Saat tengah menatap Amilie, tiba-tiba saja istrinya itu berpindah posisi dan nyaris terjatuh ke lantai. Untungnya, dengan sigap Theo langsung menyangga kepala Amilie.Dari samping istrinya itu, secara perlahan selama hampir satu menit ia menjadi penyangga. Sebab, ia merasa tidak tega untuk membangunkannya. Sesekali ia memandangi Amilie. "Aaaahhh pegal sekali, tapi kalau aku membangunkannya, nanti istirahatnya bisa terganggu," gumam Theo.Sampai pada akhirnya, ia duduk di lantai sembari menahan Amilie yang tidur di tangannya.***Pada malam harinya, Amilie berganti posisi kembali. Tetapi, pada saat yang sama ia merasa ingin buang air kecil. Sehingga, walaupun masih mengantuk. Ia terpaksa bangun malam-malam dan membuka perlahan matanya yang masih rapat itu.Ia mencium wangi yang sangat dirinya kenal. "Wangi partum ini sepertinya bukan berasal dari tubuhku," ucap Amilie sembari mencium tubuhnya sendiri. Namun, ia yang tercium malah bau dirinya yang lain. Karena penasaran, dirinya pun me
Dibalik tembok kamar, Theo menoleh. Lalu, perlahan berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Di sana ia langsung terduduk dengan nafas terengah-engah. "Untung saja aku buru-buru pergi," ucapnya.Saat nafasnya mulai kembali seperti biasa. Ia terbayang pada Amilie yang dengan begitu perhatian menyelimuti dirinya. Rasa nyaman itu kian muncul dan menyebar luas. Mulailah saat di mana ia merasa bahwa berpisah dengan Amilie adalah yang terburuk. "Sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kalau saat ini kamu belum bisa menerimaku, maka aku akan terus menunggu sampai saat itu tiba."Theo pun berpindah menuju tempat tidur, ia melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda. Di kamar yang lain, Amilie masih bingung dengan Theo. Tetapi, ia tidak mau memikirkannya lagi. Perlahan, ia memejamkan matanya dan melanjutkan tidur.Hingga, pada pagi harinya. Dengan kepala yang masih agak berat, ia keluar dari kamar tidur untuk pergi menuju dapur. Tetapi, saat di dekat pintu dapur. Tak sengaja dir
"Sudah, Mas. Mending kita lanjut sarapan lagi, siapatahu aja itu cuma pelayan di rumah ini," celetuk Amilie.Amilie pun melanjutkan makan kembali tanpa mempedulikan kecurigaan Theo selama sarapan.Theo menyuap makanan kembali ke dalam mulutnya. Tetapi, telinga itu terus fokus ke sesuatu yang lain. Set! Terdengar samar suara seseorang yang tengah melewati tempat itu. Membuat Theo menghentikan sendoknya yang hendak memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya tersebutTheo pun langsung bangkit dari duduknya. Lalu, perlahan melangkah mengintip sekaligus untuk mencari tahu siapa orang yang membuat hatinya merasa gelisah itu."Tunggu di sini," bisik Theo kepada Amilie.Theo pun keluar dari ruangan itu dan pergi ke tempat di mana sebelumnya terdapat suara yang mencurigakan. Namun, setelah dilihat tidak ada apa-apa.Lalu, tak lama kemudian datanglah pelayan rumah itu dan bertanya. "Tuan, apa yang sedang Anda lakukan di sini?" Theo yang sedang fokus pun langsung terhenyak dan menoleh ke samping
Amilie hanya terdiam seraya memijat pada dua sisi kepalanya. "Kenapa? Tolong jelaskan padaku!" pintanya.Namun, Amilie merasa tidak nyaman dengan hatinya. Ia seakan tidak rela saat melihat foto berdua antara mantan kekasihnya dengan Amanda.Kejadian hari itu menjadi teringat dan memukul keras hatinya menjadi semakin remuk. Pengkhianatan itu membuat dirinya seolah dibawa untuk memutuskan dua pilihan. Antara harus ikhlas atau membalaskan kemarahannya yang dipenuhi kekecewaan yang me dalam pada orang yang sempat dikasihinya. Air mata perlahan mengucur, tetapi pada saat itu pula ia menyekanya. Theo yang ada di sana menatap penuh belas kasih. Dirinya menjulurkan tangan ke arah Amilie dan siap menyeka air mata yang tidak berhenti mengalir itu.Tetapi, Amilie menepis tangan itu seketika. "Tidak usah mengasihaniku, aku tahu kamu hanya kasihan!" jawabnya ketus.Hari tak selalu baik dan begitupun dengan suasana hati Amilie. Yang mana kini pun hatinya seolah tengah dihujani kenangan kekecewaan
"Mas, kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Amilie penasaran. Ia terus menoleh ke arah Theo. Tetapi, Theo malah terdiam dengan wajah datarnya. Theo mengambil sabuk pengaman itu dan memasangkannya Amilie."Mas, jawab aku!" tegasnya dengn kedua mata itu terus tertuju pada Theo.Suami Amilie itu pun mengangkat wajahnya, lalu menatap lekat mata Amilie. Perlahan, ia membuka mulutnya sedikit yang hanya memperlihatkan gigi gingsulnya."Aku akan memberitahumu, asalkan setelah ini kamu berjanji untuk melupakan Stephen. Sungguh ... Aku tidak suka melihatmu menangis seperti tadi," katanya.Amilie sungguh tidak menyangka jika ternyata jawaban suaminya malah seperti itu. Tetapi, ini sudah tidak aneh lagi. Sebab, memang seperti itulah Theo.Amilie terdiam sejenak. Matanya terbelalak menatap tajam mata Theo. "Apa hubungannya mantan dengan kita?" balas Amilie."Aku bertanya padamu. Harusnya jawab apa adanya saja. Ya atau tidak?!" Amilie berkedip, seolah begitu berat untuk mengatakan satu kata itu. "B
"Aku 'kan sudah bilang mau pulang saja. Kenapa malah membawaku masuk ke dalam sana?"Amilie terus menggerak-gerakkan kakinya, mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Theo. Namun, saat itu juga Theo tak melepaskannya. Ia terus berjalan masuk ke restoran tersebut tanpa mempedulikan Amilie yang berontak itu.Seorang pelayan di restoran itu langsung menghampiri Theo begitu melihat keduanya masuk ke dalam sana. "Selamat datang, Pak. Silakan lewat sini!" katanya sembari menunjukkan jalan ke suatu tempat di ruangan itu."Tidak perlu. Saya mau langsung ke dapur saja," jawabnya.Seluruh pelanggan restoran, entah yang tengah makan ataupun yang sedang menunggu pesanan. Mereka semua menoleh ke arah Theo yang tengah berjalan. Keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana."Mas, turunkan aku sekarang juga! Aku tidak suka menjadi pusat perhatian begini!" bisik Amilie seraya menoleh ke orang-orang yang ada di sana.Namun, Theo tidak menuruti keinginan Amilie. Dirinya tetap memangk
"Sekarang kamu tidak bisa membohongi diri sendiri lagi. Perutmu sendiri yang mengatakannya, mengajak mulut dan tanganmu untuk makan," tutur Theo sembari terus memasak. Theo membawa wajan dan menuangkan masakannya yang berupa pesto chicken baked itu ke atas piring berbentuk bulat dengan ukuran sedang.Angin berhembus melewati jendela. Ia masuk ke dalam dapur dan seakan hendak menerbangkan rambut Amilie yang terurai. Pun menerbangkan secarik kain putih yang ada di meja saat Theo hendak mengambil kain itu mengelap meja yang agak kotor itu tadi.Saat Theo hendak menangkap kain yang terbang itu, tiba-tiba Amilie terpeleset dengan tumit memutar dan nyaris terjatuh. Dengan sigap, Theo menangkap istrinya tersebut hingga membuat keduanya berpelukan dengan tatapan mata yang dalam -- saling menatap satu sama lain.Perlahan, Theo semakin mendekatkan wajahnya dan nyaris membuat kedua bibir itu saling bersentuhan satu sama lain. Tetapi, kemudian Amilie lekas mengedipkan mata dan mencoba berdiri
Pada pandangan pertama, Amilie langsung disuguhi keindahan alam yang terlihat jelas. Bangunan gedung tinggi yang terhampar luas dan banyak, juga gunung dengan langit biru yang menambah keindahan hari itu.Suasana hati Amilie pun berubah hangat. Tanpa sadar ia menyeringai sembari menatap pemandangan kota itu di sana. "Mantan kamu dulu pasti tidak bisa move on dari kamu," celetuk Amilie.Theo mengerutkan dahi penuh tanya. "Kenapa?""Karena dia pasti tidak bisa melupakan tempat seindah ini.""Tidak."Jawaban singkat yang membuat pernyataannya tergoyah. "Kenapa?"Theo pun menoleh ke arah Amilie, lalu menatap dalam kedua bola matanya. "Karena baru kamu wanita yang pertama kali aku ajak ke sini."Amilie langsung ternganga tak percaya. 'Bagaimana mungkin?' Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya, tetapi tidak ia katakan langsung."Kenapa?" tanya Theo dengan santainya begitu melihat mimik wajah Amilie yang tampak kaget dan setengah tidak percaya dengan ucapannya itu.Tetapi, p
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,