35"Rumah ini cukup besar. Tapi, kenapa aku merasa sepertinya dia tidak begitu menyukai rumah ini," batin Amilie seraya menoleh ke arah Theo."Aku mau istirahat. Jangan ganggu aku sampai pukul tujuh malam nanti!" pintanya. Theo pun melangkah pergi menuju sebuah kamar yang ia pilih tersebut.Namun, tiba-tiba pelayan itu menyela. "Maaf, Tuan. Kamar utamanya ada di sebelah sana!" ujarnya memberitahu Theo. Karena, saat itu Theo sembarang saja masuk ke dalam kamar. Tetapi, Theo tidak peduli dengan itu."Saya mau tidur di sini dan kamar manapun itu sama saja. Karena ini hanya akan menjadi tempat tinggal sementara kami!" tegasnya. Lalu, ia pun melanjutkan langkah kakinya kembali.Pelayan itu hanya mengernyitkan dahi penuh tanya. Tetapi, ia tidak mengatakan apapun lagi begitu melihat majikannya menutup kamar tersebut.Amilie pun dibuat bingung. Namun, satu hal yang membuatnya merasa begitu kesal. Ketika kehidupannya berjalan dalam langkah yang sama. Tak ada peningkatan ataupun kegiatan yang
36Amilie pun menutup pintu itu kembali. Dirinya tidak mau jika kehadirannya di kamar itu malah semakin mengganggu.Perlahan, ia melangkahkan kakinya menuju mobil untuk mengambil barang-barangnya. Tetapi, setibanya di bagasi ia tidak melihat koper itu sama sekali."Di mana kopernya? Kenapa tidak ada. Seingatku, tadi dia berjalan tanpa membawa apapun," gumamnya sembari mencari.Pelayan lain, dengan tubuh tinggi berpakaian hitam. Pakaian khusus untuk bodyguard. Ia datang ke hadapan Amilie dan bertanya dengan ramah. "Apa yang Anda cari, Nyonya?" Amilie pun menoleh ke suara itu berasal, tepatnya ke belakang. "Tidak ada. Hanya saja, mungkin aku melupakan sesuatu.""Baiklah, kalau butuh bantuan Anda bisa memerintahkan saya."Amilie pun berpikir sejenak, lalu menghentikan pria pria itu dengan tangan meraih."Tunggu sebentar."Pria itu memutar tubuhnya lalu bertanya. "Ya, Nyonya. Apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?""Apa kamu tahu dan melihat koper yang aku taruh di bagasi sini?" P
Setelah telepon itu dimatikan. Theo pun berkaca sebentar, ia mengambil kacamata hitam itu dan mengaitkannya di saku depan kemeja yang dipakainya tersebut. Ting! Pesan masuk ke ponselnya. Theo pun langsung menoleh dan mengambil ponselnya untuk melihat isi pesan tersebut.[ Aku sudah di depan rumahmu, tapi kenapa sepi sekali?] Lalu, Theo pun langsung membalasnya. Tetapi, saat jarinya hendak mengirimkan sebuah balasan pesan. Ia teringat sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat untuk mengirim pesan tersebut."Kenapa aku bisa lupa tadi?" gumam Theo.Theo pun menghubungi David. "Ada apa dia sampai menelepon? Padahal tinggal keluar saja," ucap David.Ketika itu, David berada di rumah lama Theo. Ia tidak tahu jika Theo ternyata baru saja pindahan dari rumah Sanjaya.Tanpa menunggu lama, David pun menjawab telepon tersebut."Halo! Kenapa lagi, Theodore Richest?" tanya David."Kau tidak perlu memanggilmu dengan begitu lengkap!" balasnya. "Sekarang kau ada di mana?" "Memangnya pesan itu ti
"Ayo lebih cepat lagi!" kata Amilie yang sudah tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuannya tersebut.Theo yang sedang mengendarai motor pun menjadi kurang fokus. Hatinya begitu terbakar. Ia merasa panas saat Amilie tampak ingin sekali bergwmi dengan Stephen."Omong-omong, Mbak mau pergi ke mana?""Ke Cafetaria.""Mau bertemu pacarnya ya, Mbak? Sampai dandan secantik ini. Saran saya sih, lebih baik Mbak hati-hati karena zaman sekarang banyak cowok yang hanya modal tampang saja untuk modusin banyak cewek," tutur Theo mengingatkan. Tentunya dengan suara samarannya, agar bisa menghilangkan kecurigaan Amilie.Amilie tidak menyahutnya. Ia hanya mengangguk saja."Asal Mas tahu, saya datang ke sana menemuinya karena ada misi tertentu.""Wah, Mbak sudah seperti detektif saja. Pasti cita-citanya jadi detektif," sanjung Theo. Dirinya berusaha agar Amilie mau memberitahukan maksudnya untuk bertemu seseorang. Hanya saja, ia menggunakan trik halusnya tersebut."Bukan cita-cita. Tapi, keadaa
Theo yang dengan tujuan untuk menjadi detektif sesaat dengan memperhatikan gerak-gerik Amilie dengan Stephen. Membuatnya tidak bisa santai."Apa yang akan kamu lihat kalau caranya seperti itu?" tanya David yang merasa sangat aneh dengan sikap temannya itu. "Diamlah. Aku sedang memantaunya dari jarak jauh. Kalau lengah sedikit saja, aku pasti tidak akan mengetahui sesuatu," balas Theo dengan nada agak berbisik.Tiba-tiba, pramusaji datang ke meja itu dan bertanya. "Permisi. Mau pesan apa?" tanya pramusaji wanita dengan membawa catatan kecil untuk kemudian ia catat begitu Theo maupun David dan ataupun keduanya memesan sesuatu di sana."Mbak, tolong minggir sedikit. Jangan menghalangi saya," pinta Theo.Ketika itu, arah datang pramusaji itu memang dari sebelah kiri ia duduk. Tepatnya, saat ia sedang memantau istrinya yang tengah bersama dengan pria lain.David yang terheran-heran dengan sikap dan kelakuan temannya, dirinya hanya menyunggingkan bibir seraya memberikan saran."Daripada
Kecurigaan Amilie semakin bertambah, begitu memperhatikan cara Stephen yang terus memaksa kepada dirinya untuk makan.Theo yang sudah tidak bisa diam pun kemudian bangkit dari duduknya dan bergegas ke arah Amilie. Tetapi, David mengingatkan kepada Theo tentang satu hal."Kamu yakin akan menghampirinya dengan keadaan begitu? Nanti, yang ada bakalan diusir atau disangka orang jahat."Perkataan David itu membuat Theo menghentikan langkah kakinya. Ia kembali ke tempat duduknya semula dan bertanya kepada David."Lalu, sekarang aku harus bagaimana?" tanya Theo sembari berpikir. Ia pun kemudian pergi keluar dari cafe itu."Kenapa dia malah pergi? Katanya ingin memantau istrinya sendiri," gumam David sembari mengikuti Theo yang berjalan keluar dari cafe tersebut."Hey, tunggu!" seru David. Di luar cafe itu ia segera membuka kacamata dan topi yang dipakainya. Ia juga membuka jaket kulitnya tersebut."Jadi ...?" tanya David begitu sampai di hadapan Theo dengan nafas terengah-engah. Theo pun
Kebingungan membuat David menggelengkan kepala tanpa bicara. "Tidak mungkin. Jelas sekali yang ada di tangan kamu ini, itulah yang tadi kamu pakai saat membonceng saya ke sini," pungkas Amilie."Mungkin hanya kebetulan saja. Karena, kalau memang itu saya. Sudah pasti ada motornya di sini."Amilie terdiam sejenak. Ia mengingat motor yang dikendarai pria yang tadi, yang mana sosok itu persis seperti suaminya."Benar juga, tapi ...""Ya sudah, kalau begitu saya mau pulang duluan," kata David berusaha menghindari Amilie. Karena ia tidak ingin mendapat banyak pertanyaan lagi dari wanita itu."Hey, tunggu sebentar!" seru Amilie yang merasa ada sesuatu yang kurang dan belum ia tanyakan kepada David.David pun secara terpaksa berhenti dan menoleh ke arah Amilie. "Apa tadi kamu me--..."Amilie menghentikan kalimatnya. Ia mengurungkan niat itu untuk bertanya. Sebab, ia pikir bahwa dirinya tidak mungkin menanyakan hal itu pada orang yang mungkin tidak mengenal suaminya sama sekali. Meski dalam
Amilie langsung terhentak. Jantungnya berdebar dnegan begitu kencang disertai rasa gugup yang menyelimuti. Dirinya tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sebab, tidak ingin memperburuk situasi antara dirinya dengan Theo.'Bagaimana ini? Kalau aku jujur, apa dia akan marah? Tapi ...' pikiran itu terus berlarian.Amilie tambah bingung saat melirik Theo yang tengah menatap dirinya dengan tatapan yang sangat tajam. Seolah menghunus matanya."T--tadi saya 'kan sudah mengatakannya."Theo menghela nafas kesal. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Saya tahu kamu pergi dengan Stephen. Kalau kamu ingin menemuinya, kenapa tidak izin dulu padaku?" balasnya dengan nada ketus.Amilie tercengang. "Hah? Bagaimana mungkin dia tahu kalau aku pergi dengan Stephen? Apa dia mengikutiku? Atau ... Dia telah mengirimkan seseorang untuk memantau aku?" batin Amilie dengan kedua bola mata terbelalak dan bibir komat-kamit. "Kalau tidak mau jujur, tidak masalah. Tapi, jangan salahkan aku kalau tidak peduli la