"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.
Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, malas. Dekat-dekat saja tak mau apalagi menikah? Ini tak boleh sampai terjadi. Pokoknya, jangan sampai terjadi."Yang kucintai Mas Rofi, Bu. Bukan Mas Rasya," kataku sambil duduk di dekat Mama. Mas Rasya mengangguk membenarkan."Benar itu," imbuh Mas Rasya."Dan aku tak suka sama perempuan manja sepertinya. Tak bisa apa-apa dan kekanak-kanakkan." Mas Rasya menambahkan. Tatapannya memancar sinis saat lagi-lagi kami bersitatap."Aku juga gak suka sama lelaki sinis dan jutek." Aku tak mau kalah. Kupandang Mas Rasya tak kalah sengit."Seperti tak ada perempuan lain saja!" Lagi-lagi Mas Rasya berkata, menatapku mencibir. Bapak menggelengkan kepala."Kamu ini bagaimana tho, Le. Jadi orang kok plin-plan. Semalam siapa yang terus ngajak ngobrol pengen nikahnya di Taman Mini, pengen beli gaun yang menyapu lantai untuk Puspita? Mau undang berapa tamu? Seribu? Dua ribu?" Ibu mengernyit sambil menggelengkan kepalanya."Sampai-sampai kita tak tidur ya, Pak e?"Bapak mengangguk kecil."Karena kamu semalam tampak begitu semangat, habis subuh, ya, ibu langsung ke kamar ganti baju dan ke sini. Karena ibu juga tak bisa tidur.""Iya." Bapak menimpali.Terlihat kekagetan di wajah Mas Rasya. Aku mencibir lantas menyentak napas kesal. Katanya, dia kalau ngomong sudah dipikirkan terlebih dulu. Mana? Karena omongan ngawurnya, Ibu jadi ke sini.Kusenggol bahu Mama yang terus mengajak Qila mengobrol. Biasanya, Mama yang akan langsung membela anak kesayangannya ini. Perempuan menor bertubuh langsing di sampingku langsung menoleh. Bibirnya yang dipoles merah terang mengembang lebar."Mama pikir nggak ada salahnya, Pit. Mama jadi nggak perlu adaptasi lagi."Ucapan Mama disambut anggukan penuh kemenangan oleh Ibu dan Bapak. Papa juga ikut-ikutan mengangguk. Lihatlah yang duduk di kursi seberangku, sangat jutek seolah hanya ia yang berada dalam bahaya. Aku juga. Sungguh amat menakutkan jika aku menikah dengan harimau. Hanya membayangkannya saja sudah membuatku bergidik."Aku gak mau sama Mas Rasya pokoknya, Ma! Mending aku jadi janda seumur hidup!" Sentakku. Aku sama sekali tak pernah bersikap begini di depan Ibu dan Bapak, tapi kalau dengan bersikap begini akan membuatnya ilfil dan mengurungkan niat menjodohkan kami, kenapa tidak?"Aku juga!" Mas Rasya berkata tak kalah sengit."Oh, ya, sudah kalau begitu. Ibu tak akan memaksa, kok. Kalau gak cinta mau bagaimana lagi," ucap Ibu santai yang membuatku langsung menghela napas dalam. Syukurlah. Sungguh lega rasanya."Tapi, Qila biar ibu yang urus." Ibu menambahkan. Ucapan Ibu langsung membuat Mama tersentak. Wanita berpakaian elegan di sampingku langsung menegakkan tubuh."Ya nggak bisa, Bu. Qila butuh ibunya." Mama berpaling dan menatapku. "Nikah sama Rasya apa salahnya, sih, Pit. Coba kamu pandang dia. Ganteng juga kok, dia. Masih satu produk sama suamimu." Mama mengerling genit. Dan meringis saat mendapat pelototan dari Papa. Syukuriin kamu, Ma. Habis, enak sekali ngomongnya. Seolah nikah bagai disuruh mencicipi makanan saja. Brownies iya aku mau. Nikah sama Mas Rasya ... aku menggeleng kuat."Kok Mama jadi gini, Ma? Padahal, mama dulu bilang apa aku yakin mau nikah sama Mas Rofi yang punya kakak galak."Mama nyengir kecil saat bersitatap dengan Ibu. Secepat kilat, tangan Mama mengibas di udara. "Itu, kan, du-luuu. Jadi gimana? Taman Mini apa Ragunan?" Mama memandang Ibu dengan wajah antusias."Aku tak mau nikah!" ucap Mas Rasya tegas. Aku mengangguk setuju. Dikiranya kami hewan apa main dipasang-pasangkan?"Ibu, ambilkan garam di dapur. Ayo cepat ambilkan garam di dapur, Bu," kata Bapak tiba-tiba yang sejak tadi lebih banyak diam."Buat apa to garam, Pak ee?" Ibu menggelengkan kepala dengan wajah bingung."Buat bapak kunyah-kunyah biar darah tinggi bapak kambuh. Nanti, kalau bapak sakit lalu nyusul Rofi, anakmu pasti nyesal!"Mas Rasya menghela napas. Lalu mengembuskannya pelan. Mimiknya terlihat ngeri saat berkata, "Aku tak mau ada resepsi!"Eh. Maksudnya apa itu? Resepsi. Resepsi? Aku membelalak saat menyadarinya. Dia setuju? Lelaki itu pasti gila. Hanya karena ancaman Bapak langsung saja mau dipaksa."Tapi aku gak mau!" Kataku, memandangnya penuh kengerian. Dekat-dekat saja tak sudi apalagi menikah? Seumur hidup bersama. "Aku gak kenal sama dia! Aku gak mau nikah sama orang yang gak kukenal."Bukan hanya Ibu yang menatapku penuh keheranan, tapi Mama dan Papa juga. Sementara Bapak menggelengkan kepala."Tidak kenal bagaimana to, Pus?" Ibu menatapku. Mas Rasya memicingkan sebelah mata, sinis seperti biasa."Ya gak kenal. Tujuh tahun bersama Mas Rofi, aku hanya beberapa kali tegur sapa sama dia. Aku gak tau dia orangnya gimana, gimana, gimma .. nna," ucapanku menelan saat Mas Rasya menyilangkan jari telunjuk ke jidatnya. Tuh, kan, dia sangat menyebalkan. Aku menikah sama dia ... amit-amit, deh."Kamu ini Pus, Pus, sama kakak ipar sendiri kok nggak ke-naaal. Padahal, rumahmu sama Rasya dekatan." Mama menggelengkan kepala."Dia jarang di rumah!" Aku tak mau kalah.Mas Rasya menyentak napas."Jadi aku gak mau nikah sama orang gak kukenal." Putusku yang langsung membuat orang-orang terdiam. Aku menatap ke arah tangga berharap Mas Hanif atau Mas Fadil turun lalu membelaku. Di mana sih si kembar itu?Ibu yang akhirnya mengakhiri kebisuan ini. "Oh, ya, gampang itu. Pernikahan kalian kan masih sebulan lagi. Jadi, kalian masih bisa kenalan."Mama mengangguk dengan mata berbinar. Aku yakin, perempuan di sampingku ini tak benar-benar setuju. Pasti, ia begini karena takut Qila diambil ibu mertua."Besok, kalian mulai ngedate, yaa? Mama atur tempatnya.""Ngedate?" Suaraku dan Mas Rasya terdengar kompak. Wajah Mas Rasya terlihat ngeri. Gila. Sepertinya, semua yang ada di sini gila semua selain aku dan Qila.***Aku menoleh ke arah pintu yang mengayun membuka. Di ambang pintu, Mama tersenyum lebar. Ia melangkah mendekat lalu duduk di samping aku berbaring miring tengah menyusui Qila."Rasya sudah menunggu, tuh, di ruang tamu." Mama mengerling menggoda.Aku membeliak tak percaya. "Apa, Ma?!""Lho, kok kamu terkejut begitu?!Kemarin kan sudah diatur jadwal ngedate kamu sama Rasya. Sudah sana ganti baju, lalu temui calon suamimu itu."Kubenarkan posisi kepala Qila di bantal hello Kitty lalu menarik tangan Mama keluar kamar."Mama ini apa-apaan, sih? Kan aku gak mau nikah sama harimau itu!"Mama menempelkan telunjuk ke bibirnya sendiri. "Jangan bilang begitu.""Kok mama jadi gini? Mama dikasih apa sih sama ibu?""Nggak dikasih apa-apa. Daripada kamu sendiri, lebih baik sama Rasya, Pit. Biar anakmu tak kehilangan sosok ayah. Dia kan pakdenya, nggak mungkin diapa-apain anakmu itu!" Jari Mama yang lentik berkutek ungu terang menuding kearah Qila yang terlelap damai.Kupandang Mama dengan wajah tak mengerti."Gini, lho. Ibumu itu bilang, bahaya kalau kamu nikah sama lelaki selain Rasya. Anakmu bisa di ...." Mama memelankan suaranya lalu mencondongkan badan ke arahku. "Sekarang, Pit, banyak kasus kayak gitu di TV."Hits, Mama. Pasti, Ibu menghasut Mama."Tuuh ditunggu Rasya," kata Mas Hanif sambil berjalan ke arahku."Mas, bantu aku. Adikmu ini gak mau nikah sama dia.""Mas juga sebenarnya tak setuju kamu sama si kunyuk it--" Mas Hanif berhenti berkata saat mama memelototinya."Cepat kamu ganti baju! Mama temuin Rasya dulu." Mama mengerling menggoda lalu membalikkan badan.Kulayangkan tatapan memohon pada Mas Hanif. "Maas, aku gak mau nikah sama dia. Mas Hanif tak mau bawa aku ke mana, gitu?"Mas Hanif langsung menggeleng dengan wajah ngeri. "Mama bisa marah. Bisa-bisa, mas dipecat nanti dari perusahaan. Anak istri mas mau makan apa. Susah cari kerjaan."Aku menyentak napas. Mama ratu di rumah ini. Papa selalu nurut pada apa pun yang dikatakan Mama. Heran, aku.Aku bergidik membayangkan aku harus pergi dengan Mas Rasya."Nanti kalau aku diapa-apain sama Mas Rasya gimana, Mas?"Mas Hanif mengerutkan kening."Ditinggalin di tempat terpencil, mungkin. Kalau aku gak kembali ke rumah, otomatis kami gak menikah dan Qila dibawa ibu."Mas Hanif menatapku cukup lama, lalu mengangguk-angguk. "Benar juga," katanya. Lalu sesaat kemudian ia menjentikkan jari ke udara. "Tenang. Nanti mas akan awasi kalian dari jauh.""Serius, Mas?"Mas Hanif mengangguk-angguk. Aku segera menuju kamar lalu mengganti baju dengan dres hijau yang melebar di bagian bawah dipadu dengan jilbab instan warna senada. Saat aku menuruni tangga, Mas Rasya tengah mengobrol dengan Mama dan Papa, terlihat begitu akrab. Ia mengenakan jins di bawah lutut dan kaus tanpa lengan bergambar bola yang membuat tubuhnya terlihat begitu atletis."Aku pergi dulu, Ma," kataku sambil cemberut saat Mas Rasya berdiri lalu melangkah cepat menuju mobilnya diparkir. Aku mengikuti langkahnya dengan jantung berdetak kencang.Tubuhku terasa panas dingin saat membuka pintu dan duduk di sebelahnya. Mas Rasya meraih buket bunga warna-warni di dasboard lalu menyerahkannya padaku dengan wajah datar."Dari ibu," katanya, menatapku tak suka. Lalu melajukan mobil setelah aku menerimanya dengan dada bergemuruh hebat. Kuusap keringat dingin di wajah karena begitu tegang. Ini aku beneran mau ngedate sama Mas Rasya?Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. "Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. "Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku
Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.) Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.) Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas Hanif tak tampak. Jangan-jangan bohong, lagi.(Mas, aku di mana, coba.)Ceklis dua telah berganti biru terang. Lama menunggu tak juga ada balasan. Mas Hanif bohong, nih, jangan-jangan.
POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja. Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak ketulungan."Besok aku tidak mau ngedate lagi bareng bocah itu," kataku sambil meletak
"Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan tas pink bergambar Hello Kitty pada Ibu. Ibu mengangguk."Letakkan di flizer, Bu. Kalau mau diminum, rendam dulu di air hangat botol
POV RasyaCk. Ck. Ck. Dasar bocah! Aku bersikap masa bodoh melihat matanya yang berkaca-kaca saat Dewa merebut tas tangannya. Buat apa juga tolongin dia, yang ada, teman-teman malah jadi mengejekku nantinya. Sohib-sohibku tahu benar, sejak dulu, temannya ini tak menyukai perempuan manja itu. Tak jarang, aku mengeluh pada mereka kenapa ada orang model Puspita yang begitu manja. Beberapa kali, aku melihat Puspita suap-suapan dengan Rofi di rumah Ibu sambil menggelendot di lengan mediang adikku. Malu, kan, kalau ada tamu? Aku saja yang melihatnya sampai ilfil. Yaa bedalah kalau di kamar, kan? Langsung kusentak napas kesal saat bertemu tatap dengan Bocah itu, wajahnya begitu memohon. Ck ck ck. Jadi orang, kok, tidak ada pintar-pintarnya. Tepis, kek, tangannya Dewa. Bukannya terus diam menatap kakak iparnya dengan pandangan memelas. Entah kelewat bodoh atau apa tuh, Bocah. Tangan buat apa, coba. Pasrah banget seperti bayi. Geram banget ngelihatnya, sumpah. Kok bodoh, gitu, jadi orang."
Aku menatap ke sana-kemari dengan jantung berdetak kencang. Sesekali mengusap mata yang tak henti meneteskan air bening. Aku tak mengenali jalan ini. Mobil melaju pelan masuk ke dalam kompleks, terlihat rumah-rumah berderet dengan pepohonan rimbun."Mas, kita mau ke mana?" Aku kembali memperhatikan jalanan yang sepi dengan dada bergemuruh. Ini di mana? Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Mobil keluar dari kompleks, aku menghela napas panjang."Sebentar lagi sampai Blok M."Perasaan takut kembali menerjang benakku. Kuusap cepat air mata di pipi sambil lagi-lagi menatap jalanan. Sepi."Mas mau ngapain ngajak aku ke Blok M? Mas bilang, mau anterin aku pulang, kan?!" Tanyaku tak dapat menyembunyikan perasaan panik. Mas Dewa mengerlingkan mata dengan senyum menggoda."Ke hotel," katanya singkat, membuat dadaku berdebar keras. "Anterin aku pulang, gak, kalau gak, aku bakal loncat!""Tenang ajaa, aku bukan orang jahat, kok," sahutnya santai. Ia menepikan mobil di depan gedung tinggi lantas
POV RasyaAsem! Orang-orang itu apa tidak ada kerjaan selain senyum-senyum sambil sesekali mencuri pandang ke sini?! Ck ck ck. Seolah mereka tak pernah melihat lelaki belanja saja. Ish. Benar-benar menyebalkan. Tatapanku kembali terpacak pada celana dalam di hadapanku, bagian tengah ada pintanya dengan renda mengelilingi bagian bawah membentuk segitiga. Ini muat tidak kira-kira buat bocah itu? Aku menghela napas, Ibu ada-ada saja menyuruh anak lelakinya belanja beginian.Akhirnya, kukeluarkan HP lalu menekan nomer Ibu. Tak menunggu lama, panggilan segera diangkat."Hati-hati, Pus. Kalau ada apa-apa di jalan, telepon emasmu. Atau bisa telepon Ibu." Hening. "Ya, Le, ada apa?""Berapa ukurannya?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melotot galak pada dua perempuan yang berbisik-bisik tak jauh dariku."Ukuran apa?"Ish. Yang menyuruh membelikan ini siapa yang lupa siapa. Ampun, deh, punya Ibu satu saja begini amat. Aku menghela napas mencoba sabar lalu berkata dengan suara nyaris berbisik,
Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu. Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang terus menatap ke arah kami. Beberapa cahaya keperakan tak henti melesat ke wajah kami berdua."Ciee, sudah sah sekarang," kata M
Sejak tadi, aku tak bisa tenang dan begitu gugup. Nanti, kalau saat ML mas Rasya bersikap kasar bagaimana?Aku mondar-mandir di kamar dengan jantung yang terus berdetak kencang. Sesekali menatap Qila yang baru saja tidur di ranjangnya. Di dinding, jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Mas Rasya pasti sebentar lagi pulang. Ya ampuun, bagaimana caranya mengatasi gugup? Saat akan malam pertama dengan Mas Rofi dulu, rasanya tak segugup dan setakut ini.Aku terlonjak saat mendengar bunyi pintu dibuka. Aku langsung membaringkan tubuh di ranjang lalu memejamkan mata dengan dada bergemuruh. Bagaimana ini? Mas Rasya bakal kasar tidak nanti?Aku sungguh takut.Tegang.Juga gugup.Jantungku mengentak-entak kuat sekali, dadaku juga bergemuruh hebat. Keringat dingin terasa di leherku saat mendengar pintu kamar dibuka. Aku menahan napas.Hening.Deg. Deg. Deg. Aku begitu gugup."Pus."Sebaiknya, aku pura-pura tidur saja. Aku begitu tegang. Mungkin lebih baik besok saja melakukannya. Aku belum siap
Aku mengangguk mantap. "Aku dan Mas Rasya sangat romantis. Mas Rasya pasti akan sangat marah kalau lihat Mas Dewa menggodaku." Langsung kutepis tangannya yang hendak melingkar di bahuku lagi."Tapi Rasya selalu bilang, katanya kamu seperti anak kecil. Cingeng, membuat kepalanya terasa mau meledak."Mas Rasya benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia mengeluhkan semua tentangku pada temannya yang sangat menyebalkan ini?"Brooo!""Gaeees!" Aku langsung menatap ke sumber suara. Tampak lelaki berambut pirang dan berambut cepak berjalan kemari. Di belakang mereka, kulihat Mas Rasya menatap kemari dengan wajah terkejut."Sini, Gaees!" Mas Asep menggeser kursi lalu melambai pada Mas Rasya. Lelaki itu berjalan kemari sambil menatapku seperti harimau kelaparan. Ia duduk persis di hadapanku."Siapa yang sangka jika kreator sekaligus penulis komik itu adalah istrimu, Ras? Istrimu sungguh mengagumkan," kata Mas Dewa sambil menoleh ke arahku, tangannya melingkar di bahuku. Aku melihat reaksi Ma
"Mau ke mana kamu?!" Mas Rasya yang tengah duduk di sofa menyaksikan televisi langsung menelisik penampilanku saat aku lewat di sampingnya dengan Qila yang terlelap dalam gendongan. "Mau menemui lelaki bernama Adam?" Mas Rasya menatapku dengan pandangan menyelidik. "Aku kan sudah bilang pada Mas Rasya akan dapatkan satu lelaki yang lebih baik dari Mas Rasya di luar sana.""Jadi kamu mau selingkuh?" Ia menatapku kesal."Gak kok, Mas. Tenang aja. Selingkuh itu dosa. Nanti setelah kita cerai baru aku akan melakukannya."Ia menyentak napas. Lalu tangannya menekan tombol renote. Televisi langsung mati.Mas Rasya menatapku tajam. "Jangan main api!"Segera kubuka WA lalu menunjukkan pesan dari sederet nomer belum tersimpan."Ada yang mau adaptasi komikku jadi novel. Juga mau filemin cerita yang kubuat.""Awas saja kalau sampai bermain api lalu membuat bapak masuk rumah sakit."Tanpa mempedulikan ucapannya, aku melangkah cepat keluar rumah. Benar-benar menyebalkan si manusia harimau itu. He
Terdengar tangisan Qila. Bocah di sampingku langsung beranjak bangun dan menggendong Qila. Ia duduk di tepi ranjang lalu tertawa pada bocah yang tengah menangis itu."Cup, Sayang. Dedek kaget, yaa?"Qila tersenyum, lalu mulai menyusu. Sesekali anak kecil itu berhenti menyusu, bibirnya melekuk senyum lebar.Aku menghela napas. Sabar Rasya. Sabaaar. Kuurut-urut dada."Pok amee-amee, belalang terbang tinggi, kalau gede nanti, Dek Qila jadi pegawai negerii."Qila dalam pangkuannya yang menghadap Bocah itu, tertawa-tawa. Sementara Puspita mengusap sudut matanya."Pok amee-amee, belalang terbang rendaaah, kalau gede nanti, dek Qila jadi pegawai pemerintah."Ia kembali mengusap sudut matanya. Aku menyentak napas berkali-kali. Sabar, Rasyaa.Puspita menoleh padaku, menatapku lekat dengan mata berkaca-kaca. Qila dalam gendongannya di dekapnya erat. Tangan Qila memberontak mencoba melepaskan diri. Akhirnya ia dudukkan Qila di sampingnya, Qila langsung merangkak ke arahku. Aku mengulurkan tangan
POV RasyaDering HP membuatku perlahan membuka mata, memicingkan mata mencari sumber suara. Kuhela napas panjang saat melihat si Bocah tengah bersandar di dinding dengan rambut terurai berantakan, ia masih mengenakan pakaian tadi, matanya terkatup rapat. Satu tangan menggenggam HP yang menyala terang di pangkuan sementara satunya lagi terkulai di lantai.Aku kembali menyentak napas, berusaha tak menatap ke arah tubuhnya yang terlihat begitu menggoda. Aku memang membencinya tapi aku juga lelaki dewasa. Dasar bocah. Ish. Sepertinya, dia memang sengaja melakukannya. Tingkahnya terlalu nyata. Siapa yang tak tahu kalau sikapnya saja tampak begitu nyata? Mulai dari tiba-tiba mencium sampai mengenakan pakaian seperti itu.Aku yakin, dia bertingkah seperti tadi karena merindukan suaminya itu. Aku juga yakin dia juga pura-pura menelepon, tadi.Aku membuang napas. Membayangkan dia menciumku tapi yang dipikirkannya Rofi, membuatku kesal sendiri. Enak sekali mau jadikan orang pelarian."Pus, pin
Bibir Mas Rasya terasa lembut di bibirku, tubuhnya menegang. Dengan jantung mengentak-entak dan dada berdebar hebat, kubuka mata.Mas Rasya menatapku tajam seolah menembus jantungku. Kulepas pelukan lalu melangkah mundur."Maaf," ucapku lirih tanpa berani memandangnya. Ia pasti sedang sangat kesal saat ini. Tak seharusnya kutanggapi ucapan Susi dan Fitri. Mas Rasya pasti berpikir yang tidak-tidak.Cukup lama aku berdiri di hadapan Mas Rasya dan tak juga ada sahutan darinya. Hanya keheningan yang panjang. Jujur, aku merasa sangat malu. Akhirnya, kubalikkan badan lalu melangkah pelan keluar kamar."Mau ke mana kamu?" tanyanya datar."Dapur. Aku mau masak aku sejak tadi belum makan," sahutku gugup sambil menahan luapan rasa malu yang terus menerjang benak."Delivery saja. Aku juga belum makan.""Ada ayam di kulkas. Aku mau masak. Kalau Mas Rasya mau pesan ya pesan saja! Kok, repot!" Aku sendiri pun heran kenapa tiba-tiba begini marah. Mungkin, aku marah karena begitu malu. Ia sama sekal
"Ada apa dengan suamimu?" tanya Susi begitu Mas Rasya membalikkan badan dan melangkah pergi. Aku mengedikkan bahu. "Tau, deeh." Memang agak aneh sikap Mas Rasya sejak tadi aku pulang dari pasar. Mungkin, ia begitu tertekan dengan pekerjaannya."Harimaumu ganteng juga," ucap Fitri tanpa berhenti mengunyah."Iya, mirip Rofi kan?" Imbuh Susi, menatapku lalu ganti menatap Fitri yang terus mengunyah burgernya. Fitri mengedikkan bahu. "Mana kutahuu. Kalau Rofi, aku beberapa kali ngeliat pas anter Pus sama Adnan ke sekolah. Yang tadi siii gak pernah. Siapa sih, namanya? Kamu kebangetan deh, yaa, nikah gak undang-undang.""Mas Rasya. Terlihat galak kan diaa? Aku bagai hidup sekandang dengan harimau," sahutku sambil membenarkan posisi Qila dalam gendongan. Bocah bertubuh montok ini mulai memejamkan mata. Aku sedikit mengayunnya dengan lenganku. Bukannya tidak mau bilang pun mengundang mereka. Tapi pernikahan itu juga mendadak, hanya sebulan untuk mempersiapkan semuanya. Aku juga tak ada per
Pov RasyaAku mengerutkan kening melihat Bocah di sampingku yang memberikan HP dengan gerakan lelet seperti siput. Dengan wajah dihiasi keraguan. Ish. Apa sih. Seolah bakal kuterkam saja.Aku memicingkan sebelah mata, menatapnya tak sabar. Benar-benar lelet itu Bocah. Lagian kenapa juga pegang-pegang HP-ku segala.“Jangan pernah sentuh HP-ku lagi! Ngerti?” kataku sambil menyambar HP dalam genggamannya. Aku lagi-lagi memicingkan mata melihat wajahnya yang begitu tegang. Yaelah, biasa aja kali. Kusentak napas kuat lalu menyentuh HP-ku, mengernyit saat melihat ada puluhan notif. Biasanya, HP-ku tak pernah dipenuhi banyak notif. Hanya ada satu dua notif saat Ibu membuat status.“Mas Rasya, tolong jaga Qila ya, Mas. Aku mau ke pasar cari nasi uduk juga cari sayuran. Aku mau masak.”Aku mengerutkan kening, menatapnya tak percaya. “Memang bisa?” Tumben.“Bisaaa.”“Pakai bumbu instan?” kataku mengejek. Ia tak menanggapi, hanya langsung mengambil dompet di lemari kemudian tergesa melangk
Aku membuka mata sedikit saat mendengar tangisan kencang Qila. Lalu dengan gerakan perlahan beranjak bangun, mengulurkan tangan pada Qila yang terus menangis dalam posisi tengkurap. Terlihat dua bulir air mata di pipinya yang gembul.Aku mengendus. “Duuh, kamu pup, yaa? Puantes anak bunda nangis terus.”Kubawa Qila ke ruang tengah di mana Mas Rasya tengah duduk di sofa menonton acara sepak bola. Aku mengambil tisu basah dari tas bedak di laci dekat televisi lalu memasukkan pempes ke dalam plastik. Jarum jam telah menujukkan 02;30.“Tidak dicebokin?”Aku menoleh. Mas Rasya menatapku dengan kening berkerut.“Ini tisu basah sama saja, Mas.”“Memang bersih?” Ia memicingkan sebelah matanya.“Bersih.”“Harusnya dicebokin. Qila kan bukan bayi satu bulan lagi.”Kucueki saja. Kalau urusan masak memang aku tidak bisa, tapi kalau soal anak, bisalah. Ketika Adnan masih bayi lebih seringnya aku yang mengurus bukannya si baby sitter yang dikerjakan Ibu. Doaku waktu itu, siapa tahu dengan rajin meng