Di dalam kamar berukuran luas di rumah besar keluarga Maxton, Jade berdiri tepat di balkon kamar. Menatap jauh melemparkan pandangannya ke hamparan luas lapangan golf yang berada di samping rumah.
"Rumahnya sangat besar." Jade bermonolog tak henti-henti menikmati suguhan hamparan hijau yang menyejukan mata.
"Apa kamu suka dengan rumah ini?" Tangan Satria tiba-tiba melingkar di perut Jade yang ramping membuat Jade terkesiap.
"Kamu," ucap Jade tercekat melihat tangan besar Satria memeluknya erat. Terasa embusan nafas hangat di tengkuknya.
"Jangan bergerak, kamu tidak akan bisa menolak apapun yang aku inginkan." Suara Satria datar.
Jade menelan salivanya, ia hampir lupa dengan isi perjanjian yang sudah ditanda tanganinya kemarin.
"Maaf, aku lupa."
Suara langkah seseorang terdengar mendekat.
"Maaf, Momi mengganggu kalian." Jade harus dikejutkan lagi dengan kedatangan Ambar, dengan jelas Ambar melihat Satria memeluk Jade dari belakang. Sontak Jade berusaha menghindarkan tangan Satria dari perutnya, Jade malu kalau Satria bersikap mesra seperti barusan.
"Kita makan siang sama-sama, makanan sudah siap. Jade, setelah makan siang Momi akan memberikanmu sesuatu." Ambar tersenyum tulus, tersirat jelas di wajahnya. Tidak ada kepura-puraan di sana seperti wajah palsu yang Jade tampilkan.
"Jangan menawan pacarku lama-lama, karena setelah makan siang kami ada janji lain."
Ambar menghela nafas panjang, sejujurnya ia masih ingin Jade berlama-lama dengannya.
"Baiklah, setelah makan siang dan setelah Momi memberikan Jade sesuatu."
***
Jade terus menatap gelang yang diberikan Ambar tadi. Matanya tak lepas dari gelang warna emas polos yang berada di pergelangan tangannya. Gelang polos tampak sederhana tapi terlihat mewah dipakai Jade.
Gelang warisan turun-temurun dari leluhur Satria. Yang diberikan kepada menantu wanita di keluarga Maxton.
Ambar berharap, Satria dan Jade segera melangsungkan pernikahan secepatnya. Entah kenapa Ambar sangat menyukai dan menginginkan Jade.
"Aku jadi tidak enak hati dengan pemberian momi, beliau terlalu baik."
Satria hanya tersenyum menanggapi ucapan Jade. Ia sama sekali tidak ingin membahas hal itu. Terlebih dering ponsel yang mengganggu sedari tadi.
"Ya hallo," sapa Satria pada si penelepon.
"Hahaha, aku tidak ada waktu untuk bertemu denganmu," ucap Satria lagi.
"Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi."
Satria melirik Jade yang duduk dengan tenang di sampingnya. Matanya melihat keluar jendela mobil. Memperhatikan setiap pemandangan yang dilewatinya.
"Pak Jo, kita mampir di restoran depan." Satria memberikan instruksi pada pak Jo.
"Siap Tuan," timpal pak Jo. Kemudian mobil di belokan ke sebuah restauran mewah yang berada di kiri depan jalan.
"Kamu ikut turun, aku akan memperkenalkanmu dengan Bella."
Mau tak mau Jade ikut turun, mengikuti langkah besar Satria dari belakang. Jade begitu penasaran dengan sosok yang bernama Bella.
Siapa Bella?
Langkah Satria terhenti di sebuah meja yang sudah direservasi. Di sana juga sudah duduk seorang wanita cantik, elegan dan dandanannya membuat decak kagum. Berbeda dengan gaya Jade yang sederhana hari ini.
"Sayang." Wanita cantik yang bernama Bella itu mengecup pipi Satria. Satria tidak memberikan perlawanan ataupun balasan pada Bella.
Jade dapat melihat kalau mereka berdua baru bertemu lagi setelah sekian lama berpisah. Otomatis Jade jadi canggung berada di tengah-tengah mereka.
"Oh ya kenalkan ini Jade, dia pacarku." Satria merangkul pinggang Jade untuk dikenalkannya pada Bella.
Mata Bella menyipit memindai gestur tubuh Satria dan Jade satu sama lain. Tidak ada yang aneh, pikir Bella.
"Oke, aku Bella." Bella mengulurkan tangannya pada Jade. Begitupun dengan Jade membalas uluran tangan Bella.
"Jade."
Bella tersenyum palsu, ia benar-benar begitu kesal pada Satria. Dengan lantang Satria berani membawa wanita lain ke hadapannya. Bella sangka Satria hanya omong kosong belaka.
Kedatangan Satria ke restauran itu dengan Jade tak lain hanya untuk membuat Bella mundur. Bella tak lain adalah mantan kekasih Satria yang masih saja mengejarnya. Membuat Satria jengah dan ingin memberinya pelajaran.
"Pak Jo, kita pulang saja." Mata Satria memejam, entah apa yang sedang dalam pikirannya. Jade tak berani untuk bertanya.
Sampai di rumah pribadi Satria, Jade dipersilahkan masuk. Tak jauh berbeda dengan rumah orang tua Satria, rumah yang dilihatnya sekarang juga mewah dan sangat berkelas. Semua interiornya tidak ada yang abal-abal.
"Silahkan duduk Nona," ucap seorang pria paruh baya. Dari pakaiannya yang rapi, memakai stelan jas hitam mungkin pria itu adalah asisten rumah Satria.
"Terima kasih, Pak."
"Panggil saya Teo ," katanya lagi.
Jade menganggukan kepalanya sembari tersenyum. Beberapa detik kemudian Satria muncul dari lantai atas langsung memanggil Jade untuk ikut dengannya.
"Ayo kemarilah," ajak Satria berjalan lebih dulu kembali menaiki anak tangga.
Dengan perasaan tak menentu, Jade mengikuti Satria dengan pandangan terus melihat ke bawah. Dalam hatinya Jade terus menerka-nerka, apa yang akan Satria lakukan padanya di atas?
"Kemarilah." Satria menarik tangan Jade ke dalam kamarnya. Kamar yang terlihat maskulin dan wanginya menenangkan. Jade sangat suka itu, wangi khas dan baru sekarang Jade merasakan aromanya.
Tangan besar Satria kembali dilingkarkan di pinggang Jade dari belakang. Hidung Satria sibuk merasakan aroma tubuh Jade. Sesekali bibir Satria menciumi tengkuk Jade sampai wanita dalam dekapannya meliukan tubuhnya.
Jade mau tak mau harus menerimanya, dengan semua perjanjian yang telah disepakati. Ia tidak bisa mundur bahkan hanya selangkahpun, hidupnya berada dalam aturan Satria. Hanya Satria yang bisa melakukan apapun yang dikehendakinya.
Satria membalikan tubuh Jade, hingga keduanya sekarang saling berhadap-hadapan. Dengan matanya Satria menyapu wajah Jade yang cantik. Bibir Jade yang merah merekah, pipinya yang putih halus, matanya yang bulat sangat disukai Satria. Apalagi bila Jade malu, pipinya akan merona.
Bibir Satria melumat habis bibir Jade, sampai nafas Jade terasa habis. Tangannya kembali bergeriliya di bagian belakang tubuh Jade. Meremas apa saja yang ditemuinya di sana.
"Eeemmm." Jade melenguh saat tangan Satria berada di kedua aset berharganya. Tak ada dalam benaknya jika Satria akan melakukan sejauh itu. Dan Jade kembali tidak bisa berkutik.
Satria menyudahi permaianannya, ia menyeringai melihat wajah Jade dengan tatapan mata sayu tapi sangat meneduhkan.
"Kenapa wajahmu merona? Apa kamu menyukainya?" tanya Satria tiba-tiba.
Deg,
Jade menelan kasar salivanya, mana mungkin ia menyukainya. Tapi perasaan tegang plus apapun itu rasanya baru pertama kali ia rasakan seumur hidup.
"Ingat Jade, jangan membawa perasaan dalam perjanjian kita. Ini murni kesepakatan dan tidak boleh ada perasaan lebih," jelas Satria bagaikan lidah yang tak bertulang. Bagi Satria mengucapkan hal itu enteng-enteng saja, tapi bagi Jade?
Aku baru tahu kalau dia itu pria brengsek! Batin Jade kesal dengan segala cumbuan yang diberikan pria itu padanya.
***
BERSAMBUNG..
Setelah ciuman beberapa detik yang diberikan Satria padanya membuat Jade tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di otak direktur perusahaan tempatnya bekerja itu secara dalam surat perjanjian tertulis kalau Satria bisa melakukan apapun terhadap Jade termasuk menidurinya. Jade kira tadi adalah pemanasan sebelum mereka memulainya, dan Jade rasanya ingin membenturkan kepalanya dengan keras ke dinding karena sudah punya pikiran kotor seperti itu."Jade, kamu akan pulang di antar sopir ya. Kepalaku mendadak pusing jadi aku ingin istirahat saja malam ini," kata Satria membuka lebar-lebar pintu kamarnya.Jade tidak habis pikir, bukannya tadi dirinya yang dipanggil Satria ke kamarnya dan sekarang dirinya malah seakan di usir dengan hormat oleh pria brengsek itu."Iiisshhh." Jade mendesis pelan, tangannya mengepal. Jika saja dia tidak berhutang banyak pada Satria sudah pasti ia akan memaki pria itu dan menyebutnya tidak bermoral."Aku masih bisa mendengar
Jade menelan salivanya kasar, selain mempermainkan dirinya. Kini Satria juga menguasai dirinya juga dengan menjadikannya sekretaris. Perut laparnya berubah jadi tidak bernafsu.Yang benar saja, makanpun harus seizin atasan.Oke, memang sekretaris selalu menyiapkan bahkan memesankan tempat untuk makan siang atau hal pribadi atasannya. Tapi, ini kapan ia bisa keluar jika Satria saja sedang asyik masyuk di dalam sana. Beberapa kali Jade mendesis, mulutnya komat-kamit merutuki perbuatan Satria."Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, Sayang. Jadi, kapan dong aku bisa ketemu kamu lagi." Perempuan di ruangan Satria tadi menggelayut manja di ambang pintu ruangan direktur utama perusahaan tersebut. Seolah ingin memamerkan pada dunia kalau dirinya ada hubungan spesial dengan pria yang kini memandangi Jade."Kita atur waktu lain kali," balas Satria datar.Satria malah memanggil Hans dan menyuruh mengantarkan perempuan itu pergi dari hadapannya.
Jade menerima telepon dari nomor yang tidak dikenalnya. Sudah 3 kali ponselnya terus-terusan berkedip tapi si pemilik tidak kunjung menjawabnya.Ia kemudian menggeser tombol hijau pada layar dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya."Hallo," sapa Jade."Selamat siang betul ini dengan Nona Jade?" tanya suara dari seorang wanita bersuara empuk dan khas seperti seorang costumer service di ujung seberang telepon."Betul ini dengan Jade, maaf anda siapa?" tanya wanita muda berumur 26 tahun itu dari balik selimut tebalnya."Saya dari Maxton Company, ingin mengabarkan pada anda bahwa lamaran anda sebagai sekretaris wakil direktur lolos seleksi. Anda diharapkan datang besok untuk walk interview pukul 9 di lantai 3," jelasnya dengan suara renyah."Benarkah? Saya akan datang tepat waktu."Usai menerima panggilan telepon, Jade segera beringsut dari tempat tidurnya. Menyibakkan selimut tebal yang sudah menghangatkannya dari semalam.
"Siapa kamu?" ulang Satria menatap tajam netra Jade sambil melangkahkan kakinya mendekat.Jade terkesiap, wajahnya pucat pasi. Pasti pria di hadapannya itu adalah direktur utama perusahaan ini, pikir Jade."Sa-saya di suruh pak Calvin memberikan berkas ini pada sekretaris direktur tapi saya lihat tidak ada orang di depan jadi saya berinisiatif menyimpannya di ruangan ini," jelas Jade terbata-bata. Alih-alih takut melihat Satria, Jade hanya menundukan kepalanya menatap ke bawah. Jari-jemarinya saling bertautan satu sama lain.Satria memberikan kode pada Hans, asisten pribadinya untuk meninggalkan mereka berdua di ruangan.Jantung Jade semakin berdebar cepat, perasaannya tak karu-karuan."Lihat aku!" ucap Satria dingin dengan suara baritonnya yang menggema.Jade takut-takut mengangkat kepalanya, melihat aura wajah Satria yang kuat. Rahangnya tegas dengan sorot mata tajamnya mampu membuat Jade tak berkutik.Satria menghampiri Jade yang se
Tangan Jade gemetar membaca surat yang berada di tangannya, surat yang didapatnya dari Bank. Di sana tertulis Jade harus segera melunasi semua tunggakan beserta bunganya. Wajah Jade pucat pasi, ini semua tidak berada dalam surat perjanjian bahwa Jade bisa mencicilnya tiap bulan."Tapi kenapa perjanjiannya berubah? Apa pihak Bank suka seenaknya merubah kesepakatan?" Jade frustasi, dari mana ia mendapatkan uang hampir 800 juta dalam waktu 1 minggu. "Ini gila," keluh Jade.Pagi-pagi Jade mendapatkan surat pemberitahuan dari Bank, security memberikannya saat Jade baru akan berangkat ke kantor. Ia tidak sempat membacanya saat di perjalanan, bus yang penuh dan sesak membuatnya sulit bergerak. Baru sampai kantor sambil menyesap tehnya, ia begitu teekesiap membaca lembar demi lembar yang tertera di surat itu. Hampir saja jantungnya loncat dari tempatnya."Apa aku harus pinjam ke kantor, ah tapi aku tidak berani. Aku baru bekerja di sini belum satu bulan tapi dari
"Kenapa harus Jade?" ulang Calvin sudah tidak sabar menunggu jawaban dari mulut Satria. Sedari tadi Satria tidak mengindahkannya, hanya bibirnya yang terus menyeringai membuat Calvin semakin kesal."Karena aku menginginkannya, dan apakah aku juga harus memberikan alasan kenapa aku menginginkannya?" Satria tidak terlalu suka kehidupan pribadinya terlalu di blow up, meskipun Calvin dekat dengannya."Setidaknya kamu katakan kenapa menginginkannya," kata Calvin lemah. Ia meneguk winenya sampai habis."Dia wanitaku," kata Satria santai.Alasan Satria tidak dapat ia terima begitu saja, terlebih Jade adalah karyawan baru di Maxton dan Jade belum familiar dengan orang-orang di sana. Dan kenapa langsung berkaitan dengan direktur utama Maxton? Ini ada sesuatu.Calvin terus menerka-nerka sampai otaknya sudah tidak mampu lagi berpikir.***"Hallo, Jade. Turunlah, aku menunggumu. Kita akan ke rumah orang tuaku pagi ini,