Theo mengambil ponselnya dari dalam saku dan kemudian menghubungi seseorang untuk ia temui."Halo. Temui aku di tempat biasa!" katanya seraya menuruni tangga."Baik."Lantas, Theo pun mematikan telepon tersebut. Tetapi, setibanya di lantai satu. Ia bertemu dengan Rosalina."Kamu mau pergi ke mana?""Ini bukan urusanmu, Mama angkat."Rosalina merasa kesal dengan panggilan itu, tetapi meskipun begitu ia tetap bersikap anggun. Ia berjalan menghampiri Theo dan berisi di hadapannya."Bukan begitu, tapi Mama hanya ingin tahu saja."Dengan tatapan dingin, Theo pun membalas perkataan Rosalina. "Apa lagi yang ingin kamu ketahui? Rumahku saja sudah menjadi milik anakmu!"Rosalina menyeringai. "Apa kamu sedang menyalahkan aku yang bahkan tidak tahu apa-apa?!"Dengan tajam dan menusuk, Theo menatap mata Rosalina. "Ke mana perginya Papa sekarang?" "Mama tidak tahu. Lagian, kenapa kamu tanya hal seperti ini sama Mama!" balas Rosalina dengan jawaban ketus. Karena Theo tidak mendapatkan jawaban yan
Tok Tok Tok ..."Masuk!" ujar Sanjaya.Lantas, Delvin mendorong pintu itu dan masuk ke dalam ruangan tersebut.Sanjaya yang tengah menyesap rokok di ruangannya, ia pun kemudian menghentikannya dan mematikan rokok itu. Lalu, menaruhnya di dalam asbak kecil berwarna hitam."Mau apa kamu kemari? Aku 'kan sudah bilang untuk tidak datang ke sini!" Kalimat singkat yang seolah tengah mengusirnya dari sana. Tetapi, Theo mengabaikan hal itu. Ia tidak terlalu mengambil hati apa yang dikatakan oleh Ayahnya. Walau dirinya saat itu merasa dongkol. "Apa boleh aku duduk?""Sepertinya kamu tidak mengerti dengan kalimatku sebelumnya!" balas Sanjaya.Theo menyeringai. "Mengerti atau tidak. Yang aku lakukan hanyalah ingin mendapatkan kembali apa yang sebelumnya dan seharusnya menjadi milikku!" tegasnya.Sontak, Sanjaya pun menoleh ke arah Theo. "Apa maksudmu?""Pa, Anda boleh saja merebut posisiku dan memindahkannya kepada Stephen. Tapi untuk rumah itu, aku tidak akan rela jika ada yang mengambilnya da
Di luar ruangan itu, Theo terdiam sebentar. Ia mendengus kesal, hingga salah seolah yang melewatinya tersenyum. Dia adalah karyawan lama yang sudah mengenal Theo."Selamat siang, Pak Theo," ucapnya.Theo pun meredam amarahnya dan tersenyum kepada karyawan yang menyapanya itu. "Iya, siang."Lalu, Theo pun melanjutkan langkah kakinya kembali untuk kemudian pergi dari sana. Ia berniat untuk tinggal di rumah saja sampai dirinya benar-benar siap untuk merencanakan usaha barunya setelah beberapa hari yang lalu jabatannya dipindahkan kepada Adik tirinya.Dirinya pun lalu memasuki mobil. Lalu, langsung menyalakan mesin untuk kemudian tancap gas pergi.***"Nyonya, ini air jahe yang Anda minta. Silakan diminum!" ucap Bi Munah -- Pembantu di rumah itu.Amilie pun segera menerimanya. "Terima kasih, Bi."Perlahan-lahan, ia pun meneguk air jahe yang masih panas itu. Meskipun awalnya ia kurang menyukai rasa dari jahe itu. Tetapi, aroma itu sungguh membuat mualnya menjadi hilang."Hati-hati, Nyonya
Rosalina mendekat dan berusaha menyentuh Theo. Tetapi, Theo yang merasa risih dan tidak nyaman. Ia juga tidak ingin dekat-dekat dengan Rosalina. Itu membuat dirinya menjauh -- wajahnya tampak datar dan memperlihatkan ketidaksenangan keberadaan Rosalina di sana."Lebih baik sekarang Mama pergi dari sini!" usirnya dari kamar itu."Nak, kenapa kamu begitu tega mengusirku?" sahut Rosalina dengan nada memelas. Tak sampai di sana, Rosalina yang mencoba mendekati Theo pun melakukan berbagai cara. Ia kembali menyentuh tangan Theo, meski sebelumnya sempat ditepis."Jangan menyentuhku, Ma! Apa Mama tidak dengar?!" ujar Theo dengan nada tinggi. Dirinya sungguh geram dengan sikap Rosalina terhadapnya.Rosalina mengepalkan tangannya, ia berusaha sabar dengan anak tirinya tersebut. Karena, sampai saat ini segala tujuannya belum tercapai. Sehingga, ia harus terus mengendalikan emosinya."Baiklah, kalau kau tidak mengharapkan keberadaanku di sini," gumamnya. Lalu, ia pun melangkah pergi dari sana.
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Amilie penasaran karena wajah Theo terlihat begitu datar.Theo pun menoleh ke arah Amilie. "Kita harus kembali berkemas?"Sontak, Amilie pun bangkit dari duduknya. Ia begitu serius dan menerka-nerka. "Kenapa, Mas? Apa kita diusir dari rumah ini karena kamu--..."Belum selesai Amilie menyelesaikan kalimatnya, Theo pun menjelaskannya. "Kita akan pindah ke rumah baru. Papa sudah menyiapkan rumah untuk kita tinggali di sana!""Jauh tidak, Mas?" "Entahlah."Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Theo. Theo pun langsung membukanya. Di sana tertera alamat rumah yang akan ia tinggali tersebut. "Segeralah berkemas, kita harus cepat-cepat pergi. Alamatnya sudah ada."Lantas, Amilie pun langsung mengemas pakaian. Tetapi, tiba-tiba ia malah merasa mual saat mencium aroma koper yang tersimpan di lemari pakaian tersebut.Dirinya segera menutup hidung dan menjauh. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang membuatmu begitu mual?""Kopernya bikin hidung saya tidak nyaman."Amilie
"Minggir kamu! Jangan menghalangi jalanku!" ujar Theo dengan perasaan geram.Stephen melentangkan kedua tangannya, ia berusaha untuk menghentikan mereka pergi. " Aku cuma tanya, Kakak akan pergi ke mana?""Kau tak perlu tahu. Urusi saja hidupmu sendiri!"Amilie yang ada di sana pun hanya menatap wajah Stephen untuk beberapa saat dan memalingkannya. Melihat wajahnya mengingatkannya pada kenangan buruk masa lalunya. Walaupun ada kenangan baik yang masih terselip diantara rentetan isi kepala."Amilie, aku mohon ... Tolong jangan hindari aku lagi! Aku mau bicara sama kamu," katanya.Tetapi, saat itu Amilie merasakan sesuatu yang begitu menyulitkan pikiran dalam mengambil keputusan atas dirinya sendiri."Andai kamu tidak memilih Amanda, mungkin kita masih berada pada masa bahagia," batin Amilie. Meskipun begitu, ia tidak melupakan sesuatu. Dirinya merasa bahwa ini adalah kesempatan bagus untuknya. "Ayolah! Kita bisa 'kan bicara sebentar saja," katanya.Amilie menatap wajah Stephen. Seda
"Akhirnya, Amilie mau juga bicara denganku. Tunggu saja, sebentar lagi dia akan kembali padaku. Aku tidak rela kalau Kak Theo mendapatkannya. Hubungan mereka pun pasti akan segera berakhir," ucap Stephen pelan seraya melihat ke arah luar.Pada saat yang sama, Rosalina datang dan bertanya. Ia begitu penasaran dengan apa yang tengah dipikirkan oleh anaknya tersebut. Sebab, sedari tadi terlihat begitu serius seolah sedang memikirkan sesuatu hal yang penting."Ada apa, Nak? Sepertinya ada kabar baik yang membuatmu terlihat begitu girang?" tanya Rosalina.Namun, karena ia tahu bahwa Rosalina tidak menyukai Amilie. Sehingga, ia hanya menutup mulutnya rapat-rapat tanpa mau menceritakan apa yang sebenarnya."Tidak apa-apa, Ma," jawabnya lalu pergi dari hadapan Rosalina.Rosalina pun berusaha mengikuti Stephen. "Tunggu sebentar, Nak? Kenapa kamu malah pergi begitu saja?""Aku harus pergi, Ma. Lain kali saja aku cerita," sahutnya. Stephen terus pergi keluar dari rumah itu dan cepat-cepat masuk
Akhirnya setelah beberapa lama menempuh perjalanan yang begitu jauh. Mereka pun sampai di tempat tujuannya tersebut. Theo lekas menepikan mobilnya tepat di depan rumah. Ia pun membuka sabuk pengamannya tersebut."Mas, kita sudah sampai?" tanya Amilie memastikan. Amilie menoleh ke samping. Ia melihat rumah dua tingkat yang sama besarnya dengan rumah Theo sebelumnya.Theo melangkah pergi memasuki halaman rumah tersebut. Dirinya langsung penasaran dengan isi dalam rumah tersebut. Walaupun ini bukan rumah yang diinginkannya, karena memang tidak pernah tergantikan oleh rumah manapun. Tetapi, ia merasa lebih baik saat bisa tinggal terpisah dan jauh dari Ibu tirinya yang membuatnya tidak nyaman.Wanita bermuka dua itu membuat Theo muak. Tetapi, sampai kapanpun ia yang sudah tahu kelakuan Ibu tirinya. Itu membuat dirinya selalu berhati-hati. Dirinya sudah tahu langkah apa yang akan Rosalina ambil begitu dirinya menuruti keinginan wanita itu.Amilie yang melihat Theo sudah berkeliling di
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,