Suara direktur muda yang sangat familiar itu menerpa gendang telingku. Bahkan aku yang sedari tadi terkesan cuek dan acuh dengan kehadiran pria itu, kini ikut penasaran dengan rupa dari direktur muda itu."Selamat pagi, Pak," jawab para cewek-cewek dengan genitnya."Bagaimana kabar kalian pagi ini?" tanyanya lagi. Suaranya benar-benar membuatku penasaran dengan wajah pria itu. "Bapak lagi flu ya? Kok maskernya nggak dibuka?" tanya Angel dengan nada yang di buat-buat."Oh ... Nggak." Pria itu lantas berbalik badan dan terlihat dari gerakan tangannya kalau dia sedang membuka maskernya."Astaghfirullah halaazim, A-Ammar ...." ucapku tergagap Ketika melihat wajah direktur itu adalah Ammar. Pira itu lantas mengedipkan satu matanya. Pandanganku tiba-tiba buram dan gelap.Terasa badanku dibopong oleh sesesorang dan tak lama aku terbangun."Diminum dulu tehnya." Suara itu kembali menyapaku."Kamu belum sarapan ya? Kok pingsan sih. Jangan bilang kalau kamu pingsan karena bertemu denganku," le
Sudah tiga hari aku tidak masuk kerja, hanya lembar kertas bertanda tangan seorang dokter mewakili kehadiranku. Selain itu, rasa kesal dan sakit hati yang membuatku enggan melangkah kaki di perusahaan itu lagi.Selama itu juga aku aku memblokir nomor direktur dadakan itu. Rasanya aku semakin ilfeel dengan laki-laki itu. Bukannya aku sombong, tidak ingin dibantu, tetapi dengan cara dia yang diam-diam seperti itu, membuatku sudah merasa jika diriku ini tidak memiliki kemampuan.Selama tiga hari aku di rumah, aku habiskan dengam menulis novel yang sudah aku publikasikan secara online di sebuah aplikasi novel baca.Baru sehari aku monetisasi ceritaku dan belum ada yang membuka kunci bab. Aku sadar, menjadi seorang penulis tidak seinstan membuat mie instan, bahkan membuat mie instan juga membutuhkan proses yang tidak sebentar, paling tidak ada jeda waktu untuk memprosesnya.Di media sosial juga aku belum terlalu intens untuk melakukan promosi. Nanti kalau aku sudah merasa sehat, aku akan
Wanita berbadan dua itu histeris, lantas dia mengeluarkan gawainya, tak lama dia berbicara dengan seseorang di seberang telepon."Iya, Mas, buruan sini!"(...)"Iihh ... Nggak usahlah, Mas. Kok mau bicara segala," sungut wanita itu."Nih. Ada mau yang bicara." "Siapa?" "Ngomong aja sendiri!" Aku pun menerima gawai itu dan menempelkan di alat pendengaranku."Mirna, tolong ya. Sekali ini aja. Biarkan Nina nginap di sana." Aku menghela nafas kasar."Bang, aku udah ngalah lho, suami aku diambil sama wanita itu, sekarang mau ngerecokin lagi kehidupanku dan anak-anak. Urus sendirilah Bang istrimu yang kayak anak kecil ini.""Satu minggu aja, Mir. Tolong.""Nggak, Bang! Aku mau usir dia.""Jangan gitu dong, Mir. Rumah itu kan rumahku juga, tolong minta pengertiannya.""Nggak, Bang! Aku yang harusnya minta pengertian kamu. Kamu kan udah jadi suami sirinya perempuan ini. Ya larang dong. Masa mau nginap di rumah ini yang jelas-jelas ada aku di sini. Apa kata tetangga Bang, apalagi kalau ada k
Pov: FahmiDengan bujuk rayuku akhirnya ibu mengizinkanku menempati rumah itu, tetapi dengan catatan aku dan Nina tidak boleh menggunakan. Kamar utama, ibu hanya memperbolehkanku menggunakan kamar ke dua yang ukurannya lebih sempit.Bahkan ibu sendiri yang menyegel kamar utama agat tidak kami gunakan. Tak hanya itu, fasilitas di sana seperti kulkas dan mesin cuci tidak boleh kami pakai. Alhasil, setiap hari aku harus membawa cucian baju ke laundry dan membali makan di luar setiap hari.Gajiku yang semakin turun membuat aku harus pontang-panting untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Padahal kami hanya hidup berdua, selama aku meninggalkan Mirna, tak sepeser pun uang yang aku kirim untuk Fauzan dan Faisal. Aku benar-benar dibuat bangkrut oleh istri ke duaku itu.Kalau sudah begini, aku rasa rinduku dan bersalahku pada Fauzan dan Faisal semakin menggebu. Dulu aku tidak pernah memedulikan kedua anak itu, bahkan ketika Mirna kerepotan, aku tidak pernah mau membantu sedikit pun, dengam dal
"Mas, mana mobilnya? Kok kamu naik ojek?" cecar Nina saat aku pulang dari kantor."Kamu itu, bukannya menyambut suami pulang kerja malah nanyain mobil," sungutku."Apanya yang mau ditanya, Mas. Kamu kan baik-baik saja.""Ya setidaknya kasih air minum, syukur-syukur ku buatkan kopi gitu. Selama kita menikah, kamu sama sekali belum pernah membuatkanku kopi atau teh manis.""Idih ogah, Mas, memang aku pembantu kamu, kamu kan bisa buat sendiri.""Sudahlah, Nin, aku capek, biarkan aku istirahat sebentar!" "Mana mobilnya, Mas. Nanti kalau aku mau pergi gimana? Terus itu kenapa kamu pakai baju OB begini?" Nina menarik kerah baju yang aku pakai dengan jijik."Ini semua gara-gara kamu, aku harus jual mobiil untuk mengganti uang nasabah dan aku juga harus menerima resiko diturunkan menjadi OB, ini semua karena ulah KAMU!" teriaku berapi-api. Darahku kini benar-benar mendidih."Hah! Kok bisa sih Mas. Uang kamu kan banyak, masa aku minta untuk beli perhiasan aja harus jual mobil. Nanti kalau kit
MirnaHatiku terasa plong saat pak hakim mengetok palunya sebanyak tiga kali. Akhirnya aku bisa terlepas dari jerat Bang Fahmi selama ini. Aku langsung memeluk erat ibu mertua yang selama ini memberi dukungan padaku selama terpuruk. Ibu mertua yang serasa ibu kandung."Selesai masa Iddah, kalian berdua langsung menikah ya,"celetuk Tante Anni, membuat air minum yang Bang Fahmi teguk menyembur ke berbagai arah."Apa harus secepat itu Tante? Apa Mirna juga mau terima Ammar nantinya?" protes ayah dari anakku itu."Ssuuutt, nggak usah ikut campur. Kamu kan sudah melepaskan Mirna, jadi siapapun bebas menikah dengan Mirna dong," ujar Tante Anni sambil membenarkan kerudungnya."Iya ibu juga setuju, kok. Kamu setuju kan Ammar, Mirna?"Aku sendiri tidak bisa menjawab apa-apa. Jujur saja, aku sebenarnya.tidak ada perasaan apapun terhadap Ammar. Hanya saja dia baik terhadap anak-anak, walapun terkadang tingkahnya membuat aku kesal."Maaf Bu, Mirna belum bisa menjawab sekarang. Banyak hal yang har
Angel menatapku tajam, sementara kedua pasangan yang tidak aku mengerti itu masuk ke dalam. Sepertinya mereka meributkan sesuatu, padahal.aku hanya spontan menyembut nama Nina."Kamu kenal sama Nina?" Angel akhirnya menarik tanganku setelah dia pamit pulang pada Gery sebelum dia membawa masuk Nina ke dalam."Dia selingkuhan mantan suamiku, kok sekarang udah sama sepupu kamu ya? Apa mereka udah cerai?""Hah? Jadi selama ini yang kamu ceritain selama ini Nina?""Iya Nina itu, yang sering aku ceritain dulu. Bang Fahmi itu berhubungan dari mereka masih SMA." "Ah, yang bener. Kamu jangan fitnah, Mir. Mereka itu sudah menikah lho, tapi memang si Gery itu ke luar negeri sebulan setelah mereka menikah. Nina yang lain mungkin.""Fitnah bagaimana? sudah banyak bukti yang kau dapatkan, Ang. Nggak mungkinlah aku lancar banget nyebut nama Nina kalau aku nggak tahu."Gadis itu tidak terima kalau ternyata istri sepupu itu adalah pernah selingkuh dengan Bang Fahmi. Padahal dulu aku sering sekali men
Aku tersenyum miring mendengar Bang Fahmi teekejut saat aku mengiyakan katan-katanya. Dia yang tadi nyerocos seperti kereta api, kini terdiam seribu bahasa. Mungkin dia tadi hanya akan menggertakku saja, tapi aku justru serius dengan yang dia ucapkan. Mana mampu dia mengurus anak-anak yang super aktif itu. Sudah tebukti, dia hanya mampu bertahan dua hari. Sungguh berbeda sekali dengan Ammar, dia justru terlihat santai saat bermain dengan Faisal dan Fauzan. Eh ... kenapa aku jadi memuji Ammar terus."Maksud aku, kalau mau nitipin ke ibu saja, jangan ke Tante Anni, Mir. Kasian anak-anak.""Bukan aku yang mau nitip, Bang, tapi mereka yang maksa mau nginap di rumah Oma. Kalau kamu kasihan sama mereka ya jemput aja, Mas. Yang penting kamu bilang dulu sama aku. Biar aku nggak kebingungan. Bukannya aku nggak mau ngurus anak-anak, Bang, tapi Tante Anni yang terlalu baik sama anak-anak, makanya Tante Anni sayang sama mereka. Seharusnya kamu bersyukur, Bang, keluarga kamu sayang samua sama Fa
Halooo, setelah sekian lama Hiatus, akhirnya dapat wangsit juga buat update. Hihihihi.***Aku sangat geram sekali mendengar perkataan Bang Fahmi. Sepertinya ada gelagat aneh dengan pria itu. Di samping tak biasa dia datang ke rumah ibunya sendi untuk bertemu denganku, Sejak kapan dia peduli dengan anak-anak? Bahkan dia berencana mengajak jalan-jalan ke puncak segala.“Ya Sudah kalau begitu, aku nggak bisa, kalau kamu mau bawa anak-anak ke puncak, silahkan, Asalkan pulang nanti jangan ada yang kurang satu pun, termasuk satu helai rambutnya. Karena aku tahu semua jumlah rambut anak-anak. Sampai berkurang satu helai rambutnya, maka kamu akan membayar dendanya 100 ribu per helai.”“Kok kamu jadi perhitungan begini, sih Mir. Mereka juga kan anak-anakku juga. Aku berhak atas mereka, Mir.”“Mereka juga berhak atas nafkah ayahnya, Bang. Yang lebih dulu hitung-hitungan siapa? Aku kan cuma aku yang kamu buat, Bang.”“Iya, oke, oke. Aku ngaku salah, tolong dong, jangan diungkit-ungkit lagi. Kamu
Aku terus mengomel sepanjang jalan ketika kami pulang dari rumah Paman. Bagaimana tidak, sudah aku bilang bagaimana sifat Paman dan Bibi ketika dihadapkan dengan lembaran kertas bernama uang. Namun bujang setengah lapuk yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai suamiku itu justru tak menghiraukan ocehanku.Benar-benar menyebalkan Ammar itu, seandainya dia bukan bosku, sudah kuketok kepalanya. “Kenapa kamu ngomel-ngomel begitu, Mir?”‘Eh, kok dia denger sih?’ batinku.“Keluarin aja, Mir uneg-unegnya.” Ammar menghentikan motornya di pinggir jalan, di bawah pohon yang cukup rindang. Sepertinya di sini tempat orang biasa duduk-duduk atau sekedar melepas penat. karena terlihat berbeda dengan pohon-pohon yang lain.“Kamu itu lho, Ammar, udang dibilang, kalau pamanku itu agal lain kalau masalah duit, kamu malah jor-joran mau kasih seragamlah, perhiasanlah. Bisa ngelunjak nanti kalau dituruti begitu. Seharusnya kamu kasih saya sekedarnya, kasih dua juga saja sudah senang mereka. Ini
Aku tarik tangan Ammar ke luar dari rumah Paman. Rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana aku diperlakukan tidak adil oleh mereka.Mereka yang mengaku saudara, mereka yang katanya masih memiliki DNA yang sama dengan ayahku. Namun nyatanya jauh dari kata baik.Jika bisa aku mengulang waktu, sudah pasti aku dulu akan memilih hidup di kostan, daripada harus tinggal serumah dengan paman dan bibi, tetapi mereka hanya memanfaatkan tenagaku saja. Bahkan ketika aku sudah bekerja, hampir semua gajiku diambil Bibi, dengan alasan untuk membeli kebutuhan ku sehari-hari. Bodohnya aku tidak pernah berpikir menyisipkankan gajiku untuk keperluanku sendiri. Mungkin dulu aku terlalu penurut dan polos. Berpikir bahwa merekalah saudaraku satu-satunya.Hingga akhirnya aku bisa keluar dari tempat itu setelah Bu Anna melamarku untuk anak laki-lakinya dan membawaku pergi dari rumah itu. Sejak aku dan Bang Fahmi menikah, Paman memang tidak pernah menuntut apa pun dariku.Belakangan, aku baru tahu jika Setiap
Bang Fahmi berkacak pinggang sambil berjalan memutariku. Sudah seperti detektif saja dia "Kamu nggak paham juga apa yang aku tunjukkan, Mir. Sudah jelas-jelas dia itu nggak bener, masa kamu mau nikah sama laki-laki modelan seperti Ammar." Laki-laki itu berkata dengan pongkah."Memang Abang merasa lebih baik dari Ammar? Selingkuh sama istri orang, menelantarkan anak sendiri, itu yang Abang bilang baik? Seandainya memang yang Abang katakan itu benar, belum tentu juga aku mau rujuk sama Abang. Pastinya aku berpikir seribu kali untuk rujuk sama Abang. Abang pikir ngaapin aku ngurus akta cerai Kemarin kalau ujung-ujungnya untuk rujuk? Capein badanlah, Bang.""Terserah kamu, Mir. Yang penting aku sudah ingatkan kamu bagaimana kelakuan Ammar di luar sana. Seharusnya kamu membuka mata, Mir. Hanya karena kamu ingin menikahi direktur, kamu korbankan anak-anak, kamu korbankan masa depan mereka. Aku sudah berubah, aku sudah minta maaf, seharusnya kamu pikirkan dan pertimbangankan permintaanku un
Mataku mengerjap, disekelilingku ada Bu Anna, Tante Anni dan Mbak Nana--tetangga sekaligus temanku satu kompleks, mereka terlihat cemas. Aku pun bingung apa yang terjadi sebelumnya. Aku hanya ingat kalah Bu Anna datang hendak mengajakku arisan keluarga."Anak-anak mana, Bu?""Ada di depan sama Ammar dan opanya.""Maaf ya, Mir, kalau kedatangan kami justru membuat kamu syok seperti ini," ucap Tante Anni penuh sesal."Mirna hanya kaget Tan, soalnya benar-benar mendadak, sementara Mirna nggak ada persiapan apa pun untuk menyambut keluarga Tante. Mirna tahunya hanya arisan biasa.""Maaf ya, Mir. Itu si Ammar yang punya ide gila ini, katanya dia udah bilang sama kamu, Mir. Makanya kami santai-santai aja ke sini. Eh ... nggak tahunya kamu malah yang nggak tahu apa-apa. Pantesan Mbak Anna tadi juga terkejut waktu kami datang ke rumahnya kasih tahu kalau Ammar ngelamar kamu," papar Tante Anni panjang lebar.Aku melirik ibu yang sedang berbincang dengan Mbak Nana."Iya, ibu juga kaget, Mir. Am
"Maaf Pak saya ke toilet dulu."Tanpa menunggu jawaban dari Ammar, aku langsung ngacir ke toilet. Dadaku benar-benar bergemuruh, seperti ombak di lautan yang siap menerkam. Aku keluarkan botol minum dari dalam tas, lalu meneguknya.Apa-apaan Ammar ini? Kenapa dia jadikan aku sekertaris? Aku tidak enak dengan Angel, dia karyawan paling senior di sini, tetapi kenapa aku yang dia jadikan sekertaris, padahal aku baru saja bergabung di sini.Gestur tubuh Angel waktu menyampaikan pendapatnya tentang kinerjaku tadi terlihat sedang menutupi ketidaknyamanannya.Terlepas dari kata-kata yang dia sampaikan tadi. Entah dia jujur dari hati atau hanya karena tidak enak sebab dia sudah mengetahui antara aku dan Ammar sudah saling kenal.Berkali-kali aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mati-matian aku jaga agar Angel tidak mengetahui hubungan kekerabatan antara aku dan Ammar, tetapi kini dia sudah mengetahui semuanya. Sekarang jabatan yang sudah lama dia inginkan pun harus kand
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, lebih ke salah tingkah dan serba sebenarnya. Hidungku bergerak saja seperti ada yang memerhatikan. Berkali-kali aku membenarkan posisi duduk.Rasanya seperti baru saja bertemu dengan pria satu ini atau seperti baru pertama kopi darat dengan gebetan dan diajak jalan, duh ... rasanya nano-nano. Padahal kalau kami bertemu, selalu saja ribut san ujung-ujungnya kami saling ejek.Tatapan Ammar membuat jantungku benar-benar tidak aman. Apalagi keadaanku masih berantakan begini. Namun, belum sampai setengah perjalanan, Ammar menghentikan mobilnya di pinggir jalan.Aku memicingkan mata, " Ada apa? Mobilnya mogok?" "Dandan dulu gih, biar kamu nggak uring-uringan begitu. Ya ... Walaupun bagaimanapun keadaan kamu aku tetap ...." Pria itu menggantung kata-katanya."Tetap apa?" tanyaku penasaran sekaligus berharap dia akan mengatakan tetap cinta. Duh ... apa-apaan ini. Kenapa aku yang jadi bucin begini sama Ammar. Jangan-jangan aku ...."Udah buruan!" Ucapanny
Pagi sekali Ammar bertengger di atas mobilnya di depan rumahku. Entah apa yang dia lakukan sepagi ini di depan rumah orang. Pria itu terlihat sudah rapi, memakai kemaja warna hitam, celana dan sepatu kerja.Aku lihat dia turun saat melihatku membuka pintu pagar."Mam," panggil Fauzan sembari keluar dari dalam mobil pamannya."Hai, Sayang. Kok pagi-pagi udah minta antar pulang? Ngerepotin Om Ammar lho." Anak kecil itu berlari ke gendonganku."Bukan meraka yang minta antar, tadi waktu aku siap-siap mau berangkat kerja, mereka mau ikut. Jadi aku bawa aja. Sekalian mau jemput kamu." Pria itu menurunkan Fiasal yang kesulitan untuk turun dari mobilnya.Ammar sangat telaten dan sabar memperlakukan anak-anak, bahkan melebihi perlakuan ayah kandungnya sendiri. Terkadang aku salut dengan pria yang ternyata memiliki kasih sayang yang begitu besar.Aku dan Fauzan sudah duduk di kursi teras, sementara Ammar masih sibuk mengukur lantai bersama Faisal. Batita itu berjalan ke sana kemari mengejar kum
Bang Fahmi yang tidak siap menerima serangan secara mendadak, langsung jatuh terhuyung ke lantai. Pria yang pernah mengikrarkan ijab kabul padaku dulu mengusap sudut bibirnya."Apa-apaan sih ini? Dia siapa, Mir? Pacar kamu? Gila kamu Mir baru beberapa hari cerai dari aku, udah punya pacar lagi. Jangan-jangan kamu memang udah selingkuh sama dia sebelum kita cerai. Belum lagi yang katanya mau nikah sama Ammar. Ingat Mir, kamu itu masih dalam masa Iddah, jadi nggak boleh sembarang bergaul dengan laki-laki, apalangi sampai ngundang dia ke rumah."Mataku terbelalak mendengar tuduhan Bang Fahmi. Gegas aku mendekatinya yang masih terduduk di lantai akibat menerima pukvlan dari Gery.Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kirinya. Pria itu kembali mengaduh kesakitan."Jaga ucapan kamu, Bang. Kamu tahu siapa laki-laki ini?""Nggak, memang siapa?" bentaknya."Dia suami Nina dan aku tidak tahu di antara kalian siapa sebenarnya yang selingkuhan Nina. Kalau kamu jadi selingkuhan Nina, Bang, sung