"Lalu, aku harus bagaimana supaya kamu mau menerima ucapan terima kasihku ini?" tanya Amilie.Theo pun mendekatkan wajahnya. Terlihat jelas, gerak-geriknya seolah tengah menggoda Amilie untuk semakin dekat dengan dirinya."Kalau begitu, bolehkah aku meminta waktumu malam ini?" Pertanyaan singkat namun menciptakan tanya. Amilie berpikir sejenak mengenai ucapan Theo yang belum bisa ia pahami apa kemauan suaminya itu. Tetapi, perlahan ia menerka-nerka dalam hatinya."Apa dia menginginkan tubuhku? Karena, kami belum pernah melakukan apapun selama menjadi suami istri. Tapi ..." Amilie menengok ke arah perutnya. "Apa yang kamu inginkan itu, Mas? Tidak aneh-aneh, 'kan?" tanya Amilie dengan kepala menunduk dan pandangan masih ke arah perutnya sendiri."Lihat saja nanti."Setelah mengatakan perkataan yang cukup singkat itu. Theo pun menyantap makanan itu kembali. Sementara itu, di tempat lain Amanda yang kini sedang bersama dengan Stephen pun mulai merasa bosan. Ketika Stephen tampak kehil
Amanda mencoba menghubungi Ibunya. Tetapi, saat itu tak langsung terjawab. Sebab, saat itu Ibunya sedang makan.Hingga, seorang pembantu mendengar suara panggilan telepon. Ia berjalan perlahan ke arah majikannya dan langsung memberikan ponsel yang tergeletak di meja -- tepatnya di dalam kamar. Saat itu ia sedang membersihkan kamar majikannya."Nyonyaaaa ... Nyonyaaa ...!" seru asisten rumah tangga di rumah itu. Dania menoleh dan langsung terkesiap. "Ada apa?" tanya Dania dengan wajah serius."Nona Amanda menelepon, sepertinya ada sesuatu hal yang penting," ujarnya.Dania pun langsung menjulurkan tangan dan menerima ponsel itu dari tangan asisten rumah tangganya. "Kemarikan!"Asisten rumah tangga itu mundur selangkah dan bersiap pergi. Tetapi, dengan ponsel di telinga, Dania menghentikannya."Jangan dulu pergi!" pintanya."Baik, Nyonya," sahutnya.Stephen terduduk menatap wajah Amanda dan lalu bertanya, meski dari matanya terdengar begitu terpaksa dan malas."Bagaimana?"Amanda membe
Padahal, dari lubuk hatinya yang terdalam ia merasa senang. "Supaya tidak saling berjauhan. Lagi pula, walau sekarang aku mantannya Amilie. Dia tetaplah keluarga kita, jangan sampai bermusuhan. Karena itu tidaklah baik," tutur Stephen.Amanda pun tersenyum. "Baiklah." Ia membuka ponselnya kembali dan mencoba untuk menghubungi Theo. Tetapi, ia langsung menghentikan jarinya saat itu juga. Begitu dirinya menyadari bahwa ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki nomor telepon Theo.Perlahan, ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah Stephen yang tengah fokus menyedot minuman."Sayang, kamu tidak menghubungi Amilie?" tanya Amanda."Besok saja. Toh, acaranya bukan malam ini juga, 'kan?" balasnya dengan santai."Jadi mau besok malam saja?" tanya Amanda kembali seraya mengangkat kedua alisnya."Memang besok, 'kan?""Ck!" Amanda berdecak sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Malam ini, sayang. Makanya tadi aku buru-buru mengabari Mama.""Ya sudah."Stephen hanya terdiam. Ia tidak mel
Setelah menerima saran dari Amilie. Theo pun kemudian menjawab telepon tersebut dan menambah volume suara di ponselnya agar terdengar pula oleh istrinya yang sedang penasaran dan mendengarkan.Ia menaruhnya di meja dan memulai pembicaraan tersebut. "Halo?"Wajah suram Amanda pun langsung cerah kembali saat teleponnya dijawab oleh Theo."Halo. Kamu ingat suaraku, 'kan?" "Ya. Ada apa menghubungiku sore-sore begini?""Sebenarnya, malam ini akan ada acara makan malam di rumah Mama. Jadi, kamu juga datang ya ke sana," bujuk Amanda.Theo dan Amilie pun saling bertatapan satu sama lain. Seolah otak mereka tengah bekerja, menebak-nebak maksud dari diadakannya acara ini."Kenapa dia menghubungi Theo. Apa dia sudah tidak menganggap aku keluarga lagi?" batin Amilie. Dirinya merasa tidak dihargai. Tetapi, kemudian ponselnya pun berdering. Ia lekas membukanya dan melihat. "Stephen, mau apa dia menghubungiku?" gumamnya.Amilie pun langsung menjawabnya agak berjauhan dari Theo."Halo? Kamu tida
Tak lama setelah berbicara, ponselnya kembali berdering. Theo pun mencoba melihatnya sejenak. "Papa, mau apa dia menelepon?" gumam Theo kesal. Tetapi, meskipun begitu ia tetap menjawabnya."Iya, Pa. Ada apa? Tumben nelepon aku," celetuk Theo."Kok kamu bicara begitu? Memangnya salah, ya, kalau Papa menelepon kamu?" balas Sanjaya. "Jadi, Papa mau apa? Jangan bilang mau ajak aku makan malam." Theo mencoba menerka-nerka maksud Ayahnya tersebut. Sebab, sebelumnya pun begitu. Ia baru saja mendapat ajakan makan malam dari Amanda."Loh, kok kamu bisa tahu?" Sanjaya tercengang kaget mendengarnya."Benar 'kan dugaanku. Kalau begitu, aku sudahi dulu teleponnya. Aku sedang di luar dan harus buru-buru pulang. Selamat sore dan sampai nanti!" Theo pun langsung mematikan telepon itu begitu melontarkan kalimat tersebut."Tungg--..."Tut Tut Tut!Sanjaya melihat ke arah ponselnya. Tetapi, panggilan telepon itu benar-benar berakhir. "Anak ituu!" umpatnya geram.Theo pun memasukkan ponselnya ke dala
Rasa geli sekaligus agak menggelitik, membuat Theo tak bisa diam. "Pelan-pelan sedikit ambilnya," pinta Theo kepada Amilie."Iya, Mas. Ini juga sudah pelan," jawabnya. Sembari terus merogoh ke dalam saku celana.Karena celananya cukup ketat, sehingga Amilie sedikit kesulitan saat mengambilnya. Ia sampai terbelalak saat dirinya secara tak sengaja menyentuh benda keras yang lain selain ponsel.Ia segera mengambil ponsel itu dan memberikannya kepada Theo. "Apa itu tadi?" batin Amilie.Theo melihat ke arah Amilie dan bertanya, karena terlihat jelas wajah Amilie yang seolah kaget. "Kenapa?" satu kata tanya tetapi menyimpan rasa penasaran yang membara.Amilie langsung menatap wajah Theo. Kedua bola matanya membulat sempurna dengan bibir agak terbuka hingga terlihat sebuah celah."Tidak apa-apa," sahutnya sembari menggelengkan kepala.Theo pun lekas mengambil ponsel itu dari tangan Amilie dan melihat isi pesan masuk tersebut.[Sampai jumpa nanti malam. Akhirnya kita akan bertemu. Aku akan m
Amanda yang penasaran dengan baju yang dipakainya, membuatnya ingin mencoba."Nona bisa mencobanya di sana~!" kata Monna."Baiklah, aku akan mencobanya sekarang," sahut Amanda.Di ruang ganti itu, ia mencoba pakaian yang telah dipilihnya tersebut. Dirinya terus berkaca sembari mengagumi kecantikannya.Sedangkan Stephen, ia duduk di kursi dengan kaki menyilang. Menunggu Amanda selesai berganti pakaian. Tetapi, pada saat yang bersamaan ponselnya berdering begitu nyaring. Itu membuat Stephen menoleh ke arah samping -- tepatnya ke arah ponsel milik tunangannya."Siapa itu?" Stephen mencoba melihatnya. Kedua alisnya bertautan dengan batin yang dipenuhi rasa penasaran. Hingga, pertanyaan itu pun terjawab sudah."Mama," gumamnya.Karena Stephen tidak ingin menjawabnya, ia pun mencoba memanggil Amanda."Sayang, cepat ke sini!" seru Stephen. Namun, Amanda masih pada posisi yang sama. Ia berkaca di depan cermin tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. "Sebentar, sayang. Aku belum selesai!" sah
Sedikit kecewa namun tak apa. Sebab, ia kembali ingat pada tujuannya malam ini yang harus terealisasikan."Baik. Kalau begitu, aku juga mau melihat-lihat lagi sebelum kita pulang."Stephen berjalan dan mencari. Ia mengambil sebuah kemeja berwarna biru muda juga sebuah jas yabg bagus. Tetapi, ia sendiri pun merasa bingung dengan pilihannya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pramuniaga di sana sembari tersenyum.Suara itu membuat Stephen langsung menoleh seketika. Ia pun membalas senyuman itu dan menyahutnya. "Eh, kebetulan. Tolong bantu carikan untuk saya makan malam.""Pasti makan malam dengan pacarnya," duga pramuniaga. Ia menerka-nerka demikian, sebab sebelumnya Stephen mengatakan makan malam.Alih-alih menjelaskan, Stephen hanya tersenyum tipis kepada pramuniaga itu. "Bisa saja."Lalu, pramuniaga itu pun mencarikan pakaian yang cocok sesuai dengan dugaannya tadi. Di samping itu, Amanda yang sudah menemukan pakaiannya kali ini siap untuk membayar. Pandangannya menyapu se
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,