggamannya. Aku lagi-lagi memicingkan mata melihat wajahnya yang begitu tegang. Yaelah, biasa aja kali. Kusentak napas kuat lalu menyentuh HP-ku, mengernyit saat melihat ada puluhan notif. Biasanya, HP-ku tak pernah dipenuhi banyak notif. Hanya ada satu dua notif saat Ibu membuat status.“Mas Rasya, tolong jaga Qila ya, Mas. Aku mau ke pasar cari nasi uduk juga cari sayuran. Aku mau masak.”Aku mengerutkan kening, menatapnya tak percaya. “Memang bisa?” Tumben.“Bisaaa.”“Pakai bumbu instan?” kataku mengejek. Ia tak menanggapi, hanya langsung mengambil dompet di lemari kemudian tergesa melangk
Aku membuka mata sedikit saat mendengar tangisan kencang Qila. Lalu dengan gerakan perlahan beranjak bangun, mengulurkan tangan pada Qila yang terus menangis dalam posisi tengkurap. Terlihat dua bulir air mata di pipinya yang gembul.Aku mengendus. “Duuh, kamu pup, yaa? Puantes anak bunda nangis terus.”Kubawa Qila ke ruang tengah di mana Mas Rasya tengah duduk di sofa menonton acara sepak bola. Aku mengambil tisu basah dari tas bedak di laci dekat televisi lalu memasukkan pempes ke dalam plastik. Jarum jam telah menujukkan 02;30.“Tidak dicebokin?”Aku menoleh. Mas Rasya menatapku dengan kening berkerut.“Ini tisu basah sama saja, Mas.”“Memang bersih?” Ia memicingkan sebelah matanya.“Bersih.”“Harusnya dicebokin. Qila kan bukan bayi satu bulan lagi.”Kucueki saja. Kalau urusan masak memang aku tidak bisa, tapi kalau soal anak, bisalah. Ketika Adnan masih bayi lebih seringnya aku yang mengurus bukannya si baby sitter yang dikerjakan Ibu. Doaku waktu itu, siapa tahu dengan rajin meng