"Tapi, bagaimana kalau kita lain kali bertemu. Ada sesuatu hal yang masih ingin sekali aku bicarakan denganmu," tutur Stephen."Lihat saja nanti, aku harus izin dengan suamiku dulu. Ya sudah, kalau begitu selamat malam. Aku harus tidur sekarang," balas Amilie. Ia pun kemudian mematikan telepon itu dan merebahkan tubuhnya kembali.Memikirkan kejadian yang tadi, membuat Amilie ragu untuk bertemu dengan Stephen. Sebab, ia tidak mau jika hubungannya dengan Theo pun menjadi berantakan akibat orang di masa lalu."Euhh, sialan!!!" teriak Stephen sembari meremas ponselnya sekuat tenag a.Tiba-tiba, Amanda yang merasa rindu dengan Stephen pun kemudian menghubungi tunangannya itu."Siapa lagi ini!" umpat Stephen.Karena tidak mau membuat Sanajaya kecewa dengan dirinya. Ia pun menjawab telepon itu. "Halo.""Halo, sayang. Bagaimana kabarmu? Oh iya, sekarang kamu ada di mana? Bagaimana kalau kita bertemu?""Tidak bisa!" jawab Stephen refleks saat dirinya merasa kesal. Dua kata itu terucap begitu
Saat tengah menatap Amilie, tiba-tiba saja istrinya itu berpindah posisi dan nyaris terjatuh ke lantai. Untungnya, dengan sigap Theo langsung menyangga kepala Amilie.Dari samping istrinya itu, secara perlahan selama hampir satu menit ia menjadi penyangga. Sebab, ia merasa tidak tega untuk membangunkannya. Sesekali ia memandangi Amilie. "Aaaahhh pegal sekali, tapi kalau aku membangunkannya, nanti istirahatnya bisa terganggu," gumam Theo.Sampai pada akhirnya, ia duduk di lantai sembari menahan Amilie yang tidur di tangannya.***Pada malam harinya, Amilie berganti posisi kembali. Tetapi, pada saat yang sama ia merasa ingin buang air kecil. Sehingga, walaupun masih mengantuk. Ia terpaksa bangun malam-malam dan membuka perlahan matanya yang masih rapat itu.Ia mencium wangi yang sangat dirinya kenal. "Wangi partum ini sepertinya bukan berasal dari tubuhku," ucap Amilie sembari mencium tubuhnya sendiri. Namun, ia yang tercium malah bau dirinya yang lain. Karena penasaran, dirinya pun me
Dibalik tembok kamar, Theo menoleh. Lalu, perlahan berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Di sana ia langsung terduduk dengan nafas terengah-engah. "Untung saja aku buru-buru pergi," ucapnya.Saat nafasnya mulai kembali seperti biasa. Ia terbayang pada Amilie yang dengan begitu perhatian menyelimuti dirinya. Rasa nyaman itu kian muncul dan menyebar luas. Mulailah saat di mana ia merasa bahwa berpisah dengan Amilie adalah yang terburuk. "Sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kalau saat ini kamu belum bisa menerimaku, maka aku akan terus menunggu sampai saat itu tiba."Theo pun berpindah menuju tempat tidur, ia melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda. Di kamar yang lain, Amilie masih bingung dengan Theo. Tetapi, ia tidak mau memikirkannya lagi. Perlahan, ia memejamkan matanya dan melanjutkan tidur.Hingga, pada pagi harinya. Dengan kepala yang masih agak berat, ia keluar dari kamar tidur untuk pergi menuju dapur. Tetapi, saat di dekat pintu dapur. Tak sengaja dir
"Sudah, Mas. Mending kita lanjut sarapan lagi, siapatahu aja itu cuma pelayan di rumah ini," celetuk Amilie.Amilie pun melanjutkan makan kembali tanpa mempedulikan kecurigaan Theo selama sarapan.Theo menyuap makanan kembali ke dalam mulutnya. Tetapi, telinga itu terus fokus ke sesuatu yang lain. Set! Terdengar samar suara seseorang yang tengah melewati tempat itu. Membuat Theo menghentikan sendoknya yang hendak memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya tersebutTheo pun langsung bangkit dari duduknya. Lalu, perlahan melangkah mengintip sekaligus untuk mencari tahu siapa orang yang membuat hatinya merasa gelisah itu."Tunggu di sini," bisik Theo kepada Amilie.Theo pun keluar dari ruangan itu dan pergi ke tempat di mana sebelumnya terdapat suara yang mencurigakan. Namun, setelah dilihat tidak ada apa-apa.Lalu, tak lama kemudian datanglah pelayan rumah itu dan bertanya. "Tuan, apa yang sedang Anda lakukan di sini?" Theo yang sedang fokus pun langsung terhenyak dan menoleh ke samping
Amilie hanya terdiam seraya memijat pada dua sisi kepalanya. "Kenapa? Tolong jelaskan padaku!" pintanya.Namun, Amilie merasa tidak nyaman dengan hatinya. Ia seakan tidak rela saat melihat foto berdua antara mantan kekasihnya dengan Amanda.Kejadian hari itu menjadi teringat dan memukul keras hatinya menjadi semakin remuk. Pengkhianatan itu membuat dirinya seolah dibawa untuk memutuskan dua pilihan. Antara harus ikhlas atau membalaskan kemarahannya yang dipenuhi kekecewaan yang me dalam pada orang yang sempat dikasihinya. Air mata perlahan mengucur, tetapi pada saat itu pula ia menyekanya. Theo yang ada di sana menatap penuh belas kasih. Dirinya menjulurkan tangan ke arah Amilie dan siap menyeka air mata yang tidak berhenti mengalir itu.Tetapi, Amilie menepis tangan itu seketika. "Tidak usah mengasihaniku, aku tahu kamu hanya kasihan!" jawabnya ketus.Hari tak selalu baik dan begitupun dengan suasana hati Amilie. Yang mana kini pun hatinya seolah tengah dihujani kenangan kekecewaan
"Mas, kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Amilie penasaran. Ia terus menoleh ke arah Theo. Tetapi, Theo malah terdiam dengan wajah datarnya. Theo mengambil sabuk pengaman itu dan memasangkannya Amilie."Mas, jawab aku!" tegasnya dengn kedua mata itu terus tertuju pada Theo.Suami Amilie itu pun mengangkat wajahnya, lalu menatap lekat mata Amilie. Perlahan, ia membuka mulutnya sedikit yang hanya memperlihatkan gigi gingsulnya."Aku akan memberitahumu, asalkan setelah ini kamu berjanji untuk melupakan Stephen. Sungguh ... Aku tidak suka melihatmu menangis seperti tadi," katanya.Amilie sungguh tidak menyangka jika ternyata jawaban suaminya malah seperti itu. Tetapi, ini sudah tidak aneh lagi. Sebab, memang seperti itulah Theo.Amilie terdiam sejenak. Matanya terbelalak menatap tajam mata Theo. "Apa hubungannya mantan dengan kita?" balas Amilie."Aku bertanya padamu. Harusnya jawab apa adanya saja. Ya atau tidak?!" Amilie berkedip, seolah begitu berat untuk mengatakan satu kata itu. "B
"Aku 'kan sudah bilang mau pulang saja. Kenapa malah membawaku masuk ke dalam sana?"Amilie terus menggerak-gerakkan kakinya, mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Theo. Namun, saat itu juga Theo tak melepaskannya. Ia terus berjalan masuk ke restoran tersebut tanpa mempedulikan Amilie yang berontak itu.Seorang pelayan di restoran itu langsung menghampiri Theo begitu melihat keduanya masuk ke dalam sana. "Selamat datang, Pak. Silakan lewat sini!" katanya sembari menunjukkan jalan ke suatu tempat di ruangan itu."Tidak perlu. Saya mau langsung ke dapur saja," jawabnya.Seluruh pelanggan restoran, entah yang tengah makan ataupun yang sedang menunggu pesanan. Mereka semua menoleh ke arah Theo yang tengah berjalan. Keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana."Mas, turunkan aku sekarang juga! Aku tidak suka menjadi pusat perhatian begini!" bisik Amilie seraya menoleh ke orang-orang yang ada di sana.Namun, Theo tidak menuruti keinginan Amilie. Dirinya tetap memangk
"Sekarang kamu tidak bisa membohongi diri sendiri lagi. Perutmu sendiri yang mengatakannya, mengajak mulut dan tanganmu untuk makan," tutur Theo sembari terus memasak. Theo membawa wajan dan menuangkan masakannya yang berupa pesto chicken baked itu ke atas piring berbentuk bulat dengan ukuran sedang.Angin berhembus melewati jendela. Ia masuk ke dalam dapur dan seakan hendak menerbangkan rambut Amilie yang terurai. Pun menerbangkan secarik kain putih yang ada di meja saat Theo hendak mengambil kain itu mengelap meja yang agak kotor itu tadi.Saat Theo hendak menangkap kain yang terbang itu, tiba-tiba Amilie terpeleset dengan tumit memutar dan nyaris terjatuh. Dengan sigap, Theo menangkap istrinya tersebut hingga membuat keduanya berpelukan dengan tatapan mata yang dalam -- saling menatap satu sama lain.Perlahan, Theo semakin mendekatkan wajahnya dan nyaris membuat kedua bibir itu saling bersentuhan satu sama lain. Tetapi, kemudian Amilie lekas mengedipkan mata dan mencoba berdiri