"Sebaiknya aku telepon saja Stephen, mungkin dia bisa mengetahui atau membantuku mencari Amilie." Tanpa memiliki rasa curiga atau memikirkan hal itu, Theo langsung mengambil ponsel dan menghubunginya.Stephen yang baru saja sampai rumah dan hendak melangkah masuk ke dalam kamarnya, ia pun langsung menghentikan langkah kaki itu dan melihat ponselnya yang ada di dalam saku."Kak Theo? Mau apa dia menghubungiku malam-malam begini, apa dia tahu sesuatu mengenai apa yang aku lakukan?" batin Stephen dengan panik.Tetapi, untuk mengelabui Theo. Ia mencoba tampak tenang dan memilih untuk menjawab telepon itu. Karena tidak ingin jika dirinya dicurigai oleh Theo."Ya, halo. Ada apa Kakak menghubungiku malam-malam begini?" tanya Stephen dengan santainya."Apa kamu tahu sesuatu mengenai Amilie? Dia sepertinya diculik. Tadi sudah kutelpon tapi yang menjawab malah seorang pria yang bahkan suaranya baru kudengar," tutur Theo dengan panik."Benarkah? Apa Kakak masih yakin dia diculik? Siapa tahu saja
Selepas berdo'a dengan penuh keyakinan, Amilie pun kembali mencoba untuk membuka tali itu dengan caranya. Ia bergerak sedikit ke arah ujung meja yang terlihat runcing 'Mungkin meja itu akan membantuku' begitulah pikirnya.Tanpa pikir panjang, Amilie pun mencoba mendekat ke arah meja. Tetapi, karena kakinya yang terikat, itu membuat dirinya jatuh ke lantai.Tentu saja ia merasa sakit, tetapi ia berusaha untuk menahannya agar kedua pria itu tidak sampai bangun dan melihat dirinya di tempat yang berbeda."Aku harus bisa keluar dari sini sebelum pagi dan sebelum mereka bangun," gumam Amilie.Dengan gesit, ia mencoba bangkit kembali. Pada saat ini duduk dan menoleh ke samping, ia melihat ada sebilah pisau tanpa serangka tergeletak begitu saja. Wajahnya pun langsung berseri."Mungkin inilah cara Tuhan menolongku. Aku akan memanfaatkan pisau ini, agar ikatannya bisa terlepas dari tanganku."Perlahan, ia meraih pisau itu dengan kedua tangannya. Kepalanya pun terpentok ke samping laci dan ke
Akan tetapi, Stephen yang terlanjur dibutakan oleh keinginannya. Membuatnya terus melanjutkan rencana awal. Tak sedikitpun ada niat di hatinya untuk membebaskan Amilie, sebelum dirinya mendapatkan apa yang ia mau."Tubuhku sudah pernah kamu rasakan! Sekarang apa lagi yang kamu mau? Aku sudah menikah dan jangan ganggu hidupku lagi!"Stephen membungkuk, ia menutup bibir Amilie dengan jari telunjuknya. "Sssttt! Jangan pernah katakan itu. Kamu masih berguna. Janin yang ada di dalam kandunganmu itulah yang aku inginkan saat ini!" "Kenapa kamu menginginkannya saja kalau begitu? Kau sangat egois, Steph! Aku yang kamu campakkan, tapi kini malah menginginkan bayi ini. Tidak, aku tidak akan pernah memberikannya padamu! Bahkan, jika bayi ini lahir pun, aku tidak akan mengenalkanmu sebagai Ayahnya! Lagi pula, kenapa kamu berpikir bahwa bayiku ini anakmu?"Karena Stephen sudah tidak ingin mendengar perkataan apapun lagi mengenai Amilie. Ia pun kemudian langsung memangku Amilie dan membawanya kemb
"Kalian berdua kemari!" perintah Stephen kepada kedua anak buahnya yang tengah berdiri di sampingnya.Mereka pun saling menatap lalu mendekat ke arah Stephen. Saat itu, terlihat bahwa mereka tampak ketakutan. "Apa ada yang bisa kami bantu lagi, bos?" tanya salah seorang anak buahnya.Stephen mengepalkan kedua tangannya seraya mendengus kesal. "Kalian ini! Apa yang kalian lakukan tadi sungguh menyakitinya! Kalian memang tidak berguna. Tak ada satupun pekerjaan yang kalian lakukan dengan benar!" teriak Stephen dengan kemarahan yang meledak-ledak.Dengan kepala menunduk, kedua anak buahnya pun langsung meminta maaf. "Kami sungguh tidak bermaksud melakukan hal itu. Dan ... Kami pikir ikatan itu tidak terlalu kencang. Lagi pula, kami hanya menjalankan apa yang Anda perintahkan, Bos!" jelasnya.Namun, alasan itu seolah menyudutkan dirinya. Membuatnya tambah marah."Oh, jadi kalian menyalahkanku atas semua kejadian ini! Memang dasar kalian saja yang bodoh!" umpatnya sembari memukul kedua an
"Walaupun aku yang menculiknya, tapi aku bisa tenang dan sepertinya Theo tidak akan curiga. Tak ada orang yang curiga dengan ini, karena setelah aku mendapatkan sebuah kepastian ... Aku akan mengembalikannya sekaligus menghilangkan jejaknya," ucap Stephen sembari duduk santai.Ia juga menyesap rokok yang ada di tangan kirinya tersebut. Sedangkan anak buahnya hanya melihat kelakuan bosnya yang bahkan belum ia pahami apa yang akan dilakukannya lagi setelah ini."Lihat bos kita, kenapa dia begitu santai? Padahal, orang itu bisa saja lapor polisi setelahnya. Atau, kalau ada yang curiga atau mengetahuinya ... Kita pasti akan tamat," bisiknya kepada temannya."Lebih baik kita diam saja. Jangan banyak bicara kalau tidak mau bos kita marah," sahutnya mengingatkan.Di tempat lain, Theo menepikan mobilnya. Selepas itu ia pun langsung berjalan masuk ke rumah David.David datang dan menyambut kedatangan Theo, walaupun di sisi lain ia merasa heran karena Theo lebih memilih meminta tolong kepadany
"Bos, sebenarnya apa yang mau Anda perbuat? Apa kita hanya akan menyekapnya begitu saja?" tanya anak buahnya berani."Dasar bodoh. Tentu saja tidak!" Sergey Stephen."Lalu, kenapa belum juga minta bayaran kepada mereka. Harusnya kita memanfaatkan kesempatan ini supaya mendapatkan uang yang lebih banyak!" Namun, pendapat itu ditentang Stephen. Sebab, bukan itu yang ia mau. "Jangan sok tahu soal rencanaku! Ini sudah menjadi urusanku! Kalian cukup diam dan menyaksikan saja apa yang akan terjadi selanjutnya!"Pada dini hari, Stephen terus duduk di kursi sembari sesekali melihat ke arah ponselnya yang mana di dalamnya ada sebuah foto Amilie yang ia tatap. Dirinya pun bangkit dari duduknya, lalu perlahan berjalan memasuki kamar yang ditempati Amilie di sana.Ceklek.Amilie yang mendengar suara pintu terbuka pun langsung mengangkat kepalanya. Ia melihat Stephen yang berjalan masuk ke dalam kamar itu."Mau apa lagi sekarang? Apa belum puas menyakitiku sampai seperti ini?!" ujar Amilie deng
Diam tanpa kata. Berpikir dengan trauma. Itulah yang Amilie rasa. Hingga keheningan pun usai dan Amilie pun membalasnya dengan kalimat lain."Jangan bahas ini lagi. Omonganmu hanya seputar ini saja!"Amilie merenggangkan tubuhnya dari Stephen. Tetapi pandangannya berusaha begitu melihat ponsel miliknya yang terlihat setengah keluar di celana mantannya."Bukankah itu ponselku? Ternyata benar, dia yang menyimpannya. Tapi dia tidak mau mengembalikannya. Baiklah, aku yang akan mengambilnya sendiri," batin Amilie penuh ambisi.Segala sifat sombong dan berkuasa penuh atas dirinya ingin ia musnahkan. Tetapi, hal itu tidak akan mudah. Akan ada prose yang harus ia lalui sebelum tujuannya tercapai."Steph! Tunggu sebentar, aku ingin tanyakan sesuatu lagi padamu.""Tanya soal apa lagi? Apa ini hanya alasan saja karena sebenarnya kamu tidak ingin aku tinggalkan?"Amilie terdiam. "Tidak mungkin. Aku malah senang kalau kau pergi dari hidupku dan tidak mengganggu kehidupan baruku," batin Amilie."Ke
Dengan perasaan cemas, Amilie terus berusaha menyalakan kembali ponselnya. Walaupun ia sedikit kesulitan saat melakukannya.Kepalanya berkali-kali menoleh ke arah pintu, terlebih lagi saat melihat gagang pintu yang bergerak perlahan. "Tidak. Dia tidak boleh tahu aku sedang memegang ponsel. Aku harus segera menyembunyikannya kembali," batin Amilie panik.Ceklek.Satu kaki mulai masuk diikuti dengan kaki yang lainnya. Amilie mendongak, tetapi pada saat yang sama ia berusaha menenangkan dirinya agar tidak terlihat mencurigakan bagi Stephen."Ternyata dia penurut. Dia masih berada di tempat yang sama dan tidak pergi. Bahkan, tidak terlihat perpindahan sedikitpun sama sekali," batin Stephen seraya memicingkan kedua matanya.Dengan bibir mengatup rapat dan pandangan fokus mengarah pada Stephen. Dalam hatinya ia pun berkata, "Dia terus mengarahkan pandangannya padaku. Aku harap dia tidak curiga denganku."Lantas, Stephen pun langsung memangku Amilie dan membawanya pergi keluar dari kamar it
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,