Di luar ruangan itu, Theo terdiam sebentar. Ia mendengus kesal, hingga salah seolah yang melewatinya tersenyum. Dia adalah karyawan lama yang sudah mengenal Theo."Selamat siang, Pak Theo," ucapnya.Theo pun meredam amarahnya dan tersenyum kepada karyawan yang menyapanya itu. "Iya, siang."Lalu, Theo pun melanjutkan langkah kakinya kembali untuk kemudian pergi dari sana. Ia berniat untuk tinggal di rumah saja sampai dirinya benar-benar siap untuk merencanakan usaha barunya setelah beberapa hari yang lalu jabatannya dipindahkan kepada Adik tirinya.Dirinya pun lalu memasuki mobil. Lalu, langsung menyalakan mesin untuk kemudian tancap gas pergi.***"Nyonya, ini air jahe yang Anda minta. Silakan diminum!" ucap Bi Munah -- Pembantu di rumah itu.Amilie pun segera menerimanya. "Terima kasih, Bi."Perlahan-lahan, ia pun meneguk air jahe yang masih panas itu. Meskipun awalnya ia kurang menyukai rasa dari jahe itu. Tetapi, aroma itu sungguh membuat mualnya menjadi hilang."Hati-hati, Nyonya
Rosalina mendekat dan berusaha menyentuh Theo. Tetapi, Theo yang merasa risih dan tidak nyaman. Ia juga tidak ingin dekat-dekat dengan Rosalina. Itu membuat dirinya menjauh -- wajahnya tampak datar dan memperlihatkan ketidaksenangan keberadaan Rosalina di sana."Lebih baik sekarang Mama pergi dari sini!" usirnya dari kamar itu."Nak, kenapa kamu begitu tega mengusirku?" sahut Rosalina dengan nada memelas. Tak sampai di sana, Rosalina yang mencoba mendekati Theo pun melakukan berbagai cara. Ia kembali menyentuh tangan Theo, meski sebelumnya sempat ditepis."Jangan menyentuhku, Ma! Apa Mama tidak dengar?!" ujar Theo dengan nada tinggi. Dirinya sungguh geram dengan sikap Rosalina terhadapnya.Rosalina mengepalkan tangannya, ia berusaha sabar dengan anak tirinya tersebut. Karena, sampai saat ini segala tujuannya belum tercapai. Sehingga, ia harus terus mengendalikan emosinya."Baiklah, kalau kau tidak mengharapkan keberadaanku di sini," gumamnya. Lalu, ia pun melangkah pergi dari sana.
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Amilie penasaran karena wajah Theo terlihat begitu datar.Theo pun menoleh ke arah Amilie. "Kita harus kembali berkemas?"Sontak, Amilie pun bangkit dari duduknya. Ia begitu serius dan menerka-nerka. "Kenapa, Mas? Apa kita diusir dari rumah ini karena kamu--..."Belum selesai Amilie menyelesaikan kalimatnya, Theo pun menjelaskannya. "Kita akan pindah ke rumah baru. Papa sudah menyiapkan rumah untuk kita tinggali di sana!""Jauh tidak, Mas?" "Entahlah."Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Theo. Theo pun langsung membukanya. Di sana tertera alamat rumah yang akan ia tinggali tersebut. "Segeralah berkemas, kita harus cepat-cepat pergi. Alamatnya sudah ada."Lantas, Amilie pun langsung mengemas pakaian. Tetapi, tiba-tiba ia malah merasa mual saat mencium aroma koper yang tersimpan di lemari pakaian tersebut.Dirinya segera menutup hidung dan menjauh. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang membuatmu begitu mual?""Kopernya bikin hidung saya tidak nyaman."Amilie
"Minggir kamu! Jangan menghalangi jalanku!" ujar Theo dengan perasaan geram.Stephen melentangkan kedua tangannya, ia berusaha untuk menghentikan mereka pergi. " Aku cuma tanya, Kakak akan pergi ke mana?""Kau tak perlu tahu. Urusi saja hidupmu sendiri!"Amilie yang ada di sana pun hanya menatap wajah Stephen untuk beberapa saat dan memalingkannya. Melihat wajahnya mengingatkannya pada kenangan buruk masa lalunya. Walaupun ada kenangan baik yang masih terselip diantara rentetan isi kepala."Amilie, aku mohon ... Tolong jangan hindari aku lagi! Aku mau bicara sama kamu," katanya.Tetapi, saat itu Amilie merasakan sesuatu yang begitu menyulitkan pikiran dalam mengambil keputusan atas dirinya sendiri."Andai kamu tidak memilih Amanda, mungkin kita masih berada pada masa bahagia," batin Amilie. Meskipun begitu, ia tidak melupakan sesuatu. Dirinya merasa bahwa ini adalah kesempatan bagus untuknya. "Ayolah! Kita bisa 'kan bicara sebentar saja," katanya.Amilie menatap wajah Stephen. Seda
"Akhirnya, Amilie mau juga bicara denganku. Tunggu saja, sebentar lagi dia akan kembali padaku. Aku tidak rela kalau Kak Theo mendapatkannya. Hubungan mereka pun pasti akan segera berakhir," ucap Stephen pelan seraya melihat ke arah luar.Pada saat yang sama, Rosalina datang dan bertanya. Ia begitu penasaran dengan apa yang tengah dipikirkan oleh anaknya tersebut. Sebab, sedari tadi terlihat begitu serius seolah sedang memikirkan sesuatu hal yang penting."Ada apa, Nak? Sepertinya ada kabar baik yang membuatmu terlihat begitu girang?" tanya Rosalina.Namun, karena ia tahu bahwa Rosalina tidak menyukai Amilie. Sehingga, ia hanya menutup mulutnya rapat-rapat tanpa mau menceritakan apa yang sebenarnya."Tidak apa-apa, Ma," jawabnya lalu pergi dari hadapan Rosalina.Rosalina pun berusaha mengikuti Stephen. "Tunggu sebentar, Nak? Kenapa kamu malah pergi begitu saja?""Aku harus pergi, Ma. Lain kali saja aku cerita," sahutnya. Stephen terus pergi keluar dari rumah itu dan cepat-cepat masuk
Akhirnya setelah beberapa lama menempuh perjalanan yang begitu jauh. Mereka pun sampai di tempat tujuannya tersebut. Theo lekas menepikan mobilnya tepat di depan rumah. Ia pun membuka sabuk pengamannya tersebut."Mas, kita sudah sampai?" tanya Amilie memastikan. Amilie menoleh ke samping. Ia melihat rumah dua tingkat yang sama besarnya dengan rumah Theo sebelumnya.Theo melangkah pergi memasuki halaman rumah tersebut. Dirinya langsung penasaran dengan isi dalam rumah tersebut. Walaupun ini bukan rumah yang diinginkannya, karena memang tidak pernah tergantikan oleh rumah manapun. Tetapi, ia merasa lebih baik saat bisa tinggal terpisah dan jauh dari Ibu tirinya yang membuatnya tidak nyaman.Wanita bermuka dua itu membuat Theo muak. Tetapi, sampai kapanpun ia yang sudah tahu kelakuan Ibu tirinya. Itu membuat dirinya selalu berhati-hati. Dirinya sudah tahu langkah apa yang akan Rosalina ambil begitu dirinya menuruti keinginan wanita itu.Amilie yang melihat Theo sudah berkeliling di
35"Rumah ini cukup besar. Tapi, kenapa aku merasa sepertinya dia tidak begitu menyukai rumah ini," batin Amilie seraya menoleh ke arah Theo."Aku mau istirahat. Jangan ganggu aku sampai pukul tujuh malam nanti!" pintanya. Theo pun melangkah pergi menuju sebuah kamar yang ia pilih tersebut.Namun, tiba-tiba pelayan itu menyela. "Maaf, Tuan. Kamar utamanya ada di sebelah sana!" ujarnya memberitahu Theo. Karena, saat itu Theo sembarang saja masuk ke dalam kamar. Tetapi, Theo tidak peduli dengan itu."Saya mau tidur di sini dan kamar manapun itu sama saja. Karena ini hanya akan menjadi tempat tinggal sementara kami!" tegasnya. Lalu, ia pun melanjutkan langkah kakinya kembali.Pelayan itu hanya mengernyitkan dahi penuh tanya. Tetapi, ia tidak mengatakan apapun lagi begitu melihat majikannya menutup kamar tersebut.Amilie pun dibuat bingung. Namun, satu hal yang membuatnya merasa begitu kesal. Ketika kehidupannya berjalan dalam langkah yang sama. Tak ada peningkatan ataupun kegiatan yang
36Amilie pun menutup pintu itu kembali. Dirinya tidak mau jika kehadirannya di kamar itu malah semakin mengganggu.Perlahan, ia melangkahkan kakinya menuju mobil untuk mengambil barang-barangnya. Tetapi, setibanya di bagasi ia tidak melihat koper itu sama sekali."Di mana kopernya? Kenapa tidak ada. Seingatku, tadi dia berjalan tanpa membawa apapun," gumamnya sembari mencari.Pelayan lain, dengan tubuh tinggi berpakaian hitam. Pakaian khusus untuk bodyguard. Ia datang ke hadapan Amilie dan bertanya dengan ramah. "Apa yang Anda cari, Nyonya?" Amilie pun menoleh ke suara itu berasal, tepatnya ke belakang. "Tidak ada. Hanya saja, mungkin aku melupakan sesuatu.""Baiklah, kalau butuh bantuan Anda bisa memerintahkan saya."Amilie pun berpikir sejenak, lalu menghentikan pria pria itu dengan tangan meraih."Tunggu sebentar."Pria itu memutar tubuhnya lalu bertanya. "Ya, Nyonya. Apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?""Apa kamu tahu dan melihat koper yang aku taruh di bagasi sini?" P