Seruan itu membuat Dokter Bagas mendongakkan kepalanya ke arah Theo. "Baik, Pak Theo. "Meskipun begitu, karena di sana sudah ada Sanjaya dengan Rosalina. Sehingga, ia tidak bisa pergi begitu saja."Kalau begitu, saya permisi," ucap Dokter Bagas.Rosalina menoleh ke arah Sanjaya yang membuat keduanya saling bertatapan satu sama lain."Biarkan saja, Pa," kata Rosalina.Dokter Bagas pun berjalan menaiki tangga itu dengan cepat, dirinya tidak bisa menunda lagi karena sepertinya telah terjadi sesuatu hal yang buruk.Sesampainya di lantai dua, Theo pun langsung menarik Dokter Bagas ke dalam kamarnya. "Ayo, cepat! Istri saya sudah menunggumu sedari tadi!" katanya.Mereka pun memasuki kamar. Di sana, Dokter Bagus langsung mengeluarkan alat yang diperlukan untuk memeriksa Amilie."Aaaahh ... Sakiiit!" Melihat kondisi Amilie yang seperti itu, Dokte Bagas pun menyuntikkan obat pereda nyeri di bagian perutnya tersebut. Tetapi, itu malah membuat Amilie pingsan."Dok, kenapa dengan istri saya?
Theo mengambil ponselnya dari dalam saku dan kemudian menghubungi seseorang untuk ia temui."Halo. Temui aku di tempat biasa!" katanya seraya menuruni tangga."Baik."Lantas, Theo pun mematikan telepon tersebut. Tetapi, setibanya di lantai satu. Ia bertemu dengan Rosalina."Kamu mau pergi ke mana?""Ini bukan urusanmu, Mama angkat."Rosalina merasa kesal dengan panggilan itu, tetapi meskipun begitu ia tetap bersikap anggun. Ia berjalan menghampiri Theo dan berisi di hadapannya."Bukan begitu, tapi Mama hanya ingin tahu saja."Dengan tatapan dingin, Theo pun membalas perkataan Rosalina. "Apa lagi yang ingin kamu ketahui? Rumahku saja sudah menjadi milik anakmu!"Rosalina menyeringai. "Apa kamu sedang menyalahkan aku yang bahkan tidak tahu apa-apa?!"Dengan tajam dan menusuk, Theo menatap mata Rosalina. "Ke mana perginya Papa sekarang?" "Mama tidak tahu. Lagian, kenapa kamu tanya hal seperti ini sama Mama!" balas Rosalina dengan jawaban ketus. Karena Theo tidak mendapatkan jawaban yan
Tok Tok Tok ..."Masuk!" ujar Sanjaya.Lantas, Delvin mendorong pintu itu dan masuk ke dalam ruangan tersebut.Sanjaya yang tengah menyesap rokok di ruangannya, ia pun kemudian menghentikannya dan mematikan rokok itu. Lalu, menaruhnya di dalam asbak kecil berwarna hitam."Mau apa kamu kemari? Aku 'kan sudah bilang untuk tidak datang ke sini!" Kalimat singkat yang seolah tengah mengusirnya dari sana. Tetapi, Theo mengabaikan hal itu. Ia tidak terlalu mengambil hati apa yang dikatakan oleh Ayahnya. Walau dirinya saat itu merasa dongkol. "Apa boleh aku duduk?""Sepertinya kamu tidak mengerti dengan kalimatku sebelumnya!" balas Sanjaya.Theo menyeringai. "Mengerti atau tidak. Yang aku lakukan hanyalah ingin mendapatkan kembali apa yang sebelumnya dan seharusnya menjadi milikku!" tegasnya.Sontak, Sanjaya pun menoleh ke arah Theo. "Apa maksudmu?""Pa, Anda boleh saja merebut posisiku dan memindahkannya kepada Stephen. Tapi untuk rumah itu, aku tidak akan rela jika ada yang mengambilnya da
Di luar ruangan itu, Theo terdiam sebentar. Ia mendengus kesal, hingga salah seolah yang melewatinya tersenyum. Dia adalah karyawan lama yang sudah mengenal Theo."Selamat siang, Pak Theo," ucapnya.Theo pun meredam amarahnya dan tersenyum kepada karyawan yang menyapanya itu. "Iya, siang."Lalu, Theo pun melanjutkan langkah kakinya kembali untuk kemudian pergi dari sana. Ia berniat untuk tinggal di rumah saja sampai dirinya benar-benar siap untuk merencanakan usaha barunya setelah beberapa hari yang lalu jabatannya dipindahkan kepada Adik tirinya.Dirinya pun lalu memasuki mobil. Lalu, langsung menyalakan mesin untuk kemudian tancap gas pergi.***"Nyonya, ini air jahe yang Anda minta. Silakan diminum!" ucap Bi Munah -- Pembantu di rumah itu.Amilie pun segera menerimanya. "Terima kasih, Bi."Perlahan-lahan, ia pun meneguk air jahe yang masih panas itu. Meskipun awalnya ia kurang menyukai rasa dari jahe itu. Tetapi, aroma itu sungguh membuat mualnya menjadi hilang."Hati-hati, Nyonya
Rosalina mendekat dan berusaha menyentuh Theo. Tetapi, Theo yang merasa risih dan tidak nyaman. Ia juga tidak ingin dekat-dekat dengan Rosalina. Itu membuat dirinya menjauh -- wajahnya tampak datar dan memperlihatkan ketidaksenangan keberadaan Rosalina di sana."Lebih baik sekarang Mama pergi dari sini!" usirnya dari kamar itu."Nak, kenapa kamu begitu tega mengusirku?" sahut Rosalina dengan nada memelas. Tak sampai di sana, Rosalina yang mencoba mendekati Theo pun melakukan berbagai cara. Ia kembali menyentuh tangan Theo, meski sebelumnya sempat ditepis."Jangan menyentuhku, Ma! Apa Mama tidak dengar?!" ujar Theo dengan nada tinggi. Dirinya sungguh geram dengan sikap Rosalina terhadapnya.Rosalina mengepalkan tangannya, ia berusaha sabar dengan anak tirinya tersebut. Karena, sampai saat ini segala tujuannya belum tercapai. Sehingga, ia harus terus mengendalikan emosinya."Baiklah, kalau kau tidak mengharapkan keberadaanku di sini," gumamnya. Lalu, ia pun melangkah pergi dari sana.
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Amilie penasaran karena wajah Theo terlihat begitu datar.Theo pun menoleh ke arah Amilie. "Kita harus kembali berkemas?"Sontak, Amilie pun bangkit dari duduknya. Ia begitu serius dan menerka-nerka. "Kenapa, Mas? Apa kita diusir dari rumah ini karena kamu--..."Belum selesai Amilie menyelesaikan kalimatnya, Theo pun menjelaskannya. "Kita akan pindah ke rumah baru. Papa sudah menyiapkan rumah untuk kita tinggali di sana!""Jauh tidak, Mas?" "Entahlah."Ting! Sebuah pesan masuk ke ponsel Theo. Theo pun langsung membukanya. Di sana tertera alamat rumah yang akan ia tinggali tersebut. "Segeralah berkemas, kita harus cepat-cepat pergi. Alamatnya sudah ada."Lantas, Amilie pun langsung mengemas pakaian. Tetapi, tiba-tiba ia malah merasa mual saat mencium aroma koper yang tersimpan di lemari pakaian tersebut.Dirinya segera menutup hidung dan menjauh. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang membuatmu begitu mual?""Kopernya bikin hidung saya tidak nyaman."Amilie
"Minggir kamu! Jangan menghalangi jalanku!" ujar Theo dengan perasaan geram.Stephen melentangkan kedua tangannya, ia berusaha untuk menghentikan mereka pergi. " Aku cuma tanya, Kakak akan pergi ke mana?""Kau tak perlu tahu. Urusi saja hidupmu sendiri!"Amilie yang ada di sana pun hanya menatap wajah Stephen untuk beberapa saat dan memalingkannya. Melihat wajahnya mengingatkannya pada kenangan buruk masa lalunya. Walaupun ada kenangan baik yang masih terselip diantara rentetan isi kepala."Amilie, aku mohon ... Tolong jangan hindari aku lagi! Aku mau bicara sama kamu," katanya.Tetapi, saat itu Amilie merasakan sesuatu yang begitu menyulitkan pikiran dalam mengambil keputusan atas dirinya sendiri."Andai kamu tidak memilih Amanda, mungkin kita masih berada pada masa bahagia," batin Amilie. Meskipun begitu, ia tidak melupakan sesuatu. Dirinya merasa bahwa ini adalah kesempatan bagus untuknya. "Ayolah! Kita bisa 'kan bicara sebentar saja," katanya.Amilie menatap wajah Stephen. Seda
"Akhirnya, Amilie mau juga bicara denganku. Tunggu saja, sebentar lagi dia akan kembali padaku. Aku tidak rela kalau Kak Theo mendapatkannya. Hubungan mereka pun pasti akan segera berakhir," ucap Stephen pelan seraya melihat ke arah luar.Pada saat yang sama, Rosalina datang dan bertanya. Ia begitu penasaran dengan apa yang tengah dipikirkan oleh anaknya tersebut. Sebab, sedari tadi terlihat begitu serius seolah sedang memikirkan sesuatu hal yang penting."Ada apa, Nak? Sepertinya ada kabar baik yang membuatmu terlihat begitu girang?" tanya Rosalina.Namun, karena ia tahu bahwa Rosalina tidak menyukai Amilie. Sehingga, ia hanya menutup mulutnya rapat-rapat tanpa mau menceritakan apa yang sebenarnya."Tidak apa-apa, Ma," jawabnya lalu pergi dari hadapan Rosalina.Rosalina pun berusaha mengikuti Stephen. "Tunggu sebentar, Nak? Kenapa kamu malah pergi begitu saja?""Aku harus pergi, Ma. Lain kali saja aku cerita," sahutnya. Stephen terus pergi keluar dari rumah itu dan cepat-cepat masuk