"Masakan di restoran ini enak sekali. Bolehkah aku bertatap muka dengan chefnya. Aku ingin tau sejauh mana pengalamannya menjadi koki," kata Megantara berkomentar. Masakan yang ia makan memiliki cita rasa seperti masakan Nalini. Bukan seperti lagi. Sudah jelas-jelas ini adalah masakan Nalini. Megantara bisa merasakan dengan lidahnya rasa dari masakan ini. Tidak ada yang bisa seperti ini kecuali Nalini. "Waw. Anda pengamat makanan juga rupanya. Mengapa saya memesan meja di restoran ini karena restotan ini masih tergolong baru tapi kualitas masakannya tidak bisa diragukan. Seperti masakan chef profesional lulusan luar negeri," jawab rekan bisnis Megantara. "Aku berharap nanti saat hotel di sini sudah beroperasi, kita bida menemukan chef yang handal untuk mengelola restoran hotel," kata Megantara lagi. Berbasa basi. Rekan bisnis Megantara yang satunya melambaikan tangan ke arah pelayan dan pelayan langsung menghampiri tamu VIP restoran malam ini. "Bisakah kau memanggilkan koki yang
Nalini berbalik. Melihat Megantara menatapnya dengan tatapan tajam membuat nyali Nalini menciut. Nalini mematung di tempatnya. Lidahnya kelu tak bisa berkata apa-apa. Dia tak bisa berkutik atau melangkah dari tempatnya."Ternyata kau ada di sini," gumam Megantara. Megantara baju selangkah. Nalini bersandar pada bagasi mobil. Tak bisa kemana-kemana. Megantara menarik tangan Nalini dengan kasar, "Kau pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Apakah kau senang?"Nalini takut dengan perlakuan Megantara saat ini. Pria itu dipenuhi emosi. Nalini tau ini semua kesalahannya. Tapi dia belum siap menghadapi Megantara. "Lepaskan," cengkraman Megantara terlalu keras. Mungkin jika dilepaskan akan meninggalkan jejak dari buku jari Megantara. "Tidakkah kau tau perasaan orang-orang yang kau tinggalkan? Kau tidak penasaran bagaimana perasaanku? Kau tidak tau sebesar apa luka yang kau torehkan akibat ulahmu," Megantara masih mencecar Nalini dengan kalimat penuh penekanan. "Aku tau ini semua salahku.
Sivia sedang menangis di dalam kamarnya. Nenek dan Kakeknya ikut berada di dalam kamar. Sedang menginterogasi apa yang sebenarnya terjadi. Tadi sebelum jam sekolah berakhir, sang nenek sudah ditelepon oleh pihak sekolah karena terjadi insiden perkelahian Sivia dengan salah satu temannya. Mereka saling menjambak rambut dan adu mulut. Kedua pihak keluarga didatangkan untuk proses damai. Tapi kedua anak tersebut justru bungkam dengan penyebab yang membuat mereka berdua berkelahi. Dua gadis kecil yang bertengkar itu hanya bisa menangis saat keluarga mereka menjemput. Sampai akhirnya kedua pihak keluarga tidak ada yang mempermasalahkan lebih jauh namun akan saling melakukan introspeksi diri mengapa gadis sekecil mereka sudah bisa berkelahi. "Sivia, sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan temanmu? Mengapa kalian sampai berkelahi? Ayah, kakek dan nenekmu tidak pernah mengajarimu bertindak kasar," tanya nenek dengan pertanyaan yang sudah ia lontarkan berkali-kali pada Sivia. "Jawab pert
Setelah menghabiskan waktu cukup lama di toilet diskotik karwna rasa mualnya, Starla keluar dari toilet dan mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok Megantara diantara keramaian. Radar di hatinyalah yang bekerja sehingga dengan sangat mudah dia bisa mengenali sosok pria idamannya itu walaupun hanya dari punggungnya saja. "Kak Tara," sapa Starla saat dia sudah duduk di samping Megantara. Sejak tadi banyak gadis nakal yang mendekati Megantara tetapi Megantara selalu meminta gadis tersebut untuk pergj menjauhinya. Tapi tentu saja itu tidak berlaku untuk Starla. Megantara hanya membalas sapaan Starla dengan senyum tipis. Sebesar apapun keinginannya untuk sendirian, dia tidak mungkin mengusir keberadaan adik dari sahabatnya itu. "Sedang apa kak Tara disini sendiri? Biasanya bersama kakakku?" tanya Starla berpura-pura terkejut dengan pertemuan mereka. "Dia tidak menjawab teleponku. Lagipula aku sedang ingin sendiri. kau sedang apa? Gadis kecil tidak baik berada di tempat ini sendiri,
Megantara merenung di ruang kerjanya. Seharian ini dia sama sekali tidak keluar dari ruangannya. Tidak pergi kemana-kemana. Tidak berkomunikasi dengan siapapun di hotel. Pikirannya entah kemana. Yang jelas dia sedang diliputi penyesalan karena memutuskan untuk mabuk tadi malam. Jika dia diberi kesempatan untuk menyebutkan satu permintaan yang ingin dikabulkan, maka dia akan menyebutkan bahwa dia ingin waktu bisa diputar kembali sebelum kejadian dia mabuk dan menodai Starla. Megantara takut jika terjadi resiko berkepanjangan. Starla pasti tidak akan melepaskannya begitu saja setelah apa yang ia lakukan. Perempuan itu pasti akan menempel padanya dan menganggap bahwa dia sudah sepenuhnya bisa memiliki Megantara. Padahal ini sebuah kesalahan. Kesalahan karena ketidaksengajaan dan ketidaksadaran. Batin Megantara memberontak. Ini semua karena Nalini. Jika gadis itu tidak membuatnya pusing, marah dan sakit hati. Dia tidak akan gegabah dan menghabiskan waktu untuk hal yang tidak penting se
"Saya hendak kembali ke dapur, Pak. Tidak ingin pergi kemana-mana," jawab Nalini saat ia bisa mengatur napasnya setelah terkejut karena munculnya Haris yang tiba-tiba. "Bukan itu maksudku. Aku tidak ingin kau pindah kerja meskipun banyak tawaran menggiurkan yang datang padamu," kata Haris dengan jujur. Nalini tersenyum, "Anda tidak perlu khawatir, Pak. Saya sudah sangat nyaman bekerja di sini." "Kau tidak ada rencana untuk kembali ke Jakarta? Kembali ke tempat asalmu?" tanya Haris. Dia tau pertanyaan ini akan sulit untuk Nalini jawab. "Saya belum tau. Tapi sepertinya tidak. Saya sudah memutuskan untuk memulai kembali hidup saya sendiri di sini. Jadi akan sangat sulit bagi saya untuk kembali ke sana," jawab Nalini ragu. "Kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya," kata Haris memastikan. "Ya. Anda benar," kata Nalini dengan senyum kakunya. Nalini ragu dengan jawabannya sendiri. Andaikan keadaan sudah membaik, bisakah dia kembali ke Jakarta? Membaik? Apa mungkin waktu akan me
Megantara melihat alat tes kehamilan dengan tanda bergaris dua. Dia menatap Starla dengan tidak percaya. "Selamat. Kau akan menjadi seorang ayah dari anakku. Sivia akan segera memiliki teman," kata Starla bersemangat. Kepala Megantara terasa pening mendadak, "Mana mungkin kau bisa hamil. Aku tidak mengingat apapun. Lagipula jika malam itu terjadi sesuatu, itu hanya satu kali.""Kembali aku ingatkan padamu bahwa itulah yang terjadi dengan mendiang istrimu. Jadi kemungkinan hamil walaupun disetubuhi satu kali juga bisa berlaku untuk perempuan lain termasuk aku," Starla tetap ngotot. "Aku akan melakukan tes DNA pada janinmu," kata Megantara dengan tegas. Starla melancarkan aksi dengan mengeluarkan air matanya, "Kau tidak percaya padaku? Apakah serendah itu aku dimatamu sehingga kau mencurigaiku berhubungan dengan pria lain padahal kau tau sendiri bahwa selama ini aku mencintaimu."Megantara kehabisan kata-kata. Jika Starla jujur maka dia bisa apa. Dia pria dewasa yang harus siap mena
Sivia berjalan sambil menundukkan badan. Malam ini dia diajak oleh ayah beserta anggota keluarga lain untuk makan malam bersama di restoran. Megantara belum mengatakan pada Sivia tentang rencana pernikahannya dengan Starla. Megantara merasa tak tega dan tak tau harus merangkai kalimat seperti apa agar Sivia bisa menerima keputusannya. Keluarga Megantara datang lebih dulu. Tapi tak lama kemudian keluarga Starla juga datang. Starla langsung menggamit lengan Megantara. Megantara yang risih langsung memberikan isyarat pada Starla untuk menjaga sikap di hadapan Sivia. Starla langsung menoleh pada Sivia yang memandangnya dengan tatapan tak suka. "Hai Sivia. Kita bertemu lagi. Kau mau duduk di sampingku?" Tanya Starla mencoba berbasa-basi. "Tidak. Aku ingin ada di sebelah ayah dan nenekku," jawab Sivia tegas. Starla langsung berdiri kikuk. Dia belum bisa menaklukkan hati gadis kecil yang akan menjadi anak sambungnya. Kedua keluarga besar memulai makan mereka. Obrolan diawali oleh ayah S