Dandelion's Cafe. Tempat ternyaman bagi para pujangga untuk sekedar mampir, menyeruput hangatnya kopi serta aroma cake yang begitu khas dengan resep kopi buatan Oliver. Mencurahkan segala keluh kesah pada hari itu dengan alunan musik jazz sebagai pendukung.
Cafe yang terletak sangat strategis di kota besar tersebut tak pernah sepi pengunjung. Lebih banyak saat sore dan malam hari. Tak sedikit juga pengunjung setia mampir hanya untuk mencicipi kopi racikan Oliver tersebut. Hebatnya lelaki itu membuat para anak-anaknya iri sebanarnya, tetapi gengsilah yang menutupi semua itu.
Di ujung ruangan, terdapat seorang wanita berumur sekitar 26 tahun. Duduk dengan setelan santai dengan sedikit gugup, seperti sedang menunggu seseorang yang entah kapan datang. Warna kulit putih bersih, bibir tipis berwarna merah muda dan tak lupa wajah baby facenya yang membuat para lelaki melirik ke arah sang wanita. Tentu saja mengira jika ia masih anak sekolah. Di samping itu, terlihat anak kecil berumur 4 tahunan yang sedang asik menyantap cake pesanannya.
"Makannya pelan-pelan, Nak, itu lihat cream-nya hampir kena baju kamu." Dengan telaten, ia membersihkan cream yang menempel di baju sang anak.
"Ini enak, Ma. Itha suka, Itha mau," balas dengan logat imutnya, membuat wanita itu tekekeh.
Hampir satu jam berlalu, tiba-tiba seseorang yang di tunggu datang dengan raut wajah girang bukan main. Tinggal beberapa langkah lagi, ia sudah meneriaki sebuah nama."LATASHA!" sapanya dengan berlari seraya melambaikan tangan yang membuat orang di sekitar Cafe menatap aneh ke arahnya.
Wanita bernama Latasha itu hanya bisa tersenyum tipis serta menghela napas melihat tingkah orang itu. Namanya, Lea, gadis ceria yang sudah menjadi sahabat Latasha sejak pertama kalinya dia bekerja bersama.Pertemuan mereka bukan layaknya sebuah reuni atau semacamnya. Lea dan Latasha sudah tinggal bersama di kontrakan mini yang tak jauh dari Cafe tersebut. Sejak Lea mengambil cuti dari kerjaannya, ia menghabiskan semua waktunya untuk pulang ke kampung halamannya, di Bandung. Sudah seminggu Lea tak berada di kontrakan, membuat Latasha merasa kesepian karena tidak ada teman mengobrol. Tidak mungkin juga ia curhat atau apapun itu dengan Gaitha, anaknya yang saat ini masih asik menyantap cake favoritnya. Lea berjalan girang sampai ia duduk di kursinya. Menyapa Gaitha yang tidak suka kedatangan Lea di waktu tidak tepat. Bocah berumur 4 tahun bisa memahami mana waktu terbaik untuk mengobrol. Intinya, bukan saat di jam makan."Rindu sama gue, kan?" tanya Lea tanpa basi-basi, rautnya wajahnya masih girang, ia sedikit ribet lantaran di penuhi paper bag di kedua tangannya.
Latasha menggeleng dan langsung membantu Lea untuk menaruh beberapa paper bag di lantai. Lea sempat menyapa Gaitha dengan wajah sok imutnya, tetapi bocah itu membalas dengan tatapan polos seakan sapaan Lea tidak ada artinya. Keisengan Lea muncul saat ia mencuri buah cherry milik Gaitha, sontak saja membuat bocah itu marah dan hampir menangis. Untung saja Lea tidak benar-benar memakannya, jika itu terjadi, Latasha akan malu jika meminta satu buah cherry kepada pelayan cafe. Meski mereka tinggal bersama, Lea dan Gaitha seperti adik-kakak. Jarang sekali mereka akur, ujung-ujungnya Latasha lah yang lagi-lagi memisahkan mereka. Di lihat pula dari umur Lea yang dua tahun lebih muda dari Latasha, di tambah style Lea yang sedikit tomboy dengan wajah yang jarang sekali terkena make up.
"Gimana liburannya?" Latasha membuka topik pembicaraan.
"Lancar. Gue sempet pergi ke beberapa tempat bareng keluarga dan... ya, lo pasti tau kelanjutannya." Raut wajah Lea seketika berubah, seakan mengingat kejadian tak di inginkan di sana.
Latasha yang memahami itu langsung tersenyum lembut ke arah Lea, seakan mengerti perasaan gadis itu. Meski usia Lea baru menginjak 24 tahun. Tetapi perkara pernikahan sudah di bicarakan oleh keluarganya, orang tua Lea sangat menginginkan anak gadisnya segera menikah sebelum berusia 25 tahun. Dengan style Lea yang sedikit tomboy, sudah bisa di nilai bahwa,'tak ada menikah di usia muda.' Lea masih ingin kerja, menikmati dunia yang membuat kepala dan badan seperti robot. Tetapi kedua orang tuanya tak sependapat dengan dirinya."Lea harus bisa yakinin kedua orang tua, kasih mereka sesuatu yang selama ini Lea jalanin. Kenapa nggak jujur aja kalau Lea lagi bangun rumah untuk Mama dan Papa?"
Lea memutar kedua bola matanya, merasa hal itu tak usah di bicarakan. Lea tipe anak yang suka memberi kejutan, tetapi tidak suka jika hal itu di buru-burui serta membocorkan kepada orang yang ingin di beri kejutan tersebut.
"Sudah lah, Kak Tata. Gue nggak suka hal itu bocor duluan."
Latasha hanya mengangguk, berusaha memahami gadis di hadapannya. Lea memang suka memanggil ia dengan sebutan 'Tata', menurut mereka lebih simpel dan Latasha sendiri tidak pernah meribetkan hal itu. Bahkan itu sudah menjadi panggilan akrab untuk dirinya.
"Yaudah, terpenting calonnya udah ada, 'kan?" Latasha bertanya dengan raut wajah menggoda.
"Ish, Kak Tata, jodoh yang di kenalin sama mana biasa aja sih, dia tipe orang yang banyak bicara. Gue kurang suka sebenarnya, tapi dia banyak duit. Jadi... jalanin dulu aja kali, ya."
Latasha sedikit melongo mendengar penjelasan Lea, ia hanya bisa tertawa karena tak habis pikir jika Lea sangat melihat lelaki dari materi.
"Ma... Itha, udah." Gaitha, bocah itu memang sulit menyebutkan namanya sendiri. Jadi, ia hanya bisa menyebutkan kata belakang dari namanya, Itha.
Lea sendiri langsung memanggil waiterss dan memesan cake green tea serta Machiato kesukaannya, setelah waiterss itu pergi Lea kembali fokus dengan ibu dan satu anak di hadapannya.
Latasha sendiri langsung mengambil tissue basah dan membersihkan sisa makanan di tangan serta mulut mungil Gaitha. Selesainya Latasha memberi anaknya minum, kemudian memberikan ponselnya sambil membuka aplikasi belajar untuk anak PAUD. Saat di tempat unum, Latasha suka memberi anaknya pembelajaran modal dari aplikasi, itu ia lakukan jika sesang bertemu dengan seseorang, agar anaknya itu tidak menganggu atau berlari-lari di sekitarnya. Membuat Latasha panik sendiri melihat tingkah sang anak.
Setelah melihat keadaan sudah mendukung, Lea terpikirkan sesuatu yang langsung ia tanyakan kepada Latasha, "Kak Tata, gimana soal panggilan kerjaannya?"
Latasha membenarkan posisi duduknya, kemudian mulai fokus dengan tujuan ia ingin ngobrol dan ketemu dengan Lea di Cafe.
"Waktu itu sempat terima telfon, Kakak kira dari tempat kerjaan lama, ternyata bukan. Kakak sempat lupa kapan mengirim CV ke perusahaan itu, setalah di cek ternyata sudah seminggu yang lalu." Jelas Latasha.
"Terus, Kak Tata terima panggilannya?"
"Terima dong. Toh, Kakak harus hidupi Gaitha dengan apa kalau uang Kakak aja nggak ada."
"Syukur ya, masih ada yang mau panggil orang untuk kerja. Aku yakin, uang Kak Tata udah mau habis." Ejek Lea dengan di akhiri mengangkat kedua jarinya hingga menjadi huruf V.
Tak lama setelah itu pesanan Lea sudah datang, ia langsung menyantap beberapa suap cake nya serta menyeruput Machiato favoritnya itu.
Latasha hanya tersenyum masam. Ia memang selalu menabung setiap bekerja di mana pun. Latasha adalah anak tunggal sekaligus anak broken home sejak kecil. Saat sekolah menengah hingga tamat SMA, ia tinggal dengan mamanya, hingga satu ketika wanita itu sakit. Saat itu Latasha semakin bingung untuk menghidupi dirinya sendiri, di tambah lagi perekonomian mereka semakin susah kala itu.
Latasha memang sudah menikah. Pernikahan wanita itu berkat perjodohan dadakan dengan lelaki bernama Alvin, ayah kandung Gaitha tentunya. Dengan berat hati Latasha menerima perjodohan itu. Alvin sendiri adalah anak dari teman kecil mama Latasha, beliau mengenal Alvin ketika sedang kumpul arisan. Alvin sendiri tertarik dengan Latasha, siapa yang tidak mau di sandingkan dengan wanita cantik dan lembut seperti Latasha. Meski perkenalan mereka seumur jagung, tidak membuat jalannya perjodohan itu rumit, justru lancar hingga ke pelaminan. Setelah dua bulan menikah, penyakit mana Latasha semakin parah, sempat keluar masuk rumah sakit sampai Alvin sudah mengeluarkan banyak uang untuk itu. Sebulan setelahnya, Tuhan telah memanggil mama Latasha. Sebelum meninggal, beliau telah berpesan agar Alvin selalu menjaga anaknya karena Latasha sudah sendirian, jauh dari kelurha mana pun. Ayahnya pun tak kunjumg ada kabar setelah meninggalkan mereka sejak itu.Pernikahan Latasha tidak semulus di awal, ia sempat merasakan KDRT. Saat mengetahui Latasha tengah hamil, sifat Alvin berubah bahkan hampir tidak pernah menafkahi Latasha. Saat itulah Latasha mulai kerja meski kehamilannya sudah semakin membesar. Bahkan suaminya menjadi jarang pulang, keluarga Alvin sendiri semakin acuh tak acuh dengan Latasha. Hingga kelahiran Gaitha tiba, Alvin tidak berada di samping Latasha bahkan keluarga Alvin sendiri. Latasha menjalani persalinan seorang diri tanpa keluarga. Dokter dan suster yang menangani merasa iba melihat perjuangan seorang Latasha yang sendirian. Setelah dua minggu kelahiran Gaitha, tiba-tiba Alvin menggugat cerai Latasha begitu saja. Entah lelaki itu menyewa pengacara mana, saat persidangan pun pihak Alvin menang dan Alvin resmi bercerai dengan Latasha. Semakin terpukulah seorang Latasha dengan hidup barunya yang ia harap akan lebih baik, bahkan jauh dari itu.
Latasha sudah jauh dari keluarga mama atau ayahnya. Setelah perceraian itu ia sempat tinggal di panti beberapa waktu hanya untuk menitip Gaitha, sementara dirinya pergi bekerja. Begitu seterusnya hingga ia bertemu dengan Lea, ketika Lea mengetahui seluruh cerita dari Latasha, gadis itu langsung mengambil ahli dan meminta paksa Latasha untuk tinggal bersamanya. Latasha sudah sakit, mungkin hatinya pun sudah mulai membeku. Awal pertemuan mereka Lea bisa melihat sendiri betapa tirus dan kurang terurusnya Latasha setelah perceraian itu. Kehadiran Lea ingin membuat hidup Latasha sedikit berwarna. Latasha begitu lembut, bahkan selama mengenal Latasha, Lea hampir tidak pernah melihat wanita itu marah.
"Kak..."
"Kak Tata!"
Latasha terkejut. Ia melirik Lea yang memperlihatkan raut kebingungan.
"Kenapa, Lea?"
"Kak Tata kenapa? Ko tiba-tiba diam?"
"Eh? Eng... Kakak... bingung aja soal panggilan kerjaan itu." Dusta Latasha, ia sangat menginginkan kerjaan itu, Latasha takut jika ia tidak di terima. Pekerjaan Cleaning Service adalah tujuan yang sudah mentok bagi Latasha, padahal di lihat dari wajah, wanita itu begitu cantik dan imut. Sifat lembut dan apa adanya itu tidak bisa bekerja di bidang lain. Latasha terlalu takut dan kikuk jika bertemu dan berbicara banyak dengan orang yang ia tidak kenal.
"Kak," ucap Lea seraya menggengam punggung tangan Latasha, "Kakak ngajarin gue untuk selalu percaya apapun yang mau gue lakuin. Sekarang? Apa kata-kata itu nggak cocok untuk Kak Tata? Ayolah semangat, demi Gaitha. Pasti Kak Tata ke terima."
Latasha tersenyum, ia menoleh ke arah Gaitha yang tengah fokus mengikuti suara-suara dari layar ponselnya.
"A... B... C.. tatatatata... D... E... tatatatata."
Latasha mengelus rambut anak semata wayangnya, Gaitha yang merasakan itu menoleh sekilas sambil tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang sedikit berantakan. Kemudian kembali fokus dengan videonya.
Lea kembali menyantap cake dan menyeruput Machiato miliknya.
"Kapan Kakak ke sana?"
"Besok, Lea. Apa baju Kakak masih layak pakai ya?"
Lea tampak berpikir, mengingat bahwa sudah dua bulan Latasha tidak bekerja. Ada beberapa baju yang tidak terurus di lemari pakaiannya. Latasha tipe orang yang jika punya satu baju, ia akan terus memakai itu. Pernah ketika awal bekerja, Latasha hanya mempunyai satu kemeja putih. Ia memang wanita yang irit dalam hal keuangan, rela hanya beli satu kemeja sampai ada noda kuning di kemeja tersebut.
"Kakak pakai kemeja gue aja, badan kita nggak beda jauh ini. Lagi pula hanya untuk interview besok. Siapa tau Kak Tata nantinya masih nunggu panggilan kedua."
Latasha mengangguk. Lea tersenyum puas dan kembali menghabiskan pesanannya. Latasha melanjutkan ceritanya kepada Lea, jika nanti Latasha ke terima kerja, Gaitha akan di titipkan lagi di tempatnya bersekolah. Sudah biasa bagi Lea mendengar kabar tersebut, mereka sama-sama bekerja. Jadi, tidak mungkin salah satu dari mereka harus bergantian menjaga Gaitha, atau lebih tidak mungkin jika bocah itu di tinggal sendirian.
Pernah satau ketika Gaitha di titipkan ke tetangga samping kontrakan mereka, Latasha dengan polosnya percaya begitu saja menitipkan anaknya bersama Ibu empat anak tersebut. Alhasil, sepulang bekerja Latasha mendapatkan Gaitha nangis di rumahnya, lantaran tetangga itu tidak terlalu memperhatikan anaknya. Bahkan Gaitha bilang, ia melewatkan makan sorenya. Ingin marah, tetapi Latasha lebih milih diam dan tentu saja Lea lah yang maju untuk memberi wejangan kepada Ibu-ibu tersebut.
Sejak saat itulah Lea memberi saran agar Gaitha di titipkan di tempatnya bersekolah, mengingat PAUD tersebut beroperasi hingga pukul 5 sore. Pihak sekolah tidak keberatan dengan permohonan Latasha jika ingin menitipkan anaknya di sana. Selain mengajarkan murid, sekolah tersebut bisa di jadikan penitipan anak dengan batas waktu tertentu. Latasha lega, mengingat guru-guru di sana pun juga telaten dalam hal mendidik muridnya.
"Ma, pulang Ma," ucap Gaitha seraya menberi ponsel itu ke Latasha. Bocah itu sudah merasa bosan dengan aktifitasnya.
"Udah sore aja, ya." Lea juga menyadari sambil melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 5.
"Yaudah, ayo kita pulang. Kakak juga butuh istirahat untuk besok."
"Tapi tolong ya, bawain sebagian belanjaan gue." Lea memberikan sebagian paper bagnya kepada Latasha sambil nyengir kuda.
"Lagian kenapa banyak banget bawaannya?"
Lea menggaruk lehernya yang tak gatal, "Ini kan ada oleh-oleh buat Kakak dan Gaitha."
Latasha menoleh ke anaknya," Wah, Tante Lea bawa hadiah buat, Itha."
"Boneka belibi, ya, Ma?"
"Barbie Itha, bukan belibi." Ralat Lea gemas.
"Belibi mana buat Itha?" Tanya bocah itu langsung tanpa memperdulikan perkataan Lea.
"Nanti di rumah, ya. Sekarang ayo kita pulang," ucap Latasha yang di anggukan oleh Lea.***
Gugupnya Latasha membuat dirinya menjadi panas dingin. Sudah hampir setengah jam ia menunggu di lobi untuk di panggil interview. Ia berpikir akan ada banyak orang yang datang untuk interview, justru Latasha menjadi satu-satunya di sana. Ia beberapa kali melihat jam tangannya, merasa yakin jika ia tidak telat.
Tak lama seorang wanita datang menghampiri Latasha. "Mba, Latasha?"
Wanita itu menoleh dan melihat Renatta dengan senyum ramahnya.
"Iya, s-saya sendiri.""Ayo ikut saya ke ruangan."
Latasha mengangguk dan mengekori Renatta ke ruangannya. Ruangan Renatta sedikit terbuka dan bersampingan dengan ruangan Evan, ia mempersilakan Latasha untuk duduk. Di karenakan Latasha sendiri, jadi Renatta lah yang menjalankan interview singkat ini.
"Kita langsung mulai aja, ya," ucap Renatta setelah ia duduk di kursinya.
Renatta melihat sekilas riwayat Latasha, dari alamat rumah dan beberapa pengalaman kerja milik wanita itu. Renatta sesekali menatap ke arah Latasha heran, lantaran dengan wajah cantik itu kenapa seorang Latasha bisa memilih menjadi Cleaning Service?. Renatta menilai pasti banyak kerjaan yang lebih sepadan dengan wajah Latasha. Hanya saya Latasha kurang di poles make up.
"Nama lengkap kamu Latasha Feidonna, umur 26 tahun, status pernikahan... sudah bercerai?" Renatta menyebutkan sedikit profile karyawan barunya. Latasha sendiri tidak keberatan dengan status pernikahannya, memang dia sudah bercerai lama dan menjadi janda.
"Iya, bu."
"Kalau boleh tau, sudah berapa lama?"
"Kurang lebih 3 tahun."
Renatta kembali melihat CV milik Latasha. kemudian berkata, "Pengalaman kerja kamu rata-rata jadi Cleaning Service semua, ya?"
"I-iya bu."
"Padahal kamu cantik, loh."
Latasha hanga tersenyum tipis, ia tidak tahu kenapa harus memilib kerjaan seperti ini. Latasha tidak punya kelebihan apapun di bidang mana pun.
"Saya jelasin sedikit, ya, tentang kerjaan yang akan kamu lakuin. Di sini kamu di pilih bukan untuk menjadi Cleaning Service yang hanya bersih-bersih aja. Kita punya CEO perusahaan Gtama Group, beliau adalah Pak Oliver. Ia adalah pecinta kopi. Tugas utama kamu nanti adalah membuat kopi untuk Pak Oliver. Ibaratnya, kamu akan menjadi Cleaning Service khususnya lah. Tapi, kamu akan di ajari juga cara buat kopi dengan resep Pak Oliver."
Latasha sedikit tekerkejut mendengar penjelasan dari Renatta. Ia benar-benar tak menyangka kerjaannya seperti ini. Latasha tidak mempermasalahkan membuatkan kopi, tetapi wanita itu tak percaya jika membuat kopi harus training lebih dulu.
Renatta juga menjelaskan tentang Cafe mana saja yang milik Gtama Group. Latasha sendiri kurang paham tentang itu, bahkan ia terkejut saat mengetahui jika Dandelion's Cafe yang ia kunjungi dengan Lea adalah Cafe pertama yang di dirikan oleh Oliver sendiri.
Setalah itu Renatta mendapat panggilan telfon dari Oliver langsung, menyuruh agar Renatta membawa anak baru tersebut ke ruangannya. Serketaris itu langsung mengajak Latasha untuk mengenali sedikit tentang ruang demi ruangan perusahaan itu. Mulai dari ruangan bosnya, yaitu ruangan Evan sendiri.
"Namanya siapa?" Latasha memastikan jika ia tidak salah dengar tentang penyebutan nama oleh Renatta.
"Evan, ini ruangan Pak Evan," Jelasnya. "Evan Farraz Geutama, adalah anak dari CEO perusahaan ini. Tidak lama lagi dia juga akan menyandang gelar CEO."
Latasha tercekat, napasnya seketika berhenti mendengar nama itu. Ia berusaha membuang pikiran anehnya jauh-jauh. Latasha yakin, nama itu bukan satu orang saja yang punya. Pasti ada Evan lain yang memilik nama tersebut.Renatta kembali memperkenalkan ruangan demi ruangan, agar Latasha tidak salah memasuki ruangan tersebut. Hingga pada akhirnya, ia sudah berada di lantai 28, tempat singgah sananya Oliver Frans Geutama. Sebelum menunju ke sana pula, ada beberapa ruangan yang di perkenalkan oleh Renatta. Hingga sampai di rumahan yang di tuju, ruangan Oliver.
Renatta mengetuk beberapa kali pintu berwarna cokelat itu, setelah ketukan ketiga suara Oliver terdengar dari dalam, menyuruh Renatta masuk sementara Latasha masih menunggu di luar.
Dua menit berlalu, Renatta keluar dan memanggil Latasha untuk segera masuk. Kesan pertama saat Oliver menatap wajah Latasha adalah, kagum. Entah firasat apa, tetapi Oliver berpikir jika Latasha tidak akan mengecewakan."Saya permisi dulu, Pak." Renatta berpamitan.
"Kamu Latasha?" Latasha mengangguk gugup, Oliver tersenyum dan memberi isyarat agar wanita itu mengikutinya ke dapur pribadi Oliver. Di sana lelaki paru baya itu langsung memberi tips agar kopi yang di buat untuk dirinya tidak menciptakan rasa yang tidak pas. Latasha sendiri sedikit bingung dengan kerjaan yang ia dapat. Selain jadi Cleaning Service, ia juga harus membuat kopi spesial untuk pendiri Gtama Group itu."Kamu bisa? Silahkan coba."
Setelah memperhatikan, Latasha langsung mencobanya. Awalnya susah dan dia berkali-kali bertanya berapa takaran yang pas untuk meraciknya. Ketika gagal kedua kalinya, Latasha langsung membuat lagi dan berhasil di kali ketiga. Kopi buatan Latasha dengan resep dari Oliver telah jadi dan siap untuk pria itu cicipi.Ketika sudak siap minum, Oliver menyeruputnya sekali. Kemudian terdiam hingga seruputan ketiga ia mulai tersenyum. Menandakan jika kopi buatan Latasha nikmat dan wanita itu sendiri cocok untuk menjadi pengganti Rianti.
"Besok kamu mulai bekerja, nanti biar anak saya yang akan beritau kamu selanjutnya."
Latasha tersenyum puas. Ia berteriak syukur dalam hati, wajah imut Gaitha terbayang di benaknya. Latasha berharap jika ini adalah kerjaan tetapnya.
Setalah hampir satu jam di dapur, Oliver mengajak Latasha kembali dan sedikit bercengkrama dengan wanita itu."Ayah, gimana dengan Office gi--"
Suara Evan memberhentikan langkah Oliver dan Latasha, begitu pula dengan dirinya yang terkejut melihat Latasha di hadapannya.
Memori delapan tahun itu hampir hilang di benak keduanya. Harapan kembali seperti ombak yang pasang surut, kadang muncul kadang redup. Latasha, perempuan yang sukses memikat hati seorang Evan Franz Geutama kala itu, tetapi sifat arogan yang di miliki Evan membuat hatinya tidak gampang luluh. Evan terpikat dengan Latasha lantara Latasha wanita pendiam dan penurut. Entah alasan penting apa yang membuat seorang Evan bisa mendekati Latasha. Tetapi, begitu lah kejadiannya."Nah, ini Evan, anak saya." Oliver memperkenalkan mereka berdua tanpa ia sadari ada suasana tak tenang di antara keduanya. "Ini Latasha, pengganti Rianti. Dia pintar membuat kopi."
Evan berkedip beberapa saat, menariknya keluar ke dunia nyata. Evan hanya mengangguk dengan raut wajah yang sulit di baca. Sementara Latasha, ia merasa kedua kakinya lemas. Bertemu dengan seseorang di masa lalunya.
Esoknya, hari pertama pekerjaan yang di lakukan oleh Latasha tidak begitu berat seperti di tempat kerja lamanya. Banyak hal-hal baru yang tidak ia lakukan sebelumnya, lebih banyak keluar masuk ke ruangan Oliver. Benar apa kata Renatta, jika pekerjaan wanita itu menjadi Office Girl pribadi Oliver. Latasha sendiri banyak memiliki teman baru yang sebaya dengan dirinya. Tak susah untuk Latasha bertukar cerita.Evan sendiri terkejut bila pertemuan dengan Latasha begitu tak terduga. Dulu, saat SMA, Evan menjadi incaran banyak gadis di sana. Tetapi Evan memilih Latasha yang kuper. Bahkan setelah dua tahun kelulusan, Latasha saja yang tidak hadir di acara reuni. Evan tidak bisa mengekpresikan dirinya saat bertemu Latasha. Ia kikuk dan memilih pergi dari ruangan Oliver. Sesampai di ruangannya, Evan terduduk lemas lantaran masih tidak percaya jika seorang Latasha dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Aura kelembut
Evan berjalan cepat menuju club malam seorang diri. Setelah seharian bekerja membuat lelaki itu menginginkan sedikit hiburan. Sesampainya, Evan langsung di sambut oleh penjaga club seperti biasanya. Club milik Tan, temen kuliahnya dulu adalah seorang duda tanpa anak. Kehidupan Tan begitu bebas sehingga status menikah hanyalah pajangan bagi dirinya, Tan sendiri sudah menikah sebanyak empat kali dan tentu saja semua itu tidak bertahan lama. Kecintaan Tan terhadap club membuat istrinya tidak tahan dan memilih untuk cerai. Tan memang pandai dalam menggoda perempuan, ketampanan Tan tidak beda jauh dengan Evan yang anak seorang CEO. Pun kekayaan Tan setara dengan Oliver. “Hi, bro!” Tan menyapa Evan saat ia sedang duduk di sofa bersama wanita malam yang di pilihnya. Evan tak m
“Apakah kamu merindukan seseorang?”Pertanyaan itu terniang-niang di kepala mungil Latasha, ia heran kenapa Evan bertanya seperti itu. Sesaat Evan pergi, wanita itu tidak berbicara lagi dan hanya menunduk. Tidak kuat menatap Evan terlalu lama. Sifat Evan semakin terlihat oleh Latasha jika lelaki itu sudah sedikit berubah, tidak kasar seperti dulu.Ingatan delapan tahun lalu kembali muncul saat Evan beberapa kali sudah menampar Latasha karena masalah kecil. Evan yang dulu sangatlah sensetif dan hanya Latasha yang bisa bertahan cukup lama dengan lelaki mata elang itu. Berbanding terbalik dengan mantan-mantan Evan sebelumnya, belum genap sebulan mereka sudah meninggalkan Evan lantaran tidak kuat. Evan SMA egonya masih tinggi, tetapi ia terpilih jadi ketua osis karena kepintaran lelaki itu serta ide-ide brilian dalam mengembangkan kedisiplinan para siswa.
“Itha langsung ke kamar mandi, ya.” “Mama, tadi om cakep. Milip sama temen iItha.” Ucapan bocah itu sontak membuat Latasha terkejut. Ia hanya tersenyum dan menyuruh Gaitha untuk segera ke kamar mandi. Dari balik jendela, Latasha masih memperhatikan mobil donker itu diam di depan rumahnya. Merasa ada kepingan hati yang tak boleh pergi, Latasha tersenyum tipis tanpa ia sadari. Kesakitan yang ia rasakan dulu seperti sudah terhapus dengan sedikit perubahan Evan meski tanpa sentuhan. Sekali lagi, Latasha mencoba menyadarkan dirinya. “Kalian udah beda status! Stop it, Ta!” *** Di perjalanan Evan menelpon Tan, sebagai orang yang sudah pernah menikah, mungkin Tan tahu alasan-alasan apa yang membuat dua sejoli memutuskan untuk bercerai. Maklum saja, Evan belum memikirkan untuk menikah, sudah menikmati tubuh be
Latasha terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding dengan panik saat jarum itu menunjukkan pukul delapan pagi. “Astaga!” Latasha langsung bersiap diri dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan ucapan pagi dari Gaitha. Lea yang menyadari itu merasa aneh melihat Latasha hampir terjatuh saat masuk ke kamar mandi. Niat ingin bertanya, hal itu Lea urungkan saat Gaitha merengek meminta sarapannya.“Sebentar, bocah. Nanti Tante Lea antar ke depan, ya.”Setengah jam sudah berlalu Lea langsung bertanya kepada Latasha saat keluar dari kamar mandi. “Kak Tata kesurupan apa pagi-pagi?”Latasha mengerutkan kening, “Lea! Kamu nggak bangunin Kakak, ya. Kakak telat masuk kerja!”“Hah? Sekaran
Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya. “Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya. “Kenapa sayang?” “Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu. Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf. “Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha. Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya. Latasha
Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r
Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”
"Om... ini Itha dimana? Itha mau pulang, mau ketemu Mama sama Tante Lea." Sudah sekian kalinya Gaitha mengeluarkan kata-kata tersebut kepada Alvin, dan Alvin hanya diam saja seraya mengelus puncak kepala gadis kecil itu. Di lubuk hatinya, Alvin senang meski dulu ia mencampakan istri dan anaknya. Bahkan sosok Gaitha membuat hatinya tenang, wajah Gaitha begitu mirip dengan Latasha. Bahkan cara bicaranya pun sangat mirip dengan mantan istrinya itu, hanya warna mata dan rambut sedikit ikalnya yang mirip dengan Alvin. "Itha... Itha mau punya, Ayah?" Tanya Alvin lembut. Gaitha tampak berpikir, kemudian menjawab dengan polosnya, "Mau. Tapi Itha udah ada Ayah." "Siapa?" "Om." Alvin tampak bingung, "Om?" Gaitha mengangguk, "Om teman Mama, namanya Om Epan!" Seru bocah itu girang. Tatapan Alvin berubah menjadi dingin ketika nama Evan di sebutkan, tetapi Gaitha tidak menyadari itu yang membuatnya kembali normal. "Itha mau tau sesuatu?" "Apa?" Alvin beranjak dari duduknya, ia mengambil
Dengan langkah gontai, Evan berjalan cepat menuju tempat dimana wanita itu di rawat. Pikiran Evan sudah tidak bisa di kontrol lagi, satu yang akan Evan lakukan, menemukan Alvin kemudian membunuhnya. Setelah berada di lantai tiga, ia langsung menuju lorong yang di sana sudah terdapat empat bodyguard suruhan Evan di awal. Tanpa berkata lagi, Evan ingin mendobrak kamar inap Latasha dan hal itu di tahan oleh dua bodyguard lainnya. "Bos, Ibu Latasha masih di tangani. Dia habis melewati perawatan intens karena lukanya, bos." Evan menghempaskan tubuh kedua bodyguard itu sehingga mereka terjatuh di lantai. Belum sempat Evan bergerak, dua bodyguard lainnya menahan tubuh besar Evan agar tidak masuk keruangan tersebut. "Bos, tahan dulu. Masih ada dokter di dalam, kita belum boleh masuk." "Bangsat! Siapa yang berani ngatur gue!" Sentak Evan bersamaan ia mendorong kedua tubuh bodyguardnya. Napasnya memburu, wajahnya merah padam serta rahangnya mengeras, benar-benar menandakan betapa emosinya
"Rum, kok Latasha belum datan? Udah jam 8, loh." Kata Pak Rega ketika memasuki pantry. Rumi menoleh dengan wajah yang khawatir. Ia juga sudah beberapa kali menghubungi wanita itu tetapi belum ada jawaban. "Aku nggak tau, tumben banget Latasha nggak ada kabar kalau emang dia nggak masuk." "Apa dia sakit?" Rumi hanya menggeleng, "Latasha wanita kuat, meriang aja dia tetap masuk." "Kamu punya nomor kerabat Latasha?" Rumi menghela napas lesuh, "Nggak punya, Pak." "Tapi, Rumi jadi khawatir deh sama Latasha. Nggak biasanya dia kaya gini." Lanjut Rumi. "Tunggu sampai siang, mungkin memang benar Latasha sedang sakit dan belum sempat kabarin kita. Orang pertama yang ia kabari pasti saya." Jelas Pak Rega. Rumi hanya mengangguk saja, "Nanti setelah istirahat Rumi coba hubungi dia lagi." Pak Rega mengangguk setuju, "Kamu bikinkan teh hangat untuk Pak Evan, seharusnya ia suruh Latasha. Tapi dia belum datang jadi kamu aja sana." "Baik Pak." Sesampainya di ambang pintu ruangan Evan, Rumi
Setelah dari rumah Latasha, Evan langsung berlalu menuju mobilnya. Ia enggan untuk pulang dan justru mengikuti jejak Alvin yang sudah pergi beberapa menit yang lalu. Meski ia tidak yakin akan bertemu sosok Alvin, setidaknya jika Tuhan berkendak, ia ingin melihat Alvin dari jarak jauh saja sudah cukup. "Kemana bajingan itu pergi?!" Umpatnya kesal ketika mobilnya menyusuri jalanan berkelok dengan bebatuan. Sempat sulit bagi Evan mengendari mobilnya. Terakhir kali ia melihat Alvin, lelaki itu berbelok ke jalanan tersebut. Setelah setengah jam menyusuri jalanan bebatu, Evan mematikan mesin mobilnya ketika melihat gubuk kecil yang tak jauh dari pandangannya. Kedua matanya masih memantau pergerakan gubuk tersebut lantaran Evan yakin jika itu tempat persembunyian Alvin selama ini. Jarak pandang yang minim, membuat Evan mengambil ponselnya lalu mengarahkan kameranya kesana. Ia merekam dan mengzoom gubuk tersebut, detik berikutnya ia terperangah lantaran melihat sosok laki-laki yang sangat
Evan memijat keningnya, ia memikirkan cara agar Latasha mau mengikuti keinginannya. Tan sudah memberi usul untuk menyewa bodyguard khusus agar Alvin bisa terpantau, di tambah lagi mereka akan selalu mengawasi Latasha dan Gaitha. Hanya cara itu yang bisa Evan lakukan untuk saat ini. Setidaknya, sampai wanita itu mau berbicara lagi dengannya. Sepeninggal Latasha sore tadi, membuat Evan sedikit kelimpungan. Pasalnya wanita itu selalu berpamitan ketika ingin pulang, lain hal kali ini. Sama sekali ia tidak mengabari dirinya. Bahkan ketika berpapasan di lift Latasha berusaha menghindarinya. Sengaja Evan tidak memberitahu alasan mengapa mengajak Latasha tinggal di tempatnya. Lelaki itu mengira jika hubungannya sudah membaik dan wanitanya akan mau di ajak kemanapun. Tetapi, semua itu tidak mudah. Latasha tetaplah Latasha yang tidak suka merepotkan orang-orang sekitarnya. Evan beralih ke laptop di hadapannya. Saat ini ia sedang berada di apartementnya. Setelah menyelesaikan cuti dua harinya
Dua minggu telah berlalu semenjak menyelesaikan kasus Nayla. Kini kantor Gtama Group tengah mengadakan acara besar. Penyematan jabatan kepada Evan Farraz Geutama. Hari ini ia resmi menyandang gelar CEO menggantikan Oliver, sementara lelaki paru baya itu akan fokus untuk mengatur bisnis lainnya di luar perusahaan. Oliver akan lebih santai dan tidak terlalu sering pergi ke kantor untuk menjalankan bisnis yang selama ini ia besarkan. Evan sudah memimpin di perusahaannya, bisa di bilang Oliver akan pensiun dari tempat tersebut. Meski nama Oliver akan selalu tetap jadi utama di sana. "Selamat, Evan. Tepat hari ini kamulah CEO Gtama Group." Oliver menjabat tangan Evan dan memeluknya sesaat. Suara tepukkan memenuhi ruangan rapat yang luas itu."Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada saya." "Tentu, karena kamu sudah di takdirkan untuk meneruskan perusahaan ini." Oliver melepas jabatannya. Lalu mempersilakan Evan memberi sambutan serta misi visi pribadinya dalam menjalankan perusahaan
Bab 29 Esoknya pagi-pagi Evan di kejutkan dengan deretan email dari Oliver yang menyatakan bahwa pembersihan data tersebut telah berhasil. Di tambah lagi banyak kolega baru yang mengirim email ke Evan untuk mengajaknya kerja sama dalam hal berbisnis. Bukan itu saja, deretan spam email itu rata-rata memberitahu jika bisnis yang ia jalankan sebelumnya mendapat keuntungan yang melimpah. Kini Evan yakin jika tinggal beberapa langkah lagi Evan akan menyandang gelar CEO menggantikan Oliver. Lelaki itu menghela napas, mengatur sedikit napasnya dan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Kali pertamanya bagi Evan bangun di atas jam 7, ia meregangkan otot tangannya sesaat. Lalu beranjak dari ranjangnya, keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Sudah ada Erick yang tengah menyantap sarapannya dengan nikmat. Suasana hening kembali terasa di pagi hari. "Kemana orang-orang?" Evan bertanya setelah mencomot roti panggang yang tersisa satu. "Pergi ke Mars, capek
Tan, Evan, beberapa bodyguard serta ahli IT tengah berkumpul di sebuah ruangan yang bertepatan di Mansion milik Evan. Mansion tersebut berada di ujung kota dan tidak banyak orang yang tahu kecuali Tan dan para bodyguard mereka. Dengan sistem yang sudah di atur oleh Evan, membuat privasi ketika berada di Mansion tersebut akan selalu terjaga. Keluarga Gtama dan Nayla pun tak pernah tahu jika salah satu anak mereka memilik Mansion mewah di kota tersebut. Mansion itu juga akan menjadi tempat tinggal Evan bersama pasangannya nanti, tentu saja ia sudah memikirkan hidup dengan Latasha. Di bar khusus, para ahli IT sudah bersiap dengan alat perang mereka. Sudah saatnya semua kebocoran data akan di hapus untuk membuat reputasi Evan kembali membaik. Di tambah lagi ia akan memblokir semua akses dengan Nayla agar wanita jalang itu tidak bisa lagi untuk melacak tentang Evan. "Backinga-an Nayla apa udah meluncur kemari?" Tanya Tan di sela-sela keheningan. Evan menjawab setelah menuangkan minumanny
Lea masih berkutik dengan laptopnya ketika berada di perpustakaan kampus. Dengan sesekali melirik buku-buku tebal tentang administrasi, membuatnya kembali pusing mengingat sebentar lagi ia akan menghadapi ujian. Beberapa kali Lea menghela napas panjang, memegang perutnya yang terasa perih lantaran belum makan dari pagi. Lea menyandarkan punggungnya di kursi, sekilas melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sesaat gadis itu memejamkan matanya untuk sekedar menenangkan pikirian. Detik berikutnya Lea di kejutkan dengan kedatangan Erick ketika ia membuka matanya, cowok tengil itu sudah berada di hadapannya tengah duduk dengan paper bag cokelat di atas meja. "Ba-Erick...," Lea membenarkan posisi duduknya. Erick tidak langsung menjawab, ia mendorong paper bag di hadapannya kearah Lea. "Makan." "H-hah?" "Lo budeg?" Sindir Erick kejam. Lea meremas celana jeansnya, ia benar-bener heran dengan sikap Erick yang seperti ini tiba-tiba. "Lo tau dari mana gue belum makan?