"Apa maksudmu? Kau ingin pergi kemana?" Balas sang ibu dari seberang. "Ke sebuah tempat. Ibu tidak perlu tau. Dan kali ini ibu tidak perlu membantuku lagi. Aku akan berusaha untuk diriku sendiri. Ibu tidak perlu khawatir," kata Nalini sambil menahan tangis. "Nak, ayo kita bertemu. Kau dimana sekarang?" tanya sang ibu. "Aku harus pergi sekarang, Bu. Maaf tidak bisa menemuimu. Akan semakin sulit bagiku untuk pergi jika aku bertemu denganmu. Maafkan aku, Bu. Tak pernah bisa jadi anak yang baik untuk ibu," kata Nalini. "Siapa yang mengatakan bahwa kau bukan anak baik? Kau anak baik. Kau anak kebanggaanku," jawab ibu. Nalini menggeleng meskipun sang ibu tak bisa melihatnya, "Aku anak pembangkang. Tidak pernah menuruti perintah ibu dan ayah. Maafkan aku."Nalini buru-buru menutup telepon karena dia sudah tak sanggup untuk menahan tangisannya. Isak tangisnya kini tumpah. Dia tak bisa membendung lagi genangan air di pelupuk matanya. Dia tak peduli jika supir taksi melirik dari kaca spion
Yang bisa Megantara lakukan saat ini adalah merengkuh gadis kecilnya ke dalam pelukannya. "Maafkan ayah, Nak," bisik Megantara. Sivia melepaskan pelukan sang ayah dan menatap sang ayah, "Ayah, berbaikanlah dengan Bu Nalini. Jangan terlalu lama saling marahnya. Jika Bu Nalini marah karena kesalahan ayah, ayah harus meminta maaf. Jangan hanya diam saja seperti sekarang."Megantara menghela napas. Jika kesalahan terletak padanya, sudah pasti dia akan meminta maaf. Tapi ini kesalahan Nalini. Dan hatinya sudah terlanjur kecewa. Selama ini Nalini tidak pernah terbuka mengenai keluarganya dan ketika semua sudah terbongkar, rasanya begitu menyakitkan. Sivia masih terus menangisi kepergian Nalini. Dia sampai belum bisa dibujuk untuk makan. Megantara sampai hilang kesabaran. Dia memutuskan untuk meninggalkan Sivia di dalam kamar. Berjalan menuruni tangga dan melihat sang ibu sedang berjalan mondar mandir di bawah tangga. "Megantara, ibu ingin bicara," kata ibu. "Apa yang ingin ibu bicarak
"Kemana dia pergi?" tanya Megantara. "Kami disini tidak ada yang tau kemana Nalini akan pergi. Dia merahasiakannya dari kami," jawab Bu Rini. Megantara merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Nalini tapi nihil. Nomor yang dituju tidak aktif. "Kau mencoba menelponnya? Percuma saja," kata Mela dengan nada sinis. "Pak, saya harap bapak bisa mencari dan menemukannya, dia tidak punya tujuan atau keluarga yang bisa dituju. Anda pasti tau sendiri jika orangtuanya sudah tidak menginginkan keberadaannya bukan?" Kata Noni. "Dimana aku harus mencarinya?" Megantara memijat pelipisnya. "Anda punya harta. Anda punya kuasa. Seharusnya ini tidak akan sulit bagi Anda," jawab Mela. "Tapi dia memutuskan sendiri untuk pergi tanpa memberikan penjelasan apapun," sisi egois dan angkuh dalam diri Megantara masih muncul."Lalu kau akan diam saja?" Tanya Bu Rini. "Kita tunggu saja seberapa kuat dia bersembunyi dan menyiksa dirinya," kata Megantara mencoba tenang. Megantara hendak berjalan pula
Pemilik restoran terperangah, "Kau harus bekerja disini. Mulai hari ini." Masakan Nalini benar-benar nikmat. Tidak salah jika dia lulusan sekolah luar negeri. Pemilik restoran optimis bahwa restoran akan banyak pengunjung jika makanan seenak ini dihidangkan. Pasti pengunjung juga tidak akan protes jika dia mematok harga yang mahal. "Baik, Pak. Saya akan bekerja keras," Nalini sangat lega karena saat ini dia mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya. Pemilik restoran melanjutkan makannya dengan lahap. Dia seperti menemukan keajaiban yang jatuh dari langit. Sungguh sangat disayangkan bahwa koki sehebat Nalini bisa terdampar di tempat ini. Tapi ini sebuah keberuntungan yang patut disyukuri. Barangkali setelah adanya Nalini mampu merubah kondisi disini dan meningkatkan jumlah pengunjung di tempat wisata ini. "Pak, maaf kalau boleh tau siapa nama Bapak?" tanya Nalini. "Haris. Panggil aku Pak. Atau mas juga boleh jika itu membuat kau bisa lebih nyaman bekerja di si
Megantara menggeleng sebagai respon dari pertanyaan ibu Nalini. Ibu Megantara yang penasaranpun ikut bertanya, "Memangnya apa perbedaanya?""Jika dahulu dia pergi karena merasa yakin dengan tekadnya untuk menggapai impiannya, maka kali ini berbeda. Dia pergi karena sudah merasa putus asa. Dan aku merasa ikut bersalah atas apa yang menimpa kedua anakku," ibu Nalini kini tak bisa membendung air matanya lagi. Ibu Megantara mencoba menenangkan dengan menggeser kursinya dan memeluk ibu Nalini dari samping. "Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Anda jangan berkecil hati. Anda pasti sudah berusaha," kata ibu Megantara memberikan semangat pada ibu Nalini. "Nak Megantara, bisakah kau membantuku mencari keberadaan Nalini? Aku sangat tau dalam hal ini Nalini banyak melakukan kesalahan padamu. Tapi tolong bicarakan hal ini baik-baik dengannya. Segala keputusan nantinya tergantung kalian berdua. Aku sebagai orangtua tidak akan ikut campur lagi. Dan aku akan berupaya ag
Sejak hari dimana Megantara memutuskan untuk mengambil tindakan, Megantara menyuruh orang untuk mencari dimana keberadaan Nalini. Sudah beberapa minggu namun tak kunjung mendapatkan hasil. Nalini seperti hilang di telan bumi. Tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk kemana perginya Nalini. Megantara frustasi. Sejak kepergian Nalini, hidupnya kacau. Dia sering pergi minum-minum. Selalu bersikap keras di tempat kerja. Banyak keputusan gegabah yang ia ambil jika itu mengenai pekerjaan karena kurangnya fokus. Beruntungnya dia memiliki sahabat seperti Niko yang selalu mendukungnya terutama masalah pekerjaan. Jadi jika tingkah Megantara menimbulkan masalah, Niko yang akan menyelesaikannya. Lalu bagaimana dengan Sivia? Hidupnya mungkin baik-baik saja. Dia sudah mau menjalani aktivitas sehari-harinya dengan normal. Tapi ada bagian dalam diri Sivia yang hilang, yakni senyum cerianya. Tertawanya. Yang ada hanya ekspresi datar, senyum tipis yang dipaksakan dan tangisan pilu yang ditunjukkan pada
Sivia masih duduk di kursi penumpang dengan wajah yang ditekuk. Dia diam tak bicara apa-apa. Tapi sang ayah bisa memahami jika sang anak sedang kesal. "Maafkan ayah, Nak. Pekerjaan ini harus ayah yang turun tangan sendiri. Andaikan ayah bisa melimpahkan pada oranglain, pasti akan ayah lakukan," kata Megantara merasa bersalah. Dia baru saja mengatakan pada Sivia bahwa pagi ini Megantara harus langsung terbang ke Jogjakarta untuk memenuhi undangan meeting dari rekan bisnisnya. "Aku tidak apa-apa. Ayah pergi saja," kata Sivia dengan nada datar. "Kau bilang begitu tapi wajahmu mengatakan sebaliknya," ledek sang ayah. Mencoba bergurau tapi tak mempan. Anaknya tetap murung. "Kau ingin oleh-oleh apa?" Tanya ayahnya lagi. Sivia diam sejenak lalu menjawab, "Sesungguhnya kau tau apa yang aku inginkan saat ini ayah."Megantara tertegun. Dia sangat tau. Gadis kecilnya yang cantik itu merindukan sosok Nalini. "Maafkan ayah. Belum bisa memenuhi keinginanmu itu. Tapi ayah berjanji akan terus m
"Masakan di restoran ini enak sekali. Bolehkah aku bertatap muka dengan chefnya. Aku ingin tau sejauh mana pengalamannya menjadi koki," kata Megantara berkomentar. Masakan yang ia makan memiliki cita rasa seperti masakan Nalini. Bukan seperti lagi. Sudah jelas-jelas ini adalah masakan Nalini. Megantara bisa merasakan dengan lidahnya rasa dari masakan ini. Tidak ada yang bisa seperti ini kecuali Nalini. "Waw. Anda pengamat makanan juga rupanya. Mengapa saya memesan meja di restoran ini karena restotan ini masih tergolong baru tapi kualitas masakannya tidak bisa diragukan. Seperti masakan chef profesional lulusan luar negeri," jawab rekan bisnis Megantara. "Aku berharap nanti saat hotel di sini sudah beroperasi, kita bida menemukan chef yang handal untuk mengelola restoran hotel," kata Megantara lagi. Berbasa basi. Rekan bisnis Megantara yang satunya melambaikan tangan ke arah pelayan dan pelayan langsung menghampiri tamu VIP restoran malam ini. "Bisakah kau memanggilkan koki yang
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela