"Siapa kamu?" ulang Satria menatap tajam netra Jade sambil melangkahkan kakinya mendekat.
Jade terkesiap, wajahnya pucat pasi. Pasti pria di hadapannya itu adalah direktur utama perusahaan ini, pikir Jade.
"Sa-saya di suruh pak Calvin memberikan berkas ini pada sekretaris direktur tapi saya lihat tidak ada orang di depan jadi saya berinisiatif menyimpannya di ruangan ini," jelas Jade terbata-bata. Alih-alih takut melihat Satria, Jade hanya menundukan kepalanya menatap ke bawah. Jari-jemarinya saling bertautan satu sama lain.
Satria memberikan kode pada Hans, asisten pribadinya untuk meninggalkan mereka berdua di ruangan.
Jantung Jade semakin berdebar cepat, perasaannya tak karu-karuan.
"Lihat aku!" ucap Satria dingin dengan suara baritonnya yang menggema.
Jade takut-takut mengangkat kepalanya, melihat aura wajah Satria yang kuat. Rahangnya tegas dengan sorot mata tajamnya mampu membuat Jade tak berkutik.
Satria menghampiri Jade yang semakin takut melihat dirinya. Bibir Satria menyeringai penuh arti.
Mereka berdua hanya berjarak 10 cm, Satria terus mengintimidasi Jade dengan tatapannya.
"Jadi kamu sekretarisnya Calvin heem?" suara Satria mendadak intonasinya berubah. Memindai Jade dengan seringaiannya.
"I-iya, Pak."
"Siapa namamu?" tanya Satria.
"Nama saya Jade," jawab Jade pelan.
"Jade? Nama yang unik, seunik dirimu. Ayo duduk, aku ingin bicara denganmu!" Satria memutar tubuhnya lebih dulu duduk di sofa panjang nan empuk di ruangan itu. Kakinya disilangkan dan tangannya menepuk sofa di sebelahnya yang kosong.
Takut-takut Jade menghampiri Satria dan duduk di dekatnya.
Satria sangat suka melihat Jade yang lugu. Rasa takut wanita itu membuat Satria memperoleh ide untuk mengajak Jade dalam rencananya. Entah apa yang Satria pikirkan.
Sesaat Satria tersihir akan kecantikan Jade, mereka berdua saling pandang satu sama lain dengan cara yang berbeda. Jadepun sama menelisik wajah tampan Satria.
"Aku ingin mengajukan suatu permintaan padamu, kalau kamu mau bekerja samalah denganku." Satria masih menatap Jade dengan intens.
"Bekerja sama? Maksud anda?" tanya Jade.
"Aku ingin kamu bekerja untukku, hanya menjadi kekasih kontrakku. Sampai orang tuaku tidak lagi menyuruhku untuk segera menikah."
Gleg,
Jade menelan salivanya mendengar penuturan Satria. Mimpi apa ia semalam? Kepalanya juga tidak terbentur tembok atau benda lain.
Ini tidak dapat Jade percaya, baru pertama kali bertemu tapi bos besarnta sudah mengajaknya berpura-pura.
"Anda jangan bercanda, Pak." Giliran Jade menatap balik manik mata Satria.
"Saya tidak sedang bercanda. Baiklah, pikirkan saja dulu. Kalau kamu sudah berubah pikiran maka ruanganku ini selalu terbuka untukmu," ucap Satria santai.
Usai kembalinya Jade, Satria mengingat kembali tiap kata yang diucapkan wanita yang sudah melahirkannya ke dunia.
Flashback On
Pagi tadi pukul 06.00 WIB.
Hans menerima panggilan telepon dari rumah besar yang mengabarkan keadaan nyonya Ambar sedang tidak baik-baik saja. Kepala asisten di rumah besar memberitahukan supaya Satria datang saat itu juga.
Satria baru saja terbangun saat Hans tiba di rumah pribadinya. Ragu-ragu Hans memberitahukannya juga pada Satria, takut-takut kalau terjadi sesuatu dengan nyonya Ambar.
"Apa lagi yang momi minta?" tanya Satria sudah hafal jika ada telepon dari rumah besar pasti atas permintaan mominya.
"Kepala asisten mengatakan kalau nyonya besar meminta anda untuk datang," ujar Hans sambil menelisik perubahan raut wajah Satria yang mendadak berubah.
"Apa dia memintaku untuk bertemu dengan wanita kenalannya lagi? Momi sungguh membuatku seperti pria yang tak laku. " Satria mendengus. "Oke, kita akan ke rumah besar sebelum berangkat ke kantor." Sesekali Satria mengacak rambutnya sendiri sampai tubuhnya tidak terlihat lagi di balik pintu kamar mandi.
1 jam kemudian, Satria sudah duduk bersama Ambar di sofa santai tempat favorit mominya yang berada di lantai atas. Tempat yang sering Ambar gunakan sebagai tempatnya melukis, menghabiskan waktunya di sana selain berkebun dan memasak.
Bibir Ambar melengkung menyaksikan sendiri putera kesayangannya sudah hadir dan duduk bersamanya di waktu pagi. Hal yang mustahil untuk dilakukan Satria di sela-sela kesibukannya di kantor.
"Apa Momi harus pura-pura dulu agar kamu datang menemui Momi?" tanya Ambar setelah ia menyesap teh hijau hangatnya.
Satria menghela nafasnya, ia sudah menduga kalau mominya hanya pura-pura saja.
"Satria sudah tau apa yang Momi inginkan. Katakan saja siapa wanita yang ingin Momi perkenalkan kali ini," ucap Satria dengan senyum tipisnya yang tak terlihat.
"Eh, kamu tau juga?" Ambar menutup mulutnya dengan senyumnya yang elegan. Pria seperti Satria memang susah untuk dibohongi.
"Pasti Satria tau, Momi tidak akan membuang-buang waktu Momi hanya untuk berbincang santai sambil minum teh kalau bukan dengan teman-teman sosialita Momi," kata Satria disertai tatapan matanya yang tajam.
"Oke, kamu memang putera Momi yang cerdas. Baiklah, temui wanita yang Momi ingin kenalkan denganmu. Dia seorang dokter bedah plastik terbaik di Indonesia. Ini nama rumah sakitnya, bekunjunglah dan buat janji temu dengannya. Momi tau kalian sama-sama sibuk.
Satria menerima kartu nama yang diberikan Ambar padanya. Di sana tertera nama Lissa Sujatmiko, Dokter Bedah Rumah Sakit Dewantara.
"Satria tidak harus menikah dengannya kan kalau Satria memiliki pacar yang siap untuk dinikahi?" Satria lamat-lamat memperhatikan rona wajah Ambar hampir mulutnya menganga dengan pengakuan sekaligus pertantanyaan puteranya.
"Jadi kamu sudah mempunyai pacar, Nak?" Ambar begitu antusias mendengarkan jawaban yang ingin ia dengar.
"Iya," ucapnya dengan nada yang berat.
"Baguslah kalau kamu sudah punya pacar. Tapi sayangnya Momi tidak percaya, bisa saja itu akal-akalan kamu demi menolak wanita dari Momi. Kecuali kamu membawanya sendiri ke hadapan Momi!"
Flashback Off
Satria memijit kedua ujung alisnya yang berdenyut sakit. Ia merogoh saku jasnya mengambil kartu nama pemberian Ambar
"Aku yakin Jade akan datang menemuiku lagi." Bibirnya menyeringai seolah Jade adalah mangsa yang sedang diburunya.
"Hans, kamu cari tau tentang latar belakang sekretarisnya Calvin. Aku ingin semua datanya dalam satu jam!"
Satria memang terlihat sebagai direktur arogan yang memiliki kekuasaan yang tidak seorangpun melawannya. Bahasa tubuh, gaya bicaranya. Semuanya yang ada pada diri Satria tidak ada yang menyerupai.
***
Tidak sampai 1 jam, Hans sudah mengantongi data diri Jade. Tidak sulit bagi Hans menemukan semuanya. Sampai ukuran sepatu Jade saja Hans bisa dapatkan.
"Nama Jade, lahir satu mei umurnya 26 tahun. Lulusan universitas Jakarta. Hobi menulis novel sambil mendengarkan musik. Anak tunggal dari Alexander Smith dan Miranda. Tinggal di apartemen sederhana dan masih menunggak pembayaran dua bulan terakhir. Setiap bulan harus membayar hutang ke Bank sebesar sepuluh juta berikut bunganya." Hans membacakan laporan yang didapatkan dari orang kepercayaannya.
Satria bertepuk tangan sendiri seolah ia mendapatkan sebuah ide yang nelintas di kepalanya.
"Aku mendapatkan kelemahannya."
***
BERSAMBUNG...
Tangan Jade gemetar membaca surat yang berada di tangannya, surat yang didapatnya dari Bank. Di sana tertulis Jade harus segera melunasi semua tunggakan beserta bunganya. Wajah Jade pucat pasi, ini semua tidak berada dalam surat perjanjian bahwa Jade bisa mencicilnya tiap bulan."Tapi kenapa perjanjiannya berubah? Apa pihak Bank suka seenaknya merubah kesepakatan?" Jade frustasi, dari mana ia mendapatkan uang hampir 800 juta dalam waktu 1 minggu. "Ini gila," keluh Jade.Pagi-pagi Jade mendapatkan surat pemberitahuan dari Bank, security memberikannya saat Jade baru akan berangkat ke kantor. Ia tidak sempat membacanya saat di perjalanan, bus yang penuh dan sesak membuatnya sulit bergerak. Baru sampai kantor sambil menyesap tehnya, ia begitu teekesiap membaca lembar demi lembar yang tertera di surat itu. Hampir saja jantungnya loncat dari tempatnya."Apa aku harus pinjam ke kantor, ah tapi aku tidak berani. Aku baru bekerja di sini belum satu bulan tapi dari
"Kenapa harus Jade?" ulang Calvin sudah tidak sabar menunggu jawaban dari mulut Satria. Sedari tadi Satria tidak mengindahkannya, hanya bibirnya yang terus menyeringai membuat Calvin semakin kesal."Karena aku menginginkannya, dan apakah aku juga harus memberikan alasan kenapa aku menginginkannya?" Satria tidak terlalu suka kehidupan pribadinya terlalu di blow up, meskipun Calvin dekat dengannya."Setidaknya kamu katakan kenapa menginginkannya," kata Calvin lemah. Ia meneguk winenya sampai habis."Dia wanitaku," kata Satria santai.Alasan Satria tidak dapat ia terima begitu saja, terlebih Jade adalah karyawan baru di Maxton dan Jade belum familiar dengan orang-orang di sana. Dan kenapa langsung berkaitan dengan direktur utama Maxton? Ini ada sesuatu.Calvin terus menerka-nerka sampai otaknya sudah tidak mampu lagi berpikir.***"Hallo, Jade. Turunlah, aku menunggumu. Kita akan ke rumah orang tuaku pagi ini,
Di dalam kamar berukuran luas di rumah besar keluarga Maxton, Jade berdiri tepat di balkon kamar. Menatap jauh melemparkan pandangannya ke hamparan luas lapangan golf yang berada di samping rumah."Rumahnya sangat besar." Jade bermonolog tak henti-henti menikmati suguhan hamparan hijau yang menyejukan mata."Apa kamu suka dengan rumah ini?" Tangan Satria tiba-tiba melingkar di perut Jade yang ramping membuat Jade terkesiap."Kamu," ucap Jade tercekat melihat tangan besar Satria memeluknya erat. Terasa embusan nafas hangat di tengkuknya."Jangan bergerak, kamu tidak akan bisa menolak apapun yang aku inginkan." Suara Satria datar.Jade menelan salivanya, ia hampir lupa dengan isi perjanjian yang sudah ditanda tanganinya kemarin."Maaf, aku lupa."Suara langkah seseorang terdengar mendekat."Maaf, Momi mengganggu kalian." Jade harus dikejutkan lagi dengan kedatangan Ambar, dengan jelas Ambar melihat Satria memeluk Jade
Setelah ciuman beberapa detik yang diberikan Satria padanya membuat Jade tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di otak direktur perusahaan tempatnya bekerja itu secara dalam surat perjanjian tertulis kalau Satria bisa melakukan apapun terhadap Jade termasuk menidurinya. Jade kira tadi adalah pemanasan sebelum mereka memulainya, dan Jade rasanya ingin membenturkan kepalanya dengan keras ke dinding karena sudah punya pikiran kotor seperti itu."Jade, kamu akan pulang di antar sopir ya. Kepalaku mendadak pusing jadi aku ingin istirahat saja malam ini," kata Satria membuka lebar-lebar pintu kamarnya.Jade tidak habis pikir, bukannya tadi dirinya yang dipanggil Satria ke kamarnya dan sekarang dirinya malah seakan di usir dengan hormat oleh pria brengsek itu."Iiisshhh." Jade mendesis pelan, tangannya mengepal. Jika saja dia tidak berhutang banyak pada Satria sudah pasti ia akan memaki pria itu dan menyebutnya tidak bermoral."Aku masih bisa mendengar
Jade menelan salivanya kasar, selain mempermainkan dirinya. Kini Satria juga menguasai dirinya juga dengan menjadikannya sekretaris. Perut laparnya berubah jadi tidak bernafsu.Yang benar saja, makanpun harus seizin atasan.Oke, memang sekretaris selalu menyiapkan bahkan memesankan tempat untuk makan siang atau hal pribadi atasannya. Tapi, ini kapan ia bisa keluar jika Satria saja sedang asyik masyuk di dalam sana. Beberapa kali Jade mendesis, mulutnya komat-kamit merutuki perbuatan Satria."Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, Sayang. Jadi, kapan dong aku bisa ketemu kamu lagi." Perempuan di ruangan Satria tadi menggelayut manja di ambang pintu ruangan direktur utama perusahaan tersebut. Seolah ingin memamerkan pada dunia kalau dirinya ada hubungan spesial dengan pria yang kini memandangi Jade."Kita atur waktu lain kali," balas Satria datar.Satria malah memanggil Hans dan menyuruh mengantarkan perempuan itu pergi dari hadapannya.
Jade menerima telepon dari nomor yang tidak dikenalnya. Sudah 3 kali ponselnya terus-terusan berkedip tapi si pemilik tidak kunjung menjawabnya.Ia kemudian menggeser tombol hijau pada layar dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya."Hallo," sapa Jade."Selamat siang betul ini dengan Nona Jade?" tanya suara dari seorang wanita bersuara empuk dan khas seperti seorang costumer service di ujung seberang telepon."Betul ini dengan Jade, maaf anda siapa?" tanya wanita muda berumur 26 tahun itu dari balik selimut tebalnya."Saya dari Maxton Company, ingin mengabarkan pada anda bahwa lamaran anda sebagai sekretaris wakil direktur lolos seleksi. Anda diharapkan datang besok untuk walk interview pukul 9 di lantai 3," jelasnya dengan suara renyah."Benarkah? Saya akan datang tepat waktu."Usai menerima panggilan telepon, Jade segera beringsut dari tempat tidurnya. Menyibakkan selimut tebal yang sudah menghangatkannya dari semalam.