“Kamu tidak tidur?” tanya Ayana ketika terbangun tengah malam, melihat Deon yang sedang menggendong Ansel. “Baru mau tidur, tapi Ansel bangun, jadi aku menggendongnya dulu,” ujar Deon sambil menimang bayinya yang masih menangis. Ayana bangun perlahan, lantas duduk bersandar headboard. Dia meminta Deon memberikan Ansel ke pangkuannya. “Mungkin dia lapar, makanya bangun.” Ayana sudah mengulurkan kedua tangan untuk menerima Ansel dari tangan Deon. Deon dengan perlahan memberikan Ansel ke tangan Ayana, lantas menemani istrinya itu menyusui bayi mereka. Ayana memang berkomitmen memberikan Asi selama dia cuti. Dia ingin memberikan yang terbaik, karena Ansel pun butuh perhatian khusus. Dia tidak mau langsung memberikan Ansel susu formula, selama bayinya itu masih puas dengan Asi yang didapat. “Perlu buatkan susu lagi?” tanya Deon yang cemas jika Ansel tak puas hanya minum Asi. “Tidak usah, sepertinya dia sudah minum dengan cukup,” jawab Ayana sambil memperhatikan Ansel yang sudah meme
“Ibu, kalau Non Ayana tahu, nanti saya dimarahin karena biarin Ibu pergi ke pasar buat belanja,” ujar pembantu rumah Jonathan saat pergi ke pasar bersama Mita. “Ga akan marah, nanti kalau marah biar ibu yang atasi,” ujar Mita menjelaskan karena dia yang memaksa pergi ke pasar bersama pembantu. Pembantu itu agak panik, tapi tak bisa berkutik karena Mita memaksa ikut. “Aku tuh hanya ga mau di rumah hanya diam saja. Kalau Ayana ga ngebolehin aku bersih-bersih atau masak, kalau hanya belanja aku pikir ga masalah,” ujar Mita lagi. “Iya, Bu. Tapi ‘kan Non Ayana sudah wanti-wanti, Ibu itu ga boleh kerja apa pun,” ujar pembantu. Mita menoleh pembantu itu, lantas membalas, “Udah, nanti kalau Ayana tanya, bilang saja aku ikut karena ingin beli buah. Lagian belanja juga ga bisa dibilang kerja.” Pembantu itu pun pasrah, akhirnya membiarkan Mita yang belanja. Mereka sudah belanja banyak buah, sayur, dan daging untuk stok di rumah. Mita hanya ingin asupan gizi Ayana tercukupi karena harus me
Alex baru saja sampai di London. Dia keluar dari gerbang kedatangan sambil memakai kacamata hitam. Dia berjalan dengan santai menuju pintu keluar, hingga tatapan matanya tertuju ke seseorang yang sedang menangis sambil memegang paspor. Alex memperhatikan, menyadari jika gadis itu berasal dari negara tempat kakaknya berada. Dia pun mendekat untuk mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. “Kumohon, Pak. Saya harus pulang, ini uang terakhir saya untuk membeli tiket, bagaimana bisa pesawatnya sudah berangkat?” Gadis itu menangis sambil terus bicara menggunakan bahasa inggris. “Keterlambatan datang bukan tanggung jawab kami. Jika tak ingin terlambat, maka jangan datang terlambat,” ujar security. Gadis itu menangis frustasi, hingga Alex ikut bicara setelah mendengar perbincangan gadis itu dengan security. “Ada apa ini?” tanya Alex sambil menatap security. Security itu menjelaskan, hingga Alex menoleh ke gadis yang sudah menangis tersedu-sedu. “Papaku terkena serangan jantung. Dia krit
Ayana penasaran dengan apa yang dibeli Azlan untuk Ansel, dia pun meminta Deon untuk membuka kotak hadiah itu. Begitu kota itu dibuka, terlihat banyak sekali barang-barang keperluan bayi. Dari pakaian, sepatu, mainan, kasur bayi, juga barang lainnya. “Ya Tuhan, kenapa kamu beli barang sebanyak ini?” Ayana geleng-geleng kepala dengan kelakuan sang adik. “Aku tidak tahu, mana yang kira-kira dibutuhkan. Jadi karena aku belum sekaya uncle Alex, jadi kuberi yang sanggup kubeli.” Ayana memegangi kening mendengar ucapan Azlan dari seberang panggilan, tapi meski begitu tak mungkin bisa marah ke sang adik karena sudah berniat baik memberi hadiah. “Baiklah, terima kasih atas perhatianmu. Tapi sudah cukup tidak usah membelikan lagi, ini sudah cukup banyak untuk stok Ansel selama beberapa bulan. Bahkan pakaiannya masih bisa dipakai sampai dia umur setahun.” Ayana memperhatikan banyaknya baju bayi segala ukuran. “Kamu senang dengan hadiahnya?” tanya Azlan dari seberang panggilan. Ayana ingi
“Tidak usah, bawa kamu saja.”“Tidak, Bu. Ini memang tidak banyak, tapi aku benar ikhlas ngasih ini.”Satria memberikan beberapa lembar uang untuk Mita. Dia memang berniat memberi sedikit penghasilannya untuk sang ibu.“Kamu simpan saja, Sat. Ibu beneran sudah cukup, ini bisa buat kamu bayar kontrakan sama makan,” ujar Mita menolak.Bukannya Mita tak mau menerima pemberian sang putra, hanya saja Mita memikirkan nasib anaknya itu. Satria mau berubah saja sudah membuat Mita senang, tak ada keinginan selain melihat anak-anaknya hidup dengan baik.“Kumohon, Bu. Aku tidak pernah memberi Ibu, anggap ini balasan atas segala kesempatan dan kebaikan Ibu selama ini,” ujar Satria memaksa.Deon melihat Satria dan Mita. Dia yang awalnya mengira Satria menyusahkan serta meminta uang lagi dari Mita, kini tahu jika Satria memang sudah berubah.Mita awalnya ingin menolak, tapi karena Satria terus memaksa, akhirnya dia mengambil uang itu.“Baiklah, ibu terima. Tapi kalau kamu butuh bantuan Ibu, bilang
“Bu.” Deon baru saja pulang dari kantor. Dia langsung menemui Mita yang ada di dapur. Mita sendiri memang di sana saat sore. Dia memasak untuk Ayana, meski sudah dilarang agar tak perlu memasak tapi wanita itu memaksa. “Kamu baru pulang?” tanya Mita sambil sibuk meracik bahan yang akan dimasak bersama pembantu rumah itu. “Iya,” jawab Deon, “Bu, bisa bicara bentar?” tanya Deon kemudian. Mita menoleh Deon, hingga melihat putranya itu menatap serius. “Mau bicara apa?” tanya Mita sedikit panik dan cemas. Deon tersenyum lantas mengajak sang ibu bicara di luar karena tidak enak jika dilihat pembantu. Mita sendiri cemas karena tak biasanya Deon mengajak bicara seperti ini. “Apa ada masalah?” tanya Mita saat keduanya sudah berada di luar. Dia menatap cemas dengan sikap Deon. “Bu, aku mau tanya. Tapi tolong jawab dengan jujur,” kata Deon. Mita semakin terlihat panik. Dia pun mengangguk mengiakan saja. “Ibu memberikan cincin satu-satunya Ibu untuk Satria?” tanya Deon hati-hati. Mit
“Tunggu! Azlan kenapa?” tanya Firman yang malah bingung dengan ucapan Suci. Suci melotot mendengar pertanyaan Firman, hingga langsung memukul lengan mantan suaminya itu. “Kamu ini bagaimana? Anak sakit sampai telepon katanya pengen ketemu ibunya, tapi kamu yang serumah malah tidak tahu?” Suci langsung marah mengetahui Firman tidak tahu kalau Azlan sakit. “Lah, tadi pagi dia masih baik-baik saja,” ujar Firman membela diri. “Baik apanya? Kamu ini memang tidak becus merawat anak! Baru juga ditinggal dua minggu balik ke rumah, tapi sekarang anakku sudah terlantar.” Suci mengomel-ngomel sendiri. Wanita itu pun memilih berjalan ke rumah mengabaikan Firman yang masih kebingungan karena terkena amuk. “Siapa yang menelantarkan? Dia baik-baik saja!” Firman masih bingung dengan apa yang terjadi. Dia pun mengejar Suci yang sudah masuk rumah lebih dulu. Suci berjalan menuju kamar Azlan untuk melihat kondisi putranya itu. Dia mendapat panggilan dari Azlan pagi ini yang mengatakan jika sedang
“Ma, apa Mama tidak bisa tinggal di sini? Mungkin lebih lama, sebulan atau dua bulan?” tanya Azlan saat makan ditemani Suci.Suci sedang akan meletakkan lauk di piring Azlan saat mendengar ucapan putranya itu. Dia pun memandang Azlan, tapi kemudian hanya membalasnya dengan senyuman.“Kenapa harus tinggal di sini lama?” tanya Suci balik, lantas kembali duduk sambil memandang putranya itu.“Ya, agar ada yang sering-sering memasak makanan enak. Juga ada yang menemaniku. Kalau hanya dengan Papa, dia membosankan karena banyak kerja,” jawab Azlan yang sangat jarang duduk berdua dengan ayahnya.Suci tersenyum masam mendengar jawaban Azlan, hingga kemudian membalas, “Setelah sembuh nanti, kamu juga akan sibuk kerja, lalu mama di rumah suruh apa? Melamun?”“Sudah jangan minta aneh-aneh, yang terpenting sekarang kamu makan yang banyak agar cepat sembuh,” ucap Suci pada akhirnya.Azlan terlihat kecewa mendengar balasan Suci. Dia pun makan meski dengan ekspresi wajah masam.“Mama benar-benar tak