Home / Romansa / My Peaches / 5. Mulai Menyesal?

Share

5. Mulai Menyesal?

Author: Shawty Ajeng
last update Last Updated: 2021-07-01 09:49:55

“Apakah kamu merindukan seseorang?”

Pertanyaan itu terniang-niang di kepala mungil Latasha, ia heran kenapa Evan bertanya seperti itu. Sesaat Evan pergi, wanita itu tidak berbicara lagi dan hanya menunduk. Tidak kuat menatap Evan terlalu lama. Sifat Evan semakin terlihat oleh Latasha jika lelaki itu sudah sedikit berubah, tidak kasar seperti dulu.

Ingatan delapan tahun lalu kembali muncul saat Evan beberapa kali sudah menampar Latasha karena masalah kecil. Evan yang dulu sangatlah sensetif dan hanya Latasha yang bisa bertahan cukup lama dengan lelaki mata elang itu. Berbanding terbalik dengan mantan-mantan Evan sebelumnya, belum genap sebulan mereka sudah meninggalkan Evan lantaran tidak kuat. Evan SMA egonya masih tinggi, tetapi ia terpilih jadi ketua osis karena kepintaran lelaki itu serta ide-ide brilian dalam mengembangkan kedisiplinan para siswa.

Tak heran Evan di pandang baik oleh guru-guru, tetapi di pandang buruk oleh teman-temannya karena attitude. Baik buruknya Evan di kesampingan dengan otaknya yang cerdas, sudah terbukti Oliver tidak main-main dalam mendidik anak, meski harus merasakan pahitnya.

“Hei, bengong aja pagi-pagi.” Rumi datang seraya  menyenggol bahu Latasha pelan.

“Rumi, kukira kamu udah datang duluan.”

“Gue nggak serajin lo juga, Ta.”

Latasha hanya tersenyum tipis, kemudian ia bergegas untuk mulai bekerja.

***

“Kak Evan!”

Suara menyebalkan itu datang dari balik pintu di ruangan Evan. Cowok itu masuk dengan santai tanpa menunggu jawaban dari Evan. Ia duduk di sofa milik Kakak keduanya itu. Ya, Erick Fernando Geutama, cowok itu hanya cengar-cengir tak jelas. Membuat Evan muak di pagi hari melihat tingkahnya.

“Mau apa?”

“Kenapa sudah dua hari ini Kakak nggak pulang?” 

“Sibuk.”

Erick memutar kedua bola matanya kesal, Evan salah satu anak yang jarang sekali pulang semenjak bekerja dan di karenakan ia sudah mempunyai apartemen. Jarak antara rumah dan kantor pun terbilang tidak terlalu jauh.

“Mama dan Lily rindu sama Kakak." jedanya, “Aku juga.”

Evan melirik tajam ke arah Erick yang sekarang sedang tersenyum tak jelas. Adik satu-satunya itu memang sudah bisa di tebak, tak pernah sekalipun Erick serius jika ia rindu dengan kakaknya. Melainkan ada sesuatu yang ingin ia pinta dari lelaki tersebut.

“Mau apa?”

Erick menggaruk belakang lehernya yang tak gatal, ia mulai sedikit salah tingkah saat Evan mengetahui maksud kedatangannya.

“Aku ingin laptop baru, Kak.”

Evan berdecak, “Ke mana laptop yang di beri ayah?”

“Ada, tapi aku sudah bosan. Lagi pula memorinya sudah full.”

“Buat apa?”

“Tugas kuliahku, Kak.”

Evan tersenyum devil, ia tak percaya jika Erick serajin itu.

“You're liar. Palingan penuh karena video dewasa.”

“Ng—nggaklah.”

“Yakin?”

“Ada sedikit. T-tapi aku mau laptop baru!” Kekeh Erick.

Evan hanya menggelengkan kepalanya, jika Oliver mengetahui tingkah Erick pasti lelaki tua itu tak segan-segan menghukum bocah itu dengan tidak memberi uang jajan selama tiga bulan. Evan pernah merasakan hal tersebut saat kuliah, bukan karena ia menyimpan video dewasa, melainkan Evan kedapatan bolos beberapa hari. Evan saat kuliah belum memiliki banyak uang, pertemanannya dengan Tan membuat dirinya sedikit terbantu untuk bisa mendapatkan uang jajan.

“Nggak semudah itu, bocah. Kamu harus dapatkan nilai A di semester ini. Baru Kakak belikan!”

“Kak, Evan…”

“Enough!”

Erick hanya mendesah pasrah. Evan kembali melanjutkan pekerjaannya sementara Erick memainkan ponselnya. Evan tahu jika Erick menghampirinya berarti sedang tidak ada kuliah. Meski Erick sedikit bandel, tetapi Evan bersi keras untuk tidak mengizinkan Erick bolos dalam kuliah. Erick anak terakhir dan satu-satunya harapan keluarga Geutama untuk meneruskan bisnis-bisnis Oliver kelak atau mungkin dengan pilihan hidup Erick sendiri ingin menjadi apa.

Selesai perdebatan kecil itu, Latasha masuk setelah Evan menyuruhnya. Dengan sedikit gugup, Latasha berjalan ke meja kerja Evan seraya membawa nampan berisi kopi. Tak menyadari kehadiran Erick di sana, bocah itu mulai sok kenal dengan Latasha.

“Wah! Ini karyawan baru, ya?” Erick menghampiri Latasha yang mulai terkejut dengan kehadirannya.

“I-iya.” jawab Latasha gugup.

“Cantik banget! Pasti Kak Evan betah, deh.”

“Berisik.” Evan mulai terganggu dengan Erick.

“Saya permisi dulu.” Latasha langsung pamit setelah menaruh secangkir kopi untuk Evan.

“Mba, aku juga mau! Tolong bikinkan aku teh aja, ya. Terus sam-“

“Erick!” Evan mulai tak mengerti dengan adiknya itu.

“Aku mau minum haus.”

“Ada kulkas di sini, ambil aja apa yang kamu mau! Lastasha kamu boleh pergi… Makasih kopinya.” Ada senyum tipis yang terukir di akhir katanya.

Latasha hanya mengangguk dan pergi. Jantungnya mulai berdebar tak karuan setiap kali Evan tersenyum kepadanya. Dulu Latasha merasakan hal yang sama, tetapi sekarang begitu berbeda. Latasha berpikir, apakah Evan sudah berubah dan merasa menyesal?

***

“Halo, iya kenapa Lea?”

“Kak Tata udah pulang? Kayanya gue nggak bisa jemput Gaitha di sekolah, lembur sampai malam.”

“Oh begitu, ya udah nggak apa-apa. Kakak udah mau pulang ko.”

“Oke, hati-hati, Kak.”

Percakapan di tutup. Latasha menaruh ponselnya lalu bergegas untuk pulang setelah menerima telepon dari Lea. Sesaat keluar dari pantry, Latasha berpapasan dengan Evan yang sedang memainkan ponselnya dengan serius. Evan sedikit terkejut melihat Latasha yang sudah ingin pulang.

“Mau ke mana?” tanya Evan dengan nada dingin. Seraya memasukan ponsel ke saku celana, Evan mulai menatap intens ke arah Latasha.

“Pulang. Sudah waktunya pulang.”

“Biar ku antar.”

Latasha terkejut. Dengan melihat status mereka Latasha takut jika ada salah satu orang kantor yang melihat. Memang tidak ada yang tahu jika mereka berdua dulunya sepasang kekasih.

“T-tapi nanti ka—“

“Nggak ada penolakan.”

“T-tapi, Van…”

“Tunggu aku di parkiran.”

Evan berlalu meninggalkan Latasha yang bengong sendirian di lorong kantor. Wanita itu menoleh kanan kirinya untuk memastikan tidak ada orang yang memperhatikan. Melihat sudah aman, ia langsung menuju parkiran sesuai intruksi Evan.

Sesampainya, Latasha tidak melihat Evan bahkan ia pun tidak tahu mobil Evan yang mana. Dulu saat sekolah, Evan selalu memakai mobil berwarna donker dengan merk apa pun. Mungkin saja sekarang selera lelaki itu sudah berubah, di lihat dari status dan keuangan Evan yang sangat baik.

Suara klakson membuyarkan lamunan Latasha, ia menoleh dan melihat Evan yang memberi isyarat agar masuk ke mobil. Latasha mengikuti, ia ragu ingin duduk di samping Evan. Tetapi lelaki itu sudah membukakan pintunya dari dalam.

“Ke mana?”

“Eng… aku mau jemput Gaitha dulu di sekolah.”

“Di mana?” tanya Evan lagi tanpa melirik Latasha.

Latasha langsung memberi alamat yang di tuju, Evan langsung melaju dengan kecepatan sedang.

Di perjalanan sesekali Latasha curi-curi pandang ke Evan. Tak percaya jika lelaki itu akan mengantarnya pulang. Keheningan menyelimuti mereka hingga panggilan telepon masuk ke ponsel Evan, itu dari Renatta. Tetapi tak di gubris oleh Evan.

“Evan…,” Latasha mulai memberanikan diri.

“Hm?”

“Terima kasih, udah mau antarkan aku pulang.”

“He-em.”

“Bagaimana kabarmu?”

“Seperti yang kamu lihat.”

“Jauh lebih baik.” Latasha tersenyum setelah mengatakan seperti itu. Ia tidak menyesali berpisah dengan Evan dulu, mungkin saja pertemuan ini akan menjadi pertemanan. Entahlah.

“Suamimu?”

Latasha sedikit terkejut. Ia belum siap untuk menceritakan hal itu kepada Evan, Latasha berpikir jika hal itu tidak penting kalau lelaki itu mengetahuinya. Kehidupan mereka sudah berbeda, setiap kali pertanyaan itu muncul, detik itu juga hati Latasha seperti di hantam oleh belati besar. Hancur jika mengingat hal pahit yang ia rasakan.

“Maaf Evan, aku—“

“Lupakan.”

Hening. Sisa perjalanan hanya di temani suara musik dari mobil Evan, hingga mereka sampai pada tujuan.

“Sampai sini aja nggak apa-apa, rumahku dekat-“

“Jemput anakmu dan kita pulang.” Potong Evan cepat. Tentu saja Latasha menurut dan keluar dari mobil, menghampiri Gaitha kemudian kembali masuk mobil.

“Mama, itu siapa?” Saat mobil melaju bocah itu berbisik kepada Latasha menanyakan tentang Evan.

“Ini…”

“Hai gadis kecil, aku Evan. Panggilnya Om Evan, ya.” balas Evan ramah sambil sesekali melirik Gaitha.

Bocah itu tersenyum, kemudian memperkenalkan diri dengan bangganya, “aku Itha, anak mama.”

“I know you.” balas Evan seraya tekekeh pelan.

Gaitha hanya tertawa yang padahal ia sendiri tidak mengerti Evan berbicara apa. Di perjalanan Gaitha mulai bercerita jika ia belajar berhitung dan membuat huruf alfabet. Latasha senang mendengar itu lantaran anaknya mendapatkan nilai bagus.

Evan yang melirik kebahagian kecil di sampingnya merasa ada sayatan kecil yang menyentuh hatinya. Entah apa itu, Evan sendiri belum bisa memastikan.

“Di sini, sudah sampai.”

Mobil Even berhenti, ia melihat kanannya setelah Latasha memberitahu jika ia tinggal di sana. Evan merasa pedih meski ia tetap memasang wajah datar. Terakhir kali ia menjalin hubungan dengan Latasha, wanita itu tinggal di tempat yang sangat layak. Jauh dengan sekarang. Evan bisa memastikan kehidupan Latasha sudah berubah 180 derajar setelah mereka pisah.

“Telima kasih, Om.”

“Terima kasih, Evan. Hati-hati.”

Evan hanya mengangguk dan melambaikan tangan kepada Gaitha sambil tersenyum. Keduanya masuk dan menghilang di balik pintu. Ada rasa yang harus di bayar oleh Evan, tetapi tidak tahu cara untuk melunasinya.

“Maafkan aku, Latasha.” ucapnya pelan meski ia tahu jika Latasha tidak akan mendengarnya.

Related chapters

  • My Peaches   6. Resah Jadi Luka

    “Itha langsung ke kamar mandi, ya.” “Mama, tadi om cakep. Milip sama temen iItha.” Ucapan bocah itu sontak membuat Latasha terkejut. Ia hanya tersenyum dan menyuruh Gaitha untuk segera ke kamar mandi. Dari balik jendela, Latasha masih memperhatikan mobil donker itu diam di depan rumahnya. Merasa ada kepingan hati yang tak boleh pergi, Latasha tersenyum tipis tanpa ia sadari. Kesakitan yang ia rasakan dulu seperti sudah terhapus dengan sedikit perubahan Evan meski tanpa sentuhan. Sekali lagi, Latasha mencoba menyadarkan dirinya. “Kalian udah beda status! Stop it, Ta!” *** Di perjalanan Evan menelpon Tan, sebagai orang yang sudah pernah menikah, mungkin Tan tahu alasan-alasan apa yang membuat dua sejoli memutuskan untuk bercerai. Maklum saja, Evan belum memikirkan untuk menikah, sudah menikmati tubuh be

    Last Updated : 2021-07-11
  • My Peaches   7. Deserve You

    Latasha terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding dengan panik saat jarum itu menunjukkan pukul delapan pagi. “Astaga!” Latasha langsung bersiap diri dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan ucapan pagi dari Gaitha. Lea yang menyadari itu merasa aneh melihat Latasha hampir terjatuh saat masuk ke kamar mandi. Niat ingin bertanya, hal itu Lea urungkan saat Gaitha merengek meminta sarapannya.“Sebentar, bocah. Nanti Tante Lea antar ke depan, ya.”Setengah jam sudah berlalu Lea langsung bertanya kepada Latasha saat keluar dari kamar mandi. “Kak Tata kesurupan apa pagi-pagi?”Latasha mengerutkan kening, “Lea! Kamu nggak bangunin Kakak, ya. Kakak telat masuk kerja!”“Hah? Sekaran

    Last Updated : 2021-07-23
  • My Peaches   8. Don’t You

    Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya. “Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya. “Kenapa sayang?” “Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu. Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf. “Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha. Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya. Latasha

    Last Updated : 2021-08-20
  • My Peaches   9. First Kiss

    Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r

    Last Updated : 2021-09-03
  • My Peaches   10. Finally

    Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”

    Last Updated : 2021-09-08
  • My Peaches   11. Lea

    Lea terdiam di sebuah ruangan serba abu-abu dengan mata menahan tangis. Tak hanya dia, beberapa orang di sana juga sedang gelidah menunggu seseorang yang sebentar lagi akan datang untuk memberi berita. Entah apa itu, yang jelas nasib meraka yang di ruang tersebut sedang di ujung tanduk.“Le,” panggil seorang cowok klimis di samping Lea.“Ngapa?”“Bagaimana, ya, Le?”Lea masih belum mau menatap siapapun, ia hanya tertunduk seraya memainkan jari-jarinya, “Apaan, sih? Nggak jelas banget lo.”“Nasib kita. Gue sedih, nanti buat pulang kampung bagaimana kalau kita semua di pecat.”Ya. Permasalahan seorang k

    Last Updated : 2021-10-09
  • My Peaches   12. Secangkir kopi

    Senin. Hari di mana semua aktifitas bermula. Semua kerjaan dari hari ke hari menumpuk di hari tersebut. Lagi-lagi Evan di tegur oleh Oliver untuk segera menyelesaikan proyek cafe baru yang tengah ia kerjakan. Tetapi bukan Evan namanya jika tidak punya ide B. Diam-diam proyek itu sudah selesai berkat bantuan tangan kanannya Evan, Renatta dan dua orang karyawan terpercayanya. Bukan Evan malas, lantaran ia juga memiliki bisnis sendiri di luar perusahaan Gtama Group itu. Cuan yang Evan incar sampai-sampai beberapa hari lalu ia melewatkan kunjungannya ke proyek cafe tersebut.“Bagaimana? Lusa kita siap buka cafe baru itu?” Pertanyaan serius itu mengarah kepada Renatta.“Siap, Pak. Semua karyawan baru juga sudah saya rekrut, tetapi masih kurang satu karyawan wanita lagi.”

    Last Updated : 2021-10-16
  • My Peaches   13. Needed

    "Aku membutuhkan ini, Latasha.” Napas Latasha seketika berhenti, ia tidak tahu harus berbuat apa. Takut jika ada salah satu karyawan yang mengetahui perbuatan mereka, pasti Latasha lah yang akan di cap buruk. Akan di cap wanita murahan atau penggoda. Mana ada yang percaya bukan jika Latasha dan Evan dulunya pernah kenal? Bahkan Oliver sendiri pun tidak pernah tahu jika anaknya pernah pacaran atau tidak.Latasha melepaskan pelukan Evan, ada desiran kecewa yang Evan rasakan tetapi ia masih bisa bersikap biasa saja.“Maaf, Van… t-tapi ini kantor. Aku takut kalau—-““Oke. Kamu boleh keluar dari ruangan saya.”Latasha menghel napas, tidak begitu terkejut melihat Evan yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Evan yang sekarang memang tid

    Last Updated : 2021-12-24

Latest chapter

  • My Peaches   35. Ayah

    "Om... ini Itha dimana? Itha mau pulang, mau ketemu Mama sama Tante Lea." Sudah sekian kalinya Gaitha mengeluarkan kata-kata tersebut kepada Alvin, dan Alvin hanya diam saja seraya mengelus puncak kepala gadis kecil itu. Di lubuk hatinya, Alvin senang meski dulu ia mencampakan istri dan anaknya. Bahkan sosok Gaitha membuat hatinya tenang, wajah Gaitha begitu mirip dengan Latasha. Bahkan cara bicaranya pun sangat mirip dengan mantan istrinya itu, hanya warna mata dan rambut sedikit ikalnya yang mirip dengan Alvin. "Itha... Itha mau punya, Ayah?" Tanya Alvin lembut. Gaitha tampak berpikir, kemudian menjawab dengan polosnya, "Mau. Tapi Itha udah ada Ayah." "Siapa?" "Om." Alvin tampak bingung, "Om?" Gaitha mengangguk, "Om teman Mama, namanya Om Epan!" Seru bocah itu girang. Tatapan Alvin berubah menjadi dingin ketika nama Evan di sebutkan, tetapi Gaitha tidak menyadari itu yang membuatnya kembali normal. "Itha mau tau sesuatu?" "Apa?" Alvin beranjak dari duduknya, ia mengambil

  • My Peaches   34. Sebuah Kabar (2)

    Dengan langkah gontai, Evan berjalan cepat menuju tempat dimana wanita itu di rawat. Pikiran Evan sudah tidak bisa di kontrol lagi, satu yang akan Evan lakukan, menemukan Alvin kemudian membunuhnya. Setelah berada di lantai tiga, ia langsung menuju lorong yang di sana sudah terdapat empat bodyguard suruhan Evan di awal. Tanpa berkata lagi, Evan ingin mendobrak kamar inap Latasha dan hal itu di tahan oleh dua bodyguard lainnya. "Bos, Ibu Latasha masih di tangani. Dia habis melewati perawatan intens karena lukanya, bos." Evan menghempaskan tubuh kedua bodyguard itu sehingga mereka terjatuh di lantai. Belum sempat Evan bergerak, dua bodyguard lainnya menahan tubuh besar Evan agar tidak masuk keruangan tersebut. "Bos, tahan dulu. Masih ada dokter di dalam, kita belum boleh masuk." "Bangsat! Siapa yang berani ngatur gue!" Sentak Evan bersamaan ia mendorong kedua tubuh bodyguardnya. Napasnya memburu, wajahnya merah padam serta rahangnya mengeras, benar-benar menandakan betapa emosinya

  • My Peaches   33. Sebuah Kabar

    "Rum, kok Latasha belum datan? Udah jam 8, loh." Kata Pak Rega ketika memasuki pantry. Rumi menoleh dengan wajah yang khawatir. Ia juga sudah beberapa kali menghubungi wanita itu tetapi belum ada jawaban. "Aku nggak tau, tumben banget Latasha nggak ada kabar kalau emang dia nggak masuk." "Apa dia sakit?" Rumi hanya menggeleng, "Latasha wanita kuat, meriang aja dia tetap masuk." "Kamu punya nomor kerabat Latasha?" Rumi menghela napas lesuh, "Nggak punya, Pak." "Tapi, Rumi jadi khawatir deh sama Latasha. Nggak biasanya dia kaya gini." Lanjut Rumi. "Tunggu sampai siang, mungkin memang benar Latasha sedang sakit dan belum sempat kabarin kita. Orang pertama yang ia kabari pasti saya." Jelas Pak Rega. Rumi hanya mengangguk saja, "Nanti setelah istirahat Rumi coba hubungi dia lagi." Pak Rega mengangguk setuju, "Kamu bikinkan teh hangat untuk Pak Evan, seharusnya ia suruh Latasha. Tapi dia belum datang jadi kamu aja sana." "Baik Pak." Sesampainya di ambang pintu ruangan Evan, Rumi

  • My Peaches   32. Penelusuran

    Setelah dari rumah Latasha, Evan langsung berlalu menuju mobilnya. Ia enggan untuk pulang dan justru mengikuti jejak Alvin yang sudah pergi beberapa menit yang lalu. Meski ia tidak yakin akan bertemu sosok Alvin, setidaknya jika Tuhan berkendak, ia ingin melihat Alvin dari jarak jauh saja sudah cukup. "Kemana bajingan itu pergi?!" Umpatnya kesal ketika mobilnya menyusuri jalanan berkelok dengan bebatuan. Sempat sulit bagi Evan mengendari mobilnya. Terakhir kali ia melihat Alvin, lelaki itu berbelok ke jalanan tersebut. Setelah setengah jam menyusuri jalanan bebatu, Evan mematikan mesin mobilnya ketika melihat gubuk kecil yang tak jauh dari pandangannya. Kedua matanya masih memantau pergerakan gubuk tersebut lantaran Evan yakin jika itu tempat persembunyian Alvin selama ini. Jarak pandang yang minim, membuat Evan mengambil ponselnya lalu mengarahkan kameranya kesana. Ia merekam dan mengzoom gubuk tersebut, detik berikutnya ia terperangah lantaran melihat sosok laki-laki yang sangat

  • My Peaches   31. He's Come Back

    Evan memijat keningnya, ia memikirkan cara agar Latasha mau mengikuti keinginannya. Tan sudah memberi usul untuk menyewa bodyguard khusus agar Alvin bisa terpantau, di tambah lagi mereka akan selalu mengawasi Latasha dan Gaitha. Hanya cara itu yang bisa Evan lakukan untuk saat ini. Setidaknya, sampai wanita itu mau berbicara lagi dengannya. Sepeninggal Latasha sore tadi, membuat Evan sedikit kelimpungan. Pasalnya wanita itu selalu berpamitan ketika ingin pulang, lain hal kali ini. Sama sekali ia tidak mengabari dirinya. Bahkan ketika berpapasan di lift Latasha berusaha menghindarinya. Sengaja Evan tidak memberitahu alasan mengapa mengajak Latasha tinggal di tempatnya. Lelaki itu mengira jika hubungannya sudah membaik dan wanitanya akan mau di ajak kemanapun. Tetapi, semua itu tidak mudah. Latasha tetaplah Latasha yang tidak suka merepotkan orang-orang sekitarnya. Evan beralih ke laptop di hadapannya. Saat ini ia sedang berada di apartementnya. Setelah menyelesaikan cuti dua harinya

  • My Peaches   30. Please.

    Dua minggu telah berlalu semenjak menyelesaikan kasus Nayla. Kini kantor Gtama Group tengah mengadakan acara besar. Penyematan jabatan kepada Evan Farraz Geutama. Hari ini ia resmi menyandang gelar CEO menggantikan Oliver, sementara lelaki paru baya itu akan fokus untuk mengatur bisnis lainnya di luar perusahaan. Oliver akan lebih santai dan tidak terlalu sering pergi ke kantor untuk menjalankan bisnis yang selama ini ia besarkan. Evan sudah memimpin di perusahaannya, bisa di bilang Oliver akan pensiun dari tempat tersebut. Meski nama Oliver akan selalu tetap jadi utama di sana. "Selamat, Evan. Tepat hari ini kamulah CEO Gtama Group." Oliver menjabat tangan Evan dan memeluknya sesaat. Suara tepukkan memenuhi ruangan rapat yang luas itu."Terima kasih atas kepercayaan Anda kepada saya." "Tentu, karena kamu sudah di takdirkan untuk meneruskan perusahaan ini." Oliver melepas jabatannya. Lalu mempersilakan Evan memberi sambutan serta misi visi pribadinya dalam menjalankan perusahaan

  • My Peaches   29. Feeling

    Bab 29 Esoknya pagi-pagi Evan di kejutkan dengan deretan email dari Oliver yang menyatakan bahwa pembersihan data tersebut telah berhasil. Di tambah lagi banyak kolega baru yang mengirim email ke Evan untuk mengajaknya kerja sama dalam hal berbisnis. Bukan itu saja, deretan spam email itu rata-rata memberitahu jika bisnis yang ia jalankan sebelumnya mendapat keuntungan yang melimpah. Kini Evan yakin jika tinggal beberapa langkah lagi Evan akan menyandang gelar CEO menggantikan Oliver. Lelaki itu menghela napas, mengatur sedikit napasnya dan melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 8 pagi. Kali pertamanya bagi Evan bangun di atas jam 7, ia meregangkan otot tangannya sesaat. Lalu beranjak dari ranjangnya, keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Sudah ada Erick yang tengah menyantap sarapannya dengan nikmat. Suasana hening kembali terasa di pagi hari. "Kemana orang-orang?" Evan bertanya setelah mencomot roti panggang yang tersisa satu. "Pergi ke Mars, capek

  • My Peaches   28. Good Night

    Tan, Evan, beberapa bodyguard serta ahli IT tengah berkumpul di sebuah ruangan yang bertepatan di Mansion milik Evan. Mansion tersebut berada di ujung kota dan tidak banyak orang yang tahu kecuali Tan dan para bodyguard mereka. Dengan sistem yang sudah di atur oleh Evan, membuat privasi ketika berada di Mansion tersebut akan selalu terjaga. Keluarga Gtama dan Nayla pun tak pernah tahu jika salah satu anak mereka memilik Mansion mewah di kota tersebut. Mansion itu juga akan menjadi tempat tinggal Evan bersama pasangannya nanti, tentu saja ia sudah memikirkan hidup dengan Latasha. Di bar khusus, para ahli IT sudah bersiap dengan alat perang mereka. Sudah saatnya semua kebocoran data akan di hapus untuk membuat reputasi Evan kembali membaik. Di tambah lagi ia akan memblokir semua akses dengan Nayla agar wanita jalang itu tidak bisa lagi untuk melacak tentang Evan. "Backinga-an Nayla apa udah meluncur kemari?" Tanya Tan di sela-sela keheningan. Evan menjawab setelah menuangkan minumanny

  • My Peaches   27. Kenyataan

    Lea masih berkutik dengan laptopnya ketika berada di perpustakaan kampus. Dengan sesekali melirik buku-buku tebal tentang administrasi, membuatnya kembali pusing mengingat sebentar lagi ia akan menghadapi ujian. Beberapa kali Lea menghela napas panjang, memegang perutnya yang terasa perih lantaran belum makan dari pagi. Lea menyandarkan punggungnya di kursi, sekilas melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sesaat gadis itu memejamkan matanya untuk sekedar menenangkan pikirian. Detik berikutnya Lea di kejutkan dengan kedatangan Erick ketika ia membuka matanya, cowok tengil itu sudah berada di hadapannya tengah duduk dengan paper bag cokelat di atas meja. "Ba-Erick...," Lea membenarkan posisi duduknya. Erick tidak langsung menjawab, ia mendorong paper bag di hadapannya kearah Lea. "Makan." "H-hah?" "Lo budeg?" Sindir Erick kejam. Lea meremas celana jeansnya, ia benar-bener heran dengan sikap Erick yang seperti ini tiba-tiba. "Lo tau dari mana gue belum makan?

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status