“Ada hal yang bisa membuatmu tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Aku menyebutnya … kenangan.”
~♥~♥~♥~
Adel yakin semalam ia tidur sendiri di kasur king size kamarnya. Adel juga yakin jika guling yang semalam ia peluk bentuknya bukan seperti ini. Gulingnya terbuat dari bahan kapas yang tentunya lembut, bentuknya yang memanjang sepanjang dirinya membuat Adel senang dengan guling itu. Namun yang saat ini Adel peluk terasa seperti bukan gulingnya. Guling ini bentuknya lebih panjang dari biasanya, dan tak beraturan. Serta terdengar bunyi desahan napas. Bahkan dari balik telapak tangannya, Adel bisa merasakan detak jantung.
Huh? Detak jantung?
Seperti seseorang.
“Pasti Bunda,” pikir Adel.
Jadi, Adel semakin menenggelamkan wajahnya ke dada orang yang memeluknya. Tetapi lagi-lagi ada yang aneh. Jika Bundanya … "kok rata,ya?" pikir Adel.
“Kalau gitu, pasti ini Ayah.”
Dan Adel sudah bosan beradu pikiran dengan perasaannya.
“Bodo amat, ah.”
Adel menyerah dengan pikirannya dan memilih melanjutkan tidurnya yang kini semakin nyaman di pelukan orang ini. Siapapun ia, gadis itu serasa enggan melepas pelukan orang ini. Entah pikiran dari mana, Adel ingin agar orang inilah yang terus memeluknya dalam heningnya malam.
~♥~♥~♥~
Suara teriakan membangunkan dua orang yang sedang terlelap. Adel yang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi ikut berteriak dan menendang cowok yang sejak semalam menjadi gulingnya. Cowok itu terjengkang ke samping tempat tidur. Dan ketika cowok itu bangkit, Adel lagi-lagi berteriak.
"Kamu! Kenapa kamu bisa ada di kamarku?" hardiknya pada Beni yang kini tengah mengaduh kesakitan setelah pelipisnya benjol menabrak nakas.
"Apa? Kenapa?"
Beni tampaknya belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi. Ia mengedarkan tatapan ke sekeliling kamar. Beni mengerutkan kening melihat wajah panik Adel. Kemudian suara benda ambruk di belakang tubuhnya menyadarkan keduanya. Rudi dan Ayahnya Adel yang sedang menopang tubuh bundanya Adel yang pingsan menatap keduanya bingung. Ada kakek mereka di sana dan anggota keluarga Syahilan yang juga ikut-ikutan menonton kejadian di dalam kamar Adel. Mereka berdiri di depan pintu masih dengan wajah kusut khas bangun tidur.
Bunda pingsan!
"Kalian berdua ke bawah sekarang juga!"
Dan untuk pertama kalinya Beni berharap jika ia memiliki ilmu teleportasi sekarang.
~♥~♥~♥~
Adel menggigil di tempat duduknya. Tatapan dingin bundanya begitu menusuk hingga Adel yakin ia akan kesulitan bergerak. Buktinya, sekarang Adel terus saja menundukkan kepalanya tak berani menatap bunda dan ayahnya.
"Bunda, maafin Adel. Adel enggak tahu apa yang semalam terjadi. Bunda jangan natap Adel gitu dong, Adel kan jadi takut," ucap Adel memberanikan diri menatap bundanya.
Sedangkan wanita setengah baya yang ditatap Adel masih enggan bicara. Bungkam seribu bahasa. Hanya tatapannya saja yang begitu menusuk.Adel tahu, bunda benar-benar marah kepadanya.
"Ini semua karena kamu! Kenapa semalam tiba-tiba kamu bisa ada di kamarku?" ketus Adel melirik Beni. "Dasar mesum!" Adel berteriak melupakan sopan santunnya.
"Ardelia Maharani! Jaga bicara kamu!"
"Adel!"
Ayah dan bunda Adel membentak gadis itu berbarengan. Sorot mata keduanya benar-benar menakutkan.
"Bunda enggak marah dengan kamu. Bunda hanya kecewa," ujar Bunda. Tatapannya sedikit melembut. "Bunda yang pertama kali memergoki anak semata wayang bunda, tidur dengan laki-laki yang bukan mukhrimnya. Bayangin Adel, coba kalau kamu ada di posisi bunda," lanjut bundanya.
"Tetapi Bunda, disini Adel juga enggak tahu apa-apa. Bunda tolong jangan melihat Adel sebagai tersangka, Adel korban dari kesalahpahaman," terang Adel memelas. Ia menatap anggota keluarga lain meminta bantuan, namun mereka diam. Seolah menyudutkan Adel sendirian di tempat yang gelap. Mereka kini seakan tengah berkonspirasi untuk memojokkan Adel dan Beni, dan hal itu menyebalkan.
"Korban, kamu bilang? Kalian bahkan terlihat seperti pasangan suami istri yang sedang berbulan madu,"ucap Bundanya lagi. Kali ini ucapan Bundanya sarat emosi.
"Meiti, cukup," ujar ayah Adel menengahi. Ayah Adel melemparkan pandangan pada Rudi yang sedari tadi juga memelototi anaknya yang menunduk. Namun Rudi hanya diam. Jadi Ayah Adel memberikan kesempatan pada Rudi untuk mengalirkan pembicaraan.
"Disini laki-laki yang harus menjelaskan." Rudi menatap Beni yang menunduk. Wajah pria paruh baya itu sedikit memerah menahan amarahnya.
Keluarga besar ini kini tengah berkumpul di ruang keluarga. Setelah kejadian menggemparkan tadi pagi, mereka sepakat membahasnya di ruang keluarga. Tentu saja tanpa adanya kedua bocah cilik dan Tante Lestari yang mengawasi mereka
"Pa, Beni akan jelasin ...." ucap Beni. Cowok itu terlihat salah tingkah ditatap berpasang-pasang mata.
Adel langsung memberinya tatapan maut andalannya. Enak saja dari tadi cowok itu hanya diam!
"Ya. Kami akan mendengarkan," lanjut Rudi.
"Semuanya terjadi begitu cepat. Tetapi Beni berani jamin, Beni hanya tidur dengan Adel semalam," ucap Beni. Takut-takut menatap mata papanya.
Semuanya mengerutkan kening.
"Maksudnya, tidur ... ya, tidur. Bukan dalam konotasi negatif yang seperti itu," ujar Beni membenarkan.
"Awalnya Beni cuma mau tidur di kamar Beni saja, tetapi setelah Beni enggak sengaja melihat pintu kamar Adel yang belum tertutup, Beni keluar dan berniat buat nutup kamar Adel." Beni menghela napas sebelum melanjutkan.
“Sewaktu Beni masuk kamar Adel, Beni ngelihat Adel tidur dalam posisi tidur yang …enggak banget deh.”
Adel mengernyit. Posisi tidur yang enggak banget? Memangnya semalam dia tidur seperti apa, sih?
“Jadi Beni benerin posisi tidur Adel. Dan setelah itu...."Beni bingung melanjutkan bagian yang ia ingat. Bagian sewaktu Adel tiba-tiba memeluknya. Wajah Beni memerah.
"Setelah itu,apa?" tanya Adel. Gadis itu tidak sabar mendengarkan kelanjutan cerita Beni.
"Setelah itu aku langsung tidur aja di samping kamu," lanjut Beni santai.
Akhirnya Beni terpaksa berbohong. Ia merasa kasihan jika harus membeberkan apa yang terjadi semalam. Beni janji hanya ia saja yang boleh tahu kejadian yang sebenarnya.
"Beni, kamu sadar tidak, apa yang kamu lakukan semalam itu bisa menimbulkan fitnah.” Rudi menginterupsi. Beni kembali menundukkan kepala. Ia mengaku jika memang ia sangat bersalah di sini. Mata Beni menatap seluruh orang yang ada di sana, lalu jatuh pada sang kakek. Kakeknya sedari tadi diam dan terlihat tenang. Tidak banyak menanggapi seperti biasanya.
"Kalian semua, tinggalkan kakek dengan Adel dan Beni di sini." Kakek akhirnya bersuara. Tetap tenang membalas tatapan tanya semuanya. Jujur, Beni malah takut dengan sikap kakek yang diam-diam menghanyutkan seperti ini.
"Baiklah kalau kalian tidak ingin meninggalkan kami bertiga. Kakek akan bicara langsung saja disini." Suara rendah kakek membawa suasana tegang. Semuanya diam. Menunggu keputusan yang diambil olehnya.
Sebelum berkata dengan tenang, kakek melirik Adel dan Beni. "Kalian berdua harus menikah."
Adel masih terbengong di tempat saat ucapan itu meluncur dengan indahnya dari bibir kakek. Barulah sepuluh detik kemudian gadis itu sadar.
"Apa!"
~♥~♥~♥~
“Tidak ada kata paksaan dalam cinta. Seperti halnya tidak ada yang terpaksa mencintai, tidak ada juga terpaksa mencintai.”~♥~♥~♥~What! Nikah? Yang benar saja!Otak Adel langsung menyuarakan isi hatinya. Menolak mentah-mentah apa yang disarankan kakeknya. Tetapi Adel merasa penolakannya percuma saja. Kakek tetap keukeuh pada pendiriannya. Dan malah kian rumit kala kakek didukung oleh seluruh anggota keluarga yang ada di situ. Benar-benar konspirasi menyebalkan!Jadi di sinilah Adel sekarang. Fitting baju pengantin dengan Bunda dan Tante Mut... em ralat! Mama Mutia.Tanpa didampingi calon pengantin pria."Ah, bodo amat! Dia enggak datang malah gue seneng banget. Semoga aja dia enggak datang, enggak usah nikah sekalian aja," batin Adel. Ia menyeringai kecil sambil ikut membenarkan letak gaun pengantinnya.Katanya enggak mau nikah, kok sekarang Adel malah ikut bantuin mbak-mbak pegawai butik buat memasangkan gaunnya? Gadis
“Ada hari di mana kau tidak ingin waktu berlalu dengan cepat. Tahu artinya? Kau bahagia dan menghargai waktu yang kau lalui bersamanya.”~♥~♥~♥~Beni sedari tadi tidak dapat menahan senyumnya tatkala melihat penampilan Adel. Benarkah yang ada di hadapannya itu Adel? Itulah yang sejak sepuluh menit lalu ia tanyakan pada penglihatannya. Adel begitu cantik dengan balutan dress berwarna putih salju yang kini ia kenakan. Gadis itu tampak anggun, tidak seperti Adel yang biasanya judes kepada semua orang yang baru dikenalnya.Beni menatap Adel untuk kesekian kalinya. Tetapi bukannya bosan, ia malah semakin kecanduan memandang wajah mungil itu. Itukah gadis yang dulu dengan lucunya mengajaknya berkenalan? Apa itu gadis yang dulu pernah mengobati luka di lututnya saat ia terjatuh? Beni mengenang, ingatannya jatuh pada bertahun-tahun yang lalu. Di mana ada Adel kecil di sana.Ya. Sepertinya ia memang gadis kecil itu, Ardela Maharani. Gadis y
“Aku tidak ingin munafik dengan membohongi diriku sendiri. Tetapi aku senang kau menyebut perumpamaan antara kau dan aku dengan kata ‘kita’.”~♥~♥~♥~Selepas acara pernikahan, Kakek Retno mengumpulkan anggota keluarga besar Djamil di ruang aula besar.Ruangan ini terdapat di gedung hotel yang sengaja disewa kakek, lengkap dengan segala perlengkapan pernikahan.Adel bahkan baru tahu, bahwa Kakek Retno ternyata kaya raya. Buktinya, kakek bisa menyewa salah satu ruangan di hotel yang Adel taksir akan mencapai sekitar 50 juta.Belum lagi ditambah dengan tetek-bengek pernikahan ini.Adel benar-benar tidak menyangka sebelumnya."Kamu harus siap-siap untuk pulang ke rumah."Meiti menyentuh lengan Adel dan itu cukup menyadarkan Adel dari lamunannya."Hah, akhirnya!" Adel mengembuskan napasnya lalu mulai mengangkat gaunnya yang kebesaran dan berjalan ke pintu keluar."Eh, kamu mau kemana?" tanya Meiti menahan lengan Adel yang main
“Aku senang pada kenyataan di mana aku dan kau … sedikit lebih dekat. Itu awal yang baik untuk sebuah hubungan, bukan?”~♥~♥~♥~Mereka berdua sarapan dalam diam. Adel mengaduk-aduk makanannya tidak bersemangat. Sedangkan Beni malah memakan sarapannya dengan lahap. Beni menelan makanannya lalu meminum minumannya. Cowok itu menatap Adel prihatin dan berkata, "Kalau makanannya kamu aduk-aduk terus kayak gitu, nanti dingin, Del."Adel terus saja mengerucutkan bibirnya. Ia masih marah pada Beni, karena cowok itu semalam tidak mau mengalah padanya. Setelah Adel berpura-pura pingsan di ambang pintu kamar yang mereka perebutkan semalam, Beni dengan seenaknya menggendong Adel bagaikan karung beras dan menggiring gadis itu ke kamar bawah tangga. Adel sudah memohon pada cowok itu, tetapi lagi-lagi Beni mengusulkan untuk tidur sekamar dengannya. Sekali Adel merajuk, Beni akan dengan sekenanya menjawab, "Kenapa harus malu t
“Aku berbohong kalau berkata jika ini kabar yang buruk. Namun, aku juga tidak bisa menyebutnya kabar yang baik, mengingat bagaimana hubungan kita.”~♥~♥~♥~"Pagi." Adel tersenyum manis pada Beni saat cowok itu keluar dari kamarnya dengan setelan kemeja rapi."Pagi," sahut Beni cepat. Cowok itu mengacak rambut Adel gemas dan ikut mendudukkan dirinya di samping Adel."Kopi, please," pintanya.Adel buru-buru mengambil apa yang diinginkan Beni dan segera menyerahkannya."Thanks," kata Beni sambil menyesap kopinya."Kamu mau kemana pagi-pagi begini? Tumben. Enggak ada tuh pengangguran rapi yang cuma di rumah tetapi pakai kemeja kantoran," ledek Adel.Beni terkekeh lalu menyeringai pada Adel."Aku diterima kerja," katanya.Adel tersenyum dan bertepuk tangan di tempatnya. Kemudian ia beranjak dan tanpa sadar memeluk Beni."Selamat ya, suamiku. Aku seneng dengernya," katanya.Beni awalnya tersentak bing
“Well, guru baru dan hukumannya yang menyenangkan? Aku tidak ingin murid lain memiliki hukuman ini juga!”~♥~♥~♥~Adel memainkan sedotan dalam gelas jusnya dengan malas. Gadis itu juga berkali-kali mengembuskan napasnya lelah."Udahlah, Del, enggak usah dipikirin gitu banget. Lo kan baru pertama kalinya ada problem sama guru, lagian guru baru itu kayaknya juga biasa aja, kok."Reina memberikan sentuhan lembut di pundak Adel guna menenangkan gadis itu. Tetapi gadis itu tetap saja memakan siomainya dengan gerakan lambat. Adel benar-benar seperti zombie sekarang. Reina prihatin menatap wajahnya. Pucat, suram, seperti tidak mempunyai masa depan. Hampir mirip sama anak-anak alay yang lagi galau karena diputusin pacarnya.Adel menghela napasnya lalu berkata, "Lo sih gampang ngomong begitu, Re. Nah gue? Gue shock banget, tahu enggak, pas guru baru itu bilang kalimat telak kalau gue enggak boleh ikut pelajarannya lagi." Adel mencibir dalam diam
“Aku tidak ingin menyimpan perasaanku sendirian. Maka dari itu, tolong dengarkan, dan rasakan.”~♥~♥~♥~Adel menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya merah padam, bajunya kusut, berantakan, ditambah lagi dengan bibirnya yang merah mungkin membengkak karena di sela ciuman mereka, Beni beberapa kali menggigitnya.Adel menggeleng keras. "Apa sih yang udah kulakukan?"Pipinya memanas kala mengingatnya kembali. Lalu gadis itu segera membasuh wajahnya dan dengan cekatan merapikan dandanannya. Adel memutar knop pintu toilet dan langsung mendapati Beni yang bersandar di tembok di depannya. Ia berdehem untuk menyadarkan Beni yang menunggunya.Beni tersenyum, lalu menyuruh Adel berjalan terlebih dahulu di depannya. Mereka beriringan menuju parkiran."Maaf," ujar Beni sambil terus menunduk.Adel menatap Beni dari samping. "Buat apa?""Ciuman itu ...." sahut Beni. Wajah Adel kembali merona."Udahlah, enggak apa-apa kok. Toh pa
“Pernah berada di suatu titik di mana kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan? Ketika kau maju, kau takut menyakiti seseorang. Ketika kau mundur, kau takut bukan hanya seseorang yang tersakiti, tetapi tiga orang.”~♥~♥~♥~Jogja, Sebelum UTS Semester 2, 2017Adel's POVSial!Gara-gara lupa dengan jadwal bulananku, jam segini aku masih harus terjebak di sekolah. Padahal bel pulang sudah berdering dengan nyaringnya sekitar setengah jam yang lalu, tetapi masih banyak murid SMA HARAPAN yang belum pulang. Andai saja tadi aku ikut pulang bareng Reina, aku enggak akan terjebak di sini, di saat semua anak lain sudah pulang dan bobok cantik di rumahnya.Lagi-lagi aku menolehkan kepalaku ke belakang, mengawasi situasi. Sambil tetap merapatkan bagian belakang rokku ke tembok, aku berjalan terseok-seok dengan menggenggam sekantong kresek yang kubeli tadi.Beruntung, warung Bu Sari masih buka, kalo enggak... aku mungkin enggak akan
Jogja, 2018Kalau ada yang bilang persahabatan antara pria dan wanita itu enggak murni, tadinya Nata akan menolak pendapat itu. Ia akan dengan berani mengatakan pada teman-temannya di kelas bahwa persahabatannya dengan Dinda itu murni. Namun, sekarang rasanya Nata akan mengatakan sebaliknya. Ia menyetujui pendapat tersebut.Semenjak ia putus dari Adel, ada yang hilang dari dirinya. Ia frustasi dan hampir menyerah pada hidup. Di saat itu, Dinda datang, dan entah Nata bersyukur ada cewek itu yang bersedia menerima curaha
Jogja, 2018Reina geram pada Aldo, karena sejak setengah jam yang lalu Aldo mengabaikannya. Jika disuruh memilih, Reina lebih memilih menghabiskan hari minggunya untuk tiduran seharian di atas kasurnya yang empuk, sambil nonton drama korea kesayangannya, daripada harus menemani Aldo di kamarnya.Gadis itu menatap miring Aldo yang masih asyik dengan
Jogja, 2008"Mas, nikah itu apa?"Beni yang tengah memakan jambu pemberian Kakek, tersedak. Ia cepat-cepat meminum air putihnya, kemudian menatap Adel lurus-lurus."Nikah?"
Jogja, 2009"Mas Beben mau pulang ke Jakarta?"Beni menghentikan aktivitasnya yang sedang mengepaki pakaian ke dalam tas ranselnya. Beni menatap gadis kecil yang berdiri di ambang pintu dan tengah memainkan ujung kaosnya tersebut. Beni tersenyum dan melangkah mendekati bocah itu.Gadi
“Aku ingin kisahku berakhir bahagia layaknya dongeng-dongeng yang kubaca sebelum tidur.”~♥~♥~
“Aku dilahirkan untuk merayakan ulang tahun bersamamu.”~♥~♥~♥~
“Aku mengenalmu bukan lewat mata, melainkan lewat jiwa yang tulus aku tahu siapa dirimu.”~♥~♥~
"Memaafkan itu memang hal paling berat, tetapi akan terasa indah ketika dilakukannya dengan ikhlas."~♥~♥
“Awalan yang baik akan menghasilkan akhir yang baik pula, bukan?”~♥~♥~♥~