Share

7. Perubahan

Puas rasanya melihat orang yang telah merenggut laki-laki yang aku cintai dikerjai habis-habisan oleh anakku sendiri.

Aku salut dengan Ammar. Aku rasa pria bujang setengah lapuk itu yang memberikan briefing untuk kedua anakku. Mustahil rasanya jika mereka berdua bertindak atas kemauan mereka sendiri.

Walaupun mereka sangat aktif, tapi tingkahnya tidak seaktif kali ini. Akupun sebagai ibu, jika mereka bertingkah sangat aktif, sudah pasti aku menyerah. Apalagi Bang Fahmi yang sama sekali tidak pernah menyentuh mereka semenjak mereka bayi.

Dari dua hari waktu yang Bang Fahmi berikan untuk kami, mungkin hanya satu jam dia full bersama kami. Selebihnya dia sibuk dengan handphone-nya, teman-temannya dan mungkin juga gundik itu.

Sakit saranya kalau mengingat hal itu, aku sudah seperti pembantu di rumah, bukan lagi di anggap istri. Aku sekarang baru sadar jika sikap Bang Fahmi dulu bukan karena dia capai, tapi karena memang dia sudah bosan terhadapku.

"Mir, kita mampir salon dulu ya." Suara Bu Anna membuyarkan lamunanku.

"Mau ngapain, Bu?" Aku mengeryitkan dahi.

"Beli semen," jawabnya asal.

"Beli semen nggak di rumah makan aja, Bu. Lebih gurih."

"Huust ... Ya mau perawatan dong, Mir. Masa iya mau beli semen." Wanita itu merengut. Aku paling suka kalau melihat bibir ibu dimonyong-monyongin gitu, bikin gemes.

"Ibu, lucu." Wanita itu malah menonyor lenganku.

"Ibu ini udah tua lho, Mir, malah digodain terus."

"Soalnya Ibu benar-benar menggoda sih, hahahah ...."

Wanita tua yang masih cantik itu bertubi-tubi memukul lenganku.

"Kita! ke salonnya mbakmu saja, Mir. Biar dapat diskon." Ibu terkekeh.

"Ide bagus. Ayok meluncur." Akupun menginjak pedal gas dan melesat menuju salon kecantikan milik kakak iparku yang dia beri nama 'Jess Beauty'.

"Mirnaaaa ... Jangan ngebut kayak gini juga kali." Aku melirik sekilas ke samping kir, ternyata ibu sudah mencengkram pegangan pintu dengan kuat.

"Astaghfirullah, Ibu. Mirna lupa ibu takut kegelapan, eh ... Maksudnya takut kecepatan." Aku lantas menurunkan kecepatan mobil.

"Kamu itu ya." Kembali, lengan kiriku menjadi sasaran empuk tinjuannya.

"KDRT ini, Bu. Bisa memar-memar nanti."

"Hem ... Gitu aja memar-memar. Lebay kamu mah."

"Dah sampai ini, ayo turun!"

"Jadi kamu turunkan kecepatan tadi karena udah sampai?" tanya ibu dengan wajah polosnya. Aku hanya mengangguk seraya menampakan gigi kelinciku.

"Hiiss dasar. Mantu ...."

"Mantu kesayangan kan maksudnya." Wania itu tertawa. Aku paling suka melihat ibu tertawa renyah seperti itu.

"Bu, terus tertawa seperti ini ya," ucapku.

"Nggah, ah. Nanti dikira ibu orang gila lagi."

"Aih, Ibu ni. Orang lagi serius."

"Eh ... Iya, Sanyang. Kalau kamu sama cucu-cucu ibu bahagia, pasti ibu juga bahagia." Ibu mengacak-acak rambutku yang kucel.

Kami berdua turun dari mobil. Aku menggelendot di tangan kanan ibu mertua sambil berjalan menuju gedung tingkat dua dengan cat nuansa biru laut.

"Lho, Ibu kesini kok nggak kabarin dulu, kan aku bisa pesanan dessert kesukaan Ibu," sambut Mbak Jess yang kebetulan sedang berdiri di depan kasir.

"Ibu ke sini bukan mau makan dessert, Jess."

"Lho, biasanya kan Ibu ke sini cuma mau makan dessert kesukaan ibu itu. Jadi?"

"Ini, permak adikmu jadi cantik, glowing. Pokonya jadikan dia lebih muda. Minimal kayak umur 20 tahunlah. Kalau mau nyamain yang onok, nggak mungkin. Umur mana bisa di tipu," selproh ibu.

"Jadi, bukan Ibu yang mau perawatan?" tanyaku.

"Ya nggaklah, Mir. Kamu yang mau ibu permak. Ibu mana pernah perawatan segala. Ibu cuma pakai bedak padat sama pelembab aja."

"Lha ... Jadi kalau Ibu ke sini hampir setiap hari itu ngapain?"

"Itu yg lho, Mir. Beli dessert yang di samping. Cuma ngademnya di sini, sama malak juga," sahut Mbak Jesika.

"Owalah ... Kirain perawatan. Oh iya lupa, masa udah Nenek-nenek masih perawatan juga."

"Mirnaaaa ...," pekik ibu sambil menimpukku dnegan tas tangannya.

"Udah yuk, Mir. Biar Nenek-nenek ini beli dessert di sebelah."

Tepat di samping salon Mbak Jesika ini ada toko kue dengan dessert-nya yang sangat enak. Hampir tiap hari ibu membawakan untuk kami. Aku kira, ibu perawatan di salon Mbak Jesika dan pulangnya membeli dessert. Eh ternyata kebalikannya.

"Oke deh. Atur ya Jess. Buat mantu ibu ini jadi makin cantik."

"Siap Kanjeng Ratu." Kami bergegas ke atas, sebelum ibu menimpuk kami menggunakan sendalnya.

Begitulah hubunganku dengan mertua dan kakak iparku. Aku kira dulu keluargaku sempurna, ibu mertua dan kakak ipar yang baik, suami tampan, karirnya juga bagus, anak-anak juga imut dan ganteng-ganteng, tapi ternyata penilaianku terhadap Bang Fahmi salah besar.

Namun, aku tetap beruntung, ibu dan kakak iparku tak serta merta membenarkan perlakuan Bang Fahmi, walaupun dia anak dan adik kandung mereka.

Dua jam lebih aku melakukan serangkaian treatment, aku tidak tahu apa-apa saja namanya. Yang aku tahu, rambutku di gunting, di cat, di keringkan, lalu wajahku di rokok-rokok pakai entah apa dan masih banyak lagi. Bahkan aku sampai ketiduran ketika karyawan Mbak Jess memijatku.

"Lihat, Mir!" Mbak Jesika membawaku ke depan cermin yang sangat besar. Mataku membutat ketika melihat perubahan wajahku yang sangat drastis.

"Ternyata aku masih imut-imut ya, Mbak. Kayak Cut Meyriska kan."

"Lho ... Lho ... Kok iya ya, Mir. Aku baru sadar lho. Kamu sih nggak pernah dandan. Jadi inner beauty kamu nggak kelihatan."

"Mana sempat aku, Mbak. Mbak tahu sendiri kan bagaimana aktifnya anak-anak."

"Iya, aku ngerti, Mir. Mulai sekarang sempatin ke sini ya. Bawa aja anak-anak. Nanti aku belikan playground deh. Jadi buka kesempatan juga untuk ibu-ibu muda lainnya. Tetap cantik tanpa harus meninggalkan anak."

"Ide bagus itu Mbak. Sekalian ada jasa baby sitter-nya Mbak."

"Wah bagus juga tuh, Mir. Oke deh. Nanti aku rundingin sama adminku."

"Eh ... Ngomong-ngomong ibu mana?" Aku celingukan mencari keberadaan ibu mertuaku yang ajaib itu.

"Paling di ruanganku." Aku beranjak mengikuti Mbak Jesika ke ruangannya. Dan ternyata benar, ibu tengah tertidur pulas di sofa setelah mengahbiskan lima kotak dessert dengan berbagai macam varian. Kami berdua hanya menggeleng kepala melihat ibu kami mendengkur.

Setelah menunggu ibu bangun, kami langsung pulang ke rumah ibu. Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya ibu memuji penampilanku.

"Kok kamu jadi mirip artis ya, Mir."

"Masa sih, Bu. Mirip siapa memangnya?"

"Itu lho yang imut-imut, terus suaminya yang mualaf itu. Siapa ya ... Cut, Cut gitu deh namanya." Aku tersenyum malu.

"Cut Meyriska bukan?"

"Eh iya, bener. Coba dari dulu kamu ke salon, Mir. Pasti si Fahmi bakalan pikir-pikir mau selingkuh sama anak SMA itu. Eh ... Nggak, nggak. Selingkuh itu watak deng. Mau istrinya secantik bidadari juga kalau suaminya suka selingkuh, masih tetap aja selingkuh. Padahal ayahmu itu setia banget sama ibu, Mir. Kok Fahmi nggak nyontoh ayahnya ya."

"Mungkin memang Bang Fahmi udah nggak cinta lagi sama Mirna, Bu."

"Udah, Mir. Nggak usah ngomongin Fahmi, ah. Pusing ibu kalau ingat kelakuannya."

"Lho, kan Ibu yang duluan ngomongin Bang Fahmi. Gimana sih," protesku.

"Oh. Iya ya ...."

Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah ibu. Aku melihat ada mobil Bang Fahmi di sana. Terlihat juga anak-anak tengah bermain lari-larian di halaman rumah ibu yang luas.

Penampilan Bang Fahmi sudah seperti orang yang tidak pernah mandi selama berhari-hari. Padahal baru tinggal bersama-sama anak-anak selama dua hari. Rambutnya awut-awutan tak karuan.

"Kamu tunggu di sini dulu ya, Mir. Nanti kalau ibu kode. Kamu turun ya." Aku mengangguk.

Ibu turun dan menemui anak bungsunya itu di teras. Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka. Cukup lama mereka berbincang, bahkan hingga Bang Fahmi kesal dengan ucapan ibu.

Ibu menjentikkan jarinya, memberikan kode agar aku turun dari mobil.

"Mamaaaa ...," teriak kedua anakku ketika melihatku turun dari mobil. Aku langsung memeluk mereka dan menciumi satu persatu pipi tembem mereka. Kemudian menggendong Faisal, sementara Fauzan aku tuntun.

"Gimana liburan sama Papa? Asyik nggak?"

"Asyik, Ma. Kita main lumpur, main kuda-kudaan, main bola main bedak." Aku terkekeh mendengar penuturan anak-anakku.

"Nanti kalau udah selesai liburannya, nggak boleh lagi main seperti itu ya." Kedua anak baikku itu mengangguk.

Aku tersenyum anggun ke arah Bang Fahmi. Sementara dia hanya membulatkan mata dan mulut menganga.

****

Awas Fahmi! Kemasukan lalat. Hihihihih ..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status