"Ayo lebih cepat lagi!" kata Amilie yang sudah tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuannya tersebut.Theo yang sedang mengendarai motor pun menjadi kurang fokus. Hatinya begitu terbakar. Ia merasa panas saat Amilie tampak ingin sekali bergwmi dengan Stephen."Omong-omong, Mbak mau pergi ke mana?""Ke Cafetaria.""Mau bertemu pacarnya ya, Mbak? Sampai dandan secantik ini. Saran saya sih, lebih baik Mbak hati-hati karena zaman sekarang banyak cowok yang hanya modal tampang saja untuk modusin banyak cewek," tutur Theo mengingatkan. Tentunya dengan suara samarannya, agar bisa menghilangkan kecurigaan Amilie.Amilie tidak menyahutnya. Ia hanya mengangguk saja."Asal Mas tahu, saya datang ke sana menemuinya karena ada misi tertentu.""Wah, Mbak sudah seperti detektif saja. Pasti cita-citanya jadi detektif," sanjung Theo. Dirinya berusaha agar Amilie mau memberitahukan maksudnya untuk bertemu seseorang. Hanya saja, ia menggunakan trik halusnya tersebut."Bukan cita-cita. Tapi, keadaa
Theo yang dengan tujuan untuk menjadi detektif sesaat dengan memperhatikan gerak-gerik Amilie dengan Stephen. Membuatnya tidak bisa santai."Apa yang akan kamu lihat kalau caranya seperti itu?" tanya David yang merasa sangat aneh dengan sikap temannya itu. "Diamlah. Aku sedang memantaunya dari jarak jauh. Kalau lengah sedikit saja, aku pasti tidak akan mengetahui sesuatu," balas Theo dengan nada agak berbisik.Tiba-tiba, pramusaji datang ke meja itu dan bertanya. "Permisi. Mau pesan apa?" tanya pramusaji wanita dengan membawa catatan kecil untuk kemudian ia catat begitu Theo maupun David dan ataupun keduanya memesan sesuatu di sana."Mbak, tolong minggir sedikit. Jangan menghalangi saya," pinta Theo.Ketika itu, arah datang pramusaji itu memang dari sebelah kiri ia duduk. Tepatnya, saat ia sedang memantau istrinya yang tengah bersama dengan pria lain.David yang terheran-heran dengan sikap dan kelakuan temannya, dirinya hanya menyunggingkan bibir seraya memberikan saran."Daripada
Kecurigaan Amilie semakin bertambah, begitu memperhatikan cara Stephen yang terus memaksa kepada dirinya untuk makan.Theo yang sudah tidak bisa diam pun kemudian bangkit dari duduknya dan bergegas ke arah Amilie. Tetapi, David mengingatkan kepada Theo tentang satu hal."Kamu yakin akan menghampirinya dengan keadaan begitu? Nanti, yang ada bakalan diusir atau disangka orang jahat."Perkataan David itu membuat Theo menghentikan langkah kakinya. Ia kembali ke tempat duduknya semula dan bertanya kepada David."Lalu, sekarang aku harus bagaimana?" tanya Theo sembari berpikir. Ia pun kemudian pergi keluar dari cafe itu."Kenapa dia malah pergi? Katanya ingin memantau istrinya sendiri," gumam David sembari mengikuti Theo yang berjalan keluar dari cafe tersebut."Hey, tunggu!" seru David. Di luar cafe itu ia segera membuka kacamata dan topi yang dipakainya. Ia juga membuka jaket kulitnya tersebut."Jadi ...?" tanya David begitu sampai di hadapan Theo dengan nafas terengah-engah. Theo pun
Kebingungan membuat David menggelengkan kepala tanpa bicara. "Tidak mungkin. Jelas sekali yang ada di tangan kamu ini, itulah yang tadi kamu pakai saat membonceng saya ke sini," pungkas Amilie."Mungkin hanya kebetulan saja. Karena, kalau memang itu saya. Sudah pasti ada motornya di sini."Amilie terdiam sejenak. Ia mengingat motor yang dikendarai pria yang tadi, yang mana sosok itu persis seperti suaminya."Benar juga, tapi ...""Ya sudah, kalau begitu saya mau pulang duluan," kata David berusaha menghindari Amilie. Karena ia tidak ingin mendapat banyak pertanyaan lagi dari wanita itu."Hey, tunggu sebentar!" seru Amilie yang merasa ada sesuatu yang kurang dan belum ia tanyakan kepada David.David pun secara terpaksa berhenti dan menoleh ke arah Amilie. "Apa tadi kamu me--..."Amilie menghentikan kalimatnya. Ia mengurungkan niat itu untuk bertanya. Sebab, ia pikir bahwa dirinya tidak mungkin menanyakan hal itu pada orang yang mungkin tidak mengenal suaminya sama sekali. Meski dalam
Amilie langsung terhentak. Jantungnya berdebar dnegan begitu kencang disertai rasa gugup yang menyelimuti. Dirinya tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sebab, tidak ingin memperburuk situasi antara dirinya dengan Theo.'Bagaimana ini? Kalau aku jujur, apa dia akan marah? Tapi ...' pikiran itu terus berlarian.Amilie tambah bingung saat melirik Theo yang tengah menatap dirinya dengan tatapan yang sangat tajam. Seolah menghunus matanya."T--tadi saya 'kan sudah mengatakannya."Theo menghela nafas kesal. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Saya tahu kamu pergi dengan Stephen. Kalau kamu ingin menemuinya, kenapa tidak izin dulu padaku?" balasnya dengan nada ketus.Amilie tercengang. "Hah? Bagaimana mungkin dia tahu kalau aku pergi dengan Stephen? Apa dia mengikutiku? Atau ... Dia telah mengirimkan seseorang untuk memantau aku?" batin Amilie dengan kedua bola mata terbelalak dan bibir komat-kamit. "Kalau tidak mau jujur, tidak masalah. Tapi, jangan salahkan aku kalau tidak peduli la
"Tapi, bagaimana kalau kita lain kali bertemu. Ada sesuatu hal yang masih ingin sekali aku bicarakan denganmu," tutur Stephen."Lihat saja nanti, aku harus izin dengan suamiku dulu. Ya sudah, kalau begitu selamat malam. Aku harus tidur sekarang," balas Amilie. Ia pun kemudian mematikan telepon itu dan merebahkan tubuhnya kembali.Memikirkan kejadian yang tadi, membuat Amilie ragu untuk bertemu dengan Stephen. Sebab, ia tidak mau jika hubungannya dengan Theo pun menjadi berantakan akibat orang di masa lalu."Euhh, sialan!!!" teriak Stephen sembari meremas ponselnya sekuat tenag a.Tiba-tiba, Amanda yang merasa rindu dengan Stephen pun kemudian menghubungi tunangannya itu."Siapa lagi ini!" umpat Stephen.Karena tidak mau membuat Sanajaya kecewa dengan dirinya. Ia pun menjawab telepon itu. "Halo.""Halo, sayang. Bagaimana kabarmu? Oh iya, sekarang kamu ada di mana? Bagaimana kalau kita bertemu?""Tidak bisa!" jawab Stephen refleks saat dirinya merasa kesal. Dua kata itu terucap begitu
Saat tengah menatap Amilie, tiba-tiba saja istrinya itu berpindah posisi dan nyaris terjatuh ke lantai. Untungnya, dengan sigap Theo langsung menyangga kepala Amilie.Dari samping istrinya itu, secara perlahan selama hampir satu menit ia menjadi penyangga. Sebab, ia merasa tidak tega untuk membangunkannya. Sesekali ia memandangi Amilie. "Aaaahhh pegal sekali, tapi kalau aku membangunkannya, nanti istirahatnya bisa terganggu," gumam Theo.Sampai pada akhirnya, ia duduk di lantai sembari menahan Amilie yang tidur di tangannya.***Pada malam harinya, Amilie berganti posisi kembali. Tetapi, pada saat yang sama ia merasa ingin buang air kecil. Sehingga, walaupun masih mengantuk. Ia terpaksa bangun malam-malam dan membuka perlahan matanya yang masih rapat itu.Ia mencium wangi yang sangat dirinya kenal. "Wangi partum ini sepertinya bukan berasal dari tubuhku," ucap Amilie sembari mencium tubuhnya sendiri. Namun, ia yang tercium malah bau dirinya yang lain. Karena penasaran, dirinya pun me
Dibalik tembok kamar, Theo menoleh. Lalu, perlahan berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Di sana ia langsung terduduk dengan nafas terengah-engah. "Untung saja aku buru-buru pergi," ucapnya.Saat nafasnya mulai kembali seperti biasa. Ia terbayang pada Amilie yang dengan begitu perhatian menyelimuti dirinya. Rasa nyaman itu kian muncul dan menyebar luas. Mulailah saat di mana ia merasa bahwa berpisah dengan Amilie adalah yang terburuk. "Sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kalau saat ini kamu belum bisa menerimaku, maka aku akan terus menunggu sampai saat itu tiba."Theo pun berpindah menuju tempat tidur, ia melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda. Di kamar yang lain, Amilie masih bingung dengan Theo. Tetapi, ia tidak mau memikirkannya lagi. Perlahan, ia memejamkan matanya dan melanjutkan tidur.Hingga, pada pagi harinya. Dengan kepala yang masih agak berat, ia keluar dari kamar tidur untuk pergi menuju dapur. Tetapi, saat di dekat pintu dapur. Tak sengaja dir