"Minggir kamu! Jangan menghalangi jalanku!" ujar Theo dengan perasaan geram.Stephen melentangkan kedua tangannya, ia berusaha untuk menghentikan mereka pergi. " Aku cuma tanya, Kakak akan pergi ke mana?""Kau tak perlu tahu. Urusi saja hidupmu sendiri!"Amilie yang ada di sana pun hanya menatap wajah Stephen untuk beberapa saat dan memalingkannya. Melihat wajahnya mengingatkannya pada kenangan buruk masa lalunya. Walaupun ada kenangan baik yang masih terselip diantara rentetan isi kepala."Amilie, aku mohon ... Tolong jangan hindari aku lagi! Aku mau bicara sama kamu," katanya.Tetapi, saat itu Amilie merasakan sesuatu yang begitu menyulitkan pikiran dalam mengambil keputusan atas dirinya sendiri."Andai kamu tidak memilih Amanda, mungkin kita masih berada pada masa bahagia," batin Amilie. Meskipun begitu, ia tidak melupakan sesuatu. Dirinya merasa bahwa ini adalah kesempatan bagus untuknya. "Ayolah! Kita bisa 'kan bicara sebentar saja," katanya.Amilie menatap wajah Stephen. Seda
"Akhirnya, Amilie mau juga bicara denganku. Tunggu saja, sebentar lagi dia akan kembali padaku. Aku tidak rela kalau Kak Theo mendapatkannya. Hubungan mereka pun pasti akan segera berakhir," ucap Stephen pelan seraya melihat ke arah luar.Pada saat yang sama, Rosalina datang dan bertanya. Ia begitu penasaran dengan apa yang tengah dipikirkan oleh anaknya tersebut. Sebab, sedari tadi terlihat begitu serius seolah sedang memikirkan sesuatu hal yang penting."Ada apa, Nak? Sepertinya ada kabar baik yang membuatmu terlihat begitu girang?" tanya Rosalina.Namun, karena ia tahu bahwa Rosalina tidak menyukai Amilie. Sehingga, ia hanya menutup mulutnya rapat-rapat tanpa mau menceritakan apa yang sebenarnya."Tidak apa-apa, Ma," jawabnya lalu pergi dari hadapan Rosalina.Rosalina pun berusaha mengikuti Stephen. "Tunggu sebentar, Nak? Kenapa kamu malah pergi begitu saja?""Aku harus pergi, Ma. Lain kali saja aku cerita," sahutnya. Stephen terus pergi keluar dari rumah itu dan cepat-cepat masuk
Akhirnya setelah beberapa lama menempuh perjalanan yang begitu jauh. Mereka pun sampai di tempat tujuannya tersebut. Theo lekas menepikan mobilnya tepat di depan rumah. Ia pun membuka sabuk pengamannya tersebut."Mas, kita sudah sampai?" tanya Amilie memastikan. Amilie menoleh ke samping. Ia melihat rumah dua tingkat yang sama besarnya dengan rumah Theo sebelumnya.Theo melangkah pergi memasuki halaman rumah tersebut. Dirinya langsung penasaran dengan isi dalam rumah tersebut. Walaupun ini bukan rumah yang diinginkannya, karena memang tidak pernah tergantikan oleh rumah manapun. Tetapi, ia merasa lebih baik saat bisa tinggal terpisah dan jauh dari Ibu tirinya yang membuatnya tidak nyaman.Wanita bermuka dua itu membuat Theo muak. Tetapi, sampai kapanpun ia yang sudah tahu kelakuan Ibu tirinya. Itu membuat dirinya selalu berhati-hati. Dirinya sudah tahu langkah apa yang akan Rosalina ambil begitu dirinya menuruti keinginan wanita itu.Amilie yang melihat Theo sudah berkeliling di
35"Rumah ini cukup besar. Tapi, kenapa aku merasa sepertinya dia tidak begitu menyukai rumah ini," batin Amilie seraya menoleh ke arah Theo."Aku mau istirahat. Jangan ganggu aku sampai pukul tujuh malam nanti!" pintanya. Theo pun melangkah pergi menuju sebuah kamar yang ia pilih tersebut.Namun, tiba-tiba pelayan itu menyela. "Maaf, Tuan. Kamar utamanya ada di sebelah sana!" ujarnya memberitahu Theo. Karena, saat itu Theo sembarang saja masuk ke dalam kamar. Tetapi, Theo tidak peduli dengan itu."Saya mau tidur di sini dan kamar manapun itu sama saja. Karena ini hanya akan menjadi tempat tinggal sementara kami!" tegasnya. Lalu, ia pun melanjutkan langkah kakinya kembali.Pelayan itu hanya mengernyitkan dahi penuh tanya. Tetapi, ia tidak mengatakan apapun lagi begitu melihat majikannya menutup kamar tersebut.Amilie pun dibuat bingung. Namun, satu hal yang membuatnya merasa begitu kesal. Ketika kehidupannya berjalan dalam langkah yang sama. Tak ada peningkatan ataupun kegiatan yang
36Amilie pun menutup pintu itu kembali. Dirinya tidak mau jika kehadirannya di kamar itu malah semakin mengganggu.Perlahan, ia melangkahkan kakinya menuju mobil untuk mengambil barang-barangnya. Tetapi, setibanya di bagasi ia tidak melihat koper itu sama sekali."Di mana kopernya? Kenapa tidak ada. Seingatku, tadi dia berjalan tanpa membawa apapun," gumamnya sembari mencari.Pelayan lain, dengan tubuh tinggi berpakaian hitam. Pakaian khusus untuk bodyguard. Ia datang ke hadapan Amilie dan bertanya dengan ramah. "Apa yang Anda cari, Nyonya?" Amilie pun menoleh ke suara itu berasal, tepatnya ke belakang. "Tidak ada. Hanya saja, mungkin aku melupakan sesuatu.""Baiklah, kalau butuh bantuan Anda bisa memerintahkan saya."Amilie pun berpikir sejenak, lalu menghentikan pria pria itu dengan tangan meraih."Tunggu sebentar."Pria itu memutar tubuhnya lalu bertanya. "Ya, Nyonya. Apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?""Apa kamu tahu dan melihat koper yang aku taruh di bagasi sini?" P
Setelah telepon itu dimatikan. Theo pun berkaca sebentar, ia mengambil kacamata hitam itu dan mengaitkannya di saku depan kemeja yang dipakainya tersebut. Ting! Pesan masuk ke ponselnya. Theo pun langsung menoleh dan mengambil ponselnya untuk melihat isi pesan tersebut.[ Aku sudah di depan rumahmu, tapi kenapa sepi sekali?] Lalu, Theo pun langsung membalasnya. Tetapi, saat jarinya hendak mengirimkan sebuah balasan pesan. Ia teringat sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat untuk mengirim pesan tersebut."Kenapa aku bisa lupa tadi?" gumam Theo.Theo pun menghubungi David. "Ada apa dia sampai menelepon? Padahal tinggal keluar saja," ucap David.Ketika itu, David berada di rumah lama Theo. Ia tidak tahu jika Theo ternyata baru saja pindahan dari rumah Sanjaya.Tanpa menunggu lama, David pun menjawab telepon tersebut."Halo! Kenapa lagi, Theodore Richest?" tanya David."Kau tidak perlu memanggilmu dengan begitu lengkap!" balasnya. "Sekarang kau ada di mana?" "Memangnya pesan itu ti
"Ayo lebih cepat lagi!" kata Amilie yang sudah tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuannya tersebut.Theo yang sedang mengendarai motor pun menjadi kurang fokus. Hatinya begitu terbakar. Ia merasa panas saat Amilie tampak ingin sekali bergwmi dengan Stephen."Omong-omong, Mbak mau pergi ke mana?""Ke Cafetaria.""Mau bertemu pacarnya ya, Mbak? Sampai dandan secantik ini. Saran saya sih, lebih baik Mbak hati-hati karena zaman sekarang banyak cowok yang hanya modal tampang saja untuk modusin banyak cewek," tutur Theo mengingatkan. Tentunya dengan suara samarannya, agar bisa menghilangkan kecurigaan Amilie.Amilie tidak menyahutnya. Ia hanya mengangguk saja."Asal Mas tahu, saya datang ke sana menemuinya karena ada misi tertentu.""Wah, Mbak sudah seperti detektif saja. Pasti cita-citanya jadi detektif," sanjung Theo. Dirinya berusaha agar Amilie mau memberitahukan maksudnya untuk bertemu seseorang. Hanya saja, ia menggunakan trik halusnya tersebut."Bukan cita-cita. Tapi, keadaa
Theo yang dengan tujuan untuk menjadi detektif sesaat dengan memperhatikan gerak-gerik Amilie dengan Stephen. Membuatnya tidak bisa santai."Apa yang akan kamu lihat kalau caranya seperti itu?" tanya David yang merasa sangat aneh dengan sikap temannya itu. "Diamlah. Aku sedang memantaunya dari jarak jauh. Kalau lengah sedikit saja, aku pasti tidak akan mengetahui sesuatu," balas Theo dengan nada agak berbisik.Tiba-tiba, pramusaji datang ke meja itu dan bertanya. "Permisi. Mau pesan apa?" tanya pramusaji wanita dengan membawa catatan kecil untuk kemudian ia catat begitu Theo maupun David dan ataupun keduanya memesan sesuatu di sana."Mbak, tolong minggir sedikit. Jangan menghalangi saya," pinta Theo.Ketika itu, arah datang pramusaji itu memang dari sebelah kiri ia duduk. Tepatnya, saat ia sedang memantau istrinya yang tengah bersama dengan pria lain.David yang terheran-heran dengan sikap dan kelakuan temannya, dirinya hanya menyunggingkan bibir seraya memberikan saran."Daripada