Share

4. Ingin Pulang

Penulis: Fitri Soh
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-11 12:05:03

"Bibi, ditunggu nenek di ruang makan. Cepet keluar, katanya nenek.”

Aku yang tengah duduk melipat pakaian menoleh sekilas memperhatikan Adnan yang berdiri di ambang pintu. Setelah aku mengangguk kecil, bocah berumur 6 tahun lewat dua bulan itu langsung ngeloyor pergi.

Kuhela napas dalam saat tatapanku terpacak pada foto Mas Rofi di atas meja. Di sebelah foto yang tersenyum lebar dengan tatapan menggoda itu, ada beberapa bingkisan kado warna-warni yang ditumpuk memanjang ke atas, membuatku lagi-lagi menghela napas dalam. Walau sudah empat bulan berlalu sejak kepergian Mas Rofi, tetap saja rasanya masih begitu sesak. Kado ulang tahun pemberian teman-teman Mas Rofi di hari suamiku merenggang nyawa itu, tak pernah dibuka sama sekali.

Tanganku terus bergerak melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Di luar, terdengar Qila yang tengah tertawa riang dengan Adnan. Sesekali, Ibu mertua dan Bapak menimpali.

HP yang berdering nyaring, membuatku dengan cepat mengangkatnya. Menempelkan ke telinga dan berkata dengan suara sepelan mungkin agar Ibu tak mendengarnya. “Halo, Kak.”

“Sudah siap belum? Sebentar lagi mas datang.”

Ya. Setelah memikirkannya masak-masak semingguan ini, aku memutuskan pulang ke rumah. Tinggal di rumah mertua terus, lama-lama membuatku tak nyaman karena lelaki jutek itu sering kemari menengok anaknya. Seperti biasa, Mas Rasya selalu sinis. Ibu tak membiarkanku tinggal di rumahku sendiri yang dibeli oleh Mas Rofi. Katanya, emosi menantunya ini tak stabil, mereka takut Qila tak terurus.

Jadi, aku memutuskan pulang saja. Siapa tahu dengan begitu, aku bisa sedikit mengubur kenangan yang hingga detik ini masih menimbulkan nyeri saat dikenang.

“Puus, ayo makaan!” Terdengan suara Ibu memanggil. Kumasukkan baju-baju Qila ke dalam koper kemudian menemui Ibu dan Bapak yang tengah menunggu di ruang makan. Adnan tengah bermain ciluk ba dengan Qila yang duduk di karpet bunga-bunga dengan banyak mainan di depannya. Bocah berpipi gempil itu tersenyum saat bersitatap denganku.

“Kok lama, tho, bapakmu sudah lapar tungguin kamu dari tadi," kata Ibu saat aku menggeser kursi lantas mendudukinya.

“Iya nih, Bibi.” Adnan menimpali. Bocah berpipi tirus seperti ayahnya itu langsung beranjak meninggalkan Qila kemudian duduk di sampingku. Ia mengambil nasi dan sayur bening, ia letakkan ayam goreng, setelah itu menyerahkannya padaku.

“Bibi bisa sendiri, Ad,” kataku sambil menerimanya. Bocah ini memang dekat denganku. Sebelum Qila lahir, ia lebih sering bersamaku dan Mas Rofi karena kami tak juga mempunyai anak. Ayahnya juga selalu sibuk kerja. Terkadang, Adnan malah menginap di rumahku timbang di rumah Mas Rasya.

“Bu ....”

Ibu mertua yang tengah menyuap langsung menatapku. Sorot mata tuanya terlihat penasaran. Aku sudah mengutarakan niat pada Ibu ingin pulang ke rumah seminggu lalu. Namun, waktu itu Ibu tak menanggapi. Sorot matanya terlihat keberatan, tapi tak mengatakan apa-apa.

“Kenapa, Pus?” Lelaki tua bertubuh tinggi kurus mengerutkan kening, membuat alisnya yang berwarna putih seperti rambutnya nyaris bertaut.

“Aku mau pulang, Pak.”

Kurasakan jantungku berdetak kencang saat keduanya berpandangan. Sementara Adnan terus menyuap dengan lahap.

"Kalau bibi pulang, aku ikut bibi, ya?" tanyanya dengan tatapan berharap.

Bapak dan Ibu menghela napas panjang. Sorot keberatan memancar jelas di kedua mata tuanya. “Kenapa, Pus? Kamu tak senang tinggal di sini?” tanya Ibu dengan wajah tersinggung. 

"Apa ibu terlalu galak?" Lanjutnya, dengan mata berkaca-kaca seperti hendak menangis. Ia letakkan sendoknya ke piring lalu menatapku lekat.

Aku menghela napas. Tujuh tahun menjadi menantunya, aku sudah hafal benar tabiat Ibu yang kalau bicara selalu keras walau sebenarnya maksudnya baik. Meskipun aku hanya menantu, tapi ia begitu menyayangiku.

Empat bulan sejak kepergian Mas Rofi, Ibu selalu bawel menyuruhku makan yang banyak agar ASI tetap lancar. Tak jarang, ia mengoceh saat melihatku hanya makan dengan kuah sayur, yang penting tertelan, begitu. Kepergian Ma Rofi yang mendadak, membuatku tak semangat melalui hari. Hampa. Juga kosong. Qila adalah alasan kuat aku mencoba bangkit dari keterpurukan, melupakan semua meskipun sangat sulit.

“Pokoknya ibu tak ijinkan kamu pulang. Apa kamu tega pisahin ibu dan Qila?”

Aku menatap bocah yang terus asyik bermain. Bibirnya melekuk senyum saat mata bocah itu berpandangan denganku.

"Uuuuh. Uuuuh." Dengan tangan terjulur ke arahku. Itu artinya, Qila minta digendong.

Aku memberanikan diri menatap Ibu. “Ibu bisa datang kapan saja. Hanya berjarak tiga jam saja, Bu," sahutku sambil menyuap. Langsung menelannya tanpa mengunyah. Ayam goreng tetap utuh di bibir piring. Mataku merebak saat teringat Mas Rofi yang terkadang menyuapiku saat makan. Duhai, alangkah indah saat-saat itu.

“Ibu tetap tak ijinkan.”

“Kamu, Pus, bilang mau pulang kok mendadak!”

Wajah Bapak tampak kesal. Bapak mertuaku ini jarang marah. Bahkan saat Mas Rofi pergi dulu, ia sama sekali tak menyalahkanku. Hanya menyesalkan kenapa hal itu sampai terjadi. Berbeda dengan Bapak yang tak bisa menunjukkan kesedihannya, Ibu tampak begitu tabah. Katanya, setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati. Setiap takdir manusia sudah ditulis di atas Arsy. Jodoh. Rejeki. Mati. Aku sama sekali tak pernah melihat Ibu menangis atau sedang meratap setelah Mas Rofi dikebumikan.

“Aku udah bilang sama ibu seminggu lalu, Pak.”

“Tapi ibu tak mengijinkan. Ibu tak mengiyakan.”

“Tapi, Pak, Mas Rofi sudah tak ada.”

“Kami ini juga keluargamu, Pus!” Ibu berkata sedikit membentak.

Perempuan berjilbab lebar itu berdiri lantas menggendong Qila yang langsung tertawa padanya. Ibu menciumi anakku itu sambil menangis. "Jangan pisahkan ibu dan Qila, Pus. Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Tapi jangan bawa Qila.”

Aku sudah tak berselera makan. Kuletakkan sendok di piring lalu menghela napas dalam mencoba sabar. “Ya gak bisa kalau aku gak bawa Qila, Bu. Dia anakku. Butuh ASI dan kasih sayang ibunya.”

Ibu menggeleng-gelengkan kepala, tampak tak bisa dibantah. Aku mendekat padanya hendak meraih Qila, tapi Ibu mendekap bocah itu di dadanya, membuat Qila menangis kencang.

“Bu, tolong jangan begini.”

“Sampai kapanpun, Qila tetap cucu ibu. Satu-satunya jejak Rofi.” Mata ibu berkaca-kaca saat mengatakannya.

Rasa pedih berdenyar di dadaku. Aku mengulurkan tangan hendak meraih Qila tapi Ibu dengan cepat menepis tanganku.

“Pak! Pak eee! Cepat tho, ambil HP.”

Aku membeliak menatap Ibu. Ibu pasti mau mengadu pada anaknya yang semena-mena itu. Tidak akan kubiarkan.

“Ibu, tolong jangan begini. Kan ada Adnan. Adnan cucu ibu juga.” Aku menatap bocah berambut hampir menyentuh bahu itu. Katanya, dia ingin seperti penyanyi siapa itu ... yang rambutnya panjang, aku lupa namanya, setiap dibujuk potong rambut.

“Adnan dan Qila sama-sama cucu ibu. Tak ada yang boleh pergi. Pak, ayo cepat telponkan.”

Saat mendengar suara Mas Rasya dari HP yang diloads speaker, aku memilih bersandar di kursi. Lelaki menyebalkan itu pasti akan senang jika aku pergi. Aku memutuskan ke kamar saat mendengar dering HP. Kali ini, yang menghubungi bukan Mas Hanif, tapi Mas Fadil saudara kembar Mas Hanif.

“Halo, Mas.”

“Mas udah sampai depan rumah. Ibu mertuamu ada? Ini ada oleh-oleh dari mama.”

“Ada, Mas. Masuk saja."

Terdengar bunyi bel. Lalu suara salam. Aku menuju ruang tamu di mana Ibu dengan Qila di gendongannya tengah berbicara dengan Mas Hanif dan Mas Fadil. Kedua kakak lelakiku itu bicara pada Ibu dengan nada hati-hati.

"Puspita ingin menenangkan diri, katanya." Mas Fadil berkata sambil menatapku yang berjalan mendekat.

"Si Puspita di sini tak pernah diusik. Di kamar seharian aja ibu diamkan!" Ibu menyahut sinis. Ibu kalau sedang kesal ya begini, teelihat tak bersahabat.

Mas Hanif menggaruk rambutnya, wajahnya terlihat bingung mau bicara apa. Aku duduk di samping Ibu, memandangnya.

"Bu, Mas Rofi sudah tak ada. Aku di sini buat apa? Aku ingin cari suasana baru."

Wajah Ibu tersentak kaget. "Jadi mentang-mentang Rofi sudah tak ada, kamu berniat melupakan ibu juga, Pus! Tak menganggap kami keluarga lagi?"

Ibu jelas salah faham. Bukan itu maksudku. Coba pikir. Aneh, kan, aku tinggal di sini sementara Mas Rofi sudah tak ada? Saatnya aku memulai hidup baru. Aku harus mencari pekerjaan untuk masa depan Qila.

Baru saja aku hendak menjelaskan, terdengar suara salam. Mas Rasya melangkah masuk dan duduk di seberang Mas Hanif.

"Kalau mau pergi, pergi saja. Jangan bawa Qila," katanya, menatapku dingin seperti biasa. Adnan mendekat lalu duduk di pangkuannya, melingkarkan tangan di leher lelaki dewasa itu dan mengecup keningnya. "Ayah sudah makan?"

Mas Rasya mengangguk pada bocah itu, membelai rambutnya, lalu mengecup keningnya.

"Ibu bisa ngurus Qila," imbuh Ibu dengan tatapan tak bisa dibantah.

"Qila butuh ASI, Bu. Butuh kasih sayang ibunya," ucapku sambil memandang Ibu takut-takut.

"Ibu bisa membelikannya susu. Ya, kan, Pak?" Ibu menatap lelaki bertubuh kurus yang berjalan mendekat. Wajah itu yang tadi di ruang makan terlihat sangat marah, kini sangat ramah saat memandangku.

"Kamu dan Rasya nikah saja."

Bukan hanya aku yang tersentak kaget, tapi Mas Rasya juga. Ia menurunkan Adnan dari pangkuannya lalu menudingku.

"Aku menikah dengnnya, Pak? Dia itu aib."

Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama.

Bab terkait

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   5. Nikah dengan Mas Rasya?

    Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama."Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu."Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di dada.Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila.Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih."Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak, no! Mira mau dikemanakan!"Kulihat tangan kedua kakakku mengepal dengan wajah menegang."Kamu sejak

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-11
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   6. Uneg-Uneg

    Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga."Mas yakin mau anter aku pulang?"Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.Tanpa membuang waktu Mas Rasya langsung mengemudik

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-11
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   7

    "Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, ma

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-03
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   8

    Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. "Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. "Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-03
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   9

    Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.) Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.) Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas Hanif tak tampak. Jangan-jangan bohong, lagi.(Mas, aku di mana, coba.)Ceklis dua telah berganti biru terang. Lama menunggu tak juga ada balasan. Mas Hanif bohong, nih, jangan-jangan.

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-04
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   10

    POV RasyaDasar bocah!Aku menatap sebal pada bunga warna-warni di bawah jok. Dibelikan, bukannya berterima kasih malah ditinggal begitu saja. Aku memungutnya hendak membuang keluar tapi seketika mengurungkan niat saat teringat wajah Ibu yang selalu berseri tiap Bapak membawakannya bunga. Masih segar juga, lebih baik berikan Ibu daripada mubazir. Hitung-hitung, menyenangkan hati orang tua."Buat ibu!" kataku saat menemukannya tengah menonton televisi. Ibu langsung meraih bunga yang kuulurkan dan tersenyum kecil. "Tumben baik," katanya sambil menciumnya lalu meletakkannya di meja. Aku duduk di sampingnya sambil menggelengkan kepala. Memang, buat kebutuhan dia sehari-hari, untuk beli baju, arisan, bayar listrik, uang dari mana coba kalau bukan dari anaknya ini? Ibu memang suka menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya besar. Padahal, itu adalah wujud perhatian anaknya ini meskipun dia bawelnya tak ketulungan."Besok aku tidak mau ngedate lagi bareng bocah itu," kataku sambil meletak

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-05
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   11

    "Sana cepat turun," kata Mas Hanif sambil dengan isyarat matanya memintaku turun.Sebenarnya, malas pagi-pagi harus ke rumah Ibu. Semalam, Ibu terus menghubungi Mama mengingatkan kalau aku harus ke Jakarta mencari gaun bersama Mas Rasya, sekalian membawa Qila karena katanya ia kangen. Aku sudah bilang gaun terserah Ibu saja, tapi Ibu tetap saja ngotot menyuruh datang.Maka, di sinilah aku sekarang, di depan rumah Ibu. Di seberang jalan, perempuan tua itu melambai dengan wajah riang."Mas Hanif, jangan lupa awasi aku, yaa."'Siaap, Putri."Aku melotot. "Awas lho, kalau gak," kataku sambil turun lantas melangkah menuju mobil mertua yang pintunya telah dibuka lebar. Ibu langsung mengulurkan tangan ke arah Qila yang tengah menyusu dalam dot begitu aku duduk di sebelahnya."Nanti kalau susu yang itu habis, susu cadangan ada di tas ini ya, Bu." Aku menyerahkan tas pink bergambar Hello Kitty pada Ibu. Ibu mengangguk."Letakkan di flizer, Bu. Kalau mau diminum, rendam dulu di air hangat botol

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-06
  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   12

    POV RasyaCk. Ck. Ck. Dasar bocah! Aku bersikap masa bodoh melihat matanya yang berkaca-kaca saat Dewa merebut tas tangannya. Buat apa juga tolongin dia, yang ada, teman-teman malah jadi mengejekku nantinya. Sohib-sohibku tahu benar, sejak dulu, temannya ini tak menyukai perempuan manja itu. Tak jarang, aku mengeluh pada mereka kenapa ada orang model Puspita yang begitu manja. Beberapa kali, aku melihat Puspita suap-suapan dengan Rofi di rumah Ibu sambil menggelendot di lengan mediang adikku. Malu, kan, kalau ada tamu? Aku saja yang melihatnya sampai ilfil. Yaa bedalah kalau di kamar, kan? Langsung kusentak napas kesal saat bertemu tatap dengan Bocah itu, wajahnya begitu memohon. Ck ck ck. Jadi orang, kok, tidak ada pintar-pintarnya. Tepis, kek, tangannya Dewa. Bukannya terus diam menatap kakak iparnya dengan pandangan memelas. Entah kelewat bodoh atau apa tuh, Bocah. Tangan buat apa, coba. Pasrah banget seperti bayi. Geram banget ngelihatnya, sumpah. Kok bodoh, gitu, jadi orang."

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-07

Bab terbaru

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   30

    Sejak tadi, aku tak bisa tenang dan begitu gugup. Nanti, kalau saat ML mas Rasya bersikap kasar bagaimana?Aku mondar-mandir di kamar dengan jantung yang terus berdetak kencang. Sesekali menatap Qila yang baru saja tidur di ranjangnya. Di dinding, jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Mas Rasya pasti sebentar lagi pulang. Ya ampuun, bagaimana caranya mengatasi gugup? Saat akan malam pertama dengan Mas Rofi dulu, rasanya tak segugup dan setakut ini.Aku terlonjak saat mendengar bunyi pintu dibuka. Aku langsung membaringkan tubuh di ranjang lalu memejamkan mata dengan dada bergemuruh. Bagaimana ini? Mas Rasya bakal kasar tidak nanti?Aku sungguh takut.Tegang.Juga gugup.Jantungku mengentak-entak kuat sekali, dadaku juga bergemuruh hebat. Keringat dingin terasa di leherku saat mendengar pintu kamar dibuka. Aku menahan napas.Hening.Deg. Deg. Deg. Aku begitu gugup."Pus."Sebaiknya, aku pura-pura tidur saja. Aku begitu tegang. Mungkin lebih baik besok saja melakukannya. Aku belum siap

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   29 B

    Aku mengangguk mantap. "Aku dan Mas Rasya sangat romantis. Mas Rasya pasti akan sangat marah kalau lihat Mas Dewa menggodaku." Langsung kutepis tangannya yang hendak melingkar di bahuku lagi."Tapi Rasya selalu bilang, katanya kamu seperti anak kecil. Cingeng, membuat kepalanya terasa mau meledak."Mas Rasya benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia mengeluhkan semua tentangku pada temannya yang sangat menyebalkan ini?"Brooo!""Gaeees!" Aku langsung menatap ke sumber suara. Tampak lelaki berambut pirang dan berambut cepak berjalan kemari. Di belakang mereka, kulihat Mas Rasya menatap kemari dengan wajah terkejut."Sini, Gaees!" Mas Asep menggeser kursi lalu melambai pada Mas Rasya. Lelaki itu berjalan kemari sambil menatapku seperti harimau kelaparan. Ia duduk persis di hadapanku."Siapa yang sangka jika kreator sekaligus penulis komik itu adalah istrimu, Ras? Istrimu sungguh mengagumkan," kata Mas Dewa sambil menoleh ke arahku, tangannya melingkar di bahuku. Aku melihat reaksi Ma

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   29 A

    "Mau ke mana kamu?!" Mas Rasya yang tengah duduk di sofa menyaksikan televisi langsung menelisik penampilanku saat aku lewat di sampingnya dengan Qila yang terlelap dalam gendongan. "Mau menemui lelaki bernama Adam?" Mas Rasya menatapku dengan pandangan menyelidik. "Aku kan sudah bilang pada Mas Rasya akan dapatkan satu lelaki yang lebih baik dari Mas Rasya di luar sana.""Jadi kamu mau selingkuh?" Ia menatapku kesal."Gak kok, Mas. Tenang aja. Selingkuh itu dosa. Nanti setelah kita cerai baru aku akan melakukannya."Ia menyentak napas. Lalu tangannya menekan tombol renote. Televisi langsung mati.Mas Rasya menatapku tajam. "Jangan main api!"Segera kubuka WA lalu menunjukkan pesan dari sederet nomer belum tersimpan."Ada yang mau adaptasi komikku jadi novel. Juga mau filemin cerita yang kubuat.""Awas saja kalau sampai bermain api lalu membuat bapak masuk rumah sakit."Tanpa mempedulikan ucapannya, aku melangkah cepat keluar rumah. Benar-benar menyebalkan si manusia harimau itu. He

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   28 B

    Terdengar tangisan Qila. Bocah di sampingku langsung beranjak bangun dan menggendong Qila. Ia duduk di tepi ranjang lalu tertawa pada bocah yang tengah menangis itu."Cup, Sayang. Dedek kaget, yaa?"Qila tersenyum, lalu mulai menyusu. Sesekali anak kecil itu berhenti menyusu, bibirnya melekuk senyum lebar.Aku menghela napas. Sabar Rasya. Sabaaar. Kuurut-urut dada."Pok amee-amee, belalang terbang tinggi, kalau gede nanti, Dek Qila jadi pegawai negerii."Qila dalam pangkuannya yang menghadap Bocah itu, tertawa-tawa. Sementara Puspita mengusap sudut matanya."Pok amee-amee, belalang terbang rendaaah, kalau gede nanti, dek Qila jadi pegawai pemerintah."Ia kembali mengusap sudut matanya. Aku menyentak napas berkali-kali. Sabar, Rasyaa.Puspita menoleh padaku, menatapku lekat dengan mata berkaca-kaca. Qila dalam gendongannya di dekapnya erat. Tangan Qila memberontak mencoba melepaskan diri. Akhirnya ia dudukkan Qila di sampingnya, Qila langsung merangkak ke arahku. Aku mengulurkan tangan

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   28 A

    POV RasyaDering HP membuatku perlahan membuka mata, memicingkan mata mencari sumber suara. Kuhela napas panjang saat melihat si Bocah tengah bersandar di dinding dengan rambut terurai berantakan, ia masih mengenakan pakaian tadi, matanya terkatup rapat. Satu tangan menggenggam HP yang menyala terang di pangkuan sementara satunya lagi terkulai di lantai.Aku kembali menyentak napas, berusaha tak menatap ke arah tubuhnya yang terlihat begitu menggoda. Aku memang membencinya tapi aku juga lelaki dewasa. Dasar bocah. Ish. Sepertinya, dia memang sengaja melakukannya. Tingkahnya terlalu nyata. Siapa yang tak tahu kalau sikapnya saja tampak begitu nyata? Mulai dari tiba-tiba mencium sampai mengenakan pakaian seperti itu.Aku yakin, dia bertingkah seperti tadi karena merindukan suaminya itu. Aku juga yakin dia juga pura-pura menelepon, tadi.Aku membuang napas. Membayangkan dia menciumku tapi yang dipikirkannya Rofi, membuatku kesal sendiri. Enak sekali mau jadikan orang pelarian."Pus, pin

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   27

    Bibir Mas Rasya terasa lembut di bibirku, tubuhnya menegang. Dengan jantung mengentak-entak dan dada berdebar hebat, kubuka mata.Mas Rasya menatapku tajam seolah menembus jantungku. Kulepas pelukan lalu melangkah mundur."Maaf," ucapku lirih tanpa berani memandangnya. Ia pasti sedang sangat kesal saat ini. Tak seharusnya kutanggapi ucapan Susi dan Fitri. Mas Rasya pasti berpikir yang tidak-tidak.Cukup lama aku berdiri di hadapan Mas Rasya dan tak juga ada sahutan darinya. Hanya keheningan yang panjang. Jujur, aku merasa sangat malu. Akhirnya, kubalikkan badan lalu melangkah pelan keluar kamar."Mau ke mana kamu?" tanyanya datar."Dapur. Aku mau masak aku sejak tadi belum makan," sahutku gugup sambil menahan luapan rasa malu yang terus menerjang benak."Delivery saja. Aku juga belum makan.""Ada ayam di kulkas. Aku mau masak. Kalau Mas Rasya mau pesan ya pesan saja! Kok, repot!" Aku sendiri pun heran kenapa tiba-tiba begini marah. Mungkin, aku marah karena begitu malu. Ia sama sekal

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   26

    "Ada apa dengan suamimu?" tanya Susi begitu Mas Rasya membalikkan badan dan melangkah pergi. Aku mengedikkan bahu. "Tau, deeh." Memang agak aneh sikap Mas Rasya sejak tadi aku pulang dari pasar. Mungkin, ia begitu tertekan dengan pekerjaannya."Harimaumu ganteng juga," ucap Fitri tanpa berhenti mengunyah."Iya, mirip Rofi kan?" Imbuh Susi, menatapku lalu ganti menatap Fitri yang terus mengunyah burgernya. Fitri mengedikkan bahu. "Mana kutahuu. Kalau Rofi, aku beberapa kali ngeliat pas anter Pus sama Adnan ke sekolah. Yang tadi siii gak pernah. Siapa sih, namanya? Kamu kebangetan deh, yaa, nikah gak undang-undang.""Mas Rasya. Terlihat galak kan diaa? Aku bagai hidup sekandang dengan harimau," sahutku sambil membenarkan posisi Qila dalam gendongan. Bocah bertubuh montok ini mulai memejamkan mata. Aku sedikit mengayunnya dengan lenganku. Bukannya tidak mau bilang pun mengundang mereka. Tapi pernikahan itu juga mendadak, hanya sebulan untuk mempersiapkan semuanya. Aku juga tak ada per

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   25

    Pov RasyaAku mengerutkan kening melihat Bocah di sampingku yang memberikan HP dengan gerakan lelet seperti siput. Dengan wajah dihiasi keraguan. Ish. Apa sih. Seolah bakal kuterkam saja.Aku memicingkan sebelah mata, menatapnya tak sabar. Benar-benar lelet itu Bocah. Lagian kenapa juga pegang-pegang HP-ku segala.“Jangan pernah sentuh HP-ku lagi! Ngerti?” kataku sambil menyambar HP dalam genggamannya. Aku lagi-lagi memicingkan mata melihat wajahnya yang begitu tegang. Yaelah, biasa aja kali. Kusentak napas kuat lalu menyentuh HP-ku, mengernyit saat melihat ada puluhan notif. Biasanya, HP-ku tak pernah dipenuhi banyak notif. Hanya ada satu dua notif saat Ibu membuat status.“Mas Rasya, tolong jaga Qila ya, Mas. Aku mau ke pasar cari nasi uduk juga cari sayuran. Aku mau masak.”Aku mengerutkan kening, menatapnya tak percaya. “Memang bisa?” Tumben.“Bisaaa.”“Pakai bumbu instan?” kataku mengejek. Ia tak menanggapi, hanya langsung mengambil dompet di lemari kemudian tergesa melangk

  • NAIK RANJANG: Nikah Dengan Kakak Ipar   24

    Aku membuka mata sedikit saat mendengar tangisan kencang Qila. Lalu dengan gerakan perlahan beranjak bangun, mengulurkan tangan pada Qila yang terus menangis dalam posisi tengkurap. Terlihat dua bulir air mata di pipinya yang gembul.Aku mengendus. “Duuh, kamu pup, yaa? Puantes anak bunda nangis terus.”Kubawa Qila ke ruang tengah di mana Mas Rasya tengah duduk di sofa menonton acara sepak bola. Aku mengambil tisu basah dari tas bedak di laci dekat televisi lalu memasukkan pempes ke dalam plastik. Jarum jam telah menujukkan 02;30.“Tidak dicebokin?”Aku menoleh. Mas Rasya menatapku dengan kening berkerut.“Ini tisu basah sama saja, Mas.”“Memang bersih?” Ia memicingkan sebelah matanya.“Bersih.”“Harusnya dicebokin. Qila kan bukan bayi satu bulan lagi.”Kucueki saja. Kalau urusan masak memang aku tidak bisa, tapi kalau soal anak, bisalah. Ketika Adnan masih bayi lebih seringnya aku yang mengurus bukannya si baby sitter yang dikerjakan Ibu. Doaku waktu itu, siapa tahu dengan rajin meng

DMCA.com Protection Status