Puas rasanya melihat orang yang telah merenggut laki-laki yang aku cintai dikerjai habis-habisan oleh anakku sendiri.
Aku salut dengan Ammar. Aku rasa pria bujang setengah lapuk itu yang memberikan briefing untuk kedua anakku. Mustahil rasanya jika mereka berdua bertindak atas kemauan mereka sendiri.Walaupun mereka sangat aktif, tapi tingkahnya tidak seaktif kali ini. Akupun sebagai ibu, jika mereka bertingkah sangat aktif, sudah pasti aku menyerah. Apalagi Bang Fahmi yang sama sekali tidak pernah menyentuh mereka semenjak mereka bayi.Dari dua hari waktu yang Bang Fahmi berikan untuk kami, mungkin hanya satu jam dia full bersama kami. Selebihnya dia sibuk dengan handphone-nya, teman-temannya dan mungkin juga gundik itu.Sakit saranya kalau mengingat hal itu, aku sudah seperti pembantu di rumah, bukan lagi di anggap istri. Aku sekarang baru sadar jika sikap Bang Fahmi dulu bukan karena dia capai, tapi karena memang dia sudah bosan terhadapku."Mir, kita mampir salon dulu ya." Suara Bu Anna membuyarkan lamunanku."Mau ngapain, Bu?" Aku mengeryitkan dahi."Beli semen," jawabnya asal."Beli semen nggak di rumah makan aja, Bu. Lebih gurih.""Huust ... Ya mau perawatan dong, Mir. Masa iya mau beli semen." Wanita itu merengut. Aku paling suka kalau melihat bibir ibu dimonyong-monyongin gitu, bikin gemes."Ibu, lucu." Wanita itu malah menonyor lenganku."Ibu ini udah tua lho, Mir, malah digodain terus.""Soalnya Ibu benar-benar menggoda sih, hahahah ...."Wanita tua yang masih cantik itu bertubi-tubi memukul lenganku."Kita! ke salonnya mbakmu saja, Mir. Biar dapat diskon." Ibu terkekeh."Ide bagus. Ayok meluncur." Akupun menginjak pedal gas dan melesat menuju salon kecantikan milik kakak iparku yang dia beri nama 'Jess Beauty'."Mirnaaaa ... Jangan ngebut kayak gini juga kali." Aku melirik sekilas ke samping kir, ternyata ibu sudah mencengkram pegangan pintu dengan kuat."Astaghfirullah, Ibu. Mirna lupa ibu takut kegelapan, eh ... Maksudnya takut kecepatan." Aku lantas menurunkan kecepatan mobil."Kamu itu ya." Kembali, lengan kiriku menjadi sasaran empuk tinjuannya."KDRT ini, Bu. Bisa memar-memar nanti.""Hem ... Gitu aja memar-memar. Lebay kamu mah.""Dah sampai ini, ayo turun!""Jadi kamu turunkan kecepatan tadi karena udah sampai?" tanya ibu dengan wajah polosnya. Aku hanya mengangguk seraya menampakan gigi kelinciku."Hiiss dasar. Mantu ....""Mantu kesayangan kan maksudnya." Wania itu tertawa. Aku paling suka melihat ibu tertawa renyah seperti itu."Bu, terus tertawa seperti ini ya," ucapku."Nggah, ah. Nanti dikira ibu orang gila lagi.""Aih, Ibu ni. Orang lagi serius.""Eh ... Iya, Sanyang. Kalau kamu sama cucu-cucu ibu bahagia, pasti ibu juga bahagia." Ibu mengacak-acak rambutku yang kucel.Kami berdua turun dari mobil. Aku menggelendot di tangan kanan ibu mertua sambil berjalan menuju gedung tingkat dua dengan cat nuansa biru laut."Lho, Ibu kesini kok nggak kabarin dulu, kan aku bisa pesanan dessert kesukaan Ibu," sambut Mbak Jess yang kebetulan sedang berdiri di depan kasir."Ibu ke sini bukan mau makan dessert, Jess.""Lho, biasanya kan Ibu ke sini cuma mau makan dessert kesukaan ibu itu. Jadi?""Ini, permak adikmu jadi cantik, glowing. Pokonya jadikan dia lebih muda. Minimal kayak umur 20 tahunlah. Kalau mau nyamain yang onok, nggak mungkin. Umur mana bisa di tipu," selproh ibu."Jadi, bukan Ibu yang mau perawatan?" tanyaku."Ya nggaklah, Mir. Kamu yang mau ibu permak. Ibu mana pernah perawatan segala. Ibu cuma pakai bedak padat sama pelembab aja.""Lha ... Jadi kalau Ibu ke sini hampir setiap hari itu ngapain?""Itu yg lho, Mir. Beli dessert yang di samping. Cuma ngademnya di sini, sama malak juga," sahut Mbak Jesika."Owalah ... Kirain perawatan. Oh iya lupa, masa udah Nenek-nenek masih perawatan juga.""Mirnaaaa ...," pekik ibu sambil menimpukku dnegan tas tangannya."Udah yuk, Mir. Biar Nenek-nenek ini beli dessert di sebelah."Tepat di samping salon Mbak Jesika ini ada toko kue dengan dessert-nya yang sangat enak. Hampir tiap hari ibu membawakan untuk kami. Aku kira, ibu perawatan di salon Mbak Jesika dan pulangnya membeli dessert. Eh ternyata kebalikannya."Oke deh. Atur ya Jess. Buat mantu ibu ini jadi makin cantik.""Siap Kanjeng Ratu." Kami bergegas ke atas, sebelum ibu menimpuk kami menggunakan sendalnya.Begitulah hubunganku dengan mertua dan kakak iparku. Aku kira dulu keluargaku sempurna, ibu mertua dan kakak ipar yang baik, suami tampan, karirnya juga bagus, anak-anak juga imut dan ganteng-ganteng, tapi ternyata penilaianku terhadap Bang Fahmi salah besar.Namun, aku tetap beruntung, ibu dan kakak iparku tak serta merta membenarkan perlakuan Bang Fahmi, walaupun dia anak dan adik kandung mereka.Dua jam lebih aku melakukan serangkaian treatment, aku tidak tahu apa-apa saja namanya. Yang aku tahu, rambutku di gunting, di cat, di keringkan, lalu wajahku di rokok-rokok pakai entah apa dan masih banyak lagi. Bahkan aku sampai ketiduran ketika karyawan Mbak Jess memijatku."Lihat, Mir!" Mbak Jesika membawaku ke depan cermin yang sangat besar. Mataku membutat ketika melihat perubahan wajahku yang sangat drastis."Ternyata aku masih imut-imut ya, Mbak. Kayak Cut Meyriska kan.""Lho ... Lho ... Kok iya ya, Mir. Aku baru sadar lho. Kamu sih nggak pernah dandan. Jadi inner beauty kamu nggak kelihatan.""Mana sempat aku, Mbak. Mbak tahu sendiri kan bagaimana aktifnya anak-anak.""Iya, aku ngerti, Mir. Mulai sekarang sempatin ke sini ya. Bawa aja anak-anak. Nanti aku belikan playground deh. Jadi buka kesempatan juga untuk ibu-ibu muda lainnya. Tetap cantik tanpa harus meninggalkan anak.""Ide bagus itu Mbak. Sekalian ada jasa baby sitter-nya Mbak.""Wah bagus juga tuh, Mir. Oke deh. Nanti aku rundingin sama adminku.""Eh ... Ngomong-ngomong ibu mana?" Aku celingukan mencari keberadaan ibu mertuaku yang ajaib itu."Paling di ruanganku." Aku beranjak mengikuti Mbak Jesika ke ruangannya. Dan ternyata benar, ibu tengah tertidur pulas di sofa setelah mengahbiskan lima kotak dessert dengan berbagai macam varian. Kami berdua hanya menggeleng kepala melihat ibu kami mendengkur.Setelah menunggu ibu bangun, kami langsung pulang ke rumah ibu. Di sepanjang jalan, tak henti-hentinya ibu memuji penampilanku."Kok kamu jadi mirip artis ya, Mir.""Masa sih, Bu. Mirip siapa memangnya?""Itu lho yang imut-imut, terus suaminya yang mualaf itu. Siapa ya ... Cut, Cut gitu deh namanya." Aku tersenyum malu."Cut Meyriska bukan?""Eh iya, bener. Coba dari dulu kamu ke salon, Mir. Pasti si Fahmi bakalan pikir-pikir mau selingkuh sama anak SMA itu. Eh ... Nggak, nggak. Selingkuh itu watak deng. Mau istrinya secantik bidadari juga kalau suaminya suka selingkuh, masih tetap aja selingkuh. Padahal ayahmu itu setia banget sama ibu, Mir. Kok Fahmi nggak nyontoh ayahnya ya.""Mungkin memang Bang Fahmi udah nggak cinta lagi sama Mirna, Bu.""Udah, Mir. Nggak usah ngomongin Fahmi, ah. Pusing ibu kalau ingat kelakuannya.""Lho, kan Ibu yang duluan ngomongin Bang Fahmi. Gimana sih," protesku."Oh. Iya ya ...."Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah ibu. Aku melihat ada mobil Bang Fahmi di sana. Terlihat juga anak-anak tengah bermain lari-larian di halaman rumah ibu yang luas.Penampilan Bang Fahmi sudah seperti orang yang tidak pernah mandi selama berhari-hari. Padahal baru tinggal bersama-sama anak-anak selama dua hari. Rambutnya awut-awutan tak karuan."Kamu tunggu di sini dulu ya, Mir. Nanti kalau ibu kode. Kamu turun ya." Aku mengangguk.Ibu turun dan menemui anak bungsunya itu di teras. Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka. Cukup lama mereka berbincang, bahkan hingga Bang Fahmi kesal dengan ucapan ibu.Ibu menjentikkan jarinya, memberikan kode agar aku turun dari mobil."Mamaaaa ...," teriak kedua anakku ketika melihatku turun dari mobil. Aku langsung memeluk mereka dan menciumi satu persatu pipi tembem mereka. Kemudian menggendong Faisal, sementara Fauzan aku tuntun."Gimana liburan sama Papa? Asyik nggak?""Asyik, Ma. Kita main lumpur, main kuda-kudaan, main bola main bedak." Aku terkekeh mendengar penuturan anak-anakku."Nanti kalau udah selesai liburannya, nggak boleh lagi main seperti itu ya." Kedua anak baikku itu mengangguk.Aku tersenyum anggun ke arah Bang Fahmi. Sementara dia hanya membulatkan mata dan mulut menganga.****Awas Fahmi! Kemasukan lalat. Hihihihih ..Aku terus melenggang anggun melewati mantan suamiku yang kucel itu. Kulihat Tangannya ingin mencekal tanganku, namun buru-buru dia singkirkan. Mungkin dia ingat dengan perkataanku kamarin tentang mahram. Aku hanya tertawa tertahan."Mi-Mirna ...."Aku masuk ke dalam rumah ibu tanpa menghiraukan panggilan dari Bang Fahmi. Laki-laki tadinya selalu bergaya perlente itu tak berkedip ketika aku lewat tepat di depan wajah."Mau apa kamu ke sini?" tanya ibu dengan nada sewot."Lho ini juga kan rumah Fahmi, Bu. Masa Fahmi nggak boleh pulang ke sini.""Siapa bilang? Rumah ini kan yang bangun pakai uang ibu sama ayahmu dulu. Nggak ada sepeserpun uangmu ikut bangun. Jadi jangan seenaknya kamu bilang kalau ini rumahmu juga. Dari mana konsepnya?" papar ibu mertua yang membuat mantan suamiku itu menelan ludahnya."Itu kan yang kamu katakan sama Mirna?"Aku sengaja mendengarkan pembicaraan mereka dari balik jendela. Sementara anak-anak sudah asyik dengan mainannya di ruang tengah."Tapi kan Fahmi an
"kita harus bicara, Mirna." Laki-laki itu berdiri menyambutku yang baru saja membuka pintu. Sementara anak-anak yang sepertinya masih mengantuk, aku suruh mereka masuk ke dalam rumah."Mau bicara apa?""Aku tidak sanggup mengasuh mereka seorang diri, Mirna. Aku setuju kalau kita bagi harta gono gini." Aku tersenyum miring. Sebatas itukah kemampuan meng-handle anak-anak."Tapi kamu kembalikan dulu nafkah yang aku beri dulu, baru kita bagi harta gono gini.""Astaghfirullah, Bang. Apa lagi sih ini? Kamu belajar hukum di mana? Kenapa seperti ini?bukannya kemarin Ibu sudah menjelaskan panjang lebar ya. Aku kira kamu udah paham. Ternyata makin nge-hank gini sih.""Kan sudah aku turuti permintaan kamu untuk bagi harta gono gini. Sekarang aku juga minta hak aku lah.""Bang, kalau kamu pagi-pagi kesini cuma mau bicara masalah ini, sebaiknya kamu pergi. Aku akan tetap tuntut kamu di persidangan nanti." Aku berbalik badan dan menutup pintu, kumudian menguncinya, tapi ternyata ada yang lupa. La
Wanita berambut panjang sepinggang itu mengaduh kesakitan. Berulang kali aku pukul pantatnya menggunakan sapu lidi, bak kucing yang ketahuan sedang mencuri ikan di kulkas. Sangat lancang bukan?"Auuu ... Sakit. Berhenti!""Pergi kamu. Ngapain kami tidur di rumah ini? Pergi!" teriakku."Stop! Sakit ini.""Pergi kamu!" Aku terus memukuli wanita tak tahu malu itu."Hei Mbak! Jangan kasar gitu sama orang. Pantas aja suaminya lari ke aku. Orang istirnya aja kayak singa begini," cibir perempuan itu."Sama perempuan seperti kamu mah pantas dikasari." Aku tak berhenti mengayunkan sapu lidi ini ke badan perempuan itu."Udah Mbak! Stop! Aku teriak nanti. Kamu bisa ditangkap karena udah mukulin orang.""Teriak aja sana kalau berani. Ayo teriak!" Aku mendorong wanita itu sampai di pintu kamar. "Ayo teriak!" ujarku menantang wanita gatal itu"Kenapa? Nggak berani? Ayo sana teriak!""Dasar, Nenek-Nenek!" sungutnya."Hei betina! Cepat pergi, sebelum aku teriaki kamu maling, karena ini rumahku!""Ck
Aku tersenyum jahat di dalam mobil. Rasanya puas sekali aku bisa mengerjai kedua pasangan selingkuh itu. "Mirnaaaa," teriak laki-laki itu. Mungkin dia baru sadar jika akulah yang ada di dalam mobil itu. Aku bergegas turun dari mobil untuk membeli kue lupis kesukaannya Tante Anni. Kulihat sekilas laki-laki itu mengejarku. "Mirna, apa-apaan kamu ini. Lihat bajuku dan baju Nina jadi kotor begini. Kamu juga tega-teganya mukulin Nina pakai sapu dan ngusir dia dari rumah!" bentak laki-laki itu setelah mendekatiku."Peduli apa aku sama kalian? Itu rumah anak-anak, jadi aku berhak mengusir perempuan itu! Emang siapa dia, istri kamunjuga bukan kan cuma simpanan!""Gara-gara ulah kamu, aku jadi belikan dia emas.""Lho ... Lho ... Kok jadi gara-gara aku? Gundikmu saja yang matre!""Dia bukannya matre, tapi berkelas! Itu karena kamu mukulin dia, jadi dia merajuk dan minta hadiah emas. Sini ganti rugi! Kamu harus ganti uang untuk membeli emas karena ulah kamu.""Yaa Allah, kemanalah otak laki-l
Tante Anni menahanku untuk menginap di rumahnya, katanya dia sangat rindu sekali dengan Fauzan dan Faisal. Tante Anni memang pernah membawa anak-anak nginap di rumah ini, tetapi waktu itu ada ibu mertua yang menemani.Kalau sekarang aku menginap di sini, apa kata orang, sedangkan di sini ada bujang setengah lapuk itu. Duh ... Bisa jatuh harga diriku."Lain Kali aja Tante, lagian nggak enak kalau Mirna ikut nginap di sini, apa kata orang nanti," tolakku."Isssh kepedean, siapa juga yang mau ngajak situ nginap? Orang yang di suruh nginep itu anak-anak kok," cibir laki-laki gondrong itu."Sssttt ... Jangan seperti itu. Dah sana kamu kalau mau ke kampus. Urus skripsi yang udah setahun nggak kelar-kelar," bela Tante Anni. Aku seperti di atas awan.Laki-laki itu berlalu sambil mengepalkan tangan, sementara aku menjulurkan lidahku."Kalian ini seperti anak kecil. Hemmm ...," tegur Tante Anni."Dia itu, Mam ngeledekin terus. Mending bujang lapuk daripada Baru 3 tahun nikah dah cere. Masa masi
Cukup lama aku terbengong mendengar pernyataan Ammar yang sangat mengejutkan. Sementara laki-laki terus menyerocos. Fauzan yang sedang memakan cemilan berlari ke arahku untuk menunjukkan mainan barunya"Mirna!" sentaknya. Laki-laki itu menepuk kedua tangannya tepat di depan wajahku."Heh ... biasa aja gitu kenapa. Pasti kamu syok kan aku terima perjodohan kita?""What? Kamu ngigo ya? Udah sana pulang! Aku capai, mau istirahat!" usirku."Catat baik-baik, Mir. Ini pertama dalam sejarah aku mau dijodohkan sama perempuan.""Jadi selama ini kamu seleranya laki-laki gitu?""Eh. Jangan sembarangan kalau ngomong. Ya ceweklah. Kamu nggak usah jual mahal gitu, kemarin kamu malu aja kan mau terima perjodohan kita.""Stop Ammar. Aku nggak mau dengar lagi ocehan kamu. Sekarang kamu pulang sana. Aku ini masih sah menjadi istri Bang Fahmi. Jadi nggak etis kalau ngomongin perjodohan. Belum tentu juga aku mau sama kamu!"Laki-laki itu mencibirku, lalu dia bangkit. "Kesempatan tidak datang dua kali.""
"Mam, num." Suara Faisal menghentikan aktivitasku. Aku seka sudut mataku yang sudah berembun. Kenapa ini mata tidak bisa diajak kompromi baramg sebentar. Baru lihat begini sajanudah cengeng, rutukku"Iya, Sayang." Aku lantas beranjak menuju dapur untuk mengambilkan air putih untuk Faisal."Sudah makanan, Dek?" tanyaku. Bocah dua tahun itu mengangkat piringnya yang sudah kosong."Kalau sudah, kita berangkat ya." Aku usap kepalanya. Selanjutnya aku bopong tubuh Faisal dan mendudukkannya di car seat. Lantas aku ambil tas yang sudah aku siapkan tadi.Setelah memastikan kompor tidak menyala dan juga jendela dan pintu sudah terkunci, aku langsung masuk ke dalam mobil. Terkadang aku masih suka ceroboh, meninggalkan kompor masih dalam keadaan menyala. Bahkan kemairn pernah aku sedang menghangat sop, kemudian aku tinggal untuk menidurkan anak-anak di kamar dan tak terasa aku tertidur.Saat aku terbangun, panci yang aku pakai memanaskan sop sudah hitam. Air sop sudah menguap tak tersisa. Isi da
Aku klik blokir di nomor WhatsApp Bang Fahmi. Satu-satunya cara agar laki-laki itu tidak menggangguku dan juga menjaga hati agar tetap waras. Setelah itu aku blokir semua akun sosial media mantan suamiku, setelah aku merusuh di postingannya.Aku tersenyum menang ketika teman-teman dari Bang Fahmi mencibir dan menghina Nina sebagai pelakor. Perempuan itu memang pantas mendapatkan julukan itu. Siapa suruh memasuki rumah orang dan mengambil isinya tanpa permisi. Namun kenapa perempuan itu kini yang seolah merasa terzolimi dengan keadaannya sekarang? Hanya karena aku mengatakan jika aku masih istri sahnya. Ah ... Memang pelakor jaman sekarang, dia yang menyakiti dia pula yang merasa tersakiti.Apalagi Bang Fahmi, sudah tahu belum juga sah bercerai, dia sudah memposting foto mesra bersama perempuan lain, siapa yang tidak panas melihat hal itu? Tidak bisakah dia menahan jarinya untuk mengunggah foto mesranya setelah proses perceraian kami selesai. Secara agama, memang kami sudah bercerai,
Halooo, setelah sekian lama Hiatus, akhirnya dapat wangsit juga buat update. Hihihihi.***Aku sangat geram sekali mendengar perkataan Bang Fahmi. Sepertinya ada gelagat aneh dengan pria itu. Di samping tak biasa dia datang ke rumah ibunya sendi untuk bertemu denganku, Sejak kapan dia peduli dengan anak-anak? Bahkan dia berencana mengajak jalan-jalan ke puncak segala.“Ya Sudah kalau begitu, aku nggak bisa, kalau kamu mau bawa anak-anak ke puncak, silahkan, Asalkan pulang nanti jangan ada yang kurang satu pun, termasuk satu helai rambutnya. Karena aku tahu semua jumlah rambut anak-anak. Sampai berkurang satu helai rambutnya, maka kamu akan membayar dendanya 100 ribu per helai.”“Kok kamu jadi perhitungan begini, sih Mir. Mereka juga kan anak-anakku juga. Aku berhak atas mereka, Mir.”“Mereka juga berhak atas nafkah ayahnya, Bang. Yang lebih dulu hitung-hitungan siapa? Aku kan cuma aku yang kamu buat, Bang.”“Iya, oke, oke. Aku ngaku salah, tolong dong, jangan diungkit-ungkit lagi. Kamu
Aku terus mengomel sepanjang jalan ketika kami pulang dari rumah Paman. Bagaimana tidak, sudah aku bilang bagaimana sifat Paman dan Bibi ketika dihadapkan dengan lembaran kertas bernama uang. Namun bujang setengah lapuk yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai suamiku itu justru tak menghiraukan ocehanku.Benar-benar menyebalkan Ammar itu, seandainya dia bukan bosku, sudah kuketok kepalanya. “Kenapa kamu ngomel-ngomel begitu, Mir?”‘Eh, kok dia denger sih?’ batinku.“Keluarin aja, Mir uneg-unegnya.” Ammar menghentikan motornya di pinggir jalan, di bawah pohon yang cukup rindang. Sepertinya di sini tempat orang biasa duduk-duduk atau sekedar melepas penat. karena terlihat berbeda dengan pohon-pohon yang lain.“Kamu itu lho, Ammar, udang dibilang, kalau pamanku itu agal lain kalau masalah duit, kamu malah jor-joran mau kasih seragamlah, perhiasanlah. Bisa ngelunjak nanti kalau dituruti begitu. Seharusnya kamu kasih saya sekedarnya, kasih dua juga saja sudah senang mereka. Ini
Aku tarik tangan Ammar ke luar dari rumah Paman. Rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana aku diperlakukan tidak adil oleh mereka.Mereka yang mengaku saudara, mereka yang katanya masih memiliki DNA yang sama dengan ayahku. Namun nyatanya jauh dari kata baik.Jika bisa aku mengulang waktu, sudah pasti aku dulu akan memilih hidup di kostan, daripada harus tinggal serumah dengan paman dan bibi, tetapi mereka hanya memanfaatkan tenagaku saja. Bahkan ketika aku sudah bekerja, hampir semua gajiku diambil Bibi, dengan alasan untuk membeli kebutuhan ku sehari-hari. Bodohnya aku tidak pernah berpikir menyisipkankan gajiku untuk keperluanku sendiri. Mungkin dulu aku terlalu penurut dan polos. Berpikir bahwa merekalah saudaraku satu-satunya.Hingga akhirnya aku bisa keluar dari tempat itu setelah Bu Anna melamarku untuk anak laki-lakinya dan membawaku pergi dari rumah itu. Sejak aku dan Bang Fahmi menikah, Paman memang tidak pernah menuntut apa pun dariku.Belakangan, aku baru tahu jika Setiap
Bang Fahmi berkacak pinggang sambil berjalan memutariku. Sudah seperti detektif saja dia "Kamu nggak paham juga apa yang aku tunjukkan, Mir. Sudah jelas-jelas dia itu nggak bener, masa kamu mau nikah sama laki-laki modelan seperti Ammar." Laki-laki itu berkata dengan pongkah."Memang Abang merasa lebih baik dari Ammar? Selingkuh sama istri orang, menelantarkan anak sendiri, itu yang Abang bilang baik? Seandainya memang yang Abang katakan itu benar, belum tentu juga aku mau rujuk sama Abang. Pastinya aku berpikir seribu kali untuk rujuk sama Abang. Abang pikir ngaapin aku ngurus akta cerai Kemarin kalau ujung-ujungnya untuk rujuk? Capein badanlah, Bang.""Terserah kamu, Mir. Yang penting aku sudah ingatkan kamu bagaimana kelakuan Ammar di luar sana. Seharusnya kamu membuka mata, Mir. Hanya karena kamu ingin menikahi direktur, kamu korbankan anak-anak, kamu korbankan masa depan mereka. Aku sudah berubah, aku sudah minta maaf, seharusnya kamu pikirkan dan pertimbangankan permintaanku un
Mataku mengerjap, disekelilingku ada Bu Anna, Tante Anni dan Mbak Nana--tetangga sekaligus temanku satu kompleks, mereka terlihat cemas. Aku pun bingung apa yang terjadi sebelumnya. Aku hanya ingat kalah Bu Anna datang hendak mengajakku arisan keluarga."Anak-anak mana, Bu?""Ada di depan sama Ammar dan opanya.""Maaf ya, Mir, kalau kedatangan kami justru membuat kamu syok seperti ini," ucap Tante Anni penuh sesal."Mirna hanya kaget Tan, soalnya benar-benar mendadak, sementara Mirna nggak ada persiapan apa pun untuk menyambut keluarga Tante. Mirna tahunya hanya arisan biasa.""Maaf ya, Mir. Itu si Ammar yang punya ide gila ini, katanya dia udah bilang sama kamu, Mir. Makanya kami santai-santai aja ke sini. Eh ... nggak tahunya kamu malah yang nggak tahu apa-apa. Pantesan Mbak Anna tadi juga terkejut waktu kami datang ke rumahnya kasih tahu kalau Ammar ngelamar kamu," papar Tante Anni panjang lebar.Aku melirik ibu yang sedang berbincang dengan Mbak Nana."Iya, ibu juga kaget, Mir. Am
"Maaf Pak saya ke toilet dulu."Tanpa menunggu jawaban dari Ammar, aku langsung ngacir ke toilet. Dadaku benar-benar bergemuruh, seperti ombak di lautan yang siap menerkam. Aku keluarkan botol minum dari dalam tas, lalu meneguknya.Apa-apaan Ammar ini? Kenapa dia jadikan aku sekertaris? Aku tidak enak dengan Angel, dia karyawan paling senior di sini, tetapi kenapa aku yang dia jadikan sekertaris, padahal aku baru saja bergabung di sini.Gestur tubuh Angel waktu menyampaikan pendapatnya tentang kinerjaku tadi terlihat sedang menutupi ketidaknyamanannya.Terlepas dari kata-kata yang dia sampaikan tadi. Entah dia jujur dari hati atau hanya karena tidak enak sebab dia sudah mengetahui antara aku dan Ammar sudah saling kenal.Berkali-kali aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mati-matian aku jaga agar Angel tidak mengetahui hubungan kekerabatan antara aku dan Ammar, tetapi kini dia sudah mengetahui semuanya. Sekarang jabatan yang sudah lama dia inginkan pun harus kand
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, lebih ke salah tingkah dan serba sebenarnya. Hidungku bergerak saja seperti ada yang memerhatikan. Berkali-kali aku membenarkan posisi duduk.Rasanya seperti baru saja bertemu dengan pria satu ini atau seperti baru pertama kopi darat dengan gebetan dan diajak jalan, duh ... rasanya nano-nano. Padahal kalau kami bertemu, selalu saja ribut san ujung-ujungnya kami saling ejek.Tatapan Ammar membuat jantungku benar-benar tidak aman. Apalagi keadaanku masih berantakan begini. Namun, belum sampai setengah perjalanan, Ammar menghentikan mobilnya di pinggir jalan.Aku memicingkan mata, " Ada apa? Mobilnya mogok?" "Dandan dulu gih, biar kamu nggak uring-uringan begitu. Ya ... Walaupun bagaimanapun keadaan kamu aku tetap ...." Pria itu menggantung kata-katanya."Tetap apa?" tanyaku penasaran sekaligus berharap dia akan mengatakan tetap cinta. Duh ... apa-apaan ini. Kenapa aku yang jadi bucin begini sama Ammar. Jangan-jangan aku ...."Udah buruan!" Ucapanny
Pagi sekali Ammar bertengger di atas mobilnya di depan rumahku. Entah apa yang dia lakukan sepagi ini di depan rumah orang. Pria itu terlihat sudah rapi, memakai kemaja warna hitam, celana dan sepatu kerja.Aku lihat dia turun saat melihatku membuka pintu pagar."Mam," panggil Fauzan sembari keluar dari dalam mobil pamannya."Hai, Sayang. Kok pagi-pagi udah minta antar pulang? Ngerepotin Om Ammar lho." Anak kecil itu berlari ke gendonganku."Bukan meraka yang minta antar, tadi waktu aku siap-siap mau berangkat kerja, mereka mau ikut. Jadi aku bawa aja. Sekalian mau jemput kamu." Pria itu menurunkan Fiasal yang kesulitan untuk turun dari mobilnya.Ammar sangat telaten dan sabar memperlakukan anak-anak, bahkan melebihi perlakuan ayah kandungnya sendiri. Terkadang aku salut dengan pria yang ternyata memiliki kasih sayang yang begitu besar.Aku dan Fauzan sudah duduk di kursi teras, sementara Ammar masih sibuk mengukur lantai bersama Faisal. Batita itu berjalan ke sana kemari mengejar kum
Bang Fahmi yang tidak siap menerima serangan secara mendadak, langsung jatuh terhuyung ke lantai. Pria yang pernah mengikrarkan ijab kabul padaku dulu mengusap sudut bibirnya."Apa-apaan sih ini? Dia siapa, Mir? Pacar kamu? Gila kamu Mir baru beberapa hari cerai dari aku, udah punya pacar lagi. Jangan-jangan kamu memang udah selingkuh sama dia sebelum kita cerai. Belum lagi yang katanya mau nikah sama Ammar. Ingat Mir, kamu itu masih dalam masa Iddah, jadi nggak boleh sembarang bergaul dengan laki-laki, apalangi sampai ngundang dia ke rumah."Mataku terbelalak mendengar tuduhan Bang Fahmi. Gegas aku mendekatinya yang masih terduduk di lantai akibat menerima pukvlan dari Gery.Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kirinya. Pria itu kembali mengaduh kesakitan."Jaga ucapan kamu, Bang. Kamu tahu siapa laki-laki ini?""Nggak, memang siapa?" bentaknya."Dia suami Nina dan aku tidak tahu di antara kalian siapa sebenarnya yang selingkuhan Nina. Kalau kamu jadi selingkuhan Nina, Bang, sung