Selepas berdo'a dengan penuh keyakinan, Amilie pun kembali mencoba untuk membuka tali itu dengan caranya. Ia bergerak sedikit ke arah ujung meja yang terlihat runcing 'Mungkin meja itu akan membantuku' begitulah pikirnya.Tanpa pikir panjang, Amilie pun mencoba mendekat ke arah meja. Tetapi, karena kakinya yang terikat, itu membuat dirinya jatuh ke lantai.Tentu saja ia merasa sakit, tetapi ia berusaha untuk menahannya agar kedua pria itu tidak sampai bangun dan melihat dirinya di tempat yang berbeda."Aku harus bisa keluar dari sini sebelum pagi dan sebelum mereka bangun," gumam Amilie.Dengan gesit, ia mencoba bangkit kembali. Pada saat ini duduk dan menoleh ke samping, ia melihat ada sebilah pisau tanpa serangka tergeletak begitu saja. Wajahnya pun langsung berseri."Mungkin inilah cara Tuhan menolongku. Aku akan memanfaatkan pisau ini, agar ikatannya bisa terlepas dari tanganku."Perlahan, ia meraih pisau itu dengan kedua tangannya. Kepalanya pun terpentok ke samping laci dan ke
Akan tetapi, Stephen yang terlanjur dibutakan oleh keinginannya. Membuatnya terus melanjutkan rencana awal. Tak sedikitpun ada niat di hatinya untuk membebaskan Amilie, sebelum dirinya mendapatkan apa yang ia mau."Tubuhku sudah pernah kamu rasakan! Sekarang apa lagi yang kamu mau? Aku sudah menikah dan jangan ganggu hidupku lagi!"Stephen membungkuk, ia menutup bibir Amilie dengan jari telunjuknya. "Sssttt! Jangan pernah katakan itu. Kamu masih berguna. Janin yang ada di dalam kandunganmu itulah yang aku inginkan saat ini!" "Kenapa kamu menginginkannya saja kalau begitu? Kau sangat egois, Steph! Aku yang kamu campakkan, tapi kini malah menginginkan bayi ini. Tidak, aku tidak akan pernah memberikannya padamu! Bahkan, jika bayi ini lahir pun, aku tidak akan mengenalkanmu sebagai Ayahnya! Lagi pula, kenapa kamu berpikir bahwa bayiku ini anakmu?"Karena Stephen sudah tidak ingin mendengar perkataan apapun lagi mengenai Amilie. Ia pun kemudian langsung memangku Amilie dan membawanya kemb
"Kalian berdua kemari!" perintah Stephen kepada kedua anak buahnya yang tengah berdiri di sampingnya.Mereka pun saling menatap lalu mendekat ke arah Stephen. Saat itu, terlihat bahwa mereka tampak ketakutan. "Apa ada yang bisa kami bantu lagi, bos?" tanya salah seorang anak buahnya.Stephen mengepalkan kedua tangannya seraya mendengus kesal. "Kalian ini! Apa yang kalian lakukan tadi sungguh menyakitinya! Kalian memang tidak berguna. Tak ada satupun pekerjaan yang kalian lakukan dengan benar!" teriak Stephen dengan kemarahan yang meledak-ledak.Dengan kepala menunduk, kedua anak buahnya pun langsung meminta maaf. "Kami sungguh tidak bermaksud melakukan hal itu. Dan ... Kami pikir ikatan itu tidak terlalu kencang. Lagi pula, kami hanya menjalankan apa yang Anda perintahkan, Bos!" jelasnya.Namun, alasan itu seolah menyudutkan dirinya. Membuatnya tambah marah."Oh, jadi kalian menyalahkanku atas semua kejadian ini! Memang dasar kalian saja yang bodoh!" umpatnya sembari memukul kedua an
"Walaupun aku yang menculiknya, tapi aku bisa tenang dan sepertinya Theo tidak akan curiga. Tak ada orang yang curiga dengan ini, karena setelah aku mendapatkan sebuah kepastian ... Aku akan mengembalikannya sekaligus menghilangkan jejaknya," ucap Stephen sembari duduk santai.Ia juga menyesap rokok yang ada di tangan kirinya tersebut. Sedangkan anak buahnya hanya melihat kelakuan bosnya yang bahkan belum ia pahami apa yang akan dilakukannya lagi setelah ini."Lihat bos kita, kenapa dia begitu santai? Padahal, orang itu bisa saja lapor polisi setelahnya. Atau, kalau ada yang curiga atau mengetahuinya ... Kita pasti akan tamat," bisiknya kepada temannya."Lebih baik kita diam saja. Jangan banyak bicara kalau tidak mau bos kita marah," sahutnya mengingatkan.Di tempat lain, Theo menepikan mobilnya. Selepas itu ia pun langsung berjalan masuk ke rumah David.David datang dan menyambut kedatangan Theo, walaupun di sisi lain ia merasa heran karena Theo lebih memilih meminta tolong kepadany
"Bos, sebenarnya apa yang mau Anda perbuat? Apa kita hanya akan menyekapnya begitu saja?" tanya anak buahnya berani."Dasar bodoh. Tentu saja tidak!" Sergey Stephen."Lalu, kenapa belum juga minta bayaran kepada mereka. Harusnya kita memanfaatkan kesempatan ini supaya mendapatkan uang yang lebih banyak!" Namun, pendapat itu ditentang Stephen. Sebab, bukan itu yang ia mau. "Jangan sok tahu soal rencanaku! Ini sudah menjadi urusanku! Kalian cukup diam dan menyaksikan saja apa yang akan terjadi selanjutnya!"Pada dini hari, Stephen terus duduk di kursi sembari sesekali melihat ke arah ponselnya yang mana di dalamnya ada sebuah foto Amilie yang ia tatap. Dirinya pun bangkit dari duduknya, lalu perlahan berjalan memasuki kamar yang ditempati Amilie di sana.Ceklek.Amilie yang mendengar suara pintu terbuka pun langsung mengangkat kepalanya. Ia melihat Stephen yang berjalan masuk ke dalam kamar itu."Mau apa lagi sekarang? Apa belum puas menyakitiku sampai seperti ini?!" ujar Amilie deng
Diam tanpa kata. Berpikir dengan trauma. Itulah yang Amilie rasa. Hingga keheningan pun usai dan Amilie pun membalasnya dengan kalimat lain."Jangan bahas ini lagi. Omonganmu hanya seputar ini saja!"Amilie merenggangkan tubuhnya dari Stephen. Tetapi pandangannya berusaha begitu melihat ponsel miliknya yang terlihat setengah keluar di celana mantannya."Bukankah itu ponselku? Ternyata benar, dia yang menyimpannya. Tapi dia tidak mau mengembalikannya. Baiklah, aku yang akan mengambilnya sendiri," batin Amilie penuh ambisi.Segala sifat sombong dan berkuasa penuh atas dirinya ingin ia musnahkan. Tetapi, hal itu tidak akan mudah. Akan ada prose yang harus ia lalui sebelum tujuannya tercapai."Steph! Tunggu sebentar, aku ingin tanyakan sesuatu lagi padamu.""Tanya soal apa lagi? Apa ini hanya alasan saja karena sebenarnya kamu tidak ingin aku tinggalkan?"Amilie terdiam. "Tidak mungkin. Aku malah senang kalau kau pergi dari hidupku dan tidak mengganggu kehidupan baruku," batin Amilie."Ke
Dengan perasaan cemas, Amilie terus berusaha menyalakan kembali ponselnya. Walaupun ia sedikit kesulitan saat melakukannya.Kepalanya berkali-kali menoleh ke arah pintu, terlebih lagi saat melihat gagang pintu yang bergerak perlahan. "Tidak. Dia tidak boleh tahu aku sedang memegang ponsel. Aku harus segera menyembunyikannya kembali," batin Amilie panik.Ceklek.Satu kaki mulai masuk diikuti dengan kaki yang lainnya. Amilie mendongak, tetapi pada saat yang sama ia berusaha menenangkan dirinya agar tidak terlihat mencurigakan bagi Stephen."Ternyata dia penurut. Dia masih berada di tempat yang sama dan tidak pergi. Bahkan, tidak terlihat perpindahan sedikitpun sama sekali," batin Stephen seraya memicingkan kedua matanya.Dengan bibir mengatup rapat dan pandangan fokus mengarah pada Stephen. Dalam hatinya ia pun berkata, "Dia terus mengarahkan pandangannya padaku. Aku harap dia tidak curiga denganku."Lantas, Stephen pun langsung memangku Amilie dan membawanya pergi keluar dari kamar it
"Menyebalkan sekali. Kenapa dia menutup teleponku sembarangan. Pokoknya, aku tidak boleh menyerah. Aku harus bisa mengatakannya," gerutu Amanda kesal.Dirinya mencoba untuk menghubungi Theo kembali. Tetapi, pada saat yang bersamaan. Secara tiba-tiba ... Tok Tok Tok!"Mama masuk, ya?" tanya Dania dengan nada lembut sembari memegang gagang pintu yang siap ia dorong kapan saja.Amanda langsung menghentikan tangannya yang sedang memegang ponsel. Ia menyembunyikannya dibalik selimut tebal dengan wajah tegang. Untungnya bagi Amanda, Dania tidak langsung membuka pintu kamar. "Masuk saja, Ma. Tidak dikunci, kok!" sahutnya dari dalam kamar.Tetapi, saat Amanda melihat pintu yang nyaris terbuka semua. Ia pun langsung membaringkan tubuhnya dan pura-pura baru bangun dari tidurnya itu.Krieettt! Sampai suara nyaring itu terdengar. Ia menoleh ke arah pintu. Dania tersenyum dan menghentikan langkah kakinya sebentar. Lalu, setelah itu ia melanjutkannya kembali."Nak, kamu baru bangun rupanya," ka