Esoknya, hari pertama pekerjaan yang di lakukan oleh Latasha tidak begitu berat seperti di tempat kerja lamanya. Banyak hal-hal baru yang tidak ia lakukan sebelumnya, lebih banyak keluar masuk ke ruangan Oliver. Benar apa kata Renatta, jika pekerjaan wanita itu menjadi Office Girl pribadi Oliver. Latasha sendiri banyak memiliki teman baru yang sebaya dengan dirinya. Tak susah untuk Latasha bertukar cerita.
Evan sendiri terkejut bila pertemuan dengan Latasha begitu tak terduga. Dulu, saat SMA, Evan menjadi incaran banyak gadis di sana. Tetapi Evan memilih Latasha yang kuper. Bahkan setelah dua tahun kelulusan, Latasha saja yang tidak hadir di acara reuni. Evan tidak bisa mengekpresikan dirinya saat bertemu Latasha. Ia kikuk dan memilih pergi dari ruangan Oliver. Sesampai di ruangannya, Evan terduduk lemas lantaran masih tidak percaya jika seorang Latasha dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Aura kelembutan yang ia miliki masih terpancar hingga saat ini. Evan penasaran, seperti apa wujud anak dari Latasha. Apa persis sepertinya Ibunya?
“Pak Evan....” Seseorang mengetuk pintu, membuat Evan terkejut sesaat.
“Masuk.”
Renatta. Wanita itu masuk seraya membawa berkas di tangannya. Evan melirik yang sebelumnya telah memperbaiki sikapnya seperti biasa, dingin dan tidak mau banyak berbicara.
“Ini Pak, berkas dari cabang Bekasi, perihal kenaikan omset di beberapa bulan terakhir ini. Kata Pak Oliver, di beberapa tempat Bekasi barat akan segera di urus pembukaan cafe baru. Pak Evan sendiri yang akan mengaturnya.” Jelas Renatta.
“Saya?”
Renatta mengangguk pelan.
“Kebiasaan.”
“Saya permisi dulu, Pak.” Renatta pamit setalah menaruh berkas di meja kera Evan.
Oliver memang senang jika bisnis cafenya melesat pesat. Kenaikan omset dari beberapa cabang tidak main-main, bahkan marginnya pun selalu naik dari tahun ke tahun. Tak heran juga jika Oliver semakin giat mendirikan cafe di berbagai tempat. Isu-isu Oliver sendiri ingin mendirikan cafenya di tetangga sebelah, Malaysia. Tentunya yang akan mengatur lapangan adalah Evan, membuat lelaki berumur 27 tahun itu pusing karena harus memikirkan tempat mana yang strategis untuk membangun usaha. Ayahnya tak suka jika tempat cafenya di bangun di sembarang tempat, tidak strategis serta tidak menghasilkan omset yang melejit.
Evan kembali merebahkan badan besarnya di kursi, ia merasa lelah akhir-akhir ini. Membuat mood nya hancur dan perlarian untuknya adalah club malam, mencurahkan segala keluh kesah kepada sebotol wine dengan aroma kupu-kupu malam.
Evan mengambil ponselnya, mencari nama Tan di sana.
“Tan,”
“Hi, bro? What’s up?”“Siapkan gue tempat paling nyaman.”
Ada suara tawa di seberang sana, “Seperti biasa, club gue malam ini milik lo.”
“Thanks.”
Percakapan tertutup. Evan menghela napas beratnya. Kecanduannya dengan alkohol atau semacamnya bermula sejak kuliah. Ia menyalurkan stressnya kepada minuman haram itu, meski Evan sendiri tahu jika itu tidak baik. Ia selalu membatasi minumnya supaya tidak terlihat mabuk berat saat pulang. Ellena sudah mengoce saat mendapati Evan terbaring di atas ranjangnya dengan masih memakai jas lengkap miliknya. Ellena tahu, kebiasaan adiknya saat seperti itu adalah habis mabuk.
Tok... Tok...
Ketukan pintu membuat Evan lagi-lagi terkejut. Tanpa mengubah posisi duduknya ia mempersilahkan siapa pun orang di balik pintu itu untuk masuk.
“P-permisi, P-pak....”
Evan menoleh mendengar suara yang sangat di kenalnya. Ya, Latasha. Wanita itu sudah memakai seragam barunya. Segeralah Evan mengubah posisi duduknya sedikit tegak dan langsung bertanya tanpa menatap Latasha sedikit pun.
“Ada apa?”
“Tadi, Ibu Renatta bilang kalau hari ini adalah jadwal bebersih di ruangan Bapak. Jadi saya—“
“Silahkan.” Potong Evan cepet dan langsung bergegas keluar ruangan. Meninggalkan Latasha tanpa melirik sedikit pun, membuat wanita itu mematung melihat tingkah Evan.
Wanita itu ingin bertanya bagian mana yang biasanya Rianti bersihkan, pasti ada tempat-tempat tertentu yang tidak boleh di sentuh. Latasha sempat bingung, tetapi ia harus melakukan kewajibannya. Wanita itu memulai dengan membersihkan singgah sananya Evan, kursi kebanggan lelaki itu yang belum ganti beberapa bulan terakhir ini. Entah alasan apa, Evan nyaman duduk di sana.
Latasha masih belum percaya, jika cinta masa SMAnya sekarang sudah sangat sukses. Mungkin jika mereka masih bersama, apakah Latasha akan menjadi nyonya Geutama bagi Evan? Sempat terpikir oleh Latasha saat ini, tetapi tidaklah mungkin. Latasha bukan dari kalangan menengah ke atas, silsilah keluarga saja sudah tak jelas. Pantas saja jika Alvin meninggalkan dirinya. Membuat semakin lengkap kisah hidup Latasha yang suram.
Pertemuan pertama di ruang Oliver membuat keduanya terdiam seribu bahasa. Sempat hening beberapa menit dan hanya Oliver lah yang selalu memulai percakapan di antara keduanya. Semua itu terhenti ketika Renatta datang sambil memberitahu bahwa ada clien Evan yang menelpon.
Latasha mulai merapihkan meja Evan, ada beberapa dokumen penting yang berantakan. Kemudian beralih membersihkan meja serta laci-laci itu. Tak sengaja ada laci yang sedikit terbuka, Latasha tahu jika itu tidak sopan, tetapi kegiatannya berhenti saat melihat gelang rajut biru muda di sana. Wanita itu terkejut, lantaran gelang rajut yang ia lihat terakhir kali pada saat kelulusan masih tersimpan oleh Evan. Bahkan ada di laci kerjanya.
Latasha mengambilnya tanpa memikirkan sepasang mata telah mengawasinya sejak tadi.
“Apakah itu sopan?”
Latasha terkejut. Ya, sepasang mata itu adalah Evan.
“Baru saja di tinggal ke toilet, kamu sud—“
“Maaf, Pak.”
Hening.
Evan beralasan jika ia sehabis ke toilet, tentu saja ia berdiam di balik pintu ruangannya. Memperhatikan gerak-gerik Latasha di hari pertamanya kerja. Ketika Latasha mengambil gelang biru itu, ia terkejut dan memutuskan untuk masuk.
Evan menghampiri Latasha yang menunduk, sementara sudut bibir Evan terangkat sedikit, ia tak menyangka jika sikap Latasha tidak pernah berubah. Wanita itu semakin takut, aura Evan sendiri juga tidak kalah menegangkan. Tak ada yang berubah dengan sikap dingin menghanyutkan lelaki itu, selalu melekat pada dirinya.
“Latasha...”
Napas Evan begitu terasa di wajah lembut Latasha. Mengantarkan aroma klasik yang melekat pada Evan, aroma yang tidak pernah berubah selama hampir delapan tahun lamanya. Itulah dulu yang membuat Latasha jatuh cinta. Sikap Evan yang keras tidak menutup hati seorang Latasha untuk bisa mencintai lelaki itu, hingga waktu memberi mereka jeda dan di pertemukan dengan status yang berbeda.
“S-saya ngg-“
“Sudah cukup.”
Tubuh Evan semakin dekat dengan Latasha. Aroma parfume peach tercium oleh Evan, membuat kedua matanya terpejam sesaat. Evan meletakan tangan kekarnya di atas meja, seakan membuat Latasha semakin terperangkap dalam dunianya.
“Latasha...”
Wanita itu tidak bisa bergerak, ia memberanikan menatap mata elang milik Evan. Memori masa lalu kembali menyerang mereka berdua. Di pisahkan oleh waktu di pertemukan oleh keadaan. Tak menyangka delapan tahun menghilang keduanya bisa bertemu.
“Latasha...”
“Em—“
“Ambilkan gelangnya.”
Latasha seketika tersadar. Ia menunduk dan melihat gelang biru itu jatuh tepat di dekat kakinya. Detik itu juga Evan menjauhkan tubuhnya dari Latasha, mulai bersikap seperti tidak ada apa-apa. Sementara Latasha dengan sedikit bingung ia langsung mengambil gelang itu. Menaruhnya di atas meja dan langsung bergegas pergi. Wanita itu tidak mengingat kapan jantungnya mulai berpacu dengan kecepatan di atas rata-rata.
“Latasha.”
Wanita itu berhenti, ia memejamkan kedua matanya seraya berbisik, “Tolong jangan mendekat.”
Evan menghampiri lagi, kali ini berdiri tepat di belakang Latasha. Wanita itu tidak mau menoleh sedikit pun ke arahnya.
“Ada apa, Pak?”
Evan mulai mendekat, kini napasnya mulai terasa di leher Latasha. Membuat wanita itu harus kuat dan tidak lemas di hadapan Evan. Latasha mengakui lelaki itu sempurna, semua wanita bertekuk lutut dengannya jika sudah seperti ini. Tetapi Latasha lebih memilih menahan semuanya.
“Kamu meninggalkan serbet nya,” ucap Evan sambil memberikan kain kotak-kotak itu di hadapan Latasha. Wanita itu langsung mengambilnya bersamaan ia menelan ludahnya sendiri dengan susah payah.
“Lain kali, jangan ceroboh.”
“Maaf, Pak.”
“Mau lanjut bebersih?”
Latasha menggeleng. Ia melihat jam tangannya seakan mengingat sesuatu, “Saya harus buatkan kopi untuk Pak Oliver.”
Tanpa menunggu Evan berbicara, Latasha langsung meninggalkan ruangan lelaki itu tanpa menoleh sedikit pun. Ia berlari dan menuju pantry, mengatur napasnya yang naik turun serta mengatur detak jantungnya yang masih berdegup tak karuan.
“Eh, kenapa?” tanya Rumi, cleaning service lain yang heran melihat Latasha pucat.
“Abis liat apa sampai pucat gitu? Ada hantu di sini?”
“Ngg-nggak kok, Rum. Lanjut lagi ya,” balas Latasha seadanya. Ia menghela napas dan mulai bergegas, meninggalkan Rumi dengan beribu tanya.
Di ruangannya, Evan masih berdiri di dekat ambang pintu. Seakan menerawang hal apa yang baru saja terjadi dengan dirinya. Ia mengerjapkan matanya dan mengambil ponsel di saku jasnya. Mencari nama seseorang di sana.
“Ke tempatku malam ini.”
***
Malam hari seperti biasa Latasha selalu menyisihkan waktu dengan Gaitha. Sepulang bekerja, wanita itu langsung menjemput anaknya di tempat sekolah. Ia sangat berterima kasih tentunya kepada pihak sekolah karena sudah mau di titipkan anak. Dengan begini, baik Latasha mau pun Lea bisa tenang menjalani aktifitas keseharian mereka.
Awal yang rumit bagi seorang Latasha ketika ia harus mengurus Gaitha sendirian. Bingung sudah menjadi makanan sehari-hari bagi dirinya. Di tambah Gaitha sudah mengerti tentang sosok Ayah. Pernah sekali ia bertanya, “Ma, Ayah itha siapa?” Dengan wajah polosnya yang membuat hati Latasha remuk saat itu juga. Entah kata-kata dari mana yang membuat bocah itu bisa bertanya kepada Latasha. Beruntunglah Lea pintar dalam hal mengalihkan pembicaraan, tentu saja Gaitha lupa seketika dengan pertanyaannya. Sampai detik ini Lastasha belum bisa menemukan jawaban yang tepat. Lea bak malaikat dadakan, datang di saat yang tepat dengan kedua orang tua Lea yang juga menerima Latasha di sana. Bahkan Gaitha sempat ingin di adopsi oleh orang tua Lea, tetapi Latasha menentang itu dan tetap merawat Gaitha yang ia bisa.
“Ma, Itha gambal kuda tadi. Di kasih bintang-bintang sama bubu gulu,” celotehnya dengan antusias.
Awal masuk sekolah, bocah itu sudah di ajarkan untuk memanggil Ibu Guru, entah kenapa lidah bocah itu sulit sekali mengucapkan kata-kata tersebut. Alhasil, hanya Gaitha sendiri yang memanggil para guru dengan sebutan, “bubu gulu”. Lucu memang dan semua guru di sana sangat memaklumi itu.
“Oh ya? Mama mau lihat.”
Dengan semangat Gaitha berlari ke ransel sekolahnya, mengambil selembar kertas yang sudah terlipat di bagian ujung-ujungnya. Bocah itu memberi hasil karyanya dengan senyuman manis. Latasha mengambil dan terkejut melihat gambar anaknya sendiri, ia ingin tertawa tetapi saat melirik Gaitha yang menunggu penilaian darinya, semua itu ia urungkan. Latasha heran, sejan kapan kuda kakinya bisa menjadi enam? Seingatnya, ia pernah memberi contoh gambar kuda dan tentunya Gaitha paham dengan itu.
“Gambar Itha bagus. Tapi... kok kuda kakinya enam?”
Gaitha yang tak paham melihat kembali hasil karyanya, ia terdiam seraya melirik Mamanya beberapa kali.
“Coba sini hitung.”
“Ini berapa, sa...”
“Tu...,” Gaitha mulai menghitung semua kaki kudanya.
“Nah, kuda kakinya berapa?”
Raut wajahnya tampak berpikir dan sepertinya bocah itu sudah lupa.
“Du...”
“Dua!!”
“Pintar! Besok gambar kuda kakinya dua ya.”
Gaitha hanya tertawa dan mulai melihat-lihat hasil karyanya dengan bangga. Seolah ia sangat handal dalam hal menggambar.
“Wah, apaan itu?” Lea, tiba-tiba muncul dari kamar mandi dengan handuk yang terlilit di kepalanya.
“Itha gambar kuda di sekolah,” balas Latasha.
“Kuda kaki enam!” sahut Gaitha bangga. Membuat Latasha dan Lea saling berpandangan.
***
“Kak Tata belum tidur?”
Latasha menoleh dan tersenyum tipis, ia membenarkan posisinya karena baru saja meniduri Gaitha. Wanita itu memberi isyarat untuk keluar dari kamar, sementara Lea langsung paham dengan gerak-gerik Latasha.
“Kakak ketemu sama dia, Le.” Itulah kalimat pertama yang di ucapkan oleh Latasha.
“M-maksudnya?”
“Evan.”
Tentu saja Lea terkejut. Ia tahu banyak tentang masa lalu Latasha bersama laki-laki sebelum Alvin. Sejak perkenalan Latasha dan Evan, keluarga Evan sendiri memang tidak mengetahui tentang hal itu. Evan anak yang tertutup, cuek dan arogan. Sulit bagi Evan untuk mengungkapkan cinta kepada seseorang. Kepada Latasha pun berawal dari rasa penasaran yang berujung suka tetapi tidak untuk di jabarkan perasaan seperti apa yang ia rasakan.
“Evan... jadi bos Kak Tata?” Lea bertanya kedua kalinya setelah Latasha menceritakan ia bekerja di perusahaan mana dan wanita itu mengangguk lemah.
“Kak Tata masih kuat, kan?”
“Semoga Lea.”
“Demi Gaitha. Kakak bisa ko lewatin ini.”
“Tapi, Kakak malu, Le. Pertemuan Kakak dengannya sudah berbeda status.”
“Kakak masih berharap?”
Latasha terdiam, pikirannya mulai berkelana entah kemana. Meski ia pernah menikah, tetaplah Evan adalah lelaki pertama yang menjadi kekasihnya saat itu. Evanlah lelaki pertama yang menyukai dirinya sekaligus memberi rasa sakit tanpa Latasha ketahui karena sudah tertutup cinta di lubuk hatinya.
Evan berjalan cepat menuju club malam seorang diri. Setelah seharian bekerja membuat lelaki itu menginginkan sedikit hiburan. Sesampainya, Evan langsung di sambut oleh penjaga club seperti biasanya. Club milik Tan, temen kuliahnya dulu adalah seorang duda tanpa anak. Kehidupan Tan begitu bebas sehingga status menikah hanyalah pajangan bagi dirinya, Tan sendiri sudah menikah sebanyak empat kali dan tentu saja semua itu tidak bertahan lama. Kecintaan Tan terhadap club membuat istrinya tidak tahan dan memilih untuk cerai. Tan memang pandai dalam menggoda perempuan, ketampanan Tan tidak beda jauh dengan Evan yang anak seorang CEO. Pun kekayaan Tan setara dengan Oliver. “Hi, bro!” Tan menyapa Evan saat ia sedang duduk di sofa bersama wanita malam yang di pilihnya. Evan tak m
“Apakah kamu merindukan seseorang?”Pertanyaan itu terniang-niang di kepala mungil Latasha, ia heran kenapa Evan bertanya seperti itu. Sesaat Evan pergi, wanita itu tidak berbicara lagi dan hanya menunduk. Tidak kuat menatap Evan terlalu lama. Sifat Evan semakin terlihat oleh Latasha jika lelaki itu sudah sedikit berubah, tidak kasar seperti dulu.Ingatan delapan tahun lalu kembali muncul saat Evan beberapa kali sudah menampar Latasha karena masalah kecil. Evan yang dulu sangatlah sensetif dan hanya Latasha yang bisa bertahan cukup lama dengan lelaki mata elang itu. Berbanding terbalik dengan mantan-mantan Evan sebelumnya, belum genap sebulan mereka sudah meninggalkan Evan lantaran tidak kuat. Evan SMA egonya masih tinggi, tetapi ia terpilih jadi ketua osis karena kepintaran lelaki itu serta ide-ide brilian dalam mengembangkan kedisiplinan para siswa.
“Itha langsung ke kamar mandi, ya.” “Mama, tadi om cakep. Milip sama temen iItha.” Ucapan bocah itu sontak membuat Latasha terkejut. Ia hanya tersenyum dan menyuruh Gaitha untuk segera ke kamar mandi. Dari balik jendela, Latasha masih memperhatikan mobil donker itu diam di depan rumahnya. Merasa ada kepingan hati yang tak boleh pergi, Latasha tersenyum tipis tanpa ia sadari. Kesakitan yang ia rasakan dulu seperti sudah terhapus dengan sedikit perubahan Evan meski tanpa sentuhan. Sekali lagi, Latasha mencoba menyadarkan dirinya. “Kalian udah beda status! Stop it, Ta!” *** Di perjalanan Evan menelpon Tan, sebagai orang yang sudah pernah menikah, mungkin Tan tahu alasan-alasan apa yang membuat dua sejoli memutuskan untuk bercerai. Maklum saja, Evan belum memikirkan untuk menikah, sudah menikmati tubuh be
Latasha terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam dinding dengan panik saat jarum itu menunjukkan pukul delapan pagi. “Astaga!” Latasha langsung bersiap diri dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan ucapan pagi dari Gaitha. Lea yang menyadari itu merasa aneh melihat Latasha hampir terjatuh saat masuk ke kamar mandi. Niat ingin bertanya, hal itu Lea urungkan saat Gaitha merengek meminta sarapannya.“Sebentar, bocah. Nanti Tante Lea antar ke depan, ya.”Setengah jam sudah berlalu Lea langsung bertanya kepada Latasha saat keluar dari kamar mandi. “Kak Tata kesurupan apa pagi-pagi?”Latasha mengerutkan kening, “Lea! Kamu nggak bangunin Kakak, ya. Kakak telat masuk kerja!”“Hah? Sekaran
Latasha memasuki rumah dengan langkah terburu-buru hingga ia tak membalas sapaan Gaitha yang kegirangan melihat mamanya pulang. Wanita itu bergegas masuk kamar mandi untuk segera bebersih sejenak, kemudian langsung membenahi barang belanjaannya. Pikiran Latasha melayang entah kemana, tanpa ia sadari bulir air mata itu turun dengan sendirinya. “Mama," panggil Gaitha seraya menarik lembut ujung baju Latasha, seketika ia tersadar lalu menghapus air mata itu dan menoleh ke anaknya. “Kenapa sayang?” “Manggil-manggil mama nggak jawab,” omel bocah itu. Latasha terkekeh, ia jongkok agar bisa setara dengan Gaitha lalu memasang wajah memelas untuk meminta maaf. “Maaf ya, tadi mama kebelet pipis,” dusta Latasha. Gaitha yang awalnya diam kemudian mengangguk, “Kue mana?” tanyanya sambil mengadahkan kedua tangan mungilnya. Latasha
Latasha melepaskan genggaman Evan dengan cukup kasar, kemudian ia merapihkan pakaiannya lalu pergi meninggalkan Evan tanpa kata permisi. Pertama kalinya bagi seorang Evan merasakan pedih ketika seseorang acuh tak acuh kepadanya. Selama ini Evan merasa dirinya cukup berkuasa dan tidak pernah menerima penolakan dari siapapun. Ia sendiri pintar dalam hal itu hingga lawan bicaranya bisa bertekuk lutut dengannya. Tetapi kali ini, semua persepsi ia adalah seorang yang tidak mudah di tolak, di patahkan langsung oleh perubahan sikap Latasha kepadanya. Latasha yang dulu dan sekarang begitu beda di pandangan Evan. Kepolosan wanita itu masih menjadi ciri khasnya, tetapi sikapnya bisa menjadi dingin dengan caranya sendiri.“Shit!” Umpat Evan kesal. Ia hampir mendorong kursi kesayangannya itu ke arah jendela.“Siapa dia? Siapa yang sudah menyakitinya lebih dari aku?&r
Lea mundar-mandir hingga Gaitha heran melihat dirinya, telfon yang di genggamnya sesekali di banting karena lawannya tidak menjawab panggilannya.“Tante, main apa?” Dengan polosnya bocah itu bertanya seraya memakan bolu di tangan sebelahnya.Lea berhenti dari kegiatannya dan menoleh ke arah Gaitha dengan wajah menahan amarah, “Tante telfon mama kamu, tapi nggak di angkat. Ke mana mama kamu, ya? Udah jam lima belum pulang.”“Mama kelja, tadi salim sama, Itha.”Lea menghela napas, ia menghampiri Gaitha dan berjongkok, “Itha nonton film kartun aja, ya.”
Lea terdiam di sebuah ruangan serba abu-abu dengan mata menahan tangis. Tak hanya dia, beberapa orang di sana juga sedang gelidah menunggu seseorang yang sebentar lagi akan datang untuk memberi berita. Entah apa itu, yang jelas nasib meraka yang di ruang tersebut sedang di ujung tanduk.“Le,” panggil seorang cowok klimis di samping Lea.“Ngapa?”“Bagaimana, ya, Le?”Lea masih belum mau menatap siapapun, ia hanya tertunduk seraya memainkan jari-jarinya, “Apaan, sih? Nggak jelas banget lo.”“Nasib kita. Gue sedih, nanti buat pulang kampung bagaimana kalau kita semua di pecat.”Ya. Permasalahan seorang k