“Aku tidak ingin menyimpan perasaanku sendirian. Maka dari itu, tolong dengarkan, dan rasakan.”
~♥~♥~♥~
Adel menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya merah padam, bajunya kusut, berantakan, ditambah lagi dengan bibirnya yang merah mungkin membengkak karena di sela ciuman mereka, Beni beberapa kali menggigitnya.
Adel menggeleng keras. "Apa sih yang udah kulakukan?"
Pipinya memanas kala mengingatnya kembali. Lalu gadis itu segera membasuh wajahnya dan dengan cekatan merapikan dandanannya. Adel memutar knop pintu toilet dan langsung mendapati Beni yang bersandar di tembok di depannya. Ia berdehem untuk menyadarkan Beni yang menunggunya.
Beni tersenyum, lalu menyuruh Adel berjalan terlebih dahulu di depannya. Mereka beriringan menuju parkiran.
"Maaf," ujar Beni sambil terus menunduk.
Adel menatap Beni dari samping. "Buat apa?"
"Ciuman itu ...." sahut Beni. Wajah Adel kembali merona.
"Udahlah, enggak apa-apa kok. Toh pada akhirnya itu menandakan kalau kamu itu normal," kekeh Adel.
"Tetapi itu artinya aku melanggar larangan kakek," ujar Beni sambil berusaha menatap Adel.
Oh iya, larangan Kakek! Adel mengulum bibirnya.
Beni merogoh saku celananya ketika mereka telah sampai di depan mobil Beni.
"Kamu selama ini udah berusaha, Ben. Aku tahu", kata Adel tertawa kecil. Muka Beni yang melas gitu, lucu juga.
Beni membukakan pintu untuk Adel lalu bergegas masuk lewat pintu yang satunya.
"Sekali lagi, maaf," katanya. Mobil Beni meninggalkan parkiran dengan berisik.
Adel hanya tersenyum sekilas pada Beni, sambil mengecek ponsel hadiah pernikahannya dengan Beni dari Mama Mutia. Ada 10 notifikasi yang belum ia cek. Adel mengernyit saat mendapati 5 pesan, 2 pesan whatsapp, dan 3 panggilan tak terjawab.
Seserius itukah saat Adel mencium Beni tadi? Hingga mengabaikan dering di ponselnya. Adel tertawa dalam hati. Bergegas Adel membuka semua pesannya. Ada 3 pesan dari Nata, 2 pesan whatsapp dari Reina, 3 panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal, dan 2 pesan lain yang juga berasal dari nomor tak dikenal. Adel terbiasa mendapat pesan spam seperti itu. Adel membuka acak pesan teratas dari nomor tak dikenal itu.
From : Pranata
Del, kita jadi ketemu, kan?
Adel menepuk keningnya. Lagi, ia melupakan Nata karena Beni. Pertama saat pernikahan mereka, dan sekarang ketika mungkin Nata sedang menunggu kedatangannya. Hari ini ia berjanji akan menemui Nata yang mengajak bertemu di sebuah taman. Ia kini membuka pesan dari Reina.
From : Reinakuuh
Del, Nata chat gue. Kebiasaan enggak buka ponsel, dasar!
Dah ditungguin di taman, katanya. Cepetan, GPL!
~♥~♥~♥~
Adel berlari tergopoh-gopoh. Gadis itu mengedarkan pandangannya menatap hamparan rumput di depannya. Adel yakin bahwa ia tengah berada di sebuah taman. Taman di dalam perumahan. Setelah Adel bersusah payah meyakinkan Beni agar mengizinkannya untuk diturunkan di tengah jalan, dengan alasan ingin meminjam buku temannya, akhirnya Beni luluh juga. Adel dan Beni yang telah hampir sampai ke rumah mereka terpaksa harus memutar balik mobilnya ke alamat yang dikarang Adel. Gadis itu pun memohon pada Beni supaya mengizinkannya menaiki taksi menuju alamat itu.
Beni tadi benar-benar khawatir padanya, pantas saja, ternyata jam sudah menunjuk pukul 8 malam, jadi wajar jika Beni mencemaskan Adel.
Adel mengedarkan tatapannya sekali lagi, tetapi sejak tadi tidak ada orang di taman ini. Adel merutuk dalam hati. Pasti Nata sedang mengerjainya sekarang.
“Nata kemana, sih? Kok enggak muncul juga?”
Ia marah karena dengan mudahnya ada yang membodohinya. Awas saja jika dirinya besok bertemu dengan cowok itu, Adel bersumpah akan mencukur habis rambutnya.
Baru saja Adel ingin memutuskan pulang dan berbalik, ia sudah dikejutkan dengan suara kembang api di hadapannya. Kalau hanya kembang api biasa, Adel tidak akan melongo seperti ini, tetapi kembang api yang kini berarak di langit malam dan bertuliskan Would you be mine? itulah yang membuat Adel terpaku di tempatnya berdiri.
Kemudian Adel mendengar suara petikan gitar dan nyanyian merdu di belakangnya.
I remember what you wore on our first day
You came into my life
And I thought hey
You know this could be something
Nata berjalan ke arahnya sambil tersenyum. Dibawanya sebuah gitar dan nyanyiannya begitu merdu. Adel bahkan lupa untuk bernapas ketika Nata kembali melanjutkan lirik berikutnya. Mata Adel mengerjap.
'Cause everything you do and words you say
You know that it all takes my breath away
And now I'm left with nothing
Penglihatannya kabur disebabkan oleh matanya yang kini diselimuti genangan air. Adel bahkan baru menyadari bahwa sejak tadi, taman ini dihiasi berbagai hiasan cantik yang tertempel di beberapa area permainan. Seperti ayunan di ujung taman, Adel dapat melihat rangkaian daun dan bunga aster kesukaannya melilit rantai ayunan dengan indah. Di area perosotan pun dipenuhi dengan lilin-lilin kecil di sekelilingnya. Sedangkan di jungkat-jungkit itu, sudah banyak pita yang menempel di pegangannya.
So maybe it's true, that I can't live without you
And maybe two is better than one
But there's so much time, to figure out the rest of my life
And you've already got me coming undone
And I'm thinking two, is better than one
Nata bernyanyi dengan penuh penghayatan. Ia mengedipkan sebelah matanya untuk menyadarkan Adel yang terlalu shock. Dan benar saja, pipi Adel merona ketika tangan Nata menggenggam lembut jemarinya.
Yeah, yeah Two, is better than one …
Lagu berhenti. Cowok itu meletakkan gitarnya di rerumputan dan berjongkok sambil terus menggengam tangan Adel. Nata menatap serius pada Adel yang tengah membekap mulutnya sendiri dengan raut wajah tidak menyangka.
"Berapa tahun kita saling kenal, Del? Setahun? Atau hampir 2 tahun, sejak kejadian lucu ketika kita pertama kali bertemu?" Nata menerawang. "Masih ingat kejadian memalukan itu?" tanyanya lagi. Adel mengangguk malu.
Nata terkekeh dan semakin mengeratkan genggamannya di tangan Adel.
"Waktu itu aku enggak menyangka kalau setelahnya... aku bisa dekat dengan kakak kelas yang sama sekali bukan tipe idamanku. Kamu tahu, kan, kalau awalnya aku itu enggak suka sama perempuan yang usianya di atasku?" Nata menatap Adel teduh, matanya memancarkan kelegaan. Adel mengangguk dan menggumam kecil.
Iya, Adel tahu itu. Itu alasan mengapa Adel sempat ragu dengan perasaan Nata padanya. Karena setahunya, Nata pernah mengatakan tidak akan menyukai kakak kelas, dan tidak suka perempuan yang lebih tua darinya. Dulu saat Adel sangat menyukainya, Nata menggantung hubungan mereka.
"Kamu bukan tipe idealku, Del. Tetapi kenapa aku selalu aja mikirin kamu? Kamu sukses ngalihin perhatianku hanya tertuju pada kamu. Dengan semua pesona kamu, kelucuan kamu, keimutan kamu, semuanya."
"Dari dulu, aku enggak pernah berani ngomong perasaanku yang sebenarnya sama kamu. Karena aku takut, kamu cuma menganggapku sebagai adik. Aku takut perasaanku sia-sia. Dan yang lebih aku takutin adalah... kalau kamu menemukan lelaki lain yang lebih sempurna dibanding aku. Sekarang... detik ini juga ... Aku, Pranata Wijaya. Cowok yang tanpa harus bicara bagaimana perasaannya sama kamu, kamu sudah tahu sendiri kalau aku menyukaimu. Cowok yang jauh dari kata sempurna ini ingin bertanya sama kamu. Would you be my girl?"
Nata menatap Adel penuh harap.
Adel melihat sekelilingnya, dan menemukan teman satu geng Nata disana. Reina pun ada. Gadis itu juga ternyata ikut merencanakan hal ini. Lalu ia kembali mengalihkan tatapannya pada Nata. Cowok itu masih senantiasa menunggu jawabannya.
Ini saatnya, Ardela Maharani! Akhir dari usaha kamu mendekati Nata! Setelah setahun lamanya kamu menyukai cowok ini, apa sekarang kamu akan melepaskannya begitu aja?
Batin Adel bergejolak.
"Ardela Maharani, Je t'aime."
Tiba-tiba perkataan Beni hari itu terdengar di telinganya.
Tunggu! Ada yang salah dengan otak dan hatinya. Kenapa sekarang malah Beni yang terus berputar di otaknya? Apa yang harus ia jawab?
~♥~♥~♥~
“Pernah berada di suatu titik di mana kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan? Ketika kau maju, kau takut menyakiti seseorang. Ketika kau mundur, kau takut bukan hanya seseorang yang tersakiti, tetapi tiga orang.”~♥~♥~♥~Jogja, Sebelum UTS Semester 2, 2017Adel's POVSial!Gara-gara lupa dengan jadwal bulananku, jam segini aku masih harus terjebak di sekolah. Padahal bel pulang sudah berdering dengan nyaringnya sekitar setengah jam yang lalu, tetapi masih banyak murid SMA HARAPAN yang belum pulang. Andai saja tadi aku ikut pulang bareng Reina, aku enggak akan terjebak di sini, di saat semua anak lain sudah pulang dan bobok cantik di rumahnya.Lagi-lagi aku menolehkan kepalaku ke belakang, mengawasi situasi. Sambil tetap merapatkan bagian belakang rokku ke tembok, aku berjalan terseok-seok dengan menggenggam sekantong kresek yang kubeli tadi.Beruntung, warung Bu Sari masih buka, kalo enggak... aku mungkin enggak akan
“Tidak ada ucapan teromantis, selain ucapan selamat malam sebelum tidur. Maka kau akan bermimpi indah setelah mendengarnya.”~♥~♥~♥~Beni's POVMataku sebenarnya masih enggan untuk dibuka. Rasanya berat banget, seperti ada lem yang bikin kelopak mataku benar-benar nempel. Tetapi sesuatu yang berat yang menimpa lengan kiriku membuatku terpaksa membuka mata, karena enggak nyaman. Saat membuka mata, pemandangan yang aku dapati adalah Adel yang tengah terduduk di lantai sambil memejamkan matanya. Ia bersandar pada sofa tempatku berbaring kini, seraya menumpukkan kepalanya di lengan kiriku menghadapku. Adel ketiduran. Wajahnya yang benar-benar lesu dalam tidurnya kuyakin hasil ulahku karena membiarkannya pulang sendirian pada malam hari begini. Adel manis sekali. Istriku ini sangat manis bahkan dalam tampilan wajah lesunya yang polos.Aku beranjak bangkit dari posisi tidurku dan beralih memindahkan Adel yang tidur dengan posisi enggak n
Tidak ada hal yang lebih membimbangkan selain harus memilih satu di antara dua pilihan.”~♥~♥~♥~“Adel, kamu cari buku untuk tugasnya, jangan lupa diketik, habis itu setorin di grup kelompok.”Adel mengangguk kecil merespon ucapan teman sekelasnya. Ia bergegas menuju perpustakaan bersama Reina. Kalau enggak karena dipaksa Adel, Reina enggak akan mau menemani gadis itu ke perpustakaan. Mereka berjalan sambil bersenda gurau menuju perpustakaan."Iya, enggak masuk akal banget coba, masa Sungjae dikabarin pacaran sama Soyeon!" gerutu Reina. Ia cemberut menatap Adel dari samping."Ih, gue nggak suka noh sama si Soyeon itu. Mereka mah nggak cocok!" Adel ikut menyetujui. Ia menggamit lengan Reina sambil ikut melirik artikel yang tengah dibaca gadis itu di ponselnya.Perpustakaan hari ini ramai. Adel dan Reina mendesah panjang kala melihat j
“Airmata merupakan satu-satunya cara bagaimana mata berbicara, ketika bibir tak mampu menjelaskan bahwa kita sedang terluka.”~♥~♥~♥~Adel menatap Beni yang tengah mengoreksi soal-soal kelas X di ruang keluarga. Gadis itu tersenyum melihat Beni yang sejak tadi bergonta-ganti ekspresi wajah. Kadang Beni mengerutkan kening serius, kadang mendesah kesal, dan kadang terkekeh sendiri memperhatikan jawaban soal kuis dari muridnya. Tangannya juga tidak tinggal diam, Beni sesekali menghitung dengan tangan, lalu menghitung dengan kalkulator. Ia mencoret kemudian membenarkan jawaban yang benar menurutnya. Segala hal kecil yang Beni lakukan tak luput dari pengamatan Adel, dan lagi-lagi membuat Adel tak bosan menyunggingkan senyum.“Serius amat, Ben.”Beni menoleh ke arahnya, lalu melepas kacamatanya. “Kalau enggak serius, aku sudah jadi pelawak, Del.”Jawaban Beni membuatnya mengerutkan dahi. Apa maksudnya?“Iya, kan kalau pelawak bercanda mulu, e
“Pada akhirnya, hanya tiga hal yang berarti: Seberapa banyak kau mencintai,Seberapa lembut kau menjalani hidup, dan seberapa ikhlas kau melepaskan sesuatu yang tidak dimaksudkan untukmu.”~♥~♥~♥~Adel menatap layar ponselnya dengan gusar. Sedari tadi layarnya menyala menampilkan nama Nata di sana. Cowok itu sudah berkali-kali meneleponnya, ia abaikan. Mengembuskan napas keras, akhirnya Adel menulis pesan untuk Nata. Menyuruhnya agar tidak mencoba menghubunginya lagi. Jahat. Adel tahu ia sangat jahat. Ia sudah menyakiti dua orang, tidak, bahkan tiga orang.Bohong jika ia sendiri tidak sakit. Bohong jika Adel mengaku tidak sedih. Namun, sesuatu yang akhirnya menyakitkan akan lebih baik daripada kebohongan yang dipendamnya terus menerus.Sepertinya cowok itu menyerah. Ia tidak menghubungi Adel lagi setelah menerima pesan. Dan entah Adel merasa bersalah sekarang.
Kamu semua adalah cinta pertama seseorang.”~♥~♥~♥~“Kamu semua adalah cinta pertama seseorang. Selama masa itu, kita semua, baik pria maupun wanita, sedang jatuh cinta. Dan kita mungkin telah menjadi cinta pertama seseorang.”Adel mendengarkan guru bahasa Indonesianya membacakan kutipan dari sebuah film di depan kelas. Gadis itu menatap papan tulis, sesekali mencatat, kemudian mencoret tulisannya yang salah. Kemudian matanya menerawang kejadian beberapa hari yang lalu. Hari dimana Nata benar-benar membuatnya goyah, hingga Adel ingin memeluk cowok itu. Nata sudah tidak pernah menghubunginya lagi sejak itu. mungkin cowok itu lelah untuk kembali menggoyahkan perasaan Adel.Cinta pertama, ya? Omong-omong, Adel sudah mendapat pengakuan dari Beni tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu. Beni mengatakan padanya bahwa ia sudah menyukai Adel sejak kecil bahkan sering mencari kabar tentangnya dari dulu. Dan ia juga berkata bahwa Adel adalah cinta pertamany
“Pecundang itu yang hanya berani bicara di belakang, tetapi tidak berani bicara di depan orangnya persis.”~♥~♥~♥
“Nyatanya, berada di dekatmu adalah hal yang paling kusyukuri pada Tuhan.”~♥~♥~♥~
Jogja, 2018Kalau ada yang bilang persahabatan antara pria dan wanita itu enggak murni, tadinya Nata akan menolak pendapat itu. Ia akan dengan berani mengatakan pada teman-temannya di kelas bahwa persahabatannya dengan Dinda itu murni. Namun, sekarang rasanya Nata akan mengatakan sebaliknya. Ia menyetujui pendapat tersebut.Semenjak ia putus dari Adel, ada yang hilang dari dirinya. Ia frustasi dan hampir menyerah pada hidup. Di saat itu, Dinda datang, dan entah Nata bersyukur ada cewek itu yang bersedia menerima curaha
Jogja, 2018Reina geram pada Aldo, karena sejak setengah jam yang lalu Aldo mengabaikannya. Jika disuruh memilih, Reina lebih memilih menghabiskan hari minggunya untuk tiduran seharian di atas kasurnya yang empuk, sambil nonton drama korea kesayangannya, daripada harus menemani Aldo di kamarnya.Gadis itu menatap miring Aldo yang masih asyik dengan
Jogja, 2008"Mas, nikah itu apa?"Beni yang tengah memakan jambu pemberian Kakek, tersedak. Ia cepat-cepat meminum air putihnya, kemudian menatap Adel lurus-lurus."Nikah?"
Jogja, 2009"Mas Beben mau pulang ke Jakarta?"Beni menghentikan aktivitasnya yang sedang mengepaki pakaian ke dalam tas ranselnya. Beni menatap gadis kecil yang berdiri di ambang pintu dan tengah memainkan ujung kaosnya tersebut. Beni tersenyum dan melangkah mendekati bocah itu.Gadi
“Aku ingin kisahku berakhir bahagia layaknya dongeng-dongeng yang kubaca sebelum tidur.”~♥~♥~
“Aku dilahirkan untuk merayakan ulang tahun bersamamu.”~♥~♥~♥~
“Aku mengenalmu bukan lewat mata, melainkan lewat jiwa yang tulus aku tahu siapa dirimu.”~♥~♥~
"Memaafkan itu memang hal paling berat, tetapi akan terasa indah ketika dilakukannya dengan ikhlas."~♥~♥
“Awalan yang baik akan menghasilkan akhir yang baik pula, bukan?”~♥~♥~♥~