Marie berjalan gontai menuju rumahnya. Tangisnya sudah berhenti namun pikirannya begitu kosong.
Ia tidak menghiraukan kakinya yang sakit dan rasa lelah akibat berjalan selama berjam-jam dari restoran menuju rumahnya.
Selama tiga jam Marie melangkahkan kakinya tanpa letih dan tidak mengindahkan rasa pegal di kakinya yang dilapisi heels setinggi lima cm. Dia tidak merasakannya, yang Marie inginkan hatinya sedikit membaik, rasa takut dalam dirinya ditinggalkan Ferran segera menghilang dan tergatikan oleh rasa lelah dan sakit fisiknya.
Marie meyakinkan dirinya jik
Marie menatap pintu apartemen Ferran dengan rindu. Sudah tiga hari ia tidak melihat tunangannya itu. Ferran tidak pernah menampakan dirinya di depan Marie setelah kejadian di restoran tempo lalu. Pun selepas pulang dari sekolah Marie mencari Ferran-nya kemana-mana. Mulai ke kantornya, yang ternyata Ferran tidak pergi ke kantor selama beberapa hari tanpa keterangan. Atau mungkin sekertarisnya memang tidak ingin mengatakan keberadaan Ferran. Entahlah, Marie tidak ingin berburuk sangka. Setelah itu ia mencari ke rumah mereka berdua, tapi nyatanya kosong. Bahkan para pekerja yang mengerjakan rumah-nya sudah tidak tampak. Satpam rumah mengatakan jika pengerjaan rumah tersebut dihentikan. Marie masih tid
"KALIAN SEMUA KELUAR!" sentak Aldrich pada teman-teman Ferran. Terang saja teman-teman Ferran langsung berhamburan keluar dari penthouse milik Ferran. Sampai beberapa dari mereka terjatuh akibat pengaruh alkohol dan obat-obatan. "Kamu juga Evan!" "Iya, Om." Evan menatap segan pada Aldrich yang tengah menampilkan wajah kerasnya pada Ferran yang sedang dalam keadaan hangover. Evan satu-satunya teman Ferran yang 100% masih mendapatkan kesadarannya. &nb
"M-Marie?" Reflek, Marie menoleh pada sumber suara yang memanggilnya."Bagaimana kabarmu?" Marie menatap segan lelaki dewasa di hadapannya. Lelaki dengan pakaian oranye namun raut wajahnya sangat bersahaja tidak mencerminkan jika dia seorang penipu, pemerkosa dan pembunuh. Tidak seperti bayangannya, kalau papa kandungnya akan sangat menyeramkan dengan banyak tatto, anting-anting dengan tubuh kekar dan sangar selayaknya penjahat-penjahat yang ada TV. Bahkan Liam Sandjaya sangat bersih dan tampan untuk seusia
Marie berdiri dengan pasrah di samping Rocka. Kini ia sedang berada di auditorium sekolah untuk melakukan sidang mengenai nasibnya di Pelita Internasional School. Ketika tiba di sekolah, Marie langsung di panggil oleh kepala sekolah. Dan pak Adnan mengutarakan dengan berat hati mengenai nasibnya yang akan di tentukan hari ini. Tapi entahlah hal itu tidak terlalu penting bagi Marie untuk sekarang. Tadi dia sempat bertanya pada pak Adnan, apa Ferran akan hadir, karena setahu Marie, Pelita masih dibawah tanggung jawab Ferran. Dan Marie langsung semringah ketika pak Adnan menjawab 'iya' Ferran-nya akan hadir.&
"ANJING!!" Rocka menendang kursi sampai membentur dinding. Napasnya memburu penuh emosi. Tidak ada yang mengeluarkan suara untuk memprotes tindakan brutal dari Rocka, kecuali isak tangis dari teman-teman perempuan sekelas Marie. Setelah keputusan sidang di lapangan, Marie kembali ke kelas bersama teman-temannya, termasuk genk Rocka yang ikut bergabung. Sementara bu Avi, mengejar pemilik sekolah dan kepala sekolah untuk memohon memberikan kesempatan pada Marie agar tetap bersekolah di Pelita. Marie suda
"Saya Handoko Sandjaya. Wali dari Marie Alexandria mulai dari sekarang!"***** Marie menatap mantan sekolahnya. Ya, sudah jadi mantan. Pak Handoko yang mengaku sebagai walinya Yang baru telah menyelesaikan urusannya dengan sekolah sampai tuntas. Bahkan pria tua itu menolak mentah-mentah bantuan rekomendasi sekolah yang bagus untuk Marie dari pak Adnan, sang kepala sekolah. Pak Handoko adalah ayah dari Estell, mama kandungnya, yang juga merupakan kakek dari Rocka. Dan ini adalah pertemuan pertama Marie dengan opa-nya itu. Selama bersahabat bersama Rocka, opa Handoko tidak pernah memunculkan dirinya di sekolah jika Rocka melaku
Marie berlari menuruni tangga ketika dia mendengar suara ribut di bawah sana. Dan ketika sampai, Marie membekap mulutnya. Dia melihat opa Handoko sedang berlari mengejar Rocka dengan tongkat baseball di tangannya. "Dasar berandalan! Mau jadi apa kamu ini?! Kamu sudah kelas XI dan kamu masih saja jadi pemalas?! Kamu itu satu-satunya laki-laki,-" "Berarti Opa bukan laki-laki?" "DASAR KURANG AJAR!"
"Ini foto kamu ketika baru lahir. Sangat merah. Benar saja, kamu tumbuh menjadi gadis yang berkulit sangat putih sama seperti mama kamu." "Apa mama Nilam yang memberikan semua foto Marie pada om?" Liam mengangguk, "Mama Estell yang memberikan amanat itu pada Nilam untuk memberitahukan setiap tumbuh kembang kamu pada om. Mama kamu tidak ingin kalau om sampai tidak mengenal kamu dan kehilangan moment berharga sebagai orang tua, meskipun om berada di dalam penjara." Marie tersenyum sembari memerhatikan setiap foto-foto yang ada di tangannya dan di atas meja.