Wanita berbadan dua itu histeris, lantas dia mengeluarkan gawainya, tak lama dia berbicara dengan seseorang di seberang telepon."Iya, Mas, buruan sini!"(...)"Iihh ... Nggak usahlah, Mas. Kok mau bicara segala," sungut wanita itu."Nih. Ada mau yang bicara." "Siapa?" "Ngomong aja sendiri!" Aku pun menerima gawai itu dan menempelkan di alat pendengaranku."Mirna, tolong ya. Sekali ini aja. Biarkan Nina nginap di sana." Aku menghela nafas kasar."Bang, aku udah ngalah lho, suami aku diambil sama wanita itu, sekarang mau ngerecokin lagi kehidupanku dan anak-anak. Urus sendirilah Bang istrimu yang kayak anak kecil ini.""Satu minggu aja, Mir. Tolong.""Nggak, Bang! Aku mau usir dia.""Jangan gitu dong, Mir. Rumah itu kan rumahku juga, tolong minta pengertiannya.""Nggak, Bang! Aku yang harusnya minta pengertian kamu. Kamu kan udah jadi suami sirinya perempuan ini. Ya larang dong. Masa mau nginap di rumah ini yang jelas-jelas ada aku di sini. Apa kata tetangga Bang, apalagi kalau ada k
Pov: FahmiDengan bujuk rayuku akhirnya ibu mengizinkanku menempati rumah itu, tetapi dengan catatan aku dan Nina tidak boleh menggunakan. Kamar utama, ibu hanya memperbolehkanku menggunakan kamar ke dua yang ukurannya lebih sempit.Bahkan ibu sendiri yang menyegel kamar utama agat tidak kami gunakan. Tak hanya itu, fasilitas di sana seperti kulkas dan mesin cuci tidak boleh kami pakai. Alhasil, setiap hari aku harus membawa cucian baju ke laundry dan membali makan di luar setiap hari.Gajiku yang semakin turun membuat aku harus pontang-panting untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Padahal kami hanya hidup berdua, selama aku meninggalkan Mirna, tak sepeser pun uang yang aku kirim untuk Fauzan dan Faisal. Aku benar-benar dibuat bangkrut oleh istri ke duaku itu.Kalau sudah begini, aku rasa rinduku dan bersalahku pada Fauzan dan Faisal semakin menggebu. Dulu aku tidak pernah memedulikan kedua anak itu, bahkan ketika Mirna kerepotan, aku tidak pernah mau membantu sedikit pun, dengam dal
"Mas, mana mobilnya? Kok kamu naik ojek?" cecar Nina saat aku pulang dari kantor."Kamu itu, bukannya menyambut suami pulang kerja malah nanyain mobil," sungutku."Apanya yang mau ditanya, Mas. Kamu kan baik-baik saja.""Ya setidaknya kasih air minum, syukur-syukur ku buatkan kopi gitu. Selama kita menikah, kamu sama sekali belum pernah membuatkanku kopi atau teh manis.""Idih ogah, Mas, memang aku pembantu kamu, kamu kan bisa buat sendiri.""Sudahlah, Nin, aku capek, biarkan aku istirahat sebentar!" "Mana mobilnya, Mas. Nanti kalau aku mau pergi gimana? Terus itu kenapa kamu pakai baju OB begini?" Nina menarik kerah baju yang aku pakai dengan jijik."Ini semua gara-gara kamu, aku harus jual mobiil untuk mengganti uang nasabah dan aku juga harus menerima resiko diturunkan menjadi OB, ini semua karena ulah KAMU!" teriaku berapi-api. Darahku kini benar-benar mendidih."Hah! Kok bisa sih Mas. Uang kamu kan banyak, masa aku minta untuk beli perhiasan aja harus jual mobil. Nanti kalau kit
MirnaHatiku terasa plong saat pak hakim mengetok palunya sebanyak tiga kali. Akhirnya aku bisa terlepas dari jerat Bang Fahmi selama ini. Aku langsung memeluk erat ibu mertua yang selama ini memberi dukungan padaku selama terpuruk. Ibu mertua yang serasa ibu kandung."Selesai masa Iddah, kalian berdua langsung menikah ya,"celetuk Tante Anni, membuat air minum yang Bang Fahmi teguk menyembur ke berbagai arah."Apa harus secepat itu Tante? Apa Mirna juga mau terima Ammar nantinya?" protes ayah dari anakku itu."Ssuuutt, nggak usah ikut campur. Kamu kan sudah melepaskan Mirna, jadi siapapun bebas menikah dengan Mirna dong," ujar Tante Anni sambil membenarkan kerudungnya."Iya ibu juga setuju, kok. Kamu setuju kan Ammar, Mirna?"Aku sendiri tidak bisa menjawab apa-apa. Jujur saja, aku sebenarnya.tidak ada perasaan apapun terhadap Ammar. Hanya saja dia baik terhadap anak-anak, walapun terkadang tingkahnya membuat aku kesal."Maaf Bu, Mirna belum bisa menjawab sekarang. Banyak hal yang har
Angel menatapku tajam, sementara kedua pasangan yang tidak aku mengerti itu masuk ke dalam. Sepertinya mereka meributkan sesuatu, padahal.aku hanya spontan menyembut nama Nina."Kamu kenal sama Nina?" Angel akhirnya menarik tanganku setelah dia pamit pulang pada Gery sebelum dia membawa masuk Nina ke dalam."Dia selingkuhan mantan suamiku, kok sekarang udah sama sepupu kamu ya? Apa mereka udah cerai?""Hah? Jadi selama ini yang kamu ceritain selama ini Nina?""Iya Nina itu, yang sering aku ceritain dulu. Bang Fahmi itu berhubungan dari mereka masih SMA." "Ah, yang bener. Kamu jangan fitnah, Mir. Mereka itu sudah menikah lho, tapi memang si Gery itu ke luar negeri sebulan setelah mereka menikah. Nina yang lain mungkin.""Fitnah bagaimana? sudah banyak bukti yang kau dapatkan, Ang. Nggak mungkinlah aku lancar banget nyebut nama Nina kalau aku nggak tahu."Gadis itu tidak terima kalau ternyata istri sepupu itu adalah pernah selingkuh dengan Bang Fahmi. Padahal dulu aku sering sekali men
Aku tersenyum miring mendengar Bang Fahmi teekejut saat aku mengiyakan katan-katanya. Dia yang tadi nyerocos seperti kereta api, kini terdiam seribu bahasa. Mungkin dia tadi hanya akan menggertakku saja, tapi aku justru serius dengan yang dia ucapkan. Mana mampu dia mengurus anak-anak yang super aktif itu. Sudah tebukti, dia hanya mampu bertahan dua hari. Sungguh berbeda sekali dengan Ammar, dia justru terlihat santai saat bermain dengan Faisal dan Fauzan. Eh ... kenapa aku jadi memuji Ammar terus."Maksud aku, kalau mau nitipin ke ibu saja, jangan ke Tante Anni, Mir. Kasian anak-anak.""Bukan aku yang mau nitip, Bang, tapi mereka yang maksa mau nginap di rumah Oma. Kalau kamu kasihan sama mereka ya jemput aja, Mas. Yang penting kamu bilang dulu sama aku. Biar aku nggak kebingungan. Bukannya aku nggak mau ngurus anak-anak, Bang, tapi Tante Anni yang terlalu baik sama anak-anak, makanya Tante Anni sayang sama mereka. Seharusnya kamu bersyukur, Bang, keluarga kamu sayang samua sama Fa
Bang Fahmi yang tidak siap menerima serangan secara mendadak, langsung jatuh terhuyung ke lantai. Pria yang pernah mengikrarkan ijab kabul padaku dulu mengusap sudut bibirnya."Apa-apaan sih ini? Dia siapa, Mir? Pacar kamu? Gila kamu Mir baru beberapa hari cerai dari aku, udah punya pacar lagi. Jangan-jangan kamu memang udah selingkuh sama dia sebelum kita cerai. Belum lagi yang katanya mau nikah sama Ammar. Ingat Mir, kamu itu masih dalam masa Iddah, jadi nggak boleh sembarang bergaul dengan laki-laki, apalangi sampai ngundang dia ke rumah."Mataku terbelalak mendengar tuduhan Bang Fahmi. Gegas aku mendekatinya yang masih terduduk di lantai akibat menerima pukvlan dari Gery.Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kirinya. Pria itu kembali mengaduh kesakitan."Jaga ucapan kamu, Bang. Kamu tahu siapa laki-laki ini?""Nggak, memang siapa?" bentaknya."Dia suami Nina dan aku tidak tahu di antara kalian siapa sebenarnya yang selingkuhan Nina. Kalau kamu jadi selingkuhan Nina, Bang, sung
Pagi sekali Ammar bertengger di atas mobilnya di depan rumahku. Entah apa yang dia lakukan sepagi ini di depan rumah orang. Pria itu terlihat sudah rapi, memakai kemaja warna hitam, celana dan sepatu kerja.Aku lihat dia turun saat melihatku membuka pintu pagar."Mam," panggil Fauzan sembari keluar dari dalam mobil pamannya."Hai, Sayang. Kok pagi-pagi udah minta antar pulang? Ngerepotin Om Ammar lho." Anak kecil itu berlari ke gendonganku."Bukan meraka yang minta antar, tadi waktu aku siap-siap mau berangkat kerja, mereka mau ikut. Jadi aku bawa aja. Sekalian mau jemput kamu." Pria itu menurunkan Fiasal yang kesulitan untuk turun dari mobilnya.Ammar sangat telaten dan sabar memperlakukan anak-anak, bahkan melebihi perlakuan ayah kandungnya sendiri. Terkadang aku salut dengan pria yang ternyata memiliki kasih sayang yang begitu besar.Aku dan Fauzan sudah duduk di kursi teras, sementara Ammar masih sibuk mengukur lantai bersama Faisal. Batita itu berjalan ke sana kemari mengejar kum