"Kau tidak mau menawariku?" Deondra bertanya sesaat setelah kepergian kepala pelayan.
Arinda menatapnya sekilas. "Memangnya Anda mau makanan murahan seperti ini?"
Acuh, Arinda bertanya sambil menggigit paha ayam yang di penuhi saus. Gerakan lidahnya yang mengecap kepedasan, membuat Deondra seakan langsung bergelora. Dia menahannya susah payah, di tambah lagi gadis itu menjilat bibirnya dan juga jari-jari tangannya.
"Astaga, gadis ini seperti sengaja ingin menggoda diriku," batinnya sambil berdecak tanpa suara.
"Mau, tapi langsung dari tanganmu."
Arinda menatapnya, lalu menggeleng tak percaya. "Sudah minta, tidak tahu diri!"
"Apa?"
Arinda tak menjawab protes yang di layangkan Deondra. Santai, dia menghabiskan seporsi jumbo makanan cepat saji yang di pesannya.
"Memangnya di belakang tidak ada makanan sampai kau memesan makanan kurang sehat ini?" Deondra bertanya, mengalihkan isi kepalanya yang
"Arin!"Gadis yang tengah menata makan pagi di meja itu tersentak kecil. Dia menatap wajah Deondra yang pagi-pagi sudah mengganggu ketenangannya."Ada apa, Tuan Muda?"Ada banyak pelayan di sana, mengerjakan tugas mereka sambil sesekali melirik dua orang itu. Deondra tak peduli, dia menatap wajah Arinda dan mencocokkannya dengan photo setahun silam yang di kirimkan kakaknya tadi malam. Di dalam photo itu, ada Arinda, Kakaknya dan keponakannya, Syillia. Wajah Arinda terlihat cerah, senyumnya lebar dan tampak imut. Tengah berphoto dengan dua jari tengah dan telunjuk di depan wajah."Apakah kau mengenal wanita ini?"Mengalihkan photo yang di perhatikannya, Deondra memperlihatkan photo kakak perempuannya yang sudah lama bersarang laba-laba di dalam galerinya."Mana? Astaga!" Arinda berseru pelan, membuat Deondra menatapnya antusias."Kau mengenalnya?"Arinda balas menatapnya datar. "Saya melihatn
"Ayah, Ayah tahu siapa yang bertemu dengan Arin semalam?"Sambil membersihkan tubuh ayahnya dengan Washlap, Arinda mulai bicara."Em, ayah tidak tahu, Sayang. Siapa?"Arinda mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan wanita yang mengakui sebagai sahabat ibunya. Sambil membersihkan dada ayahnya yang masih tertutup perban."Katanya, dia baru tahu kalau Ayah dan Bunda kecelakaan. Jadi, dia datang ke rumah kita. Cuma, rumah kita 'kan kosong, jadi tidak ada siapa-siapa yang ada di sana.""Oh, begitu."Recath terdiam, dia menatap lurus saakan memikirkan sesuatu."Kamu ada bawa sertifikat rumah kita itu, Sayang?"Arinda mengangguk. "Ada di rumah sewa, Arin simpan. Kenapa, Yah?"Ayahnya tersenyum. "Kita bisa menggunakannya untuk menjual rumah itu. Agar ayah bisa membangun usaha kecil-kecilan sebagai penyambung hidup kita," ujarnya membuat Arinda terdiam.Dia melamu
Alrix membukakan pintu untuk Deondra. Tuan Mudanya itu bukannya keluar, malah sedang termenung di dalam mobilnya, seakan ada banyak pikiran yang mengganggui otaknya.Pukul setengah delapan pagi, mereka sudah datang ke rumah sakit ini. Sempat berselisih dengan Arinda di halaman rumahnya yang baru pulang setelah mengurus makan pagi dan juga mengganti pakaian ayahnya. Tidak banyak yang di lakukan gadis itu, dia hanya masuk ke dalam barisan para pelayan dan melepas keberangkatannya. Sempat dia meliriknya sejenak, tapi gadis itu hanya menundukkan kepalanya sama seperti para pelayan lain."Tuan Muda, kita sudah tiba," ucap Alrix, membuatnya tersadar."Aku takut, Al. Bagaimana kalau Tuan Recath membunuhku?""Astaga!" Alrix menepuk dahinya tak percaya. "Hadapilah, Tuan Muda. Anda harus menjadi seorang pria sejati untuk menaklukkan seorang wanita. Ayo, anda harus masuk dan menemuinya."Deondra menghela napas, sebelum akhirnya membuka
"Hai Tante!"Arinda mendekati sebuah meja di cafe dekat perumahan. Dia baru belanja beberapa kebutuhan dengan Jenika, sebelum akhirnya bertemu dengan seorang wanita yang mengaku sebagai sahabat bundanya kemarin."Arin!" Wanita itu bangkit, lalu memutari meja dan mendekap Arinda hangat. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya masih dalam keadaan berpelukan.Arinda tersenyum lebar. "Saya pengen beli cake moca, Tante. Jadi mampir dulu di sini. Karena katanya semalam sedang ada diskon," ujar Arinda membuat Jenika tertawa."Oh," ujar Allea, dia melepaskan pelukan. "Kamu rapi sekali, kerja di mana?" tanyanya saat menatap penampilan Arinda dan Jenika yang seragam."Saya bekerja sebagai pelayan di rumah seorang pengusaha. Ah, ini teman saya namanya Kak Jenika."Arinda memperkenalkan Jenika yang langsung bersalaman hangat dengan wanita itu. Usia mereka seperti beda beberapa tahun, namun sama-sama cantik dan terlihat masih mu
Deondra tiba di rumahnya menjelang siang. Dia turun terburu-buru, meninggalkan Alrix yang baru mematikan mesin mobil.Dia masih kaget dengan sikap Deondra yang berubah setelah keluar dari ruangan ayah Arinda. Wajahnya mengeras dengan mata memerah, lalu bicara padanya dengan dua kalimat."Ayo pulang! Arinda menjauhiku karena dia sedang hamil!"Singkat, padat dan jelas pernyataan itu di dengarnya. Alrix bahkan sampai sampai berlari mengikutinya yang langsung memasuki lift. Pikirannya masih berkecamuk. Arinda hamil? Apa yang akan di lakukan Tuan Mudanya itu? Akankah dia menerimanya atau dia akan membuat Arinda tersiksa."Tuan Muda, sebentar!" Alrix berlari mendekatinya, menahan langkahnya yang tidak sabaran menuju dapur."Tuan Muda! Apa yang akan Anda lakukan padanya? Dia tidak bersalah," ujarnya sambil mencoba menahan langkah Deondra yang semakin cepat."Minggirlah, Alrix! Aku ingin mendengar pengakuannya!" Deondr
Deondra mengepalkan tangannya penuh dengan rasa bersalah. Menatap kepergian Arinda yang sudah hilang di balik tembok kamar mandi bawah tangga."Dia tengah menangis, dia sengaja pergi dariku untuk mengeluarkan semua rasa sakit hatinya," gumamnya sesak, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.Ucapan, tangisan dan juga penolakan gadis itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Sebegitu parahkah luka hatinya? Sebegitu bencikah Arinda padanya? Apa yang harus dia lakukan untuk membuatnya percaya bahwa dia menginginkan mereka? Menginginkan Arinda menjadi istrinya dan melahirkan anak itu dengannya.Menyugar rambutnya gusar, wajahnya memerah penuh penyesalan. Dia membiarkan tubuhnya merosot jatuh, lemah, tiada dayanya yang bisa di tunjukkan sebagai seseorang yang angkuh. Deondra, dia sudah menghancurkan hati wanita yang di cintainya itu.Namun, belum sempat dia terduduk, seseorang sudah menahan lengannya. Dia mendongak, menatap Alrix yang ten
Arinda menunduk, meraih sapu untuk membantu membersihkan rumah.Pagi ini suasana rumah sama seperti biasanya. Pada pelayan yang kembali bertugas, tak jauh berbeda dari apa yang di lakukannya. Walaupun sedikit menjauh dari perkumpulan teman-temannya, Arinda tetap melakukan pekerjaannya. Dia tidak ingin di anggap istimewa hanya karena hamil, dia tetap dirinya, yaitu seorang pelayan.Menatap sekeliling rumah, tidak ada yang kotor. Hingga dia memutuskan untuk ke dapur. Masih belum berani beradu tatap dengan para pelayan yang berselisih, gadis itu lebih memilih untuk menatap kakinya daripada arah depan."Ada yang bisa saya bantu, Kepala?"Yang di sebutnya menoleh, menatap Arinda yang tengah menunduk menatap kakinya yang dia ayun-ayunkan."Kamu sudah makan?" Kepala pelayan balik bertanya, mendekati Arinda yang langsung mendongak."Sudah, makan cake moca yang saya beli kemarin. Ini sudah setengah tujuh, sarapan sudah siap?"&
Sebenarnya Deondra hanya bercanda. Dia memang mengambil pemukul kasti dan menyembunyikannya di atas lemari. Mengingat kakaknya datang, sudah pasti Syillia ikut. Keponakan perempuannya itu terkadang sangat menyebalkan. Dia suka mengambil dan membawa pulang alat-alat olahraga milik Deondra, apalagi yang langka dan harganya mahal. Demi untuk membuatnya tak melakukan itu, Deondra harus bertindak lebih dulu.Deru mobil terdengar di luar, tapi Deondra acuh. Melangkah ke belakang, dia menghampiri Arinda yang tengah duduk di pinggiran kolam."Kak Devina datang," ucapnya membuat Arinda mendongak.Dilihatnya Deondra yang tengah menatapnya dalam posisi menunduk. Gadis itu diam di tempat, dia begitu malas untuk bangkit dan menundukkan kepalanya pada Deondra. Mengayukan kakinya menyibak air, Arinda hanya diam sampai Deondra berjongkok di sampingnya."Kau tidak mau menemuinya?" Deondra bertanya, menatap wajah Arinda yang justru menatap lurus kea