Nalini berbalik. Melihat Megantara menatapnya dengan tatapan tajam membuat nyali Nalini menciut. Nalini mematung di tempatnya. Lidahnya kelu tak bisa berkata apa-apa. Dia tak bisa berkutik atau melangkah dari tempatnya."Ternyata kau ada di sini," gumam Megantara. Megantara baju selangkah. Nalini bersandar pada bagasi mobil. Tak bisa kemana-kemana. Megantara menarik tangan Nalini dengan kasar, "Kau pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Apakah kau senang?"Nalini takut dengan perlakuan Megantara saat ini. Pria itu dipenuhi emosi. Nalini tau ini semua kesalahannya. Tapi dia belum siap menghadapi Megantara. "Lepaskan," cengkraman Megantara terlalu keras. Mungkin jika dilepaskan akan meninggalkan jejak dari buku jari Megantara. "Tidakkah kau tau perasaan orang-orang yang kau tinggalkan? Kau tidak penasaran bagaimana perasaanku? Kau tidak tau sebesar apa luka yang kau torehkan akibat ulahmu," Megantara masih mencecar Nalini dengan kalimat penuh penekanan. "Aku tau ini semua salahku.
Sivia sedang menangis di dalam kamarnya. Nenek dan Kakeknya ikut berada di dalam kamar. Sedang menginterogasi apa yang sebenarnya terjadi. Tadi sebelum jam sekolah berakhir, sang nenek sudah ditelepon oleh pihak sekolah karena terjadi insiden perkelahian Sivia dengan salah satu temannya. Mereka saling menjambak rambut dan adu mulut. Kedua pihak keluarga didatangkan untuk proses damai. Tapi kedua anak tersebut justru bungkam dengan penyebab yang membuat mereka berdua berkelahi. Dua gadis kecil yang bertengkar itu hanya bisa menangis saat keluarga mereka menjemput. Sampai akhirnya kedua pihak keluarga tidak ada yang mempermasalahkan lebih jauh namun akan saling melakukan introspeksi diri mengapa gadis sekecil mereka sudah bisa berkelahi. "Sivia, sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan temanmu? Mengapa kalian sampai berkelahi? Ayah, kakek dan nenekmu tidak pernah mengajarimu bertindak kasar," tanya nenek dengan pertanyaan yang sudah ia lontarkan berkali-kali pada Sivia. "Jawab pert
Setelah menghabiskan waktu cukup lama di toilet diskotik karwna rasa mualnya, Starla keluar dari toilet dan mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok Megantara diantara keramaian. Radar di hatinyalah yang bekerja sehingga dengan sangat mudah dia bisa mengenali sosok pria idamannya itu walaupun hanya dari punggungnya saja. "Kak Tara," sapa Starla saat dia sudah duduk di samping Megantara. Sejak tadi banyak gadis nakal yang mendekati Megantara tetapi Megantara selalu meminta gadis tersebut untuk pergj menjauhinya. Tapi tentu saja itu tidak berlaku untuk Starla. Megantara hanya membalas sapaan Starla dengan senyum tipis. Sebesar apapun keinginannya untuk sendirian, dia tidak mungkin mengusir keberadaan adik dari sahabatnya itu. "Sedang apa kak Tara disini sendiri? Biasanya bersama kakakku?" tanya Starla berpura-pura terkejut dengan pertemuan mereka. "Dia tidak menjawab teleponku. Lagipula aku sedang ingin sendiri. kau sedang apa? Gadis kecil tidak baik berada di tempat ini sendiri,
Megantara merenung di ruang kerjanya. Seharian ini dia sama sekali tidak keluar dari ruangannya. Tidak pergi kemana-kemana. Tidak berkomunikasi dengan siapapun di hotel. Pikirannya entah kemana. Yang jelas dia sedang diliputi penyesalan karena memutuskan untuk mabuk tadi malam. Jika dia diberi kesempatan untuk menyebutkan satu permintaan yang ingin dikabulkan, maka dia akan menyebutkan bahwa dia ingin waktu bisa diputar kembali sebelum kejadian dia mabuk dan menodai Starla. Megantara takut jika terjadi resiko berkepanjangan. Starla pasti tidak akan melepaskannya begitu saja setelah apa yang ia lakukan. Perempuan itu pasti akan menempel padanya dan menganggap bahwa dia sudah sepenuhnya bisa memiliki Megantara. Padahal ini sebuah kesalahan. Kesalahan karena ketidaksengajaan dan ketidaksadaran. Batin Megantara memberontak. Ini semua karena Nalini. Jika gadis itu tidak membuatnya pusing, marah dan sakit hati. Dia tidak akan gegabah dan menghabiskan waktu untuk hal yang tidak penting se
"Saya hendak kembali ke dapur, Pak. Tidak ingin pergi kemana-mana," jawab Nalini saat ia bisa mengatur napasnya setelah terkejut karena munculnya Haris yang tiba-tiba. "Bukan itu maksudku. Aku tidak ingin kau pindah kerja meskipun banyak tawaran menggiurkan yang datang padamu," kata Haris dengan jujur. Nalini tersenyum, "Anda tidak perlu khawatir, Pak. Saya sudah sangat nyaman bekerja di sini." "Kau tidak ada rencana untuk kembali ke Jakarta? Kembali ke tempat asalmu?" tanya Haris. Dia tau pertanyaan ini akan sulit untuk Nalini jawab. "Saya belum tau. Tapi sepertinya tidak. Saya sudah memutuskan untuk memulai kembali hidup saya sendiri di sini. Jadi akan sangat sulit bagi saya untuk kembali ke sana," jawab Nalini ragu. "Kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya," kata Haris memastikan. "Ya. Anda benar," kata Nalini dengan senyum kakunya. Nalini ragu dengan jawabannya sendiri. Andaikan keadaan sudah membaik, bisakah dia kembali ke Jakarta? Membaik? Apa mungkin waktu akan me
Megantara melihat alat tes kehamilan dengan tanda bergaris dua. Dia menatap Starla dengan tidak percaya. "Selamat. Kau akan menjadi seorang ayah dari anakku. Sivia akan segera memiliki teman," kata Starla bersemangat. Kepala Megantara terasa pening mendadak, "Mana mungkin kau bisa hamil. Aku tidak mengingat apapun. Lagipula jika malam itu terjadi sesuatu, itu hanya satu kali.""Kembali aku ingatkan padamu bahwa itulah yang terjadi dengan mendiang istrimu. Jadi kemungkinan hamil walaupun disetubuhi satu kali juga bisa berlaku untuk perempuan lain termasuk aku," Starla tetap ngotot. "Aku akan melakukan tes DNA pada janinmu," kata Megantara dengan tegas. Starla melancarkan aksi dengan mengeluarkan air matanya, "Kau tidak percaya padaku? Apakah serendah itu aku dimatamu sehingga kau mencurigaiku berhubungan dengan pria lain padahal kau tau sendiri bahwa selama ini aku mencintaimu."Megantara kehabisan kata-kata. Jika Starla jujur maka dia bisa apa. Dia pria dewasa yang harus siap mena
Sivia berjalan sambil menundukkan badan. Malam ini dia diajak oleh ayah beserta anggota keluarga lain untuk makan malam bersama di restoran. Megantara belum mengatakan pada Sivia tentang rencana pernikahannya dengan Starla. Megantara merasa tak tega dan tak tau harus merangkai kalimat seperti apa agar Sivia bisa menerima keputusannya. Keluarga Megantara datang lebih dulu. Tapi tak lama kemudian keluarga Starla juga datang. Starla langsung menggamit lengan Megantara. Megantara yang risih langsung memberikan isyarat pada Starla untuk menjaga sikap di hadapan Sivia. Starla langsung menoleh pada Sivia yang memandangnya dengan tatapan tak suka. "Hai Sivia. Kita bertemu lagi. Kau mau duduk di sampingku?" Tanya Starla mencoba berbasa-basi. "Tidak. Aku ingin ada di sebelah ayah dan nenekku," jawab Sivia tegas. Starla langsung berdiri kikuk. Dia belum bisa menaklukkan hati gadis kecil yang akan menjadi anak sambungnya. Kedua keluarga besar memulai makan mereka. Obrolan diawali oleh ayah S
Megantara sedang mengaduk-aduk mangkuk berisi mie instan di depannya. Kini dia sedang berada di kantin pegawai. Sebuah fenomena langka karena Megantara hampir tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Dia lebih sering meminta dibawakan makanan dari restoran. Tapi kali ini dia butuh keramaian. Tidak ingin sendiri. Nikopun menemaninya. Setelah insiden pemukulan Megantara oleh Niko tempo hari, hubungan mereka tetap baik-baik saja. Megantara menyadari bahwa dirinyalah yang salah karena sudah lancang menodai adik dari sahabatnya. Nikopun berbuat nekat seperti itu karena perasaan kecewanya. "Kau benar-benar tidak akan berubah pikiran?" tanya Niko tiba-tiba. Megantara menghentikan kegiatannya dan menatap sahabatnya, "Berubah pikiran bagaimana?" "Pernikahanmu dengan adikku, apakah kau sudah yakin?" tanya Niko lagi. "Jika aku tidak yakin lalu membatalkannya, bagaimana dengan adikmu? Apa kau tidak akan marah padaku karena menyakiti adikmu?" Megantara justru balik bertanya. Niko terlihat bin
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela