"Rasakan kamu, Bang! Kamu belum tahu bagaimana aktifnya kedua anakmu."
Di video itu aku lihat Fauzan dan Faisal lari kesana kemari, sementara Bang Fahmi terlihat kecapaian mengejar mereka. Sesekali dia mengusap peluhnya yang membanjiri wajahnya.Aku tersenyum puas, walaupun aku sangat merindukan kedua buah hatiku, tapi tak apa, biar Bang Fahmi merasakan bagaimana capainya aku mengasuh mereka seorang diri."Sial*n kamu Mirna, awas akan aku balas kamu," umpat Bang Fahmi.Entah darimana pembidik video ini berada, sehingga suara Bang Fahmi sangat terdengar jelas. Ah ... Ibu memang the best.Paginya, aku sengaja pulang ke rumah secara diam-diam untuk memantau keadaan anak-anak. Sebelum aku sampai di rumah, aku mampir terlebih dahulu di warung Mbak Nana."Kamu kemana to Mir, seharian nggak kelihatan. Itu aku lihat si Fahmi kualahan ngasuh anak-anak kalian," adu Mbak Nana."Ssstt ... Memang sengaja Mbak, aku biarkan Bang Fahmi ngasuh anak-anak sendirian, biar dia tahu rasanya jadi aku. Masa dia minta semua nafakah yang pernah dia kasih ke aku, apa nggak gil* dia Mbak.""Eh, yang bener Mir?""Iya Mbak, dia udah nggak pulang selama satu bulan, terus kemarin tiba-tiba pulang minta semuanya.""Wah, mamang stres suamimu itu.""Kok kamu bisa tahu kalau Fahmi selingkuh?"Akupun menceritakan bagaimana Fahmi ketahuan selingkuh. Awalnya aku tak percaya sama sekali waktu Nadia--temanku, mengirimkan video Bang Fahmi tengah menjemput anak SMA.[Ini suamimu kan Mir? Aku lihat dia jemput salah satu murid di mana ponakanku sekolah]Aku tak membalas pesan dari Nadia, aku hanya mengamati wajah laki-laki itu dan wajah si perempuan. Dan benar wajah laki-laki itu sangat mirip dengan Bang Fahmi. Bahkan baju yang dia kenakan sama persis ketika dia berangkat kerja pagi tadi.[Mir, kamu baik-baik saja] kembali, pesan beruntun dari Nadia memenuhi jendela notifikasi handphoneku.[Iya, aku baik-baik saja, Nad. Terimakasih infonya]Besoknya aku sengaja menunggu di depan sekolah yang Nadia maksud. Berbekal alamat yang Nadia kirim melalui pesan singkat.Hatiku bergemuruh melihat pemandangan yang ada di depanku. Terlihat Bang Fahmi menggandeng mesra anak SMA itu masuk ke dalam mobil.Aku terus mengikuti pergerakan mobil Bang Fahmi menggunakan ojek online. Sementara anak-anak aku titipkan di rumah ibu mertua.Mobil itu bergerak menuju sebauh kost-kostan mewah di pinggir kota. Tempat ya jauh dari pemukiman warga, tapi bisa aku pastikan jika fasilitas di dalamnya sangat lengkap, terlihat dari bangunan yang mewah dan juga pagar yang menjulang tinggi."Jadi ini kerjaan kamu selama ini, Bang."Aku mengambil banyak sekali gambar ketika mereka tengah berangkulan mesra dan setiap gerak gerik mwreka aku bidik. Aku sengaja tidak melabarak mereka secara langsung, disamping aku tidak mau mengotori mulutku dengan berkata kasar, aku juga tidak ingin nantinya terlihat kalah jika Bang Fahmi akhirnya memilih gadis itu."Pulang, Pak," ujarku pada driver ojek online."Baik, Neng." Motor kembali melaju menyusuri jalanan yang mendadak di tutup kabut. Ah ... Ternyata mataku yang terhalang oleh air mata. Dan aku berjanji kali inilah terkahir aku meneteskan air mata untuk Bang Fahmi.Sampai di rumah ibu, beliau langsung menyambutku dengan wajah khawatir. Mungkin karena beliau melihat aku baru saja menyeka air mataku."Gimana Mir?" tanya ibu mertua tak sabaran."Anak-anak kemana Bu? Kok sepi?""Tidur, tadi di tidurkan sama Minah. JadiKadi gimana Fahmi?""Positif, Bu. Mereka memang ada hubungan sepertinya." Lantas aku menunjukkan foto-foto yang aku ambil di kost-kostan elit itu."Astaghfirullah, Fahmi. Tega kamu sama Mirna, sama anak-anak, sama ibu." Bu Anna memegangi dadanya sambil terus di usap-usap."Bu, udah ya. Jangan nangis!" Aku tahu bagaimana terpukulnya ibu saat tahu anaknya bermain gil* dengan perempun lain, kurang lebih sama halnya sepertiku."Kamu lepaskan dia, Mir. Dia sudah tidak baik menjadi seorang suami, apalagi menjadi seorang ayah.""Mirna juga sudah berniat melepaskan Bang Fahmi, Bu. Tapi Mirna sangat sayang sama ibu." Aku mengusap air mata yang luruh di pipi ibu mertua."Kalau kalian berpisah. Kamu tetap menjadi menantu ibu. Biarlah Fahmi memilih apa yang dia mau, tapi sebelumnya kita harus kasih pelajaran pada anak itu. Nanti nanti ibu kerumah kalian." Aku mengangguk, kemudian aku pamit pulang terlebih dahulu.Sorenya, aku sengaja masak makanan kesukaan ibu. Setelah menjemput kedua buah hatiku, aku sengaja dandan yang cantik untuk menyambut kedatangan Bang Fahmi.Biasanya Bang Fahmi akan pulang sekitar jam delapan malam. Dulu aku percaya kalau dia pulang telat karena lembur, tapi sekarang aku yakin dia pasti singgah terlebih dahulu di kostan elit itu.Selepas magrib, aku bergegas menidurkan anak-anak, tak butuh waktu lama, anak-anak sudah terbuai oleh mimpinya masing-masing.Dari luar terdengar suara orang mengucap salam. Bergegas aku membukakan pintu untuk ibu mertua."Anak-anak sudah tidur, Mir?""Sudah, Bu. Baru aja.""Bagus, bisa lebih maksimal nanti pas Fahmi datang," sahut ibu sambil berlalu ke meja makan."Mau makan sekarang apa nunggu Bang Fahmi, Bu?""Sekarang aja, Mir, ibu udah lapar."Kamipun menikmati makan malam sambil memyusun rencana ketika Bang Fahmi datang nanti."Jadi itu rencana Mirna, Bu.""Bagus-bagus, nanti kalau mobilnya sampai, kita langsung standby di depan TV ya," sahut ibu. Akupun mengangguk dan tersenyum miring. Membayangkan bagaimana reaksi Bang Fahmi ketika pulang kerja nanti.Tepat jam depalan malam mobil Bang Fahmi terdengar mamasuki garasi rumah. Aku mengintip dari jendela ruang tamu untuk memastikan dialah yang datang.Setelah yakin kalau itu Bang Fahmi, aku memberi kode pada ibu untuk menjalankan aksi. Kemudian ibu membulatkan jarinya, tanda beliau sudah oke.Akupun menyusul ibu ke ruang tengah dan duduk di depan televisi sambil menonton drama kolosal yang sudah aku buat sebelum magrib tadi."Sayang, Abang pulang." Terdengar suara Bang Fahmi memanggilku."Masuk aja, Bang. Aku lagi nemenin ibu nonton TV nih. Derap langkah suamiku itu telah sampai di perbatasan antara ruang tamu dan ruang tengah. Aku segera menyambutnya dengan lembut."Nonton apa?" tanya laki-laki itu."Ini lho, Mi. Lagi nonton drama percintaan anak SMA. Masih SMA aja udah berani c1um-c1um bib*r di tempat umum," sahut ibu yang masih fokus dengan layar televisi."Masa sih, lihat." Laki-laki itu terlihat antusias. Namun setelah melihat siapa pemeran di dalam televisi, mendadak laki-laki itu syok dan kejang-kejang."Ma-maksudnya apa ini, Mirna?" Suara Bang Fahmi tergagap. Bagaimana tidak, puluhan foto dan video yang aku bidik siang tadi aku jadikan satu slide video kompilasi. Dan ibunya sendiri yang menonton kelakuan bejadnya.Tak ada amarah di antara kami. Aku dan ibu cukup tenang mengatasi hal ini."Pergi kamu tanpa membawa apa-apa!" teriak ibu mertua, sementara aku hanya tersenyum miring di belakang Bu Anna.***"Pergi kamu tanpa membawa apa-apa!" teriak ibu mertua, sementara aku hanya tersenyum miring di belakang Bu Anna."Apa-apaan in, Mirna? Bang Fahmi mulai menyalahkanku."Bu, ini bukan seperti apa yang Ibu lihat, ini salah paham.""Mirna, tolong jangan seperti itu. Foto siapa yang kamu edit? Jangan fitnah!" Bang Fahmi sebentar lari ke ibu, sebentar lari ke aku. Dia seperti cacing yang kepanasan."Hah? Fitnah? Mataku ini ciptaan Allah Bang. Mana bisa diedit.""Kurang kerjaan bener kalau Mirna mesti edit puluhan foto itu, Fahmi. Dia nggak cukup waktu untuk melakukan hal seperti itu, buang-buang waktu. Sekarang kemasi barang-barang kamu," teriak ibu berang."Bu, Fahmi kan anak kandung, Ibu. Kenapa malah Mirna yang di belain. Ibu nggak tahu kan kalau selama ini Mirna pemboros dan tidak bisa merawat tubuh dia sendiri, makanya Fahmi cari yang bening." Sakit rasanya mendengar penuturan laki-laki yang selama ini aku cintai."Tidak usah banyak bicara Fahmi. Sampai kapanpun menantu ibu, tetap Mirn
Wanita yang aku tebak selingkuhannya itu Terus saja merengek. Berarti semalam perempuan itu tidur di rumah ini. Walaupun Bang Fahmi sudah menjadi mantan, rasanya sakit sekali ketika mendengar rumah yang kami jadikan tempat bernaung selama tiga tahun itu sudah ada pengganti diriku."Astaghfirullah Bang, belum juga menikah sudah dibawa pulang," gumamku."Bawa saja mobil tu. Mas mau antar anak-anak ke rumah ibu. Masih repot nih. Kamu bukannya bantu Mas malah enak-enakan gitu.""Mas, kamu bilang semalam kalau kamu ngundang aku kesini untuk nemenin kamu, karena istri kamu kabur. Eh ... Malah disuruh jagain bocil. Mana itu anak nakal banget. Nggak sanggup aku Mas," seru perempuan itu."Daftar kuliah kan bisa nanti jam sepuluan atau bareng Mas betangkat kerja. Sekarang kamu jagain dulu anak-anak, Mas mau mandi. Udah telat nih. Bisa kena SP Mas nanti. Dan bisa berinbas sama uang jajan kamu.""Huh ... Iya ... Iya."Kini aku pindah posisi dari belakang rumah ke samping rumah, untuk memperjelas
Laki-laki itu kemudian membawa kembali anak-anak masuk ke dalam mobilnya. Entah mau di bawa kemana mereka, ke kantor atau malah pulang ke rumah.Ingin rasanya aku mengikuti mereka, ingin melihat bagaimana seharian ini Bang Fahmi di repotkan dengan kedua anaknya yang sangat aktif.Segera aku keluar kamar dan bersiap mengikuti mereka. Namun sampai di depan pintu ibu menahanku."Mau kemana? Kok buru-buru gitu?'"Mau ngikutin Bang Fahmi, Bu.""Duduk manis di sini aja, Mir. Bantuin ibu. Sudah ada Ammar.""Oh, iya. Kan ada Ammar ya." Aku baru ingat kalau ada Ammar yang memata-matai Bang Fahmi. Segera aku kirim pesan untuk bujang setengah lapuk itu.[Tolong ikuti Bang Fahmi dan anak-anak]Pria itu terlihat online, dan pesanku juga sudah dia baca, tetapi dia tak membalasnya. Sekitar sepuluh menit berlalu, pria itu terlihat sedang mengetik [Tidak usah kamu kirim pesan, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan, jadi kamu nggak usah ngatur-ngatur aku kayak tadi. Aku sudah tahu tugasku. Kamu cu
Puas rasanya melihat orang yang telah merenggut laki-laki yang aku cintai dikerjai habis-habisan oleh anakku sendiri.Aku salut dengan Ammar. Aku rasa pria bujang setengah lapuk itu yang memberikan briefing untuk kedua anakku. Mustahil rasanya jika mereka berdua bertindak atas kemauan mereka sendiri.Walaupun mereka sangat aktif, tapi tingkahnya tidak seaktif kali ini. Akupun sebagai ibu, jika mereka bertingkah sangat aktif, sudah pasti aku menyerah. Apalagi Bang Fahmi yang sama sekali tidak pernah menyentuh mereka semenjak mereka bayi.Dari dua hari waktu yang Bang Fahmi berikan untuk kami, mungkin hanya satu jam dia full bersama kami. Selebihnya dia sibuk dengan handphone-nya, teman-temannya dan mungkin juga gundik itu.Sakit saranya kalau mengingat hal itu, aku sudah seperti pembantu di rumah, bukan lagi di anggap istri. Aku sekarang baru sadar jika sikap Bang Fahmi dulu bukan karena dia capai, tapi karena memang dia sudah bosan terhadapku."Mir, kita mampir salon dulu ya." Suara B
Aku terus melenggang anggun melewati mantan suamiku yang kucel itu. Kulihat Tangannya ingin mencekal tanganku, namun buru-buru dia singkirkan. Mungkin dia ingat dengan perkataanku kamarin tentang mahram. Aku hanya tertawa tertahan."Mi-Mirna ...."Aku masuk ke dalam rumah ibu tanpa menghiraukan panggilan dari Bang Fahmi. Laki-laki tadinya selalu bergaya perlente itu tak berkedip ketika aku lewat tepat di depan wajah."Mau apa kamu ke sini?" tanya ibu dengan nada sewot."Lho ini juga kan rumah Fahmi, Bu. Masa Fahmi nggak boleh pulang ke sini.""Siapa bilang? Rumah ini kan yang bangun pakai uang ibu sama ayahmu dulu. Nggak ada sepeserpun uangmu ikut bangun. Jadi jangan seenaknya kamu bilang kalau ini rumahmu juga. Dari mana konsepnya?" papar ibu mertua yang membuat mantan suamiku itu menelan ludahnya."Itu kan yang kamu katakan sama Mirna?"Aku sengaja mendengarkan pembicaraan mereka dari balik jendela. Sementara anak-anak sudah asyik dengan mainannya di ruang tengah."Tapi kan Fahmi an
"kita harus bicara, Mirna." Laki-laki itu berdiri menyambutku yang baru saja membuka pintu. Sementara anak-anak yang sepertinya masih mengantuk, aku suruh mereka masuk ke dalam rumah."Mau bicara apa?""Aku tidak sanggup mengasuh mereka seorang diri, Mirna. Aku setuju kalau kita bagi harta gono gini." Aku tersenyum miring. Sebatas itukah kemampuan meng-handle anak-anak."Tapi kamu kembalikan dulu nafkah yang aku beri dulu, baru kita bagi harta gono gini.""Astaghfirullah, Bang. Apa lagi sih ini? Kamu belajar hukum di mana? Kenapa seperti ini?bukannya kemarin Ibu sudah menjelaskan panjang lebar ya. Aku kira kamu udah paham. Ternyata makin nge-hank gini sih.""Kan sudah aku turuti permintaan kamu untuk bagi harta gono gini. Sekarang aku juga minta hak aku lah.""Bang, kalau kamu pagi-pagi kesini cuma mau bicara masalah ini, sebaiknya kamu pergi. Aku akan tetap tuntut kamu di persidangan nanti." Aku berbalik badan dan menutup pintu, kumudian menguncinya, tapi ternyata ada yang lupa. La
Wanita berambut panjang sepinggang itu mengaduh kesakitan. Berulang kali aku pukul pantatnya menggunakan sapu lidi, bak kucing yang ketahuan sedang mencuri ikan di kulkas. Sangat lancang bukan?"Auuu ... Sakit. Berhenti!""Pergi kamu. Ngapain kami tidur di rumah ini? Pergi!" teriakku."Stop! Sakit ini.""Pergi kamu!" Aku terus memukuli wanita tak tahu malu itu."Hei Mbak! Jangan kasar gitu sama orang. Pantas aja suaminya lari ke aku. Orang istirnya aja kayak singa begini," cibir perempuan itu."Sama perempuan seperti kamu mah pantas dikasari." Aku tak berhenti mengayunkan sapu lidi ini ke badan perempuan itu."Udah Mbak! Stop! Aku teriak nanti. Kamu bisa ditangkap karena udah mukulin orang.""Teriak aja sana kalau berani. Ayo teriak!" Aku mendorong wanita itu sampai di pintu kamar. "Ayo teriak!" ujarku menantang wanita gatal itu"Kenapa? Nggak berani? Ayo sana teriak!""Dasar, Nenek-Nenek!" sungutnya."Hei betina! Cepat pergi, sebelum aku teriaki kamu maling, karena ini rumahku!""Ck
Aku tersenyum jahat di dalam mobil. Rasanya puas sekali aku bisa mengerjai kedua pasangan selingkuh itu. "Mirnaaaa," teriak laki-laki itu. Mungkin dia baru sadar jika akulah yang ada di dalam mobil itu. Aku bergegas turun dari mobil untuk membeli kue lupis kesukaannya Tante Anni. Kulihat sekilas laki-laki itu mengejarku. "Mirna, apa-apaan kamu ini. Lihat bajuku dan baju Nina jadi kotor begini. Kamu juga tega-teganya mukulin Nina pakai sapu dan ngusir dia dari rumah!" bentak laki-laki itu setelah mendekatiku."Peduli apa aku sama kalian? Itu rumah anak-anak, jadi aku berhak mengusir perempuan itu! Emang siapa dia, istri kamunjuga bukan kan cuma simpanan!""Gara-gara ulah kamu, aku jadi belikan dia emas.""Lho ... Lho ... Kok jadi gara-gara aku? Gundikmu saja yang matre!""Dia bukannya matre, tapi berkelas! Itu karena kamu mukulin dia, jadi dia merajuk dan minta hadiah emas. Sini ganti rugi! Kamu harus ganti uang untuk membeli emas karena ulah kamu.""Yaa Allah, kemanalah otak laki-l
Halooo, setelah sekian lama Hiatus, akhirnya dapat wangsit juga buat update. Hihihihi.***Aku sangat geram sekali mendengar perkataan Bang Fahmi. Sepertinya ada gelagat aneh dengan pria itu. Di samping tak biasa dia datang ke rumah ibunya sendi untuk bertemu denganku, Sejak kapan dia peduli dengan anak-anak? Bahkan dia berencana mengajak jalan-jalan ke puncak segala.“Ya Sudah kalau begitu, aku nggak bisa, kalau kamu mau bawa anak-anak ke puncak, silahkan, Asalkan pulang nanti jangan ada yang kurang satu pun, termasuk satu helai rambutnya. Karena aku tahu semua jumlah rambut anak-anak. Sampai berkurang satu helai rambutnya, maka kamu akan membayar dendanya 100 ribu per helai.”“Kok kamu jadi perhitungan begini, sih Mir. Mereka juga kan anak-anakku juga. Aku berhak atas mereka, Mir.”“Mereka juga berhak atas nafkah ayahnya, Bang. Yang lebih dulu hitung-hitungan siapa? Aku kan cuma aku yang kamu buat, Bang.”“Iya, oke, oke. Aku ngaku salah, tolong dong, jangan diungkit-ungkit lagi. Kamu
Aku terus mengomel sepanjang jalan ketika kami pulang dari rumah Paman. Bagaimana tidak, sudah aku bilang bagaimana sifat Paman dan Bibi ketika dihadapkan dengan lembaran kertas bernama uang. Namun bujang setengah lapuk yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai suamiku itu justru tak menghiraukan ocehanku.Benar-benar menyebalkan Ammar itu, seandainya dia bukan bosku, sudah kuketok kepalanya. “Kenapa kamu ngomel-ngomel begitu, Mir?”‘Eh, kok dia denger sih?’ batinku.“Keluarin aja, Mir uneg-unegnya.” Ammar menghentikan motornya di pinggir jalan, di bawah pohon yang cukup rindang. Sepertinya di sini tempat orang biasa duduk-duduk atau sekedar melepas penat. karena terlihat berbeda dengan pohon-pohon yang lain.“Kamu itu lho, Ammar, udang dibilang, kalau pamanku itu agal lain kalau masalah duit, kamu malah jor-joran mau kasih seragamlah, perhiasanlah. Bisa ngelunjak nanti kalau dituruti begitu. Seharusnya kamu kasih saya sekedarnya, kasih dua juga saja sudah senang mereka. Ini
Aku tarik tangan Ammar ke luar dari rumah Paman. Rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana aku diperlakukan tidak adil oleh mereka.Mereka yang mengaku saudara, mereka yang katanya masih memiliki DNA yang sama dengan ayahku. Namun nyatanya jauh dari kata baik.Jika bisa aku mengulang waktu, sudah pasti aku dulu akan memilih hidup di kostan, daripada harus tinggal serumah dengan paman dan bibi, tetapi mereka hanya memanfaatkan tenagaku saja. Bahkan ketika aku sudah bekerja, hampir semua gajiku diambil Bibi, dengan alasan untuk membeli kebutuhan ku sehari-hari. Bodohnya aku tidak pernah berpikir menyisipkankan gajiku untuk keperluanku sendiri. Mungkin dulu aku terlalu penurut dan polos. Berpikir bahwa merekalah saudaraku satu-satunya.Hingga akhirnya aku bisa keluar dari tempat itu setelah Bu Anna melamarku untuk anak laki-lakinya dan membawaku pergi dari rumah itu. Sejak aku dan Bang Fahmi menikah, Paman memang tidak pernah menuntut apa pun dariku.Belakangan, aku baru tahu jika Setiap
Bang Fahmi berkacak pinggang sambil berjalan memutariku. Sudah seperti detektif saja dia "Kamu nggak paham juga apa yang aku tunjukkan, Mir. Sudah jelas-jelas dia itu nggak bener, masa kamu mau nikah sama laki-laki modelan seperti Ammar." Laki-laki itu berkata dengan pongkah."Memang Abang merasa lebih baik dari Ammar? Selingkuh sama istri orang, menelantarkan anak sendiri, itu yang Abang bilang baik? Seandainya memang yang Abang katakan itu benar, belum tentu juga aku mau rujuk sama Abang. Pastinya aku berpikir seribu kali untuk rujuk sama Abang. Abang pikir ngaapin aku ngurus akta cerai Kemarin kalau ujung-ujungnya untuk rujuk? Capein badanlah, Bang.""Terserah kamu, Mir. Yang penting aku sudah ingatkan kamu bagaimana kelakuan Ammar di luar sana. Seharusnya kamu membuka mata, Mir. Hanya karena kamu ingin menikahi direktur, kamu korbankan anak-anak, kamu korbankan masa depan mereka. Aku sudah berubah, aku sudah minta maaf, seharusnya kamu pikirkan dan pertimbangankan permintaanku un
Mataku mengerjap, disekelilingku ada Bu Anna, Tante Anni dan Mbak Nana--tetangga sekaligus temanku satu kompleks, mereka terlihat cemas. Aku pun bingung apa yang terjadi sebelumnya. Aku hanya ingat kalah Bu Anna datang hendak mengajakku arisan keluarga."Anak-anak mana, Bu?""Ada di depan sama Ammar dan opanya.""Maaf ya, Mir, kalau kedatangan kami justru membuat kamu syok seperti ini," ucap Tante Anni penuh sesal."Mirna hanya kaget Tan, soalnya benar-benar mendadak, sementara Mirna nggak ada persiapan apa pun untuk menyambut keluarga Tante. Mirna tahunya hanya arisan biasa.""Maaf ya, Mir. Itu si Ammar yang punya ide gila ini, katanya dia udah bilang sama kamu, Mir. Makanya kami santai-santai aja ke sini. Eh ... nggak tahunya kamu malah yang nggak tahu apa-apa. Pantesan Mbak Anna tadi juga terkejut waktu kami datang ke rumahnya kasih tahu kalau Ammar ngelamar kamu," papar Tante Anni panjang lebar.Aku melirik ibu yang sedang berbincang dengan Mbak Nana."Iya, ibu juga kaget, Mir. Am
"Maaf Pak saya ke toilet dulu."Tanpa menunggu jawaban dari Ammar, aku langsung ngacir ke toilet. Dadaku benar-benar bergemuruh, seperti ombak di lautan yang siap menerkam. Aku keluarkan botol minum dari dalam tas, lalu meneguknya.Apa-apaan Ammar ini? Kenapa dia jadikan aku sekertaris? Aku tidak enak dengan Angel, dia karyawan paling senior di sini, tetapi kenapa aku yang dia jadikan sekertaris, padahal aku baru saja bergabung di sini.Gestur tubuh Angel waktu menyampaikan pendapatnya tentang kinerjaku tadi terlihat sedang menutupi ketidaknyamanannya.Terlepas dari kata-kata yang dia sampaikan tadi. Entah dia jujur dari hati atau hanya karena tidak enak sebab dia sudah mengetahui antara aku dan Ammar sudah saling kenal.Berkali-kali aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mati-matian aku jaga agar Angel tidak mengetahui hubungan kekerabatan antara aku dan Ammar, tetapi kini dia sudah mengetahui semuanya. Sekarang jabatan yang sudah lama dia inginkan pun harus kand
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, lebih ke salah tingkah dan serba sebenarnya. Hidungku bergerak saja seperti ada yang memerhatikan. Berkali-kali aku membenarkan posisi duduk.Rasanya seperti baru saja bertemu dengan pria satu ini atau seperti baru pertama kopi darat dengan gebetan dan diajak jalan, duh ... rasanya nano-nano. Padahal kalau kami bertemu, selalu saja ribut san ujung-ujungnya kami saling ejek.Tatapan Ammar membuat jantungku benar-benar tidak aman. Apalagi keadaanku masih berantakan begini. Namun, belum sampai setengah perjalanan, Ammar menghentikan mobilnya di pinggir jalan.Aku memicingkan mata, " Ada apa? Mobilnya mogok?" "Dandan dulu gih, biar kamu nggak uring-uringan begitu. Ya ... Walaupun bagaimanapun keadaan kamu aku tetap ...." Pria itu menggantung kata-katanya."Tetap apa?" tanyaku penasaran sekaligus berharap dia akan mengatakan tetap cinta. Duh ... apa-apaan ini. Kenapa aku yang jadi bucin begini sama Ammar. Jangan-jangan aku ...."Udah buruan!" Ucapanny
Pagi sekali Ammar bertengger di atas mobilnya di depan rumahku. Entah apa yang dia lakukan sepagi ini di depan rumah orang. Pria itu terlihat sudah rapi, memakai kemaja warna hitam, celana dan sepatu kerja.Aku lihat dia turun saat melihatku membuka pintu pagar."Mam," panggil Fauzan sembari keluar dari dalam mobil pamannya."Hai, Sayang. Kok pagi-pagi udah minta antar pulang? Ngerepotin Om Ammar lho." Anak kecil itu berlari ke gendonganku."Bukan meraka yang minta antar, tadi waktu aku siap-siap mau berangkat kerja, mereka mau ikut. Jadi aku bawa aja. Sekalian mau jemput kamu." Pria itu menurunkan Fiasal yang kesulitan untuk turun dari mobilnya.Ammar sangat telaten dan sabar memperlakukan anak-anak, bahkan melebihi perlakuan ayah kandungnya sendiri. Terkadang aku salut dengan pria yang ternyata memiliki kasih sayang yang begitu besar.Aku dan Fauzan sudah duduk di kursi teras, sementara Ammar masih sibuk mengukur lantai bersama Faisal. Batita itu berjalan ke sana kemari mengejar kum
Bang Fahmi yang tidak siap menerima serangan secara mendadak, langsung jatuh terhuyung ke lantai. Pria yang pernah mengikrarkan ijab kabul padaku dulu mengusap sudut bibirnya."Apa-apaan sih ini? Dia siapa, Mir? Pacar kamu? Gila kamu Mir baru beberapa hari cerai dari aku, udah punya pacar lagi. Jangan-jangan kamu memang udah selingkuh sama dia sebelum kita cerai. Belum lagi yang katanya mau nikah sama Ammar. Ingat Mir, kamu itu masih dalam masa Iddah, jadi nggak boleh sembarang bergaul dengan laki-laki, apalangi sampai ngundang dia ke rumah."Mataku terbelalak mendengar tuduhan Bang Fahmi. Gegas aku mendekatinya yang masih terduduk di lantai akibat menerima pukvlan dari Gery.Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kirinya. Pria itu kembali mengaduh kesakitan."Jaga ucapan kamu, Bang. Kamu tahu siapa laki-laki ini?""Nggak, memang siapa?" bentaknya."Dia suami Nina dan aku tidak tahu di antara kalian siapa sebenarnya yang selingkuhan Nina. Kalau kamu jadi selingkuhan Nina, Bang, sung