“Apa semuanya sudah dikemas?” tanya Suci memastikan barang keperluan Ayana dan Ansel sudah siap diangkut. Ayana hari ini sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat 4 hari. Suci dan Firman di sana untuk membantu serta mengantar Ayana pulang. “Sudah semua, Ma.” Deon yang menjawab sambil mengecek tas yang ada di sofa. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal. Suci menggendong bayi Ayana, sedangkan Deon membantu Ayana berjalan perlahan. Firman sendiri berjalan membawakan tas, sambil sesekali memandang Ansel yang tidur pulas dalam gendongan Suci. Mereka naik mobil Firman. Deon yang mengemudi karena tak mungkin membiarkan mertuanya yang menyetir. Mobil mereka langsung menuju ke rumah Jonathan karena semua orang sudah menunggu di sana. Setelah perjalanan hampir setengah jam karena macet, mobil mereka pun sampai di rumah mewah yang dibeli Jonathan untuk Ayana. Saat baru saja sampai di depan garasi, Azlan dan yang lain menghampiri untuk membantu membawakan barang Ayana dan Ansel. “A
“Kamu tidak tidur?” tanya Ayana ketika terbangun tengah malam, melihat Deon yang sedang menggendong Ansel. “Baru mau tidur, tapi Ansel bangun, jadi aku menggendongnya dulu,” ujar Deon sambil menimang bayinya yang masih menangis. Ayana bangun perlahan, lantas duduk bersandar headboard. Dia meminta Deon memberikan Ansel ke pangkuannya. “Mungkin dia lapar, makanya bangun.” Ayana sudah mengulurkan kedua tangan untuk menerima Ansel dari tangan Deon. Deon dengan perlahan memberikan Ansel ke tangan Ayana, lantas menemani istrinya itu menyusui bayi mereka. Ayana memang berkomitmen memberikan Asi selama dia cuti. Dia ingin memberikan yang terbaik, karena Ansel pun butuh perhatian khusus. Dia tidak mau langsung memberikan Ansel susu formula, selama bayinya itu masih puas dengan Asi yang didapat. “Perlu buatkan susu lagi?” tanya Deon yang cemas jika Ansel tak puas hanya minum Asi. “Tidak usah, sepertinya dia sudah minum dengan cukup,” jawab Ayana sambil memperhatikan Ansel yang sudah meme
“Ibu, kalau Non Ayana tahu, nanti saya dimarahin karena biarin Ibu pergi ke pasar buat belanja,” ujar pembantu rumah Jonathan saat pergi ke pasar bersama Mita. “Ga akan marah, nanti kalau marah biar ibu yang atasi,” ujar Mita menjelaskan karena dia yang memaksa pergi ke pasar bersama pembantu. Pembantu itu agak panik, tapi tak bisa berkutik karena Mita memaksa ikut. “Aku tuh hanya ga mau di rumah hanya diam saja. Kalau Ayana ga ngebolehin aku bersih-bersih atau masak, kalau hanya belanja aku pikir ga masalah,” ujar Mita lagi. “Iya, Bu. Tapi ‘kan Non Ayana sudah wanti-wanti, Ibu itu ga boleh kerja apa pun,” ujar pembantu. Mita menoleh pembantu itu, lantas membalas, “Udah, nanti kalau Ayana tanya, bilang saja aku ikut karena ingin beli buah. Lagian belanja juga ga bisa dibilang kerja.” Pembantu itu pun pasrah, akhirnya membiarkan Mita yang belanja. Mereka sudah belanja banyak buah, sayur, dan daging untuk stok di rumah. Mita hanya ingin asupan gizi Ayana tercukupi karena harus me
Alex baru saja sampai di London. Dia keluar dari gerbang kedatangan sambil memakai kacamata hitam. Dia berjalan dengan santai menuju pintu keluar, hingga tatapan matanya tertuju ke seseorang yang sedang menangis sambil memegang paspor. Alex memperhatikan, menyadari jika gadis itu berasal dari negara tempat kakaknya berada. Dia pun mendekat untuk mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. “Kumohon, Pak. Saya harus pulang, ini uang terakhir saya untuk membeli tiket, bagaimana bisa pesawatnya sudah berangkat?” Gadis itu menangis sambil terus bicara menggunakan bahasa inggris. “Keterlambatan datang bukan tanggung jawab kami. Jika tak ingin terlambat, maka jangan datang terlambat,” ujar security. Gadis itu menangis frustasi, hingga Alex ikut bicara setelah mendengar perbincangan gadis itu dengan security. “Ada apa ini?” tanya Alex sambil menatap security. Security itu menjelaskan, hingga Alex menoleh ke gadis yang sudah menangis tersedu-sedu. “Papaku terkena serangan jantung. Dia krit
Ayana penasaran dengan apa yang dibeli Azlan untuk Ansel, dia pun meminta Deon untuk membuka kotak hadiah itu. Begitu kota itu dibuka, terlihat banyak sekali barang-barang keperluan bayi. Dari pakaian, sepatu, mainan, kasur bayi, juga barang lainnya. “Ya Tuhan, kenapa kamu beli barang sebanyak ini?” Ayana geleng-geleng kepala dengan kelakuan sang adik. “Aku tidak tahu, mana yang kira-kira dibutuhkan. Jadi karena aku belum sekaya uncle Alex, jadi kuberi yang sanggup kubeli.” Ayana memegangi kening mendengar ucapan Azlan dari seberang panggilan, tapi meski begitu tak mungkin bisa marah ke sang adik karena sudah berniat baik memberi hadiah. “Baiklah, terima kasih atas perhatianmu. Tapi sudah cukup tidak usah membelikan lagi, ini sudah cukup banyak untuk stok Ansel selama beberapa bulan. Bahkan pakaiannya masih bisa dipakai sampai dia umur setahun.” Ayana memperhatikan banyaknya baju bayi segala ukuran. “Kamu senang dengan hadiahnya?” tanya Azlan dari seberang panggilan. Ayana ingi
“Tidak usah, bawa kamu saja.”“Tidak, Bu. Ini memang tidak banyak, tapi aku benar ikhlas ngasih ini.”Satria memberikan beberapa lembar uang untuk Mita. Dia memang berniat memberi sedikit penghasilannya untuk sang ibu.“Kamu simpan saja, Sat. Ibu beneran sudah cukup, ini bisa buat kamu bayar kontrakan sama makan,” ujar Mita menolak.Bukannya Mita tak mau menerima pemberian sang putra, hanya saja Mita memikirkan nasib anaknya itu. Satria mau berubah saja sudah membuat Mita senang, tak ada keinginan selain melihat anak-anaknya hidup dengan baik.“Kumohon, Bu. Aku tidak pernah memberi Ibu, anggap ini balasan atas segala kesempatan dan kebaikan Ibu selama ini,” ujar Satria memaksa.Deon melihat Satria dan Mita. Dia yang awalnya mengira Satria menyusahkan serta meminta uang lagi dari Mita, kini tahu jika Satria memang sudah berubah.Mita awalnya ingin menolak, tapi karena Satria terus memaksa, akhirnya dia mengambil uang itu.“Baiklah, ibu terima. Tapi kalau kamu butuh bantuan Ibu, bilang
“Bu.” Deon baru saja pulang dari kantor. Dia langsung menemui Mita yang ada di dapur. Mita sendiri memang di sana saat sore. Dia memasak untuk Ayana, meski sudah dilarang agar tak perlu memasak tapi wanita itu memaksa. “Kamu baru pulang?” tanya Mita sambil sibuk meracik bahan yang akan dimasak bersama pembantu rumah itu. “Iya,” jawab Deon, “Bu, bisa bicara bentar?” tanya Deon kemudian. Mita menoleh Deon, hingga melihat putranya itu menatap serius. “Mau bicara apa?” tanya Mita sedikit panik dan cemas. Deon tersenyum lantas mengajak sang ibu bicara di luar karena tidak enak jika dilihat pembantu. Mita sendiri cemas karena tak biasanya Deon mengajak bicara seperti ini. “Apa ada masalah?” tanya Mita saat keduanya sudah berada di luar. Dia menatap cemas dengan sikap Deon. “Bu, aku mau tanya. Tapi tolong jawab dengan jujur,” kata Deon. Mita semakin terlihat panik. Dia pun mengangguk mengiakan saja. “Ibu memberikan cincin satu-satunya Ibu untuk Satria?” tanya Deon hati-hati. Mit
“Tunggu! Azlan kenapa?” tanya Firman yang malah bingung dengan ucapan Suci. Suci melotot mendengar pertanyaan Firman, hingga langsung memukul lengan mantan suaminya itu. “Kamu ini bagaimana? Anak sakit sampai telepon katanya pengen ketemu ibunya, tapi kamu yang serumah malah tidak tahu?” Suci langsung marah mengetahui Firman tidak tahu kalau Azlan sakit. “Lah, tadi pagi dia masih baik-baik saja,” ujar Firman membela diri. “Baik apanya? Kamu ini memang tidak becus merawat anak! Baru juga ditinggal dua minggu balik ke rumah, tapi sekarang anakku sudah terlantar.” Suci mengomel-ngomel sendiri. Wanita itu pun memilih berjalan ke rumah mengabaikan Firman yang masih kebingungan karena terkena amuk. “Siapa yang menelantarkan? Dia baik-baik saja!” Firman masih bingung dengan apa yang terjadi. Dia pun mengejar Suci yang sudah masuk rumah lebih dulu. Suci berjalan menuju kamar Azlan untuk melihat kondisi putranya itu. Dia mendapat panggilan dari Azlan pagi ini yang mengatakan jika sedang
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida