"Mas, kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Amilie penasaran. Ia terus menoleh ke arah Theo. Tetapi, Theo malah terdiam dengan wajah datarnya. Theo mengambil sabuk pengaman itu dan memasangkannya Amilie."Mas, jawab aku!" tegasnya dengn kedua mata itu terus tertuju pada Theo.Suami Amilie itu pun mengangkat wajahnya, lalu menatap lekat mata Amilie. Perlahan, ia membuka mulutnya sedikit yang hanya memperlihatkan gigi gingsulnya."Aku akan memberitahumu, asalkan setelah ini kamu berjanji untuk melupakan Stephen. Sungguh ... Aku tidak suka melihatmu menangis seperti tadi," katanya.Amilie sungguh tidak menyangka jika ternyata jawaban suaminya malah seperti itu. Tetapi, ini sudah tidak aneh lagi. Sebab, memang seperti itulah Theo.Amilie terdiam sejenak. Matanya terbelalak menatap tajam mata Theo. "Apa hubungannya mantan dengan kita?" balas Amilie."Aku bertanya padamu. Harusnya jawab apa adanya saja. Ya atau tidak?!" Amilie berkedip, seolah begitu berat untuk mengatakan satu kata itu. "B
"Aku 'kan sudah bilang mau pulang saja. Kenapa malah membawaku masuk ke dalam sana?"Amilie terus menggerak-gerakkan kakinya, mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Theo. Namun, saat itu juga Theo tak melepaskannya. Ia terus berjalan masuk ke restoran tersebut tanpa mempedulikan Amilie yang berontak itu.Seorang pelayan di restoran itu langsung menghampiri Theo begitu melihat keduanya masuk ke dalam sana. "Selamat datang, Pak. Silakan lewat sini!" katanya sembari menunjukkan jalan ke suatu tempat di ruangan itu."Tidak perlu. Saya mau langsung ke dapur saja," jawabnya.Seluruh pelanggan restoran, entah yang tengah makan ataupun yang sedang menunggu pesanan. Mereka semua menoleh ke arah Theo yang tengah berjalan. Keduanya menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sana."Mas, turunkan aku sekarang juga! Aku tidak suka menjadi pusat perhatian begini!" bisik Amilie seraya menoleh ke orang-orang yang ada di sana.Namun, Theo tidak menuruti keinginan Amilie. Dirinya tetap memangk
"Sekarang kamu tidak bisa membohongi diri sendiri lagi. Perutmu sendiri yang mengatakannya, mengajak mulut dan tanganmu untuk makan," tutur Theo sembari terus memasak. Theo membawa wajan dan menuangkan masakannya yang berupa pesto chicken baked itu ke atas piring berbentuk bulat dengan ukuran sedang.Angin berhembus melewati jendela. Ia masuk ke dalam dapur dan seakan hendak menerbangkan rambut Amilie yang terurai. Pun menerbangkan secarik kain putih yang ada di meja saat Theo hendak mengambil kain itu mengelap meja yang agak kotor itu tadi.Saat Theo hendak menangkap kain yang terbang itu, tiba-tiba Amilie terpeleset dengan tumit memutar dan nyaris terjatuh. Dengan sigap, Theo menangkap istrinya tersebut hingga membuat keduanya berpelukan dengan tatapan mata yang dalam -- saling menatap satu sama lain.Perlahan, Theo semakin mendekatkan wajahnya dan nyaris membuat kedua bibir itu saling bersentuhan satu sama lain. Tetapi, kemudian Amilie lekas mengedipkan mata dan mencoba berdiri
Pada pandangan pertama, Amilie langsung disuguhi keindahan alam yang terlihat jelas. Bangunan gedung tinggi yang terhampar luas dan banyak, juga gunung dengan langit biru yang menambah keindahan hari itu.Suasana hati Amilie pun berubah hangat. Tanpa sadar ia menyeringai sembari menatap pemandangan kota itu di sana. "Mantan kamu dulu pasti tidak bisa move on dari kamu," celetuk Amilie.Theo mengerutkan dahi penuh tanya. "Kenapa?""Karena dia pasti tidak bisa melupakan tempat seindah ini.""Tidak."Jawaban singkat yang membuat pernyataannya tergoyah. "Kenapa?"Theo pun menoleh ke arah Amilie, lalu menatap dalam kedua bola matanya. "Karena baru kamu wanita yang pertama kali aku ajak ke sini."Amilie langsung ternganga tak percaya. 'Bagaimana mungkin?' Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya, tetapi tidak ia katakan langsung."Kenapa?" tanya Theo dengan santainya begitu melihat mimik wajah Amilie yang tampak kaget dan setengah tidak percaya dengan ucapannya itu.Tetapi, p
"Lalu, aku harus bagaimana supaya kamu mau menerima ucapan terima kasihku ini?" tanya Amilie.Theo pun mendekatkan wajahnya. Terlihat jelas, gerak-geriknya seolah tengah menggoda Amilie untuk semakin dekat dengan dirinya."Kalau begitu, bolehkah aku meminta waktumu malam ini?" Pertanyaan singkat namun menciptakan tanya. Amilie berpikir sejenak mengenai ucapan Theo yang belum bisa ia pahami apa kemauan suaminya itu. Tetapi, perlahan ia menerka-nerka dalam hatinya."Apa dia menginginkan tubuhku? Karena, kami belum pernah melakukan apapun selama menjadi suami istri. Tapi ..." Amilie menengok ke arah perutnya. "Apa yang kamu inginkan itu, Mas? Tidak aneh-aneh, 'kan?" tanya Amilie dengan kepala menunduk dan pandangan masih ke arah perutnya sendiri."Lihat saja nanti."Setelah mengatakan perkataan yang cukup singkat itu. Theo pun menyantap makanan itu kembali. Sementara itu, di tempat lain Amanda yang kini sedang bersama dengan Stephen pun mulai merasa bosan. Ketika Stephen tampak kehil
Amanda mencoba menghubungi Ibunya. Tetapi, saat itu tak langsung terjawab. Sebab, saat itu Ibunya sedang makan.Hingga, seorang pembantu mendengar suara panggilan telepon. Ia berjalan perlahan ke arah majikannya dan langsung memberikan ponsel yang tergeletak di meja -- tepatnya di dalam kamar. Saat itu ia sedang membersihkan kamar majikannya."Nyonyaaaa ... Nyonyaaa ...!" seru asisten rumah tangga di rumah itu. Dania menoleh dan langsung terkesiap. "Ada apa?" tanya Dania dengan wajah serius."Nona Amanda menelepon, sepertinya ada sesuatu hal yang penting," ujarnya.Dania pun langsung menjulurkan tangan dan menerima ponsel itu dari tangan asisten rumah tangganya. "Kemarikan!"Asisten rumah tangga itu mundur selangkah dan bersiap pergi. Tetapi, dengan ponsel di telinga, Dania menghentikannya."Jangan dulu pergi!" pintanya."Baik, Nyonya," sahutnya.Stephen terduduk menatap wajah Amanda dan lalu bertanya, meski dari matanya terdengar begitu terpaksa dan malas."Bagaimana?"Amanda membe
Padahal, dari lubuk hatinya yang terdalam ia merasa senang. "Supaya tidak saling berjauhan. Lagi pula, walau sekarang aku mantannya Amilie. Dia tetaplah keluarga kita, jangan sampai bermusuhan. Karena itu tidaklah baik," tutur Stephen.Amanda pun tersenyum. "Baiklah." Ia membuka ponselnya kembali dan mencoba untuk menghubungi Theo. Tetapi, ia langsung menghentikan jarinya saat itu juga. Begitu dirinya menyadari bahwa ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki nomor telepon Theo.Perlahan, ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah Stephen yang tengah fokus menyedot minuman."Sayang, kamu tidak menghubungi Amilie?" tanya Amanda."Besok saja. Toh, acaranya bukan malam ini juga, 'kan?" balasnya dengan santai."Jadi mau besok malam saja?" tanya Amanda kembali seraya mengangkat kedua alisnya."Memang besok, 'kan?""Ck!" Amanda berdecak sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Malam ini, sayang. Makanya tadi aku buru-buru mengabari Mama.""Ya sudah."Stephen hanya terdiam. Ia tidak mel
Setelah menerima saran dari Amilie. Theo pun kemudian menjawab telepon tersebut dan menambah volume suara di ponselnya agar terdengar pula oleh istrinya yang sedang penasaran dan mendengarkan.Ia menaruhnya di meja dan memulai pembicaraan tersebut. "Halo?"Wajah suram Amanda pun langsung cerah kembali saat teleponnya dijawab oleh Theo."Halo. Kamu ingat suaraku, 'kan?" "Ya. Ada apa menghubungiku sore-sore begini?""Sebenarnya, malam ini akan ada acara makan malam di rumah Mama. Jadi, kamu juga datang ya ke sana," bujuk Amanda.Theo dan Amilie pun saling bertatapan satu sama lain. Seolah otak mereka tengah bekerja, menebak-nebak maksud dari diadakannya acara ini."Kenapa dia menghubungi Theo. Apa dia sudah tidak menganggap aku keluarga lagi?" batin Amilie. Dirinya merasa tidak dihargai. Tetapi, kemudian ponselnya pun berdering. Ia lekas membukanya dan melihat. "Stephen, mau apa dia menghubungiku?" gumamnya.Amilie pun langsung menjawabnya agak berjauhan dari Theo."Halo? Kamu tida