Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya.
“Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya.
“Kenapa sayang?”
“Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu.
Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf.
“Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha.
Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya.
Latasha kembali terkekeh, ia mengambil kantong plastik kecil dan memberinya kepada Gaitha, “Mama nggak lupa dong sama pesanan, Itha. Nanti makan berdua sama Tante Lea, ya?”
Gaitha mengangguk, “Tante di kamal.”
Latasha hanya mengangguk dan kembali membereskan belanjaannya setelah melihat Gaitha duduk di ruang tamu dengan tenang.
“Iya, Ma.”
“….”
“Ya… nanti deh, Lea pikirin. Perjalanan Lea masih panjang.”
“….”
“Udah dulu ya, Lea mau mandi.”
Percakapan di putus. Lea yang menyadari Latasha langsung menuju dapur. Kemudian membantu wanita itu memasak.
“Dari siapa?”
“Mama.”
“Kok Lea kaya nggak semangat gitu.”
“Ya gimana nggak semangat, mama selalu nanyain tentang hubungan aku dan Mas Rian.”
Latasha tersenyum, ia mengelus pundak Lea lembut seakan memberi kekuatan pada gadis itu. Beberapa detik hening Lea seakan mengingat sesuatu.
“Kak Tata, tumben pulang dari pasarnya cepet?”
“Eng… itu, tadi…,”
“Apa?”
“Kakak ketemu sama Evan.”
Lea terkejut. Di saat itu juga Latasha menjelaskan semua kejadian barusan yang ia alami. Sesak di dada masih teras mengingat Evan terus bertanya tentang mantan suaminya itu. Lea sempat emosi, tetapi di tahan oleh Latasha karena takut Gaitha mendengar.
“Kakak, udah move on, kan?”
Latasha terdiam. Wanita itu seakan belum menyadari apakah dirinya sudah bisa melupakan Evan atau bahkan tidak bisa melupakan lelaki itu. Memori seakan bergerumbul dalam hidupnya.
***
“Fuck!!”
“Arrhhh!!!”
Erangan kenikmatana itu keluar dari mulut wanita berambut pirang yang langsung melemas di dinding ruangan. Lelaki yang baru saja mengeluarkan cairannya ikutan lemas seraya memeluk sang wanita dari belakang. Kegiatan sambil berdiri itu masih di kelilingi dengan napas memburu dari keduanya.
“Mau lagi?” tanya sang lelaki.
Wanita pirang itu tersenyum mesum yang setelahnya ia mengangguk. Seringai devil itu terlukis di wajah lelakinya setelah ia menuntun sang wanita ke atas ranjangnya, mendorong sedikit kasar hingga terjatuh ke lembah kenikmatan.
“Punyamu masih keras ternyata.”
“Sure!”
Lelaki itu langsung memasukan kembali kejantanannya dan bermain dengan tempo lebih cepat. Tidak ada setengah jam keduanya mulai kembali lemas setelah mencapai klimaksnya. Napas memburu itu masih mengeliling kamar apartment milik sang lelaki.
“Sebaiknya kamu bebersih dan pergi dari sini.”
“Ck, tak bisakan Evan aku menginap di sini?”
Evan, menoleh ke sang wanita dengan pandang datar, “Ini tempatku, aku berhak untuk melakukan apapun.”
Setelah berdebat wanita pirang itu merapikan dirinya dan tak lupa meminta bayaran dua kali lipat karena mereka sudah bermain dua ronde untuk malam ini. Evan yang sedikit kesal langsung memberi berlembar-lembar uang ratusan dengan melemparnya ke sang wanita. Itu adalah hal yang Evan suka saat memberi tip kepada ‘pekerjanya’.
Malam itu, Evan masih terbaring di atas ranjang king sizenya setelah semuanya beres. Aktifitas berbuah dosa yang entah sampai kapan ia lakukan itu adalah sebuah pelampiasan nafsu semata karena kekesalahnnya di hari ini. Ia heran dengan Latasha yang sekarang, bisa lebih pintar untuk menghindar dari dirinya, tidak seperti dulu.
Apa mungkin Evan benar-benar ingin mengubah semuanya? Ingin menulis kembali semuanya dari awal tanpa ada kesedihan bahkan kesakitan untuk sekarang?
Evan belum menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Ia masih bimbang dengan perubahan kehidupan yang ia lihat, di tambah dengan nafsu bejadnya yang entah kapan kunjung usai.
***
“Bagaimana progress proyek kita?” Suara lantang Oliver menggema di ruangan meeting. Semua hampir menunggu jawaban dari seseorang yang ditunjuk Oliver, tetapi orang yang di tunjuk hanya diam seraya memutar-mutar pulpennya di atas meja.
Oliver yang menyadari itu, melirik karyawan lain dengan pandangam bertanya, sementara mereka hanya mengangkat bahu tanda tidak tahu.
Oliver menghela napas, hingga nama anak konglomerat itu terpanggil, “Evan Farraz Geutama!”
Semua tersentak, tak terkecuali Evan yang hampir lompat dari kursinya. Pulpen yang ia putar-putat untuk menemani kegiatan melamunnya hampir terjatuh ke lantai.
“Y-ya?”
“Kamu bisa serius? Saya dari tadi nanya tentang proyek baru, kenapa kamu melamun? Apa proyek yang saya tugaskan ke kamu sangat berat untuk di jalankan?!” Nada bicara Oliver kali ini tidak main-main, lelaki paru baya itu tidak suka ada yang tidak serius dalam rapat apapun.
“Maaf, Pak. Untuk proyek itu sudah hampir 40% dalam masa pengerjaannya.”
“Saya ingin kurang dari sebulan proyek itu sudah selesai, kedai yang di buat tidak besar. Jadi saya mau kabulkan itu!”
Evan hanya mengangguk, pembahasan selanjutnya Evan tidak terlalu menyimak. Pemikirannya selalu menuju ke satu nama. Ya, Latasha Feidonna. Wanita yang kembali hadir di waktu yang tidak di inginkan, tetapi ada hal yang ingin di ubah.
Setelah hampir dua jam, meeting itu pun selesai dengan muka lesuh para karyawan yang menerima tambahan kerjaan dari Oliver. Kali ini Oliver sudah menahan tangan Evan untuk tidak pergi dulu.
“Ayah mau bicara.”
“Maaf, Ayah, aku masih ada kerjaan.”
“Kerjaanmu hanya melamun.”
“Sorry, tapi aku harus ke ruangan, Ayah. Masih ada kerjaan, please.”
Oliver manatap Evan dengan sebentar, lalu membiarkan anak laku-lakinya itu pergi. Evan menganggukkan kepala mengisyaratkan tanpa terima kasih, kemudian ia langsung berlalu dari ruangan meeting itu.
Sesampainya, Evan di kejutkan oleh Latasha yang sedang merapikan meja kerjanya. Lelaki itu sampai lupa jika jadwal Latasha untuk membersihkan ruangannya.
Evan berdeham membuat Latasha terkejut.
“M-maaf, karena tadi bapak sedang rapat jadi saya langsung ma—“
“Nggak masalah. Selama itu kamu yang masuk.” Evan memotong ucapan Latasha yang membuat wanita itu terdiam.
Latasha hanya mengangguk, ia melanjutkan kegiatannya dengan Evan yang masih berdiam diri seraya menatap Latasha dengan pandangan yang sulit di baca. Semenit kemudian ia menghampiri Latasha untuk menanyakan hal yang sudah menyelimuti pikirannya akhir-akhir ini.
“Kenapa kamu berubah?” Pertanyaan itu sukses membuat Latasha terdiam lagi. Ia bahkan tidak paham dengan pertanyaan Evan.
Evan yang sudah gemas dengan kepolosan Latasha mulai mendekatinya seraya menggenggam lengan wanita itu dengan kuat.
“Jawab Latasha.”
Latasha berusaha menelan ludahnya dengan susah payah, ia benar-benar sulit bernapas saat wajah Evan begitu dekat dengannya, “Evan…,”
“Kenapa?”
“Maaf, aku…,”
“Jawab Latasha!”
“Apa hak kamu?”
Evan diam, rahangnya mengeras. Tak pernah ia menerima penolakan bahkan balasan seperti itu. Seketika Evan lebih mendekatkan jarak antara mereka, membuat hembusan napas satu sama lain saling mengenai kulit masing-masing.
“Aku ingin merubah semuanya,” kata Evan dengan nada datar tetapi tersimpan penekanan di sana.
Latasha mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia memberanikan diri untuk membuka suaranya, “Jika ada hal lain yang ingin kamu perjuangkan, silahkan. Tetapi jika itu hanya sebatas permintaan maaf, jangan di paksa. Aku udah memaafkanmu Evan.”
Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r
Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”
Lea terdiam di sebuah ruangan serba abu-abu dengan mata menahan tangis. Tak hanya dia, beberapa orang di sana juga sedang gelidah menunggu seseorang yang sebentar lagi akan datang untuk memberi berita. Entah apa itu, yang jelas nasib meraka yang di ruang tersebut sedang di ujung tanduk.“Le,” panggil seorang cowok klimis di samping Lea.“Ngapa?”“Bagaimana, ya, Le?”Lea masih belum mau menatap siapapun, ia hanya tertunduk seraya memainkan jari-jarinya, “Apaan, sih? Nggak jelas banget lo.”“Nasib kita. Gue sedih, nanti buat pulang kampung bagaimana kalau kita semua di pecat.”Ya. Permasalahan seorang k
Senin. Hari di mana semua aktifitas bermula. Semua kerjaan dari hari ke hari menumpuk di hari tersebut. Lagi-lagi Evan di tegur oleh Oliver untuk segera menyelesaikan proyek cafe baru yang tengah ia kerjakan. Tetapi bukan Evan namanya jika tidak punya ide B. Diam-diam proyek itu sudah selesai berkat bantuan tangan kanannya Evan, Renatta dan dua orang karyawan terpercayanya. Bukan Evan malas, lantaran ia juga memiliki bisnis sendiri di luar perusahaan Gtama Group itu. Cuan yang Evan incar sampai-sampai beberapa hari lalu ia melewatkan kunjungannya ke proyek cafe tersebut.“Bagaimana? Lusa kita siap buka cafe baru itu?” Pertanyaan serius itu mengarah kepada Renatta.“Siap, Pak. Semua karyawan baru juga sudah saya rekrut, tetapi masih kurang satu karyawan wanita lagi.”
"Aku membutuhkan ini, Latasha.” Napas Latasha seketika berhenti, ia tidak tahu harus berbuat apa. Takut jika ada salah satu karyawan yang mengetahui perbuatan mereka, pasti Latasha lah yang akan di cap buruk. Akan di cap wanita murahan atau penggoda. Mana ada yang percaya bukan jika Latasha dan Evan dulunya pernah kenal? Bahkan Oliver sendiri pun tidak pernah tahu jika anaknya pernah pacaran atau tidak.Latasha melepaskan pelukan Evan, ada desiran kecewa yang Evan rasakan tetapi ia masih bisa bersikap biasa saja.“Maaf, Van… t-tapi ini kantor. Aku takut kalau—-““Oke. Kamu boleh keluar dari ruangan saya.”Latasha menghel napas, tidak begitu terkejut melihat Evan yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Evan yang sekarang memang tid
Setelah kegiatan diam-diam itu akhirnya makan malam yang Latasha buat telah siap. Sebelumnya ia sudah menyuruh Evan untuk pulang saja, wanita itu merasa tidak pantas memberi hidangan yang amat sederhana kepada anak konglomerat seperti Evan, di tambah rumah kecil Latasha tidak memiliki meja dan kursi makan, yang membuat mereka harus duduk lesehan beralas permadani yang mulai lusuh. Tetapi Evan tetaplah Evan, apa yang dia mau harus terlaksanakan. Mungkin selagi itu masih Latasha oranganya, lelaki tampan itu tidak akan mempermasalahkan.“Makanan ini enak, seumur-umur aku baru coba masakan kamu,” komentar Evan saat melahap sayurnya.Gaitha yang di sampingnya tersenyum girang mendengar komentar Evan. Ia memahami kalau Evan sedang memuji mamanya.“Mama masaknya enak, Itha suka bawa sekolah,” sahut bocah itu.
"Bolehkah kita memulai dari awal lagi?”Latasha tidak bisa berkutik jika tubuhnya sudah dalam pelukan Evan. Tetapi karena ini adalah kantor, wanita itu mencoba untuk melepaskannya dengan lembut.Ada rasa kecewa di mata Evan, tetapi ia masih pandai menyembunyikan hal itu. Beberapa detik setelahnya lelaki itu langsung menyodorkan ciuman ke leher putih Latasha. Sontak wanita itu menghindar yang membuat Evan lagi-lagi kecewa, hanya tawa renyah yang menjadi pengganti susana.“M-maaf Evan, tapi ini kantor aku takut kal—““Ya, aku paham. Sorry.”“Aku permisi dulu.”“Wait, kamu belum jawab pertanyaan aku.”Latasha m
Latasha berusaha memenuhi janji Evan. Mungkin tidak ada salahnya untuk bisa memulai dari awal bagu kedua sejoli itu. Evan merasa yakin jika dirinya masih mencintai Latasha, hanya saja terhalang oleh rasa bersalah dan kehidupan Evan yang bebas. Membuat dirinya sulit untuk memilih.Satu sisi, Evan belum bisa meninggalkan dunia malamnya bersama Tan dan para wanita yang pernah ia tidurinya. Tetapi dengan Latasha, lelaki itu seperti tidak mau pisah untuk kedua kalinya. Sayangnya, Latasha masih belum tahu kehidupan Evan yang sebenarnya.“Evan, kita mau kemana? Aku nggak mau Gaitha nungguin aku lagi.”“Santai Latasha, aku udah memikirkan tentang anakmu. Dia akan baik-baik aja.”“Maksudnya? Aku nggak mau telat lagi