Share

6. Uneg-Uneg

Penulis: Fitri Soh
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-11 12:06:36

Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga.

"Mas yakin mau anter aku pulang?"

Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."

Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.

Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.

Tanpa membuang waktu Mas Rasya langsung mengemudikan mobil membelah jalan pasar Sawo yang ramai. Beberapa kali, lelaki di sampingku ini mengklakson tak sabar, seolah sedang dikejar polisi saja. Yaelah. Namanya pasar ya ramai, Mas. Aku membatin dalam hati sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Beda sekali dengan Mas Rofi yang penuh kesabaran saat menghadapi keramaian.

"Kenapa?" Ia menatapku sekilas. Sinis seperti biasa. Jika bukan karena tawarannya yang menggiurkan, aku tak sudi duduk semobil dengannya. 

"Gak papa."

Ia mendesis. Seperti ular saja. 

"Tumben kamar ibu masih terkunci, yaa?" Aku berkata seolah pada diri sendiri. Dan melengos saat bertemu pandang dengan matanya yang memancar sinis. 

"Aku ajak ibu bapak begadang semalam."

Aku menoleh, menatapnya tak percaya. Biasanya, Ibu tak mau tidur malam-malam.

"Aku bukan kamu yang berbuat tanpa memikirkan resikonya. Aku hanya ajak ibu dan bapak ngobrol yang menarik saja dan akhirnya mereka masuk kamar setelah salat subuh."

Syukurlah. Aku menyandarkan bahu. Qila dalam gendongan menggeliat. Matanya perlahan terbuka lalu bibirnya melekuk senyum. Tangannya bergerak meraba-raba ke arah dadaku. Aku agak menyamping lalu menyusui Qila. Mas Rasya menyentak napas dengan tatapan terus ke jalan raya. 

Cukup lama kami saling diam. Tegang rasanya, duduk diam-diaman begini. Jangankan diam-diaman, sambil ngobrol juga aku tetap saja tegang jika di dekat si manusia harimau. Sesekali, kuusap keringat di wajah. Tanganku meraba-raba ke dalam tas cangklong saat terdengar dering HP dan terlonjak begitu melihat panggilan dari Ibu mertua.

Mas Rasya menoleh. Keningnya mengernyit, membuat alisnya yang tebal hitam nyaris bertaut. 

"Ibu."

"Matikan."

Langsung kumatikan. Bukan hanya panggilan Ibu yang kumatikan, tapi HP-nya sekalian.

"Kalau nanti aku dilaporin polisi bagaimana, Mas?" ucapku saat terngiang ucapan Ibu kemarin sore. Mas Rasya menyentak napas.

"Tenang saja."

Mobil memelan dan berhenti di dekat lampu merah. Aku memandang keluar dengan tak nyaman. Jalanan begitu ramai oleh kendaraan yang mengklakson tak sabar. Begitu pun Mas Rasya. Tangannya berkali-kali memukul-mukul setir dengan wajah tampak jengkel. Seolah dengan begitu, lampu akan langsung hijau. Aneh.

"Sial!" Mas Rasya lagi-lagi memukul stir, membuatku terlonjak kaget. Qila dalam gendongan langsung menangis kencang.

"Kenapa sih, Mas." 

"Sudah jam berapa ini? Aku harus ketemu client."

"Ya sudah turunkan aku di sini saja. Aku bisa naik taksi." Setidaknya dengan begitu, keteganganku akan lenyap. Ia memicingkan sebelah mata, lalu tersenyum merendahkan.

Helaan napas terdengar dari mulutnya saat mobil kembali melaju kencang membelah lalu lintas yang padat. Aku berdoa dalam hati semoga tak kecelakaan. Mas Rofi walaupun sangat buru-buru, namun tak akan pernah bertindak membahayakan nyawa seperti ini.

Saat mobil memasuki komplek perumahan, mobil Mas Rasya memelan. Akhirnya berhenti di depan rumah megah bertingkat satu. Beragam jenis bunga tumbuh subur di halaman luas itu. Senyumku merekah lebar. Tak sabar rasanya bertemu dengan Mama.

Baru saja aku mendorong pintu mobil hingga terbuka, Mas Rasya berkata. "Tunggu." Lalu tangannya meraih ransel di dekat kakinya.

"Mas mau ke mana bawa ransel?" Aku mengerutkan kening.

"Minggat."

"Ke mana, Mas?" tanyaku penasaran.

"Aku tak mau juga jadi bulan-bulanan ibu. Setelah ini, kamu terserah mau sembunyi di mana. Tapi ingat." Ia menatapku tajam. Mirip seperti harimau. "Jangan di rumah." Lanjutnya. "Sembunyi di mana saja agar kita tak menikah."

Aku mengangguk. Ternganga saat tangannya mengulurkan beberapa tumpuk uang yang diikat dengan karet gelang.

"Apa itu?" Aku menatapnya ingin tahu.

"Bagian Rofi selama 4 bulan. Aku akan transfer bagian Rofi setiap bulan."

Aku meraih uang darinya, sementara Mas Rasya meraih HP. "Nomermu sebutkan."

Kusebutkan nomer HP-ku yang segera ia miscal.

"Nomer rekeningmu nanti kirimkan."

Aku mengangguk kecil. Mas Rofi dan Mas Rasya membuka beberapa outlet makanan siap saji masing-masing terletak di pasar Sawo, Kampung Rambutan, dan Tanah Abang. Mas Rasya yang mengelola, sementara suamiku tinggal terima bagian. Itu modal bersama.

"Mas Rasya." Aku berkata takut-takut. Mungkin kami tak akan bertemu lagi. Palingan, Ibu yang mencariku karena ingin bertemu Qila.

Kalau Mas Rasya mana mungkin. Dia benci banget pada adik iparnya ini.

"Aku sangat mencintai Mas Rofi." 

Hening.

Ia menghela napas.

Rasa nyeri berdenyar di dadaku setiap menyebut nama itu. "Kalau aku tau bakal kehilangan Mas Rofi, aku tak mungkin melakukannya. Maaf. Aku gak ada niat misahin kalian."

Mas Rasya menyentak napas. 

"Maaf." Ulangku. Tanganku terulur ke arahnya. Ia menatap sinis, membiarkan tanganku terus mengambang di udara. Tenggorokanku terasa tercekat dan mataku memanas seperti akan menangis. Aku terpana saat tangan Mas Rasya tiba-tiba terangkat lalu mengusap kepalaku.

"Jaga Qila. Jangan bertindak ceroboh," katanya, menyambut uluran tanganku. Aku mengangguk kecil.

"Aku dimaafin, kan?" 

Ia hanya tersenyum sinis. Aku tahu, ia sangat kehilangan. 

"Turun," katanya.

"Mas Rasya juga turun."

Ia langsung menuding dadanya sendiri dengan tatapan tak percaya. "Buat apa aku turun?!"

"Bawakan barang-barangku lah, Mas. Ke rumah. Aku gak mungkin bawa tas berat itu sendiri!" Tanganku menuding ke arah jok belakang. Mas Rasya menyentak napas. 

"Memang kamu manja dari dulu. Heran, kenapa Rofi bisa bertahan bersamamu," gumamnya sambil membuka pintu di sampingnya dan melompat turun. Aku menyusul turun. Kami segera melangkah beriringan menuju rumah yang terbuka lebar itu.

"Mamaa!" Teriakku tak dapat menyembunyikan letupan bahagia.

"Emma-mmaa!" Mas Rasya membeo ucapanku lantas mencibir. Terlihat sekali ia sedang meledekku. "Sudah punya anak kelakuan masih seperti anak kecil." Sungutnya.

"Mamaaa! Aku pulang diantar Mas Rasya, niih. Yang kata mama orangnya galak seperti harimau."

Mas Rasya menyentak napas kesal. Kalau sudah berada dekat dengan dua pahlawanku itu, aku jadi lebih berani pada Mas Rasya. Gak papa, lah. Toh, kita tak akan bertemu lagi. Kami terus melangkah menuju rumah. 

"Mas, sebelum kita pisah, aku akan ungkapkan uneg-unegku selama tujuh tahun ini. Boleh?" Aku menoleh. Mas Rasya membawa ransel dan menarik gagang koperku dengan wajah sangat kesal. Tahu, kan, kalau harimau sedang menggeram mengintai mangsa? Bayangkan saja seperti itu ekspresinya saat ini.

"Selama ini aku tertekan sama sikap Mas. Sangat sangat tertekan Mas Rasya."

Ia menatapku tak suka.

"Jangan jutek-jutek jadi orang, Mas, nanti cepat tua." Aku semakin berani. Apalagi saat melihat Mas Hanif melambai dengan senyum terkembang di lantai atas. Aku balas melambai.

"Mas Haniif, aku bebas dari nerakaaa!" Seruku riang sambil melirik Mas Rasya yang menyentak napas sebal. Silakan kalau mau marah, toh, tak akan bertemu lagi. Gampang nanti minta maaf lagi lewat WA.

"Mamaaa!" teriakku senang. Tinggal beberapa langkah dari ambang pintu. Aku melangkah cepat dengan senyum terkembang, senyum yang langsung pias saat bersitatap dengan ibu mertua yang menggelengkan kepala. 

Bukan hanya aku, Mas Rasya juga tercekat tak percaya. Ibu mertuaku langsung melambai. Aku mendekat ke arah Bapak dan Ibu yang duduk berdekatan, sementara Mama dan Papa yang duduk di seberangnya tersenyum lebar padaku.

"Cucu nenek. Sini, sayang." Mama menjulurkan tangan ke arah Qila. Kutatap Mama dan Ibu bergantian.

"Ibu tak bisa tidur. Akhirnya, ibu ajak Bapak untuk membicarakan pernikahan kalian. Iya, kan, Mak ee?" Ibu menatap Mama yang langsung mengangguk.

"Kita sedang bahas mau sewa tempat di mana untuk resepsi kalian," imbuh Papa.

Aku menoleh menatap Mas Rasya yang terdiam tanpa kata. Teringat ucapanku pada Mas Rasya tadi, jantungku mengentak kuat. Aku sangat berharap, ini mimpi.

Bab terkait

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   7

    "Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, ma

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-03
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   8

    Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. "Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. "Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-03
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   9

    Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.) Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.) Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas Hanif tak tampak. Jangan-jangan bohong, lagi.(Mas, aku di mana, coba.)Ceklis dua telah berganti biru terang. Lama menunggu tak juga ada balasan. Mas Hanif bohong, nih, jangan-jangan.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-04
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   10

    POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja. Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak ketulungan."Besok aku tidak mau ngedate lagi bareng bocah itu," kataku sambil meletak

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-05
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   11

    "Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan tas pink bergambar Hello Kitty pada Ibu. Ibu mengangguk."Letakkan di flizer, Bu. Kalau mau diminum, rendam dulu di air hangat botol

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-06
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   12

    POV RasyaCk. Ck. Ck. Dasar bocah! Aku bersikap masa bodoh melihat matanya yang berkaca-kaca saat Dewa merebut tas tangannya. Buat apa juga tolongin dia, yang ada, teman-teman malah jadi mengejekku nantinya. Sohib-sohibku tahu benar, sejak dulu, temannya ini tak menyukai perempuan manja itu. Tak jarang, aku mengeluh pada mereka kenapa ada orang model Puspita yang begitu manja. Beberapa kali, aku melihat Puspita suap-suapan dengan Rofi di rumah Ibu sambil menggelendot di lengan mediang adikku. Malu, kan, kalau ada tamu? Aku saja yang melihatnya sampai ilfil. Yaa bedalah kalau di kamar, kan? Langsung kusentak napas kesal saat bertemu tatap dengan Bocah itu, wajahnya begitu memohon. Ck ck ck. Jadi orang, kok, tidak ada pintar-pintarnya. Tepis, kek, tangannya Dewa. Bukannya terus diam menatap kakak iparnya dengan pandangan memelas. Entah kelewat bodoh atau apa tuh, Bocah. Tangan buat apa, coba. Pasrah banget seperti bayi. Geram banget ngelihatnya, sumpah. Kok bodoh, gitu, jadi orang."

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-07
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   13

    Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dadaku berdebar keras. "Anterin aku pulang, gak, kalau gak, aku bakal loncat!""Tenang ajaa, aku bukan orang jahat, kok," sahutnya santai. Ia menepikan mobil di depan gedung tinggi lantas

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-08
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   14 (POV Rasya)

    POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu? Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu." Hening. "Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang berbisik-bisik tak jauh dariku."Ukuran apa?"Ish. Yang menyuruh membelikan ini siapa yang lupa siapa. Ampun, deh, punya Ibu satu saja begini amat. Aku menghela napas mencoba sabar lalu berkata dengan suara nyaris berbisik,

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-10

Bab terbaru

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   30

    Sejak tadi, aku tak bisa tenang dan begitu gugup. Nanti, kalau saat ML mas Rasya bersikap kasar bagaimana?Aku mondar-mandir di kamar dengan jantung yang terus berdetak kencang. Sesekali menatap Qila yang baru saja tidur di ranjangnya. Di dinding, jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Mas Rasya pasti sebentar lagi pulang. Ya ampuun, bagaimana caranya mengatasi gugup? Saat akan malam pertama dengan Mas Rofi dulu, rasanya tak segugup dan setakut ini.Aku terlonjak saat mendengar bunyi pintu dibuka. Aku langsung membaringkan tubuh di ranjang lalu memejamkan mata dengan dada bergemuruh. Bagaimana ini? Mas Rasya bakal kasar tidak nanti?Aku sungguh takut.Tegang.Juga gugup.Jantungku mengentak-entak kuat sekali, dadaku juga bergemuruh hebat. Keringat dingin terasa di leherku saat mendengar pintu kamar dibuka. Aku menahan napas.Hening.Deg. Deg. Deg. Aku begitu gugup."Pus."Sebaiknya, aku pura-pura tidur saja. Aku begitu tegang. Mungkin lebih baik besok saja melakukannya. Aku belum siap

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   29 B

    Aku mengangguk mantap. "Aku dan Mas Rasya sangat romantis. Mas Rasya pasti akan sangat marah kalau lihat Mas Dewa menggodaku." Langsung kutepis tangannya yang hendak melingkar di bahuku lagi."Tapi Rasya selalu bilang, katanya kamu seperti anak kecil. Cingeng, membuat kepalanya terasa mau meledak."Mas Rasya benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia mengeluhkan semua tentangku pada temannya yang sangat menyebalkan ini?"Brooo!""Gaeees!" Aku langsung menatap ke sumber suara. Tampak lelaki berambut pirang dan berambut cepak berjalan kemari. Di belakang mereka, kulihat Mas Rasya menatap kemari dengan wajah terkejut."Sini, Gaees!" Mas Asep menggeser kursi lalu melambai pada Mas Rasya. Lelaki itu berjalan kemari sambil menatapku seperti harimau kelaparan. Ia duduk persis di hadapanku."Siapa yang sangka jika kreator sekaligus penulis komik itu adalah istrimu, Ras? Istrimu sungguh mengagumkan," kata Mas Dewa sambil menoleh ke arahku, tangannya melingkar di bahuku. Aku melihat reaksi Ma

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   29 A

    "Mau ke mana kamu?!" Mas Rasya yang tengah duduk di sofa menyaksikan televisi langsung menelisik penampilanku saat aku lewat di sampingnya dengan Qila yang terlelap dalam gendongan. "Mau menemui lelaki bernama Adam?" Mas Rasya menatapku dengan pandangan menyelidik. "Aku kan sudah bilang pada Mas Rasya akan dapatkan satu lelaki yang lebih baik dari Mas Rasya di luar sana.""Jadi kamu mau selingkuh?" Ia menatapku kesal."Gak kok, Mas. Tenang aja. Selingkuh itu dosa. Nanti setelah kita cerai baru aku akan melakukannya."Ia menyentak napas. Lalu tangannya menekan tombol renote. Televisi langsung mati.Mas Rasya menatapku tajam. "Jangan main api!"Segera kubuka WA lalu menunjukkan pesan dari sederet nomer belum tersimpan."Ada yang mau adaptasi komikku jadi novel. Juga mau filemin cerita yang kubuat.""Awas saja kalau sampai bermain api lalu membuat bapak masuk rumah sakit."Tanpa mempedulikan ucapannya, aku melangkah cepat keluar rumah. Benar-benar menyebalkan si manusia harimau itu. He

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   28 B

    Terdengar tangisan Qila. Bocah di sampingku langsung beranjak bangun dan menggendong Qila. Ia duduk di tepi ranjang lalu tertawa pada bocah yang tengah menangis itu."Cup, Sayang. Dedek kaget, yaa?"Qila tersenyum, lalu mulai menyusu. Sesekali anak kecil itu berhenti menyusu, bibirnya melekuk senyum lebar.Aku menghela napas. Sabar Rasya. Sabaaar. Kuurut-urut dada."Pok amee-amee, belalang terbang tinggi, kalau gede nanti, Dek Qila jadi pegawai negerii."Qila dalam pangkuannya yang menghadap Bocah itu, tertawa-tawa. Sementara Puspita mengusap sudut matanya."Pok amee-amee, belalang terbang rendaaah, kalau gede nanti, dek Qila jadi pegawai pemerintah."Ia kembali mengusap sudut matanya. Aku menyentak napas berkali-kali. Sabar, Rasyaa.Puspita menoleh padaku, menatapku lekat dengan mata berkaca-kaca. Qila dalam gendongannya di dekapnya erat. Tangan Qila memberontak mencoba melepaskan diri. Akhirnya ia dudukkan Qila di sampingnya, Qila langsung merangkak ke arahku. Aku mengulurkan tangan

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   28 A

    POV RasyaDering HP membuatku perlahan membuka mata, memicingkan mata mencari sumber suara. Kuhela napas panjang saat melihat si Bocah tengah bersandar di dinding dengan rambut terurai berantakan, ia masih mengenakan pakaian tadi, matanya terkatup rapat. Satu tangan menggenggam HP yang menyala terang di pangkuan sementara satunya lagi terkulai di lantai.Aku kembali menyentak napas, berusaha tak menatap ke arah tubuhnya yang terlihat begitu menggoda. Aku memang membencinya tapi aku juga lelaki dewasa. Dasar bocah. Ish. Sepertinya, dia memang sengaja melakukannya. Tingkahnya terlalu nyata. Siapa yang tak tahu kalau sikapnya saja tampak begitu nyata? Mulai dari tiba-tiba mencium sampai mengenakan pakaian seperti itu.Aku yakin, dia bertingkah seperti tadi karena merindukan suaminya itu. Aku juga yakin dia juga pura-pura menelepon, tadi.Aku membuang napas. Membayangkan dia menciumku tapi yang dipikirkannya Rofi, membuatku kesal sendiri. Enak sekali mau jadikan orang pelarian."Pus, pin

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   27

    Bibir Mas Rasya terasa lembut di bibirku, tubuhnya menegang. Dengan jantung mengentak-entak dan dada berdebar hebat, kubuka mata.Mas Rasya menatapku tajam seolah menembus jantungku. Kulepas pelukan lalu melangkah mundur."Maaf," ucapku lirih tanpa berani memandangnya. Ia pasti sedang sangat kesal saat ini. Tak seharusnya kutanggapi ucapan Susi dan Fitri. Mas Rasya pasti berpikir yang tidak-tidak.Cukup lama aku berdiri di hadapan Mas Rasya dan tak juga ada sahutan darinya. Hanya keheningan yang panjang. Jujur, aku merasa sangat malu. Akhirnya, kubalikkan badan lalu melangkah pelan keluar kamar."Mau ke mana kamu?" tanyanya datar."Dapur. Aku mau masak aku sejak tadi belum makan," sahutku gugup sambil menahan luapan rasa malu yang terus menerjang benak."Delivery saja. Aku juga belum makan.""Ada ayam di kulkas. Aku mau masak. Kalau Mas Rasya mau pesan ya pesan saja! Kok, repot!" Aku sendiri pun heran kenapa tiba-tiba begini marah. Mungkin, aku marah karena begitu malu. Ia sama sekal

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   26

    "Ada apa dengan suamimu?" tanya Susi begitu Mas Rasya membalikkan badan dan melangkah pergi. Aku mengedikkan bahu. "Tau, deeh." Memang agak aneh sikap Mas Rasya sejak tadi aku pulang dari pasar. Mungkin, ia begitu tertekan dengan pekerjaannya."Harimaumu ganteng juga," ucap Fitri tanpa berhenti mengunyah."Iya, mirip Rofi kan?" Imbuh Susi, menatapku lalu ganti menatap Fitri yang terus mengunyah burgernya. Fitri mengedikkan bahu. "Mana kutahuu. Kalau Rofi, aku beberapa kali ngeliat pas anter Pus sama Adnan ke sekolah. Yang tadi siii gak pernah. Siapa sih, namanya? Kamu kebangetan deh, yaa, nikah gak undang-undang.""Mas Rasya. Terlihat galak kan diaa? Aku bagai hidup sekandang dengan harimau," sahutku sambil membenarkan posisi Qila dalam gendongan. Bocah bertubuh montok ini mulai memejamkan mata. Aku sedikit mengayunnya dengan lenganku. Bukannya tidak mau bilang pun mengundang mereka. Tapi pernikahan itu juga mendadak, hanya sebulan untuk mempersiapkan semuanya. Aku juga tak ada per

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   25

    Pov RasyaAku mengerutkan kening melihat Bocah di sampingku yang memberikan HP dengan gerakan lelet seperti siput. Dengan wajah dihiasi keraguan. Ish. Apa sih. Seolah bakal kuterkam saja.Aku memicingkan sebelah mata, menatapnya tak sabar. Benar-benar lelet itu Bocah. Lagian kenapa juga pegang-pegang HP-ku segala.“Jangan pernah sentuh HP-ku lagi! Ngerti?” kataku sambil menyambar HP dalam genggamannya. Aku lagi-lagi memicingkan mata melihat wajahnya yang begitu tegang. Yaelah, biasa aja kali. Kusentak napas kuat lalu menyentuh HP-ku, mengernyit saat melihat ada puluhan notif. Biasanya, HP-ku tak pernah dipenuhi banyak notif. Hanya ada satu dua notif saat Ibu membuat status.“Mas Rasya, tolong jaga Qila ya, Mas. Aku mau ke pasar cari nasi uduk juga cari sayuran. Aku mau masak.”Aku mengerutkan kening, menatapnya tak percaya. “Memang bisa?” Tumben.“Bisaaa.”“Pakai bumbu instan?” kataku mengejek. Ia tak menanggapi, hanya langsung mengambil dompet di lemari kemudian tergesa melangk

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   24

    Aku membuka mata sedikit saat mendengar tangisan kencang Qila. Lalu dengan gerakan perlahan beranjak bangun, mengulurkan tangan pada Qila yang terus menangis dalam posisi tengkurap. Terlihat dua bulir air mata di pipinya yang gembul.Aku mengendus. “Duuh, kamu pup, yaa? Puantes anak bunda nangis terus.”Kubawa Qila ke ruang tengah di mana Mas Rasya tengah duduk di sofa menonton acara sepak bola. Aku mengambil tisu basah dari tas bedak di laci dekat televisi lalu memasukkan pempes ke dalam plastik. Jarum jam telah menujukkan 02;30.“Tidak dicebokin?”Aku menoleh. Mas Rasya menatapku dengan kening berkerut.“Ini tisu basah sama saja, Mas.”“Memang bersih?” Ia memicingkan sebelah matanya.“Bersih.”“Harusnya dicebokin. Qila kan bukan bayi satu bulan lagi.”Kucueki saja. Kalau urusan masak memang aku tidak bisa, tapi kalau soal anak, bisalah. Ketika Adnan masih bayi lebih seringnya aku yang mengurus bukannya si baby sitter yang dikerjakan Ibu. Doaku waktu itu, siapa tahu dengan rajin meng

DMCA.com Protection Status