Jam di tangan Megantara menunjukkan pukul sebelas malam. Dia sudah sangat lelah bekerja. Tapi dia juga menunggu sedari tadi coklat panasnya tak kunjung datang. Kemana Nalini berada. Apakah dia lebih memilih pulang dan tak menuruti perintahnya? Tanpa pikir panjang, Megantara memilih untuk pulang ke rumah. Dia harus istirahat karena besok harus bekerja ekstra lagi. Banyak proyek pengembangan hotel yang harus ia jalankan. Saat Megantara melewati restoran, dia menyadari semua lampu di restoran masih menyala terang. Itu menandakan bahwa masih ada orang di restoran. Padahal biasanya di jam segini lampu restoran pastinya sudah banyak dipadamkan. Hanya lampu di beberapa sudut saja yang dibiarkan menyala. Megantara merasa kakinya tertarik untuk masuk ke dalam restoran. Menyusuri deretan meja makan yang sepi. Lalu lebih masuk lagi ke area yang hanya pegawai saja yang boleh masuk. Salah satunya area dapur. Di meja dapur dia melihat beberapa alat masak masih belum dibereskan. Dan ponsel Nalin
"Apakah kau perlu ku antar ke rumah sakit?" tanya Megantara untuk memecah keheningan. Nalini sontak menggeleng, "Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Terima kasih.""Kalau begitu aku antar pulang sekarang," Megantara berdiri. "Aku bisa pulang dengan naik taksi, Pak," kata Nalini menolak ajakan Megantara. "Ini sudah tengah malam. Biar aku yang mengantarmu. Dan seperti biasa, aku tidak menerima penolakan," Megantara mulai berjalan dan menoleh ke Nalini untuk memastikan Nalini berjalan mengikutinya. "Kau yakin kejadian ini bukan ulah seseorang?" tanya Megantara penasaran. Karena dia tau persaingan para koki di dapur hotelnya memang agak sengit. "Tidak, Pak. Aku tidak mau berpikiran negatif," jawab Nalini jujur. "Baiklah kalau begitu. Tapi aku tidak akan tinggal diam jika ternyata ada dalang di balik ini semua," nada suara Megantara menyiratkan kemarahan. Nalini justru tersentuh dengan kalimat Megantara. Dia merasa Megantara benar-benar menjaganya. Tapi dia segera menepis anggapan itu
"Mengapa kau datang bekerja hari ini? Apa kondisimu baik-baik saja?" Tanya Megantara saat mereka berdua sudah sampai di ruangan Megantara. "Saya baik-baik saja. Akan sangat berlebihan jika hanya karena kejadian kemarin saya tidak bekerja hari ini," jawab Nalini. "Kau menganggap kejadian kemarin hanyalah hal sepele? Bukankah kau hampir mati kedinginan? Apa kau pernah berpikir apa yang akan terjadi jika tidak ada yang menemukanmu?" Megantara kesal pada gadis yang ia khawatirkan sedari kemarin itu."Maafkan saya, Pak. Bukan maksud saya untuk menyepelekan kejadian yang menimpa saya itu. Tapi saya baik-baik saja. Jadi sebagai bentuk syukur saya karena tidak jadi mati, saya harus bekerja dengan lebih giat lagi," Nalini menjelaskan panjang lebar.Megantara mendengarkan dengan seksama, "Kau yakin?""Ya. Saya siap bertugas hari ini. Terima kasih sudah mengkhawatirkan kondisi saya di tengah kesibukan Anda," kata Nalini."Ya. Karena mengkhawatirkanmu aku tidak bisa memikirkan atau mengerjakan
Ponsel Nalini berbunyi, Megantara mempersilakan Nalini untuk mengangkat telepon. "Baik Chef," kata Nalini saat setelah mendengar perkataan dari seberang telepon. Nalini memasukkan kembali ponselnya ke saku baju kokinya lalu menatap Megantara, "Maaf, Pak. Saya harus segera kembali ke restoran. Terima kasih atas jamuan makan siangnya meskipun saya sendiri yang menyiapkannya."Megantara terkekeh, "Kau tak perlu membereskan piring-piring ini sendiri. Aku akan meminta sekertarisku untuk memanggil cleaning service. Kepala Chef tidak suka menunggu terlalu lama." Nalini mengangguk dan berjalan keluar dari ruangan. Sampai depan lift dia heran karena Megantara berjalan di belakangnya. Nalini menatap Megantara dengan penuh tanda tanya. Mereka memasuki lift secara bersamaan."Aku merasa sangat kekenyangan jadi aku harus berjalan-jalan sebentar dan menghirup udara luar," kilah Megantara. Padahal alasan sebenarnya adalah karena Megantara belum mau berpisah dengan Nalini. Nalini hanya tersenyum k
Megantara menatap makanan dengan lesu, pasti yang tersaji di depannya tidak hanya disiapkan oleh Nalini tapi juga oleh koki lainnya. Dia juga banyak diam meskipun Starla terlihat mengobrol akrab dengan teman-temannya sambil memulai menikmati hidangan. Tak lama kemudian Nalini datang dengan membawa dua porsi cocktail pesanan teman Starla dan Megantara. Saat Nalini berada di samping Megantara, Megantara berbisik, "Makanan mana yang buatanmu?""Semua menu pembuka di sini, Pak. Apa perlu saya bawakan makanan lain?" Tanya Nalini ikut berbisik namun tanpa memunculkan senyumannya. "Tidak perlu. Aku tentu harus menghormati tamu yang lain. Aku akan tetap memakan yang ada saja," kata Megantara. "Ya. Tentu saja Anda harus menghormati tamu dari kekasih Anda," kata Nalini yang mengakibatkan Megantara membelalakkan matanya. Gadis itu benar-benar termakan omongan Starla. Starla menyadari jika Megantara saling berbisik dengan Nalini. Dia memberikan tatapan pada Nalini dan mengisyaratkan Nalini un
Nalini menoleh ke arah Megantara. Terkejut dengan kalimat yang Megantara lontarkan. "Mengapa Anda mengatakan itu padaku? Aku rasa itu bukan urusanku," tanya Nalini heran. "Aku tidak ingin kau salah paham. Oh maksudku aku takut semua orang salah paham," jawab Megantara. "Tapi dia sepertinya sangat menyukai Anda. Apakah Anda tidak menyesal menolak perhatian dari gadis cantik sepertinya?" Nalini masih menanggapi dengan pertanyaan. "Cantik bukanlah kriteria utamaku, lagipula mengapa kau memaksa? Apakah menurutmu aku pantas bersanding dengannya?" Tanya Megantara iseng. "Seorang CEO hotel bersanding dengan gadis seperti Nona Starla tentu saja sangat cocok dan sepadan," jawab Nalini Megantara menatap Nalini, "Tapi tatapan matamu berkata lain.""Pak, maaf sebenarnya apa maksud Anda menggiring obrolan tentang hal ini denganku?" Nalini terlihat kesal. Meskipun dalam hatinya ada perasaan lega mengetahui hubungan Megantara dan Starla yang sebenarnya. "Apakah ini membuatmu tersinggung? Jang
Pagi ini Nalini seperti biasa, Nalini diharuskan untuk mengantarkan makanan milik Megantara. Tapi Nalini enggan untuk melakukannya sehingga meminta tolong pada pelayan untuk mengantarkan dan mengatakan pada Megantara bahwa dia tidak perlu khawatir, makanan yang dikirim tetaplah buatan Nalini. Nalini hanya sedang sibuk di dapur. Nalini menghembuskan nafasnya kasar. Dia tau bahwa dengan tidak mau bertemu dengan Megantara itu sama saja menghindar dari rasa malu dan kecewa tadi malam. Tapi mau bagaimana lagi, Nalini memang sengaja menghindar. Siang hari dan malam haripun sama. Nalini tidak mau mengantar sendiri hasil masakannya ke ruang Megantara. Megantara sampai kesal dan bingung sebenarnya alasan apa yang membuat Nalini tidak mau ke ruangannya. Apakah ada hubungannya dengan pertemuannya semalam? Lebih baik Megantara mengkroscek sendiri pada Nalini dengan menemuinya setelah pekerjaannya selesai. Dia merasa ada yang kurang jika seharian ini tak bertemu dengan Nalini. Megantara buru-bu
"Bukankah gadis ini koki di restoranmu? Sepertinya kita sudah sering dipertemukan secara tidak sengaja ya?" Tanya Starla. Sedikit sinis. Sikapnya memang seperti itu jika di hadapan orang yang belum kenal dekat. Tapi jika dengan kenalan dekat, dia akan bersikap manja dan bersikap layaknya dia seorang putri raja. Megantara mengangguk, "Bukan hanya Nalini, Pandu juga bekerja di hotelku," jawab Megantara sambil menunjuk Nalini dan Pandu secara bergantian. Megantara mengamati gerak gerik Nalini. Dia berharap Nalini merasa tak suka melihatnya berjalan bersama Starla seperti dirinya yang tidak suka melihat Nalini berjalan bersama Pandu. Nalini terlihat lebih sering mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak memandang ke arah Megantara. "Kalau begitu kami permisi untuk melanjutkan perjalanan kami pulang," Nalini mencoba tetap bersikap sopan. Nalini harap Megantara tidak bisa menyadari hawa panas yang sedang menyelimuti hatinya. Megantara ingin menahan Nalini, dia ingin berbicara empat ma
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N
Niko berlari menuju ke kamar Starla saat mendengar Mona memanggil namanya dengan berteriak. Starla tergeletak tak berdaya di lantai. Di sekelilingnya ada obat yang bertaburan tak beraturan. Mona menduga bahwa Starla sengaja mengkonsumsi obat secara berlebihan karena ingin mengakhiri hidupnya. Impiannya untuk menikah dengan orang yang ia cintai pupus. Lalu ia justru dihamili oleh pria lain. Niko menggendong Starla lalu berlari membawa adiknya itu ke mobil. Ibu Starla hanya bisa merapalkan doa. Semoga tidak terjadi hal buruk pada anaknya dan calon cucunya. Dia ikut masuk ke dalam mobil bersama Niko dan juga Mona. Starla segera mendapat pertolongan medis sesampainya di rumah sakit, beruntunglah Starla karena belum terlambat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga bayi yang ada di dalam kandungannya. "Harusnya aku mati saja," keluh Starla saat dia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap dan sudah sadarkan diri. Niko tertawa mencemooh, "Kau pikir dengan bunuh diri urusannya akan selesai?
Nalini merasa bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan mertuanya. Dia memang tidak terbiasa memanggil Megantara dengan namanya saja atau sebutan lain. Selalu dengan sebutan Pak. Dulu saat masih berpacaranpun dia kesulitan dan tidak biasa memanggil dengan sebutan tidak formal. Sivia terkekeh melihat ekspresi Nalini. Megantara tak menolong sama sekali. Dia sedang berkutat pada makanannya yang sebetulnya sama sekali tidak penting karena tidak ada rasanya bagi lidah pria itu. "Kau bisa memanggilnya dengan sebutan kak, mas, atau sayang," ujar ibu mertuanya. "Maaf, aku belum terbiasa," jawab Nalini sambil menggeleng pelan. "Tara, menurutmu istrimu harus memanggilmu dengan sebutan apa? Ajarilah dia," goda sang ayah. Megantara terlihat berpikir lalu menatap Nalini dengan tatapan yang sulit diartikan. Nalini paling tidak bisa ditatap dengan intens seperti itu jadi dia menunduk. "Aku terserah saja, pilihan ketiga juga tidak buruk," jawab Megantara dengan nada datar. Nalini buru-buru me
Nalini baru saja selesai membersihkan dirinya. Badannya sangat lelah karena seharian berdiri menjadi ratu sehari. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan mendapati Megantara sudah tertidur. Dia menatap Megantara agak lama. Pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Akan jadi seperti apa hubungan mereka kedepannya. Nalini tiba-tiba takut, berada di sampingnya dalam kondisi tak dicintai namun dibenci pasti akan sangat sulit. Tapi mau bagaimana lagi. Dia harus menjalaninya. Takdir menuntunnya untuk bisa pasrah dan menerima. Nalini berjalan ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Megantara. Memiringkan tubuhnya membelakangi Megantara lalu menarik selimutnya sampai menutupi sebagian wajahnya. Itu yang bisa ia lakukan sekarang karena Nalini sangat membutuhkan tidur nyenyak. Keesokan harinya, Megantara terbangun lebih dahulu dan melihat Nalini masih tertidur pulas di sampingnya. Kini giliran Megantara yang menatap lekat wajah gadis polos yang kini menjadi istrinya. Tersirat rasa lela