Tangan Jade gemetar membaca surat yang berada di tangannya, surat yang didapatnya dari Bank. Di sana tertulis Jade harus segera melunasi semua tunggakan beserta bunganya. Wajah Jade pucat pasi, ini semua tidak berada dalam surat perjanjian bahwa Jade bisa mencicilnya tiap bulan.
"Tapi kenapa perjanjiannya berubah? Apa pihak Bank suka seenaknya merubah kesepakatan?" Jade frustasi, dari mana ia mendapatkan uang hampir 800 juta dalam waktu 1 minggu. "Ini gila," keluh Jade.
Pagi-pagi Jade mendapatkan surat pemberitahuan dari Bank, security memberikannya saat Jade baru akan berangkat ke kantor. Ia tidak sempat membacanya saat di perjalanan, bus yang penuh dan sesak membuatnya sulit bergerak. Baru sampai kantor sambil menyesap tehnya, ia begitu teekesiap membaca lembar demi lembar yang tertera di surat itu. Hampir saja jantungnya loncat dari tempatnya.
"Apa aku harus pinjam ke kantor, ah tapi aku tidak berani. Aku baru bekerja di sini belum satu bulan tapi dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?" Bibirnya yang merah merekah digigit seiring rasa cemasnya. Dihirupnya udara pelan-pelan untuk memenuhi rongga dadanya yang dirasa sesak.
Belum masalahnya usai, ia mendapatkan pesan dari pemilik apartemen tempatnya tinggal untuk melunasi uang sewanya selama 2 bulan.
"Ya ampun apalagi ini? Dimana aku akan tinggal kalau bukan di sana." Tak kuasa ia menahan tangisnya yang pecah tak tertahankan lagi.
Dalam rasa kekalutannya yang mendalam, pikirannya melanglang pada sosok pria tampan yang menjadi bosnya. Satria.
"Tapi masa aku harus meminta bantuannya, tapi kemarin dia bilang siap membantuku dan pintunya selalu terbuka lebar." Jade bicara seorang diri. Ia tidak memperhatikan Calvin yang sedang berdiri seraya memperhatikannya dekat pintu masuk. "Lupakanlah," kata Jade memulai pekerjaannya yang sudah menumpuk.
"Jade, are you oke?" tanya Calvin menelisik wajah Jade yang sedang tidak baik-baik saja.
"Ya ampun, Pak. Maaf saya tidak tahu Bapak lewat." Jade segera berdiri dari duduknya.
"Sudahlah jangan sungkan, kamu oke?" ulangnya lagi.
"Saya tidak apa-apa, Pak."
"Oke, kalau begitu buatkan kopi seperti biasanya."
"Baik, Pak." Jade mengangguk cepat, ia segera pergi ke pantry.
Di ruangan meeting, Satria memindai satu persatu orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di perusahaannya. Orang-orang yang diberikan kepercayaan oleh Satria bisa bekerja dengan baik untuk memajukan roda perusahaan. Tapi kali ini Satria seperti diliputi kemarahan yang mendalam yang siap diluncurkan kapan saja.
"Apa kalian tidak bisa bekerja, hah?" Dilemparkannya berkas-berkas yang dipegangnya sedari tadi ke atas meja dengan asal. "Kalian tidak bisa membuat laporan? Sudah berapa lama kalian bekerja di sini?" Geraham Satria bergemeletuk menahan geramnya.
"Jawab!" Satria berteriak lantang. Membuat semua orang yang berada di sana terlonjak kaget.
"Saya akan memperbaikinya, Pak." Seorang karyawan wanita cepat-cepat membereskan berkas yang dilempar Satria.
"Aku ingin diperbaiki dalam waktu satu jam. Kalau kalian tidak mampu segera ajukan surat pengunduran diri kalian, masih banyak orang berkompeten lain yang mau duduk di jabatan yang kalian tempati saat ini!"
Meeting berakhir dengan cepat, Satria memijat pelipisnya yang sakit. Laporan akhir bulan yang didapatnya penuh dengan kekeliruan.
"Itu akibat dari para karyawan yang ingin cepat-cepat liburan. Jadinya seperti itu!" Satria kesal setengah mati dan sisa kekesalannya ia limpahkan pada Hans. Selalu seperti itu.
***
Jade tidak tahu lagi harus bagaimana, selain datang ke ruangan Satria. Ya, Jade sekarang sudah berada di ruangan Satria. Siapa lagi yang bisa menolongnya, ditebalkannya wajah dan disingkirkannya urat malunya. Jade akan bekerja sama dengan Satria asal bosnya itu mau membantunya. Impaskan?
Satria menyeringai melihat Jade duduk di sofa ruangannya dengan pandangan tertunduk malu. Akhirnya rencananya berhasil membuat Jade mau mengikuti rencananya.
"Apa kamu sudah berubah pikiran Jade Smith?" tanya Satria memindai tampilan Jade hari ini. Rok slim skirt warna cream yang pas dengan warna kulit putih blasterannya. Ditambah dengan kemeja putih dengan bagian dada sedikit terbuka. Sederhana tapi Satria sangat menyukainya. Make up Jade juga tidak terlalu berlebihan, eye liner, blush on warna orange di poles tipis sehingga tidak membuat wajahnya pucat.
"I-iya Pak, saya mau bekerja dengan Bapak. Asal,-"
"Asal apa?" Satria menyela walaupun ia sudah tahu apa yang ingin Jade katakan padanya.
"Asal Bapak membantu saya," kata Jade.
"Tidak masalah apapun itu, aku akan membantunya. Bagaimana kalau kita tandatangani kontrak sekarang saja," ucap Satria segera meminta Hans mengambilkan kontrak kerja sama yang sudah Satria persiapkan sebelummya.
"Tapi, anda tidak menanyakan apa yang saya minta." Wajah bingung Jade sangat kentara terlihat dan itu membuatnya lucu bagi Satria.
"Tidak usah, apapun yang kamu mau aku akan mengabulkannya."
Mata Jade membulat sempurna melihat Satria mengatakannya dengan enteng.
"Tuan, apa ini tidak salah?" Hans sangsi dengan penambahan kalau Jade harus melakukan apapun yang Satria minta.
"Tidak, dan dia tidak akan bisa menolaknya." Satria menyeringai menatap wajah cantik Jade yang tidak membosankan.
"Hans akan mengurus semua masalahmu dan kamu harus selalu siap kapanpun, dimanapun aku panggil dan butuhkan." Suara bariton Satria membuat bulu kuduk Jade meremang.
"Iya, Pak. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan baik," ucap Jade.
Penandatanganan perjanjian telah selesai dilakukan, Satria tersenyum puas dengan apa yang berada di dalam genggamannya.
"Bukan hanya masalah momi tapi wanita itu sudah ada dalam genggamanku."
***
Mata Jade membelalak, ia melihat dimana dirinya berada. Apartemen mewah dengan segala fasilitas yang ada kini jadi huniannya. Hans memperlihatkan tempat yang telah Satria berikan pada Jade sebagai syarat sekaligus imbalan untuk kerja sama mereka.
"Ingat Nona Jade, tuan Satria akan datang kapan saja yang beliau mau. Dan harus anda ingat jangan membawa siapapun datang kemari terutama pria lain. Kalau tidak tuan akan murka dan membatalkan perjanjian. Otomatis semua uang dan apapun yang telah diberikan pada anda harus dikembalikan." Hans membuat Jade begidig ngeri. Seperti apa Satria sebenarnya dan kenapa Satria harus datang ke tempatnya. Bukankah dirinya hanya perlu sandiwara untuk menjadi kekasihnya saja.
"Ada yang ingin anda tanyakan, Nona?" tanya Hans sebelum dirinya pergi.
"Memangnya selain pura-pura jadi kekasihnya, apa lagi yang harus saya lakukan?" tanyanya ragu-ragu.
"Apa anda tidak membaca isi surat perjanjian yang anda tandatangani?"
"Ti-tidak, karena saya kira hanya jadi kekasih pura-puranya saja."
Hans tersenyum tipis, Jade memang sudah masuk ke dalam perangkap Satria.
"Anda harus melakukan apapun yang tuan mau. Termasuk tidur dengan tuan."
Gleg,
Jade menelan salivanya, matanya mengerjap tak percaya. Itu artinya ia secara tidak langsung sudah menjual dirinya pada Satria.
"Ya ampun."
***
"Kenapa harus Jade?" Calvin melemparkan pertanyaan untuk Satria di lounge hotel tempat mereka berdua minum-minum malam ini. Sorot mata Calvin menyiratkan ketidaksukaannya pada Satria.
***
BERSAMBUNG..
"Kenapa harus Jade?" ulang Calvin sudah tidak sabar menunggu jawaban dari mulut Satria. Sedari tadi Satria tidak mengindahkannya, hanya bibirnya yang terus menyeringai membuat Calvin semakin kesal."Karena aku menginginkannya, dan apakah aku juga harus memberikan alasan kenapa aku menginginkannya?" Satria tidak terlalu suka kehidupan pribadinya terlalu di blow up, meskipun Calvin dekat dengannya."Setidaknya kamu katakan kenapa menginginkannya," kata Calvin lemah. Ia meneguk winenya sampai habis."Dia wanitaku," kata Satria santai.Alasan Satria tidak dapat ia terima begitu saja, terlebih Jade adalah karyawan baru di Maxton dan Jade belum familiar dengan orang-orang di sana. Dan kenapa langsung berkaitan dengan direktur utama Maxton? Ini ada sesuatu.Calvin terus menerka-nerka sampai otaknya sudah tidak mampu lagi berpikir.***"Hallo, Jade. Turunlah, aku menunggumu. Kita akan ke rumah orang tuaku pagi ini,
Di dalam kamar berukuran luas di rumah besar keluarga Maxton, Jade berdiri tepat di balkon kamar. Menatap jauh melemparkan pandangannya ke hamparan luas lapangan golf yang berada di samping rumah."Rumahnya sangat besar." Jade bermonolog tak henti-henti menikmati suguhan hamparan hijau yang menyejukan mata."Apa kamu suka dengan rumah ini?" Tangan Satria tiba-tiba melingkar di perut Jade yang ramping membuat Jade terkesiap."Kamu," ucap Jade tercekat melihat tangan besar Satria memeluknya erat. Terasa embusan nafas hangat di tengkuknya."Jangan bergerak, kamu tidak akan bisa menolak apapun yang aku inginkan." Suara Satria datar.Jade menelan salivanya, ia hampir lupa dengan isi perjanjian yang sudah ditanda tanganinya kemarin."Maaf, aku lupa."Suara langkah seseorang terdengar mendekat."Maaf, Momi mengganggu kalian." Jade harus dikejutkan lagi dengan kedatangan Ambar, dengan jelas Ambar melihat Satria memeluk Jade
Setelah ciuman beberapa detik yang diberikan Satria padanya membuat Jade tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di otak direktur perusahaan tempatnya bekerja itu secara dalam surat perjanjian tertulis kalau Satria bisa melakukan apapun terhadap Jade termasuk menidurinya. Jade kira tadi adalah pemanasan sebelum mereka memulainya, dan Jade rasanya ingin membenturkan kepalanya dengan keras ke dinding karena sudah punya pikiran kotor seperti itu."Jade, kamu akan pulang di antar sopir ya. Kepalaku mendadak pusing jadi aku ingin istirahat saja malam ini," kata Satria membuka lebar-lebar pintu kamarnya.Jade tidak habis pikir, bukannya tadi dirinya yang dipanggil Satria ke kamarnya dan sekarang dirinya malah seakan di usir dengan hormat oleh pria brengsek itu."Iiisshhh." Jade mendesis pelan, tangannya mengepal. Jika saja dia tidak berhutang banyak pada Satria sudah pasti ia akan memaki pria itu dan menyebutnya tidak bermoral."Aku masih bisa mendengar
Jade menelan salivanya kasar, selain mempermainkan dirinya. Kini Satria juga menguasai dirinya juga dengan menjadikannya sekretaris. Perut laparnya berubah jadi tidak bernafsu.Yang benar saja, makanpun harus seizin atasan.Oke, memang sekretaris selalu menyiapkan bahkan memesankan tempat untuk makan siang atau hal pribadi atasannya. Tapi, ini kapan ia bisa keluar jika Satria saja sedang asyik masyuk di dalam sana. Beberapa kali Jade mendesis, mulutnya komat-kamit merutuki perbuatan Satria."Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, Sayang. Jadi, kapan dong aku bisa ketemu kamu lagi." Perempuan di ruangan Satria tadi menggelayut manja di ambang pintu ruangan direktur utama perusahaan tersebut. Seolah ingin memamerkan pada dunia kalau dirinya ada hubungan spesial dengan pria yang kini memandangi Jade."Kita atur waktu lain kali," balas Satria datar.Satria malah memanggil Hans dan menyuruh mengantarkan perempuan itu pergi dari hadapannya.
Jade menerima telepon dari nomor yang tidak dikenalnya. Sudah 3 kali ponselnya terus-terusan berkedip tapi si pemilik tidak kunjung menjawabnya.Ia kemudian menggeser tombol hijau pada layar dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya."Hallo," sapa Jade."Selamat siang betul ini dengan Nona Jade?" tanya suara dari seorang wanita bersuara empuk dan khas seperti seorang costumer service di ujung seberang telepon."Betul ini dengan Jade, maaf anda siapa?" tanya wanita muda berumur 26 tahun itu dari balik selimut tebalnya."Saya dari Maxton Company, ingin mengabarkan pada anda bahwa lamaran anda sebagai sekretaris wakil direktur lolos seleksi. Anda diharapkan datang besok untuk walk interview pukul 9 di lantai 3," jelasnya dengan suara renyah."Benarkah? Saya akan datang tepat waktu."Usai menerima panggilan telepon, Jade segera beringsut dari tempat tidurnya. Menyibakkan selimut tebal yang sudah menghangatkannya dari semalam.
"Siapa kamu?" ulang Satria menatap tajam netra Jade sambil melangkahkan kakinya mendekat.Jade terkesiap, wajahnya pucat pasi. Pasti pria di hadapannya itu adalah direktur utama perusahaan ini, pikir Jade."Sa-saya di suruh pak Calvin memberikan berkas ini pada sekretaris direktur tapi saya lihat tidak ada orang di depan jadi saya berinisiatif menyimpannya di ruangan ini," jelas Jade terbata-bata. Alih-alih takut melihat Satria, Jade hanya menundukan kepalanya menatap ke bawah. Jari-jemarinya saling bertautan satu sama lain.Satria memberikan kode pada Hans, asisten pribadinya untuk meninggalkan mereka berdua di ruangan.Jantung Jade semakin berdebar cepat, perasaannya tak karu-karuan."Lihat aku!" ucap Satria dingin dengan suara baritonnya yang menggema.Jade takut-takut mengangkat kepalanya, melihat aura wajah Satria yang kuat. Rahangnya tegas dengan sorot mata tajamnya mampu membuat Jade tak berkutik.Satria menghampiri Jade yang se