Ingatan Megantara kembali ke kejadian beberapa tahun yang lalu. "Pertunangan anak kita terpaksa dibatalkan," kata Ayah Nalini saat dia sedang berada di kediaman keluarga besar Megantara. "Apa yang terjadi?" tanya Ayah Megantara. Megantara yang baru datang dari kantor ikut bergabung di ruang tamu. Sang ibu juga ikut duduk di sana mendampingi sang ayah."Anakku memilih untuk pergi dari rumah. Pergi ke Swiss mengejar cita-citanya yang omong kosong itu," kata ayah Nalini dengan nada kesal dan marah. "Apa aku harus menyusul kesana untuk membawanya pulang?" tanya Megantara. Ayahnya hampir menyetujui saran dari Megantara. Tapi ditolak mentah-mentah oleh ayah Nalini. "Tidak perlu repot-repot untuk membujuknya. Anak itu sangat keras kepala. Percuma saja. Lagipula aku juga sudah tidak menganggapnya sebagai anakku lagi," kata-kata ayah Nalini begitu frontal. "Undangan pertunangan sudah diedarkan. Jika dibatalkan apakah tidak berbahaya untuk reputasi kita?" Tanya ayah Megantara. "Harusnya
"Pak, Pak Megantara," panggil seseorang membuat Megantara membuka matanya. Dia merentangkan tubuhnya yang begitu pegal dan kaku. Lalu mencoba duduk. Semalaman dia enggan pulang ke rumah. Tidurpun sulit. Dia hanya merenung di dalam ruangan kantornya kemudian secara tak sengaja tertidur saking lelahnya. Dia melirik arloji yang masih melingkar di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul setengah sembilan. Oh sudah kesiangan rupanya. Megantara menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. "Maafkan saya karena lancang membangunkan Anda tuan," kata kepala chef sambil membungkuk."Tidak masalah. Aku justru harus berterima kasih karena jika kau tidak kemari maka aku akan terlambat menyelesaikan agenda kerjaku hari ini," Megantara melepas dasinya. Sepertinya setelah ini dia harus mandi. "Tuan, ada yang ingin saya bicarakan," kata kepala Chef dengan penuh kehati-hatian. Megantara mengerutkan alis. Dia juga heran sepagi ini kepala chef sudah datang menemuinya. "Ada apa?" Tanya Megantara
"Apa maksudmu? Kau ingin pergi kemana?" Balas sang ibu dari seberang. "Ke sebuah tempat. Ibu tidak perlu tau. Dan kali ini ibu tidak perlu membantuku lagi. Aku akan berusaha untuk diriku sendiri. Ibu tidak perlu khawatir," kata Nalini sambil menahan tangis. "Nak, ayo kita bertemu. Kau dimana sekarang?" tanya sang ibu. "Aku harus pergi sekarang, Bu. Maaf tidak bisa menemuimu. Akan semakin sulit bagiku untuk pergi jika aku bertemu denganmu. Maafkan aku, Bu. Tak pernah bisa jadi anak yang baik untuk ibu," kata Nalini. "Siapa yang mengatakan bahwa kau bukan anak baik? Kau anak baik. Kau anak kebanggaanku," jawab ibu. Nalini menggeleng meskipun sang ibu tak bisa melihatnya, "Aku anak pembangkang. Tidak pernah menuruti perintah ibu dan ayah. Maafkan aku."Nalini buru-buru menutup telepon karena dia sudah tak sanggup untuk menahan tangisannya. Isak tangisnya kini tumpah. Dia tak bisa membendung lagi genangan air di pelupuk matanya. Dia tak peduli jika supir taksi melirik dari kaca spion
Yang bisa Megantara lakukan saat ini adalah merengkuh gadis kecilnya ke dalam pelukannya. "Maafkan ayah, Nak," bisik Megantara. Sivia melepaskan pelukan sang ayah dan menatap sang ayah, "Ayah, berbaikanlah dengan Bu Nalini. Jangan terlalu lama saling marahnya. Jika Bu Nalini marah karena kesalahan ayah, ayah harus meminta maaf. Jangan hanya diam saja seperti sekarang."Megantara menghela napas. Jika kesalahan terletak padanya, sudah pasti dia akan meminta maaf. Tapi ini kesalahan Nalini. Dan hatinya sudah terlanjur kecewa. Selama ini Nalini tidak pernah terbuka mengenai keluarganya dan ketika semua sudah terbongkar, rasanya begitu menyakitkan. Sivia masih terus menangisi kepergian Nalini. Dia sampai belum bisa dibujuk untuk makan. Megantara sampai hilang kesabaran. Dia memutuskan untuk meninggalkan Sivia di dalam kamar. Berjalan menuruni tangga dan melihat sang ibu sedang berjalan mondar mandir di bawah tangga. "Megantara, ibu ingin bicara," kata ibu. "Apa yang ingin ibu bicarak
"Kemana dia pergi?" tanya Megantara. "Kami disini tidak ada yang tau kemana Nalini akan pergi. Dia merahasiakannya dari kami," jawab Bu Rini. Megantara merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Nalini tapi nihil. Nomor yang dituju tidak aktif. "Kau mencoba menelponnya? Percuma saja," kata Mela dengan nada sinis. "Pak, saya harap bapak bisa mencari dan menemukannya, dia tidak punya tujuan atau keluarga yang bisa dituju. Anda pasti tau sendiri jika orangtuanya sudah tidak menginginkan keberadaannya bukan?" Kata Noni. "Dimana aku harus mencarinya?" Megantara memijat pelipisnya. "Anda punya harta. Anda punya kuasa. Seharusnya ini tidak akan sulit bagi Anda," jawab Mela. "Tapi dia memutuskan sendiri untuk pergi tanpa memberikan penjelasan apapun," sisi egois dan angkuh dalam diri Megantara masih muncul."Lalu kau akan diam saja?" Tanya Bu Rini. "Kita tunggu saja seberapa kuat dia bersembunyi dan menyiksa dirinya," kata Megantara mencoba tenang. Megantara hendak berjalan pula
Pemilik restoran terperangah, "Kau harus bekerja disini. Mulai hari ini." Masakan Nalini benar-benar nikmat. Tidak salah jika dia lulusan sekolah luar negeri. Pemilik restoran optimis bahwa restoran akan banyak pengunjung jika makanan seenak ini dihidangkan. Pasti pengunjung juga tidak akan protes jika dia mematok harga yang mahal. "Baik, Pak. Saya akan bekerja keras," Nalini sangat lega karena saat ini dia mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya. Pemilik restoran melanjutkan makannya dengan lahap. Dia seperti menemukan keajaiban yang jatuh dari langit. Sungguh sangat disayangkan bahwa koki sehebat Nalini bisa terdampar di tempat ini. Tapi ini sebuah keberuntungan yang patut disyukuri. Barangkali setelah adanya Nalini mampu merubah kondisi disini dan meningkatkan jumlah pengunjung di tempat wisata ini. "Pak, maaf kalau boleh tau siapa nama Bapak?" tanya Nalini. "Haris. Panggil aku Pak. Atau mas juga boleh jika itu membuat kau bisa lebih nyaman bekerja di si
Megantara menggeleng sebagai respon dari pertanyaan ibu Nalini. Ibu Megantara yang penasaranpun ikut bertanya, "Memangnya apa perbedaanya?""Jika dahulu dia pergi karena merasa yakin dengan tekadnya untuk menggapai impiannya, maka kali ini berbeda. Dia pergi karena sudah merasa putus asa. Dan aku merasa ikut bersalah atas apa yang menimpa kedua anakku," ibu Nalini kini tak bisa membendung air matanya lagi. Ibu Megantara mencoba menenangkan dengan menggeser kursinya dan memeluk ibu Nalini dari samping. "Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Anda jangan berkecil hati. Anda pasti sudah berusaha," kata ibu Megantara memberikan semangat pada ibu Nalini. "Nak Megantara, bisakah kau membantuku mencari keberadaan Nalini? Aku sangat tau dalam hal ini Nalini banyak melakukan kesalahan padamu. Tapi tolong bicarakan hal ini baik-baik dengannya. Segala keputusan nantinya tergantung kalian berdua. Aku sebagai orangtua tidak akan ikut campur lagi. Dan aku akan berupaya ag
Sejak hari dimana Megantara memutuskan untuk mengambil tindakan, Megantara menyuruh orang untuk mencari dimana keberadaan Nalini. Sudah beberapa minggu namun tak kunjung mendapatkan hasil. Nalini seperti hilang di telan bumi. Tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk kemana perginya Nalini. Megantara frustasi. Sejak kepergian Nalini, hidupnya kacau. Dia sering pergi minum-minum. Selalu bersikap keras di tempat kerja. Banyak keputusan gegabah yang ia ambil jika itu mengenai pekerjaan karena kurangnya fokus. Beruntungnya dia memiliki sahabat seperti Niko yang selalu mendukungnya terutama masalah pekerjaan. Jadi jika tingkah Megantara menimbulkan masalah, Niko yang akan menyelesaikannya. Lalu bagaimana dengan Sivia? Hidupnya mungkin baik-baik saja. Dia sudah mau menjalani aktivitas sehari-harinya dengan normal. Tapi ada bagian dalam diri Sivia yang hilang, yakni senyum cerianya. Tertawanya. Yang ada hanya ekspresi datar, senyum tipis yang dipaksakan dan tangisan pilu yang ditunjukkan pada