“Ada hari di mana kau tidak ingin waktu berlalu dengan cepat. Tahu artinya? Kau bahagia dan menghargai waktu yang kau lalui bersamanya.”
~♥~♥~♥~
Beni sedari tadi tidak dapat menahan senyumnya tatkala melihat penampilan Adel. Benarkah yang ada di hadapannya itu Adel? Itulah yang sejak sepuluh menit lalu ia tanyakan pada penglihatannya. Adel begitu cantik dengan balutan dress berwarna putih salju yang kini ia kenakan. Gadis itu tampak anggun, tidak seperti Adel yang biasanya judes kepada semua orang yang baru dikenalnya.
Beni menatap Adel untuk kesekian kalinya. Tetapi bukannya bosan, ia malah semakin kecanduan memandang wajah mungil itu. Itukah gadis yang dulu dengan lucunya mengajaknya berkenalan? Apa itu gadis yang dulu pernah mengobati luka di lututnya saat ia terjatuh? Beni mengenang, ingatannya jatuh pada bertahun-tahun yang lalu. Di mana ada Adel kecil di sana.
Ya. Sepertinya ia memang gadis kecil itu, Ardela Maharani. Gadis yang sejak kecil Beni sukai.
~♥~♥~♥~
Jogja, Libur Lebaran 2008
"Mas, namanya siapa?"
Beni yang baru duduk manis di ruang tengah kediaman Kakek Retno terkejut. Ia menatap gadis kecil di hadapannya dengan bingung. Tetapi akhirnya ia menyambut uluran tangan gadis kecil itu. "Beni," ucapnya.
Gadis kecil dengan mata sayu dan rambut kecokelatan itu tersenyum manis.
"Kalau Adel namanya Adel," sahut gadis kecil itu. Namun, sedetik kemudian ia menggaruk kepalanya sendiri. "Eh?" Gadis kecil itu bingung dengan ucapannya sendiri.
Sontak Beni terkekeh melihatnya. Lalu mengacak poni rata gadis itu.
"Oh ... jadi kamu namanya Adel? Namanya lucu, kayak orangnya," kata Beni.
Adel tersipu lalu mulai memberanikan diri untuk kembali bertanya. "Mas ganteng deh. Kelas berapa, Mas?" tanyanya lucu.
Beni mau tidak mau gantian tersipu setelah mendengar kalimat polos itu. Sambil tersenyum, ia menjawab, "Kelas 2 SMP."
Adel kecil mengedip-ngedipkan matanya lucu. "SMP itu apa?" tanyanya polos.
Beni tampak berpikir sebelum akhirnya menjawab. "SMP itu kalau Adel udah lulus SD terus lanjut ke SMP," jawab Beni asal. Ia mengedikkan bahu acuh pada kalimat asal-asalan barusan. Namun, Adel mengangguk-anggukkan kepala seolah paham.
"Kalau gitu, Adel mau SMP aja, ah, biar bisa bareng sama Mas Ganteng," sahut Adel polos.
Beni tertawa untuk kesekian kalinya. Setelah tawanya reda ia kembali berujar. "Masih kecil udah genit aja, ya. Kamu harus belajar yang rajin dulu kalau mau bareng sekolahnya sama Mas," tambahnya.
"Iya." Dan dengan polosnya Adel mengangguk.
"Adel, makan dulu, Nak!" Dari arah dalam, seruan bundanya membuat dua anak itu menoleh. Meiti menghampiri Adel kecil lalu tersenyum kearah Beni."Kamu juga, Ben, udah ditunggu Papa kamu di dalam," sambungnya.
"Bunda udah kenal sama Mas Ganteng, ya? Kok enggak dikenalin sih ke Adel?" Adel pura-pura marah kepada bundanya. Lalu mengentakkan kakinya berjalan ke arah ruang makan.
Beni terkekeh dan mengusap keningnya. “Masih kecil aja udah kayak gitu genitnya, gimana gedenya?” batinnya.
"Jangan dimasukkin hati ya, Ben. Maklumlah, Adel baru kelas 2 SD, masih kecil, masih suka ngaco kalau ngomong," kata Bunda.
"Enggak apa-apa kok, Bude. Beni udah sering digodain anak kecil," candanya. Reflek mereka tertawa. Meiti merangkul Beni menyusul Adel yang tengah memberengut di ruang makan bersama kakeknya.
Tidak ada yang tahu saat itu, jika sikap lugu, polos, dan lucu Adel yang membuat Beni terus mengingat gadis itu. Bahkan hingga kepulangannya ke Jakarta seminggu setelah hari itu.
Dan mungkin … sampai sekarang atau beberapa tahun kemudian.
~♥~♥~♥~
Jogja, Libur Tahun Baru 2009
Beni tersenyum masam menuruti perintah kakek saat cowok itu disuruh untuk memanjat pohon mangga di pekarangan rumah.
"Anak lelaki harus jago manjat. Enggak ada anak lelaki di keluarga Djamil yang enggak bisa manjat. Kalau kamu enggak bisa manjat pohon itu berarti kamu bukan anggota Keluarga Djamil," kata kakek santai sewaktu Beni ingin membantah.
Tetapi akhirnya ia menyanggupi juga perintah kakek.
Jadi di sinilah Beni sekarang, menatap pohon mangga setinggi empat meter yang menjulang di hadapannya. Beni yakin ia tidak akan mati walaupun jatuh dari pohon itu, tetapi tetap saja ia takut. Setidaknya ia hanya akan mengalami patah tulang. Tunggu, patah tulang? Membayangkannya saja, Beni sudah ngeri. Karena seumur hidupnya ia belum pernah memanjat pohon. Bagaimana mungkin ia harus memanjat pohon di pekarangan rumahnya. Di Jakarta saja tidak ada pohon mangga setinggi ini?
Jadi dengan menyebut nama Allah, ia akhirnya memberanikan diri untuk memanjat pohon itu. Susah payah Beni memanjat pohon hingga tidak menghiraukan ledekan Denis, sepupunya yang tertawa menyaksikan wajah memerah Beni. Juga mengabaikan Adel yang di bawah sana sedang tertegun melihat Beni, Mas Gantengnya kesusahan memanjat. Ia menatap Beni prihatin lalu akhirnya hanya diam menunggu. Lima belas menit dan Beni masih menggelantung di atas pohon.
"Mas Ganteng lucu, deh, wajahnya merah banget. Udah gitu gelantungan di atas pohon kayak monyet di Ragunan aja," kekeh Adel. Omong-omong Ragunan, Adel bahkan mendengar kata ‘Ragunan’ dari Denis sepupu Beni.
"Yang udah mateng, Ben, milihnya. Masa yang masih ijo kamu petik, sih?" Suara papanya mengganggu konsentrasi Beni.
Ia hampir memetik mangga termatang yang pernah ada sepanjang pohon itu tumbuh. Adel yang di bawahnya saja hampir menjatuhkan air liurnya, membayangkan bagaimana rasanya mangga harum manis berwarna oranye itu masuk ke tenggorokannya. Tapi. . .
BRUK
"Beni!"
~♥~♥~♥~
"Aduh! Pelan-pelan, Ma!"
Beni mengaduh kesakitan saat Mutia dengan tidak sengaja menekan luka di lututnya. Beni jatuh tengkurap dengan mengenaskan, tetapi cowok itu tidak menangis sama sekali. Akibat terjatuh itu, ia melukai dagu, siku, dan lututnya. Tadi kata tukang pijat langganan keluarga kakek, Beni tidak apa-apa, tidak ada tulang yang bergeser atau kemungkinan lainnya.
Tetapi tetap saja, luka itu datang bersamaan dengan memar. Dan pastinya menimbulkan sakit yang luar biasa. Jadi cowok itu sekeras mungkin menahannya agar tidak terlihat lemah.
"Adel pengen bantu obatin lukanya Mas Ben dong, Tante." Adel menghampiri Mutia yang akan memplester luka di lutut Beni.
Gadis kecil itu tersenyum, lalu kembali berujar. "Mas Ganteng dagunya luka, tetapi tetep aja ganteng," canda Adel.
Tanpa diduga, Beni malah terkekeh mendengarnya. Satu hal yang disukai Adel, yaitu senyuman Beni.
"Gitu dong, Mas, ketawa. Jangan cemberut terus kayak tadi," kata Adel.
Jadi sejak tadi Adel hanya ingin menghiburnya?
Gadis kecil itu mengambil alih plester di tangan Mutia, kemudian memasangkan ke lutut Beni. Untuk kesekian kalinya Beni mengaduh. Tetapi kini ia tertegun, bagaimana bisa seorang bocah kelas 2 SD melakukan tindakan ini padanya.
Dan Adel adalah orang pertama yang membuat Beni rela menatap wajahnya lama-lama. Ini bukan sifat Beni, cowok itu akan bersikap acuh pada apapun. Sifat itu ia yakin sudah permanen sejak Beni lahir, tetapi kini semuanya sirna, Adel merubah Beni.
"Nah! Selesai!" seru Adel riang.
Beni tersenyum, ia mengelus rambut Adel lalu berujar, "Terimakasih."
~♥~♥~♥~
Adel tersenyum ketika telapak tangannya menyentuh jemari Beni yang kini menggenggamnya. Pandangannya tidak terlepas dari wajah tampan Beni. Kini semua orang menatap mereka ketika ada aba-aba untuk memulai 'Wedding Kiss' mereka.
Wajah Adel memerah. Apakah ini saatnya? Saat di mana ia harus merelakan ciuman pertamanya?
Gadis itu ragu sesaat. Adel sudah berjanji untuk memberikan ciuman pertamanya pada suaminya kelak. Tunggu, bukankah saat ini Adel telah resmi menjadi seorang istri dari Beni Pandjaitan. Jadi ia harus ikhlas, kan?
Sebelum Adel selesai berdebat dengan pikirannya, ia sudah dikejutkan dengan lengan kekar Beni yang memeluk pinggangnya dan sedetik kemudian Adel membelalakkan matanya ketika bibir Beni menyentuh bibirnya dengan lembut. Beni memeluknya erat, tidak menghiraukan sorakan ibu-ibu anggota keluarga Djamil yang kini mengabadikan momen itu. Setelah tautan mereka terlepas, Adel menatap garang pada Beni yang memasang cengiran di wajahnya.
"Itu ciuman pertamaku dan kamu yang mengambilnya? How lucky of you," sindir Adel.
"Sorry, aku enggak berharap jadi orang yang dapat ciuman pertamamu, tetapi aku selalu berharap jadi ciuman terakhirmu," ledek Beni. Adel mencebikkan bibirnya. Cowok itu menyeringai lalu meraih tangan Adel untuk segera turun dari pelaminan ke meja yang telah diisi oleh seluruh keluarga Djamil.
Wajah orang-orang tua itu rata-rata memancarkan kebahagiaan. Tetapi ada satu yang mengganggu penglihatan Adel. Tatapan sinis dari Tante Lia.
"Setelah ini, apa yang harus kulakukan agar keluarga ini kembali menyatu?"
~♥~♥~♥~
“Aku tidak ingin munafik dengan membohongi diriku sendiri. Tetapi aku senang kau menyebut perumpamaan antara kau dan aku dengan kata ‘kita’.”~♥~♥~♥~Selepas acara pernikahan, Kakek Retno mengumpulkan anggota keluarga besar Djamil di ruang aula besar.Ruangan ini terdapat di gedung hotel yang sengaja disewa kakek, lengkap dengan segala perlengkapan pernikahan.Adel bahkan baru tahu, bahwa Kakek Retno ternyata kaya raya. Buktinya, kakek bisa menyewa salah satu ruangan di hotel yang Adel taksir akan mencapai sekitar 50 juta.Belum lagi ditambah dengan tetek-bengek pernikahan ini.Adel benar-benar tidak menyangka sebelumnya."Kamu harus siap-siap untuk pulang ke rumah."Meiti menyentuh lengan Adel dan itu cukup menyadarkan Adel dari lamunannya."Hah, akhirnya!" Adel mengembuskan napasnya lalu mulai mengangkat gaunnya yang kebesaran dan berjalan ke pintu keluar."Eh, kamu mau kemana?" tanya Meiti menahan lengan Adel yang main
“Aku senang pada kenyataan di mana aku dan kau … sedikit lebih dekat. Itu awal yang baik untuk sebuah hubungan, bukan?”~♥~♥~♥~Mereka berdua sarapan dalam diam. Adel mengaduk-aduk makanannya tidak bersemangat. Sedangkan Beni malah memakan sarapannya dengan lahap. Beni menelan makanannya lalu meminum minumannya. Cowok itu menatap Adel prihatin dan berkata, "Kalau makanannya kamu aduk-aduk terus kayak gitu, nanti dingin, Del."Adel terus saja mengerucutkan bibirnya. Ia masih marah pada Beni, karena cowok itu semalam tidak mau mengalah padanya. Setelah Adel berpura-pura pingsan di ambang pintu kamar yang mereka perebutkan semalam, Beni dengan seenaknya menggendong Adel bagaikan karung beras dan menggiring gadis itu ke kamar bawah tangga. Adel sudah memohon pada cowok itu, tetapi lagi-lagi Beni mengusulkan untuk tidur sekamar dengannya. Sekali Adel merajuk, Beni akan dengan sekenanya menjawab, "Kenapa harus malu t
“Aku berbohong kalau berkata jika ini kabar yang buruk. Namun, aku juga tidak bisa menyebutnya kabar yang baik, mengingat bagaimana hubungan kita.”~♥~♥~♥~"Pagi." Adel tersenyum manis pada Beni saat cowok itu keluar dari kamarnya dengan setelan kemeja rapi."Pagi," sahut Beni cepat. Cowok itu mengacak rambut Adel gemas dan ikut mendudukkan dirinya di samping Adel."Kopi, please," pintanya.Adel buru-buru mengambil apa yang diinginkan Beni dan segera menyerahkannya."Thanks," kata Beni sambil menyesap kopinya."Kamu mau kemana pagi-pagi begini? Tumben. Enggak ada tuh pengangguran rapi yang cuma di rumah tetapi pakai kemeja kantoran," ledek Adel.Beni terkekeh lalu menyeringai pada Adel."Aku diterima kerja," katanya.Adel tersenyum dan bertepuk tangan di tempatnya. Kemudian ia beranjak dan tanpa sadar memeluk Beni."Selamat ya, suamiku. Aku seneng dengernya," katanya.Beni awalnya tersentak bing
“Well, guru baru dan hukumannya yang menyenangkan? Aku tidak ingin murid lain memiliki hukuman ini juga!”~♥~♥~♥~Adel memainkan sedotan dalam gelas jusnya dengan malas. Gadis itu juga berkali-kali mengembuskan napasnya lelah."Udahlah, Del, enggak usah dipikirin gitu banget. Lo kan baru pertama kalinya ada problem sama guru, lagian guru baru itu kayaknya juga biasa aja, kok."Reina memberikan sentuhan lembut di pundak Adel guna menenangkan gadis itu. Tetapi gadis itu tetap saja memakan siomainya dengan gerakan lambat. Adel benar-benar seperti zombie sekarang. Reina prihatin menatap wajahnya. Pucat, suram, seperti tidak mempunyai masa depan. Hampir mirip sama anak-anak alay yang lagi galau karena diputusin pacarnya.Adel menghela napasnya lalu berkata, "Lo sih gampang ngomong begitu, Re. Nah gue? Gue shock banget, tahu enggak, pas guru baru itu bilang kalimat telak kalau gue enggak boleh ikut pelajarannya lagi." Adel mencibir dalam diam
“Aku tidak ingin menyimpan perasaanku sendirian. Maka dari itu, tolong dengarkan, dan rasakan.”~♥~♥~♥~Adel menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya merah padam, bajunya kusut, berantakan, ditambah lagi dengan bibirnya yang merah mungkin membengkak karena di sela ciuman mereka, Beni beberapa kali menggigitnya.Adel menggeleng keras. "Apa sih yang udah kulakukan?"Pipinya memanas kala mengingatnya kembali. Lalu gadis itu segera membasuh wajahnya dan dengan cekatan merapikan dandanannya. Adel memutar knop pintu toilet dan langsung mendapati Beni yang bersandar di tembok di depannya. Ia berdehem untuk menyadarkan Beni yang menunggunya.Beni tersenyum, lalu menyuruh Adel berjalan terlebih dahulu di depannya. Mereka beriringan menuju parkiran."Maaf," ujar Beni sambil terus menunduk.Adel menatap Beni dari samping. "Buat apa?""Ciuman itu ...." sahut Beni. Wajah Adel kembali merona."Udahlah, enggak apa-apa kok. Toh pa
“Pernah berada di suatu titik di mana kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan? Ketika kau maju, kau takut menyakiti seseorang. Ketika kau mundur, kau takut bukan hanya seseorang yang tersakiti, tetapi tiga orang.”~♥~♥~♥~Jogja, Sebelum UTS Semester 2, 2017Adel's POVSial!Gara-gara lupa dengan jadwal bulananku, jam segini aku masih harus terjebak di sekolah. Padahal bel pulang sudah berdering dengan nyaringnya sekitar setengah jam yang lalu, tetapi masih banyak murid SMA HARAPAN yang belum pulang. Andai saja tadi aku ikut pulang bareng Reina, aku enggak akan terjebak di sini, di saat semua anak lain sudah pulang dan bobok cantik di rumahnya.Lagi-lagi aku menolehkan kepalaku ke belakang, mengawasi situasi. Sambil tetap merapatkan bagian belakang rokku ke tembok, aku berjalan terseok-seok dengan menggenggam sekantong kresek yang kubeli tadi.Beruntung, warung Bu Sari masih buka, kalo enggak... aku mungkin enggak akan
“Tidak ada ucapan teromantis, selain ucapan selamat malam sebelum tidur. Maka kau akan bermimpi indah setelah mendengarnya.”~♥~♥~♥~Beni's POVMataku sebenarnya masih enggan untuk dibuka. Rasanya berat banget, seperti ada lem yang bikin kelopak mataku benar-benar nempel. Tetapi sesuatu yang berat yang menimpa lengan kiriku membuatku terpaksa membuka mata, karena enggak nyaman. Saat membuka mata, pemandangan yang aku dapati adalah Adel yang tengah terduduk di lantai sambil memejamkan matanya. Ia bersandar pada sofa tempatku berbaring kini, seraya menumpukkan kepalanya di lengan kiriku menghadapku. Adel ketiduran. Wajahnya yang benar-benar lesu dalam tidurnya kuyakin hasil ulahku karena membiarkannya pulang sendirian pada malam hari begini. Adel manis sekali. Istriku ini sangat manis bahkan dalam tampilan wajah lesunya yang polos.Aku beranjak bangkit dari posisi tidurku dan beralih memindahkan Adel yang tidur dengan posisi enggak n
Tidak ada hal yang lebih membimbangkan selain harus memilih satu di antara dua pilihan.”~♥~♥~♥~“Adel, kamu cari buku untuk tugasnya, jangan lupa diketik, habis itu setorin di grup kelompok.”Adel mengangguk kecil merespon ucapan teman sekelasnya. Ia bergegas menuju perpustakaan bersama Reina. Kalau enggak karena dipaksa Adel, Reina enggak akan mau menemani gadis itu ke perpustakaan. Mereka berjalan sambil bersenda gurau menuju perpustakaan."Iya, enggak masuk akal banget coba, masa Sungjae dikabarin pacaran sama Soyeon!" gerutu Reina. Ia cemberut menatap Adel dari samping."Ih, gue nggak suka noh sama si Soyeon itu. Mereka mah nggak cocok!" Adel ikut menyetujui. Ia menggamit lengan Reina sambil ikut melirik artikel yang tengah dibaca gadis itu di ponselnya.Perpustakaan hari ini ramai. Adel dan Reina mendesah panjang kala melihat j
Jogja, 2018Kalau ada yang bilang persahabatan antara pria dan wanita itu enggak murni, tadinya Nata akan menolak pendapat itu. Ia akan dengan berani mengatakan pada teman-temannya di kelas bahwa persahabatannya dengan Dinda itu murni. Namun, sekarang rasanya Nata akan mengatakan sebaliknya. Ia menyetujui pendapat tersebut.Semenjak ia putus dari Adel, ada yang hilang dari dirinya. Ia frustasi dan hampir menyerah pada hidup. Di saat itu, Dinda datang, dan entah Nata bersyukur ada cewek itu yang bersedia menerima curaha
Jogja, 2018Reina geram pada Aldo, karena sejak setengah jam yang lalu Aldo mengabaikannya. Jika disuruh memilih, Reina lebih memilih menghabiskan hari minggunya untuk tiduran seharian di atas kasurnya yang empuk, sambil nonton drama korea kesayangannya, daripada harus menemani Aldo di kamarnya.Gadis itu menatap miring Aldo yang masih asyik dengan
Jogja, 2008"Mas, nikah itu apa?"Beni yang tengah memakan jambu pemberian Kakek, tersedak. Ia cepat-cepat meminum air putihnya, kemudian menatap Adel lurus-lurus."Nikah?"
Jogja, 2009"Mas Beben mau pulang ke Jakarta?"Beni menghentikan aktivitasnya yang sedang mengepaki pakaian ke dalam tas ranselnya. Beni menatap gadis kecil yang berdiri di ambang pintu dan tengah memainkan ujung kaosnya tersebut. Beni tersenyum dan melangkah mendekati bocah itu.Gadi
“Aku ingin kisahku berakhir bahagia layaknya dongeng-dongeng yang kubaca sebelum tidur.”~♥~♥~
“Aku dilahirkan untuk merayakan ulang tahun bersamamu.”~♥~♥~♥~
“Aku mengenalmu bukan lewat mata, melainkan lewat jiwa yang tulus aku tahu siapa dirimu.”~♥~♥~
"Memaafkan itu memang hal paling berat, tetapi akan terasa indah ketika dilakukannya dengan ikhlas."~♥~♥
“Awalan yang baik akan menghasilkan akhir yang baik pula, bukan?”~♥~♥~♥~