"Semua chef dan asisten chef, saya mengumpulkan kalian di sini karena ingin mengumumkan sesuatu," kata Kepala Chef di hadapan para pegawainya. Semua mendengarkan dengan seksama termasuk Nalini."Malam ini akan ada perjamuan rekan bisnis Pak Megantara dari luar negeri di restoran ini. Kita ditugaskan untuk menyiapkan hidangan yang super super istimewa untuk menjamu para tamu. Ini sebenarnya bukanlah sebuah kompetisi, tapi bagi koki yang menarik perhatian tamu istimewa kita pasti akan mendapatkan hadiah yang sangat istimewa dan menguntungkan," terang Kepala Koki. Semua antusias dan semangat serta bersorak mendengar pengumuman yang disampaikan kepala koki. "Saya sudah memilih tiga orang koki yang akan mengkoordinasi timnya. Saya memilih berdasarkan kinerja kalian dalam satu bulan terakhir ini dan testimoni dari pelanggan. Koki yang bertugas mengurus menu appetizer adalah Vero, menu main course saya percayakan pada Robert, dan Nalini bertugas mengurus dessert. Silakan siapkan masing-mas
"Dimana Nalini?" tanya Megantara saat dia sudah memasuki restoran hotelnya. Saat ini dia benar-benar sudah geram dan harus bertemu dengan Nalini. Semua pegawai terlihat ketakutan melihat ekspresi marah sang bos. Ini seperti situasi gawat. Nalinipun juga belum ditemukan sampai saat ini dan tak bisa dihubungi. "Pak, maaf jika saya lancang. Ada permasalahan apa kalau boleh tau?" Kepala chef mendatangi Megantara dengan tergopoh-gopoh. Karyawan lainpun berkumpul di sana termasuk para koki di dapur. Kebetulan pengunjung restoran hanya sedikit. "Kau pasti tau Chef. Makanan yang diantar ke ruanganku bukan buatan Nalini kan?" tanya Megantara. Sang kepala Chef terkejut. Begitu pula Vero yang memasaknya. Bagaimana Megantara bisa mengetahuinya. "Apakah Nalini belum kembali?" tanya Megantara."Ya Pak. Maafkan saya. Nalini belum ditemukan," jawab Kepala Chef."Jika dia tidak ada harusnya kau berterus terang. Tidak perlu membawakan makanan buatan orang lain," kata Megantara dengan nada kesal.
"Jika kau berkenan untuk bekerja seumur hidup denganku, aku akan senang. Dan kau akan mendapatkan bayaran yang setimpal. Sesuai dengan yang kau inginkan," jawab Megantara. "Aku tidak bisa berkomentar apa-apa lagi sekarang. Aku permisi dulu," kata Nalini sambil beranjak dari duduk. Lalu berjalan menuju pintu. Pikirannya kalut saat ini. Jika yang dikatakan Megantara benar adanya, dia merasa sangat kasihan pada pria itu. Dan sejujurnya dia kini tak lagi mementingkan bayaran. "Aku harap kau tidak marah padaku. Maaf karena tadi aku sempat terbawa emosi," kata Megantara tulus. Nalini menghentikan langkah sejenak. Bosnya yang perfeksionis itu meminta maaf secara langsung. Siapa yang tidak luluh jika situasinya seperti ini. "Apa yang ingin Anda makan untuk malam nanti, Pak?" tanya Nalini tanpa menoleh. Megantara menyunggingkan senyumnya. Lalu menjawab dengan semangat, "Chicken steak sepertinya enak. Dan aku ingin salad buah.""Baiklah. Akan aku siapkan," kata Nalini lalu berjalan keluar
"Lin," panggil Pandu dari kejauhan. Nalini baru saja akan keluar dari lobi hotel dan bertemu namun langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggil. Nalini menoleh sambil memaksakan senyum ramahnya. Suasana hatinya benar-benar buruk hari ini. Apalagi pekerjaan hari ini diakhiri dengan ocehan Vero yang membuat telinga dan hati ikut panas. Pandu berjalan agak cepat menghampiri Nalini. "Kebetulan sekali bertemu denganmu. Ayo pulang bersama," ajak Pandu. "Aku merasa tidak enak hati, Mas. Kau sudah sering memberikan tumpangan untukku," jawab Nalini. "Memangnya mengapa jika sering? Tujuan kita sama. Jadi kau tidak perlu merasa tak enak hati. Aku merasa tidak dirugikan dan tidak direpotkan," Pandu masih saja membujuk.Nalini masih saja bergeming. Pandu yang merasa harus memaksa Nalini akhirnya menarik pelan lengan Nalini. Mau tak mau Nalini berjalan mengikuti Pandu dengan pasrah.Dari kejauhan Vero melihat Nalini berjalan bersama Pandu. Tatapan sinis lagi-lagi tercetak di wajah a
"Bagaimana kondisi teman saya, Dok?" tanya Nalini saat dokter yang menangani Noni sudah selesai memeriksa. Noni sudah sadarkan diri. Namun badannya masih sangat lemah. Dia memilih diam dan malu karena pagi-pagi sekali dia sudah menghebohkan rumah kontrakan sampai-sampai teman dan lelaki idamannya kerepotan mengantarnya ke rumah sakit. "Kondisi pasien baik-baik saja. Dia hanya kelelahan dan kekurangan nutrisi serta cairan. Ada indikasi dia menjalankan diet ketat akhir-akhir ini. Dan jika itu dilanjutkan akan berpengaruh buruk pada tubuh pasien. Saat ini yang terpenting adalah banyak istirahat dan makan makanan yang bergizi tanpa takut gemuk. Lalu pasien juga tidak perlu rawat inap. Hanya akan saya resepkan beberapa suplemen dan obat," kata dokter panjang lebar. Nalini menghela nafas, dia menggenggam tangan Noni yang tiduran di ranjang rumah sakit. "Kau ini ada-ada saja. Untuk apa diet? Badanmu sudah ideal seperti itu," tanya Nalini. "Bahkan badanmu sudah seringan kapas," timpal P
"Sivia, mengapa kau berkata seperti itu pada ibu gurumu?" Tanya sang nenek yang tiba-tiba sudah berada di dekat gazebo tempat Nalini dan Sivia duduk. "Selamat siang, Bu," sapa Nalini pada nenek Sivia. Nenekpun membalas dengan senyuman. "Nenek, aku hanya mengucapkan keinginanku," kata Sivia membela diri. "Tapi tidak sopan berkata seperti itu, kecuali jika ibu Nalini berkenan," kata nenek yang ternyata ikut mengompori. Sivia dan nenek terkekeh. Sedangkan Nalini salah tingkah dan membuat wajahnya memerah. Nenek dan cucu sama saja ternyata. "Bu Nalini, terima kasih sudah mau direpotkan dengan menjaga Sivia selagi saya belum menjemput. Saya rasa sekarang ini Sivia justru lebih suka jika saya atau ayahnya terlambat menjemput. Dia jadi bisa dekat dengan Anda," kata Nenek Sivia."Tidak masalah, Bu. Sivia adalah anak yang rajin dan penurut serta menyenangkan. Jadi sama sekali tidak merepotkan. Saya justru senang bisa bermain dengan Sivia," jawab Nalini tulus sambil tersenyum ke arah Sivia
Jam di tangan Megantara menunjukkan pukul sebelas malam. Dia sudah sangat lelah bekerja. Tapi dia juga menunggu sedari tadi coklat panasnya tak kunjung datang. Kemana Nalini berada. Apakah dia lebih memilih pulang dan tak menuruti perintahnya? Tanpa pikir panjang, Megantara memilih untuk pulang ke rumah. Dia harus istirahat karena besok harus bekerja ekstra lagi. Banyak proyek pengembangan hotel yang harus ia jalankan. Saat Megantara melewati restoran, dia menyadari semua lampu di restoran masih menyala terang. Itu menandakan bahwa masih ada orang di restoran. Padahal biasanya di jam segini lampu restoran pastinya sudah banyak dipadamkan. Hanya lampu di beberapa sudut saja yang dibiarkan menyala. Megantara merasa kakinya tertarik untuk masuk ke dalam restoran. Menyusuri deretan meja makan yang sepi. Lalu lebih masuk lagi ke area yang hanya pegawai saja yang boleh masuk. Salah satunya area dapur. Di meja dapur dia melihat beberapa alat masak masih belum dibereskan. Dan ponsel Nalin
"Apakah kau perlu ku antar ke rumah sakit?" tanya Megantara untuk memecah keheningan. Nalini sontak menggeleng, "Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Terima kasih.""Kalau begitu aku antar pulang sekarang," Megantara berdiri. "Aku bisa pulang dengan naik taksi, Pak," kata Nalini menolak ajakan Megantara. "Ini sudah tengah malam. Biar aku yang mengantarmu. Dan seperti biasa, aku tidak menerima penolakan," Megantara mulai berjalan dan menoleh ke Nalini untuk memastikan Nalini berjalan mengikutinya. "Kau yakin kejadian ini bukan ulah seseorang?" tanya Megantara penasaran. Karena dia tau persaingan para koki di dapur hotelnya memang agak sengit. "Tidak, Pak. Aku tidak mau berpikiran negatif," jawab Nalini jujur. "Baiklah kalau begitu. Tapi aku tidak akan tinggal diam jika ternyata ada dalang di balik ini semua," nada suara Megantara menyiratkan kemarahan. Nalini justru tersentuh dengan kalimat Megantara. Dia merasa Megantara benar-benar menjaganya. Tapi dia segera menepis anggapan itu
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela