Mata Fanny sudah sangat mengantuk, namun dia menjadi terganggu sekali karena suara gaduh dari luar kamar yang begitu bising. Dilirknya Adam begitu lelap. Mungkin karena pengaruh obat dokter yang masih dikonsumsinya.
Perlahan Fanny menggeserkan tubuhnya dari balik selimut, dengan menguap lebar berulang kali.“Kalian?” Ucap Fanny nyaris tak percaya saat melihat Ibu mertuanya tengah bermain mahjong dengan Sharena dan juga? Maya dan Tante Arin.“Hmm, gadis miskin ini mau kemana?” Ucap Lucy menyindirnya.“Ibu, kenapa belum tidur? Ini sudah sangat larut,” ucap Fanny sambil duduk di kursi kosong yang berada di sebelah Lucy.Satu per satu wajah di depannya itu dipandanginya.“Apa maumu? Ini rumahku!” Ucap Lucy ketus.“Tentu Ibu, aku sangat tahu itu. Tapi lihat jam di sana, Ibu harus istirahat. Bukankah besok Ibu masih bisa bermain mahjong lagi?” Tutur Fanny.Gerutuan terdengar setelahnya. Bukan hanya dari mulutnya Lucy, melainkan juga dari mulut lain yang adaKediaman Hussein semakin disesaki orang hingga hari semakin siang. Sejumlah kolega terus berdatangan menjumpai Adam.Fanny sendiri kini tengah berada di Kantor Polisi guna mendampingi Lucy. Sejumlah pembelaan dasar telah diajukan Fanny untuk bisa menunda penahanan Lucy. Namun pihak Kepolisian tidak bekerja mendadak, Lucy ternyata telah menjadi bidikan target sejak dua pekan terakhir.Fanny duduk menyungsarkan kedua kakinya di bangku panjang yang berada di luar kantor Kepolisian. Wanita ini tengah berusaha menenangkan dirinya. Di tangan Fanny saat ini, sejumlah barang bukti kepemilikan barang haram dan juga hasil urine test Lucy yang menyatakan positif pengguna zat adiktif tersebut kian membuatnya cemas.“Ibu, apa yang terjadi hingga kau terjebak di dalam pusaran ini?” gumam Fanny sambil menutup wajahnya menggunakan lembaran kertas di tangannya. Matanya berkaca-kaca, Fanny tengah menangisi hidupnya di dalam hati saja.Untuk sesaat Fanny merasa jika hidupnya sempurna,
Didorongnya kursi roda Adam ke arah lift yang langsung menuju kamar utama. Tidak ada perbincangan di sepanjang perjalanan. Tatapan Fanny nanar mengamati ke arah lantai dasar yang masih dipenuhi para staf dan juga awak media yang berburu informasi dari situasinya ini.“Kita harus istirahat,” ucap Fanny.Adam setuju, dan malam ini mereka menghabiskan malam dengan mata yang tak kunjung terlelap hingga dini hari menjelang.***“Kamu mau kemana?” tanya Fanny saat melihat Adam telah siap dengan pakaian resminya.“Aku tidak bisa terus disini,” ucap Adam sambil menyimpulkan dasi di lehernya.Fanny yang baru selesai mandi, kini tersenyum tipis. “Kau yakin siap untuk keluar dari rumah dengan kursi roda itu?” tanya Fanny.Senyuman di wajah Adam seketika menjawabnya.“Tentu, jika istriku yang tengah mengandung saja sanggup mengurusiku dan juga Ibuku, maka kursi roda ini tidak seharusnya menahanku untuk bisa melindungi keluargaku,” ucap Adam dengan suara baritonny
Adam pun akhirnya diam. Dia membiarkan Fanny tidur sementara di mobil. Meski banyak yang keheranan karena sampai di rumah Adam tak kunjung turun dari mobilnya, lelaki itu mengacuhkannya. Hanya Jhon yang kini sibuk ditanyai oleh para awak media terkait alasannya itu.Dua jam berlalu, perlahan Fanny membuka matanya. “Adam, kita dimana?” tanyanya.“Sayang, kau sudah bangun? Ayo kita turun,kita sudah sampai di rumah,” jawab Adam.Fanny mengucak matanya dan masih saja menguap beberapa kali tanpa bisa ditahannya.Adam kemudian membuka kaca jendela mobil memanggil Jhon untuk membantunya turun, tapi Fanny justru menolaknya.“Aku bisa membantumu, Dam.”“Baiklah,” Keduanya kemudian turun dari mobil dan segera masuk menuju halaman rumah. Para awak media sendiri sudah diamankan Jhon ke teras samping sehingga Adam dan Fanny tidak lagi terganggu. Dari garasi mereka langsung naik ke kamar utama.***Besok sidang dimulai, tapi kondisi Ibu masih belum membaik. Ki
Memiliki profesi sebagai lawyer, membuat Fanny sedikitnya mengerti apa saja yang harus dilakukannya untukemmbela klien. Hal ini membantunya dalam mengumpulkan berbagai bukti untuk meringankan tuduhan atas ibu mertuanya.“Tidak mungkin!” ucap Fanny ketika mobil melaju mendekati halaman rumah Lucy dan dia melihat rumah tersebut sudah ditandai menggunakan pita kuning Polisi yang menunjukkan jika rumah itu tengah dalam penyelidikan kepolisian.“Berhenti di sini saja,” ucapnya.Jeda menit membungkam Fanny di sana. Rumah tinggal Lucy berjarak dua puluh meteran dari arahnya. Berada di jalur kanan jalan.“Ayo pulang,” ucapnya.***Sudah jam delapan malam, Fanny baru pulang. “Jhon, Bapak di mana?” tanya Fanny.“Di ruangan kerja mendiang Pak Abraham Bu,” jawab Jhon.Langkah Fanny kini diseretnya ke arah kanan rumah dimana ruangan kerja mendiang Papa mertuanya berada.CEKLEKPintu dibukanya perlahan, di dalam sana Adam tengah membaca laptop milik Ab
Mobil yang dikendarai Adam terus melaju kencang di sela padatnya jalanan kota New Filla sore ini.“Adam, tenanglah!” ucap Fanny yang masih merasa trauma dengan kecelakaan mereka tempo hari langsung cemas.“Tidak ada cukup waktu!” ucap Adam sambil menikungkan mobilnya menuju terminal penerbangan internasional di Bandara New Filla.Deretan penunjuk jalan yang berada di kanan dan kiri jalan seolah tak mengganggu Adam yang sudah fokus dengan tujuannya.Fanny masih meraba-raba apa yang akan dilakukan suaminya kali ini. Wanita ini memilih diam dan terus mengamati.Mobil pun perlahan menepi di parkiran terminal penumpang yang melayani penerbangan luar negeri.“Kita akan menyambut seseorang?” tanya Fanny sambil menuruni mobil mengikuti Adam.Mata Adam masih mencari kesana kemari.“Ayo!” ucap Adam sambil menatap ke arah ruangan tunggu Bandara.Fanny yang sedari terus berjalan mulai kelelahan hingga nafasnya tersengal-sengal. Langkah mereka mendadak terhent
Pagi ini, minggu pertama setelah Ardian berangkat ke LONDON. Fanny sudah kembali dengan kesibukan totalnya di kantor. Sementara proyek di New Vealland masih terus dalam progress, Fanny hanya berkunjung ke sana di sela waktu luangnya saja.“Bu, ada tamu penting yang meminta bertemu,” ucap Sandra kepadanya.Fanny mengarahkan matanya kepada Sandra, dia melihat jika asistennya itu sangat serius berbicara kepadanya.“Baik, persilahkan untuk masuk,” ucap Fanny sambil berusaha tenang.Ada raut ambigu yang ditangkapnya dari wajah Sandra barusan, namun kemungkinan aneh itu ditepisnya dengan sangat cepat.“Aku, meminta firma hukum kalian untuk menjadi wali hukum Carltzon Group,” ucap Sharena sambil melangkah masuk ke dalam ruangan kerja Fanny.Detik itu juga nafas Fanny mendadak terhambat oleh sesak yang berat.“Ada apa? Bukankah perusahaan sekelas Carltzon Group tidak membutuhkan wali hukum dari firma hukum baru seperti kami?” ucap Fanny mendebatnya.Fanny ing
“Ini Bu, lokasinya,” ucap Rafael seraya menunjuk sebuah butik di tepi jalan dimana kini mobilnya menepi.Dengan nafas yang sesak, Fanny melangkah masuk ke dalam sana.Hanya beberapa menit, dan Fanny dan Sandra sudah kembali dengan beberapa tote bag besar di tangannya.“Sudah Bu?” ucap Rafael.“Sudah, ayo cari makan dulu,” ucap Fanny.Seperti memiliki firasat jika malam ini Adam akan kembali pulang terlambat, Fanny pun menikmati makan malamnya di sebuah resort bintang lima.“Sebentar ya, saya ke kamar kecil dulu,” ucap Fanny.Sandra dan Rafael dengan tenang menunggunya. Fanny baru melangkah keluar dari restroom saat matanya tanpa sengaja menangkap sang suami tengah bersama seorang wanita yang cukup dia kenali. Adam tengah menyuapi Anna dengan manjanya.Tangannya mengepal dengan kuat di samping tubuhnya. Ingin rasanya Fanny berteriak saat ini. Deretan kisah lalu Adam dengan Anna kembali mengobarkan emosi dan juga mencuatkan rasa sakit yang sudah be
Sudah hampir satu bulan ini Fanny bertahan di kantornya. Menjalani kehidupan yang sulit dijelaskannya lagi kepada siapa pun. Mengisi kesibukan dengan padatnya rutinitas kantor dan juga pertemuan dengan kliennya.Menjadi istri seorang Hussein nyatanya hanya mimpi buruk dalam hidupnya. Karena semua janji manis suaminya mendadak lenyap begitu saja dengan hadirnya kembali wanita bernama Anna yang lagi-lagi membuat mereka hancur berantakan.Usia kehamilannya sudah di trimester akhir, namun bukannya kebahagiaan kedua orang tuanya yang akan menyambut kelahiran buah cintanya ini melainkan sebuah perpisahan. “Sandra, aku akan ke kantor Bank sebentar ada beberapa hal yang harus diperiksa,” ucap Fanny sambil menenteng tas nya pergi.“Baik, Bu,” jawab Sandra.Bersama Rafael, Fanny kini meninggalkan kantornya menuju kantor Bank yang tidak terlalu jauh dari sana.***“Tidak mungkin!” ucap Fanny dengan mata terbelalak melihat sejumlah penarikan dari merchant yang tidak