Jade menerima telepon dari nomor yang tidak dikenalnya. Sudah 3 kali ponselnya terus-terusan berkedip tapi si pemilik tidak kunjung menjawabnya.
Ia kemudian menggeser tombol hijau pada layar dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Hallo," sapa Jade.
"Selamat siang betul ini dengan Nona Jade?" tanya suara dari seorang wanita bersuara empuk dan khas seperti seorang costumer service di ujung seberang telepon.
"Betul ini dengan Jade, maaf anda siapa?" tanya wanita muda berumur 26 tahun itu dari balik selimut tebalnya.
"Saya dari Maxton Company, ingin mengabarkan pada anda bahwa lamaran anda sebagai sekretaris wakil direktur lolos seleksi. Anda diharapkan datang besok untuk walk interview pukul 9 di lantai 3," jelasnya dengan suara renyah.
"Benarkah? Saya akan datang tepat waktu."
Usai menerima panggilan telepon, Jade segera beringsut dari tempat tidurnya. Menyibakkan selimut tebal yang sudah menghangatkannya dari semalam.
Kemarin Jade merasakan tidak enak badan setelah seminggu terakhir memasukan lamaran pekerjaan di banyak tempat sampai harus berpanas-panasan dan hujan-hujanan.
Bila bukan karena hutang orang tuanya yang menggunung, Jade tidak harus bekerja keras membanting tulang seperti ini. Sedikit demi sedikit ia harus melunasi semua hutang yang ditinggalkan orang tuanya setelah meninggal.
Jade, namanya Jade Smith. Wanita cantik dengan sorot mata teduh, bibirnya merah merekah dengan hidungnya yang mancung, bentuk wajahnya yang oval membingkai wajah cantiknya kian sempurnya. Kulit putih bersihnya sangat kontras dengan rambut hitam legamnya yang indah. Ditopang dengan tubuh yang memiliki tinggi 165 cm dan bobot 50 kg, ideal untuk ukuran tubuhnya.
Ia hidup sebatang kara, semua kerabat dekatnya perlahan menjauh karena ia sudah tidak kaya lagi. Rumah dan semua aset di sita Bank dan ia sudah tidak memiliki apapun.
Jade lulusan universitas terbaik di Jakarta, ia lulus dengan nilai tinggi. Jade mencoba peruntungannya dengan mendaftar di berbagai perusahaan, ia yakin ikhtiar dan do'a tidak akan mengkhianati hasil.
Mendadak semua sakit di tubuhnya tidak terasa lagi, menguap begitu saja ketika sudah mendengar kabar baik barusan. Setidaknya bila ia bekerja di perusahaan itu, untuk sehari-hari dan membayar hutang sudah ada dalam genggaman.
Ia mengambil obat di dalam nakas, meminumnya berharap sehat seterusnya.
***
Jade berjalan perlahan memasuki ruangan di depannya, secara resmi ia sudah diterima bekerja setelah dinyatakan lolos interview. Suasana interview yang tegang membuat mental Jade sedikit turun. Pasalnya ini pengalaman pertamanya melamar dan diinterview. Setelah beberapa tahun lalu lulus kuliah dan hanya jadi pengangguran karena orang tuanya melarang dengan alasan sudah memiliki banyak uang.
Jade mengetuk pintu dengan pelan, tak lama terdengar suara seseorang dari dalam mempersilahkannya masuk.
Iapun masuk dan melihat seorang pria muda tengah menatap layar laptopnya. Pria itupun melirik siapa yang datang ke ruangannya.
"Silahkan duduk," ucap pria itu dengan senyumannya yang mengembang.
Jade mendudukan dirinya di atas kursi putar nan empuk tepat di hadapan pria itu yang diketahui bernama Calvin Sandjaya. Wakil direktur utama yang akan menjadi atasan Jade sekarang.
"Jadi namamu Jade? Sekretaris baruku?" tanya Calvin memastikan, ia menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Betul, Pak." Jade tersenyum canggung, semua hal yang terjadi sekarang sungguh jadi pengalaman pertamanya.
"Masih single, belum ada pengalaman kerja. Oke tapi setidaknya kamu bisa mengetik, membuka email dan bekerja dengan cepat kan?" tanya Calvin, ia memperhatikan kuku-kuku Jade saja sangat terawat dan itu tandanya Jade seperti tidak pernah bekerja. Calvin kembali menyimpan CV Jade ke atas meja.
"Bisa Pak," jawab Jade singkat.
Calvin tersenyum manis, sebagai playboy ia justru senang mendapatkan sekretaris muda dan cantik seperti Jade, bagai angin segar baginya.
"Baiklah tidak ada masalah, kamu bisa langsung bekerja hari ini. Mulailah dengan pekerjaan dasar saja dulu, menjawab telepon masuk atau menyusun file sesuai urutannya. Kalau ada yang tidak dimengerti kamu bisa menanyakannya langsung." Pria tampan berlesung pipi itu masih menatap Jade dengan lekat seolah sayang untuk dilewatkan.
"Baik Pak, terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk bekerja di sini." Jade undur diri untuk memulai pekerjaannya.
Calvin menyeringai, menatap lekuk tubuh Jade dari belakang hampir tak berkedip.
Jade menatap kursi dan meja yang akan menjadi tempatnya bekerja, letaknya sebelum pintu masuk ruangan Calvin. Ia menduduki kursi putar yang terbuat dari busa kualitas terbaik dan dilapisi bahan kulit premium. PC dan intercom di atas meja tak luput dari pandangan Jade. Diam-diam matanya mulai berkaca-kaca, setidaknya Jade bangga pada dirinya sendiri. Sebentar lagi ia bisa menyicil hutang kedua orang tuanya.
***
Hari berlalu, dari hari ke hari tak terasa Jade sudah mulai menguasai pekerjaannya dengan baik. Dengan bersungguh-sungguh Calvin yakin, Jade akan bisa menjadi sekretaris profesional yang diinginkannya.
"Jade, berkas untuk pak Direktur Utama sudah kamu siapkan?" Calvin memindai meja Jade yang penuh dengan berkas yang belum tersusun rapi. Mengetahui Calvin sedang melihat meja kerjanya, Jade cepat-cepat melakukan pembelaan. Paham kalau Calvin merasa aneh banyak berkas tertumpuk sedikit berantakan.
"Semua berkas ini baru saya perbanyak, Pak. Dan belum saya susun, di antaranya berkas untuk pak Direktur. Saya akan mengantarkannya ke ruangan anda dala 5 menit," ujar Jade.
Calvin mengangguk pelan, ia sama sekali tidak mempermasalahkannya. Yang dilakukannya hanya ingin melihat wajah cantik Jade.
"Tak masalah, Jade tolong antarkan berkas itu ke sekretarisnya pak Direktur. Beliau akan datang sebentar lagi dari makan siangnya. Bilang ini berkas penting untuk pak Satria." Tekan Calvin di akhir pembicaraan.
Sekarang Jade sedang berada di dalam lift, naik satu lantai dari tempatnya berada sekarang.
Tap..Tap..Tap..
Sepatu heelsnya beradu dengan ubin lantai, suasana tampak hening di lantai yang dikhususkan untuk para jajaran eksekutif Maxton Company.
Di meja yang terdapat di depan ruangan Direktur Utama juga kosong melompong. Padahal jam istirahat sudah lewat 5 menit yang lalu.
"Kemana sekretarisnya?" tanya Jade bermonolog, ia ragu-ragu menyimpan berkasnya di atas meja begitu saja. Ia masih ingat betul kertas yang dibawanya adalah berkas penting dan harus sampai ke tangan Satria.
"Apa aku taruh saja di ruangannya ya?" Jade benar-benar bingung, tidak sopan kalau masuk tanpa ijin.
Dari pada bingung sendiri dan lama meninggalkan pekerjaannya, Jade memutuskan menyimpan berkas dari Calvin ke ruangan Satria.
Tak lupa Jade mengetuk pintu lebih dulu walaupun tahu di dalam tidak ada orang. Saat pintu terbuka hawa dingin dari AC langsung menerpa kulitnya.
Jade tidak berlama-lama, ia langsung menyimpan berkasnya ke atas meja dengan papan nama Satria Aidan Maxton.
"Apa yang sedang kamu lakukan di ruanganku?"
Suara bariton terdengar mengagetkan Jade, ia langsung memutar tubuhnya melihat siapa yang berada di balik pintu.
Pria tampan tinggi memesona berusia kurang lebih 33 tahun itu bekerja sebagai seorang direktur utama di Maxton Company. Perusahaan milik keluarganya sendiri.
Satria lahir dari pasangan Alex Maxton dan Adelia. Satria pria blasteran berdarah Inggris sedangkan Adelia keturunan asli Indonesia.
Di usia 25 tahun, Satria sudah terjun di dunia bisnis atas permintaan papanya. Melanjutkan trah keluarga secara turun temurun. Maxton terkenal sebagai keluarga miliyuner, memiliki aset kekayaan dimana-mana dan perusahaan yang bergerak di bidang properti dan real estate.
Di dunia bisnis, usia 33 tahun terbilang cukup muda dan Satria memiliki kemampuan sebagai pengusaha muda yang mendobrak dunia versi majalah forbes. Kepiawaiannya dalam bicara dan keberaniannya menanam modal dalam jumlah besar di beberapa perusahaan lain banyak mengundang decak kagum.
Bukan hanya di dunia bisnis saja, Satria dikenal juga di kalangan selebritis. Ketampanan Satria dan juga kekayaannya jadi daya tarik bagi para wanita cantik di luaran sana.
"Siapa kamu?" Satria berhasil menyadarkan Jade dari rasa keterkejutannya.
***
BERSAMBUNG..
"Siapa kamu?" ulang Satria menatap tajam netra Jade sambil melangkahkan kakinya mendekat.Jade terkesiap, wajahnya pucat pasi. Pasti pria di hadapannya itu adalah direktur utama perusahaan ini, pikir Jade."Sa-saya di suruh pak Calvin memberikan berkas ini pada sekretaris direktur tapi saya lihat tidak ada orang di depan jadi saya berinisiatif menyimpannya di ruangan ini," jelas Jade terbata-bata. Alih-alih takut melihat Satria, Jade hanya menundukan kepalanya menatap ke bawah. Jari-jemarinya saling bertautan satu sama lain.Satria memberikan kode pada Hans, asisten pribadinya untuk meninggalkan mereka berdua di ruangan.Jantung Jade semakin berdebar cepat, perasaannya tak karu-karuan."Lihat aku!" ucap Satria dingin dengan suara baritonnya yang menggema.Jade takut-takut mengangkat kepalanya, melihat aura wajah Satria yang kuat. Rahangnya tegas dengan sorot mata tajamnya mampu membuat Jade tak berkutik.Satria menghampiri Jade yang se
Tangan Jade gemetar membaca surat yang berada di tangannya, surat yang didapatnya dari Bank. Di sana tertulis Jade harus segera melunasi semua tunggakan beserta bunganya. Wajah Jade pucat pasi, ini semua tidak berada dalam surat perjanjian bahwa Jade bisa mencicilnya tiap bulan."Tapi kenapa perjanjiannya berubah? Apa pihak Bank suka seenaknya merubah kesepakatan?" Jade frustasi, dari mana ia mendapatkan uang hampir 800 juta dalam waktu 1 minggu. "Ini gila," keluh Jade.Pagi-pagi Jade mendapatkan surat pemberitahuan dari Bank, security memberikannya saat Jade baru akan berangkat ke kantor. Ia tidak sempat membacanya saat di perjalanan, bus yang penuh dan sesak membuatnya sulit bergerak. Baru sampai kantor sambil menyesap tehnya, ia begitu teekesiap membaca lembar demi lembar yang tertera di surat itu. Hampir saja jantungnya loncat dari tempatnya."Apa aku harus pinjam ke kantor, ah tapi aku tidak berani. Aku baru bekerja di sini belum satu bulan tapi dari
"Kenapa harus Jade?" ulang Calvin sudah tidak sabar menunggu jawaban dari mulut Satria. Sedari tadi Satria tidak mengindahkannya, hanya bibirnya yang terus menyeringai membuat Calvin semakin kesal."Karena aku menginginkannya, dan apakah aku juga harus memberikan alasan kenapa aku menginginkannya?" Satria tidak terlalu suka kehidupan pribadinya terlalu di blow up, meskipun Calvin dekat dengannya."Setidaknya kamu katakan kenapa menginginkannya," kata Calvin lemah. Ia meneguk winenya sampai habis."Dia wanitaku," kata Satria santai.Alasan Satria tidak dapat ia terima begitu saja, terlebih Jade adalah karyawan baru di Maxton dan Jade belum familiar dengan orang-orang di sana. Dan kenapa langsung berkaitan dengan direktur utama Maxton? Ini ada sesuatu.Calvin terus menerka-nerka sampai otaknya sudah tidak mampu lagi berpikir.***"Hallo, Jade. Turunlah, aku menunggumu. Kita akan ke rumah orang tuaku pagi ini,
Di dalam kamar berukuran luas di rumah besar keluarga Maxton, Jade berdiri tepat di balkon kamar. Menatap jauh melemparkan pandangannya ke hamparan luas lapangan golf yang berada di samping rumah."Rumahnya sangat besar." Jade bermonolog tak henti-henti menikmati suguhan hamparan hijau yang menyejukan mata."Apa kamu suka dengan rumah ini?" Tangan Satria tiba-tiba melingkar di perut Jade yang ramping membuat Jade terkesiap."Kamu," ucap Jade tercekat melihat tangan besar Satria memeluknya erat. Terasa embusan nafas hangat di tengkuknya."Jangan bergerak, kamu tidak akan bisa menolak apapun yang aku inginkan." Suara Satria datar.Jade menelan salivanya, ia hampir lupa dengan isi perjanjian yang sudah ditanda tanganinya kemarin."Maaf, aku lupa."Suara langkah seseorang terdengar mendekat."Maaf, Momi mengganggu kalian." Jade harus dikejutkan lagi dengan kedatangan Ambar, dengan jelas Ambar melihat Satria memeluk Jade
Setelah ciuman beberapa detik yang diberikan Satria padanya membuat Jade tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di otak direktur perusahaan tempatnya bekerja itu secara dalam surat perjanjian tertulis kalau Satria bisa melakukan apapun terhadap Jade termasuk menidurinya. Jade kira tadi adalah pemanasan sebelum mereka memulainya, dan Jade rasanya ingin membenturkan kepalanya dengan keras ke dinding karena sudah punya pikiran kotor seperti itu."Jade, kamu akan pulang di antar sopir ya. Kepalaku mendadak pusing jadi aku ingin istirahat saja malam ini," kata Satria membuka lebar-lebar pintu kamarnya.Jade tidak habis pikir, bukannya tadi dirinya yang dipanggil Satria ke kamarnya dan sekarang dirinya malah seakan di usir dengan hormat oleh pria brengsek itu."Iiisshhh." Jade mendesis pelan, tangannya mengepal. Jika saja dia tidak berhutang banyak pada Satria sudah pasti ia akan memaki pria itu dan menyebutnya tidak bermoral."Aku masih bisa mendengar
Jade menelan salivanya kasar, selain mempermainkan dirinya. Kini Satria juga menguasai dirinya juga dengan menjadikannya sekretaris. Perut laparnya berubah jadi tidak bernafsu.Yang benar saja, makanpun harus seizin atasan.Oke, memang sekretaris selalu menyiapkan bahkan memesankan tempat untuk makan siang atau hal pribadi atasannya. Tapi, ini kapan ia bisa keluar jika Satria saja sedang asyik masyuk di dalam sana. Beberapa kali Jade mendesis, mulutnya komat-kamit merutuki perbuatan Satria."Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, Sayang. Jadi, kapan dong aku bisa ketemu kamu lagi." Perempuan di ruangan Satria tadi menggelayut manja di ambang pintu ruangan direktur utama perusahaan tersebut. Seolah ingin memamerkan pada dunia kalau dirinya ada hubungan spesial dengan pria yang kini memandangi Jade."Kita atur waktu lain kali," balas Satria datar.Satria malah memanggil Hans dan menyuruh mengantarkan perempuan itu pergi dari hadapannya.