Membolak-balikan tubuhnya di antara ranjang, Arinda tidak bisa tidur lagi. Dia baru masuk setelah menyelesaikan tugas terakhir, menjelang malam dia yang baru beberapa saat terlelap sudah terbangun karena lapar.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan saat dia meliriknya. Menyibak selimut, Arinda beranjak turun dan melangkah menuju pintu. Hari ini, karena dia yang di temukan hampir pingsan di dapur siang tadi, kepala pelayan melarangnya untuk pulang ke rumah sakit. Dia meminta Arinda untuk beristirahat agar tidak drop karena kelelahan.
Karena desakannya itu, terpaksa dengan berat hati Arinda menganggukkan kepalanya dan melangkah menuju kamar. Lagipula itu untuk kebaikannya dan juga bayinya, bukan? Jadi, tidak ada salahnya jika dia menurut.
"Aku lapar," gumamnya pelan, mengusap perutnya sambil melangkah keluar kamar. "Kamu lapar, ya? Kita cari makanan di luar, oke?"
Walaupun masih belum terlalu menerima, namun Arinda tak punya pilihan
"Kau tidak mau menawariku?" Deondra bertanya sesaat setelah kepergian kepala pelayan.Arinda menatapnya sekilas. "Memangnya Anda mau makanan murahan seperti ini?"Acuh, Arinda bertanya sambil menggigit paha ayam yang di penuhi saus. Gerakan lidahnya yang mengecap kepedasan, membuat Deondra seakan langsung bergelora. Dia menahannya susah payah, di tambah lagi gadis itu menjilat bibirnya dan juga jari-jari tangannya."Astaga, gadis ini seperti sengaja ingin menggoda diriku," batinnya sambil berdecak tanpa suara."Mau, tapi langsung dari tanganmu."Arinda menatapnya, lalu menggeleng tak percaya. "Sudah minta, tidak tahu diri!""Apa?"Arinda tak menjawab protes yang di layangkan Deondra. Santai, dia menghabiskan seporsi jumbo makanan cepat saji yang di pesannya."Memangnya di belakang tidak ada makanan sampai kau memesan makanan kurang sehat ini?" Deondra bertanya, mengalihkan isi kepalanya yang
"Arin!"Gadis yang tengah menata makan pagi di meja itu tersentak kecil. Dia menatap wajah Deondra yang pagi-pagi sudah mengganggu ketenangannya."Ada apa, Tuan Muda?"Ada banyak pelayan di sana, mengerjakan tugas mereka sambil sesekali melirik dua orang itu. Deondra tak peduli, dia menatap wajah Arinda dan mencocokkannya dengan photo setahun silam yang di kirimkan kakaknya tadi malam. Di dalam photo itu, ada Arinda, Kakaknya dan keponakannya, Syillia. Wajah Arinda terlihat cerah, senyumnya lebar dan tampak imut. Tengah berphoto dengan dua jari tengah dan telunjuk di depan wajah."Apakah kau mengenal wanita ini?"Mengalihkan photo yang di perhatikannya, Deondra memperlihatkan photo kakak perempuannya yang sudah lama bersarang laba-laba di dalam galerinya."Mana? Astaga!" Arinda berseru pelan, membuat Deondra menatapnya antusias."Kau mengenalnya?"Arinda balas menatapnya datar. "Saya melihatn
"Ayah, Ayah tahu siapa yang bertemu dengan Arin semalam?"Sambil membersihkan tubuh ayahnya dengan Washlap, Arinda mulai bicara."Em, ayah tidak tahu, Sayang. Siapa?"Arinda mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan wanita yang mengakui sebagai sahabat ibunya. Sambil membersihkan dada ayahnya yang masih tertutup perban."Katanya, dia baru tahu kalau Ayah dan Bunda kecelakaan. Jadi, dia datang ke rumah kita. Cuma, rumah kita 'kan kosong, jadi tidak ada siapa-siapa yang ada di sana.""Oh, begitu."Recath terdiam, dia menatap lurus saakan memikirkan sesuatu."Kamu ada bawa sertifikat rumah kita itu, Sayang?"Arinda mengangguk. "Ada di rumah sewa, Arin simpan. Kenapa, Yah?"Ayahnya tersenyum. "Kita bisa menggunakannya untuk menjual rumah itu. Agar ayah bisa membangun usaha kecil-kecilan sebagai penyambung hidup kita," ujarnya membuat Arinda terdiam.Dia melamu
Alrix membukakan pintu untuk Deondra. Tuan Mudanya itu bukannya keluar, malah sedang termenung di dalam mobilnya, seakan ada banyak pikiran yang mengganggui otaknya.Pukul setengah delapan pagi, mereka sudah datang ke rumah sakit ini. Sempat berselisih dengan Arinda di halaman rumahnya yang baru pulang setelah mengurus makan pagi dan juga mengganti pakaian ayahnya. Tidak banyak yang di lakukan gadis itu, dia hanya masuk ke dalam barisan para pelayan dan melepas keberangkatannya. Sempat dia meliriknya sejenak, tapi gadis itu hanya menundukkan kepalanya sama seperti para pelayan lain."Tuan Muda, kita sudah tiba," ucap Alrix, membuatnya tersadar."Aku takut, Al. Bagaimana kalau Tuan Recath membunuhku?""Astaga!" Alrix menepuk dahinya tak percaya. "Hadapilah, Tuan Muda. Anda harus menjadi seorang pria sejati untuk menaklukkan seorang wanita. Ayo, anda harus masuk dan menemuinya."Deondra menghela napas, sebelum akhirnya membuka
"Hai Tante!"Arinda mendekati sebuah meja di cafe dekat perumahan. Dia baru belanja beberapa kebutuhan dengan Jenika, sebelum akhirnya bertemu dengan seorang wanita yang mengaku sebagai sahabat bundanya kemarin."Arin!" Wanita itu bangkit, lalu memutari meja dan mendekap Arinda hangat. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya masih dalam keadaan berpelukan.Arinda tersenyum lebar. "Saya pengen beli cake moca, Tante. Jadi mampir dulu di sini. Karena katanya semalam sedang ada diskon," ujar Arinda membuat Jenika tertawa."Oh," ujar Allea, dia melepaskan pelukan. "Kamu rapi sekali, kerja di mana?" tanyanya saat menatap penampilan Arinda dan Jenika yang seragam."Saya bekerja sebagai pelayan di rumah seorang pengusaha. Ah, ini teman saya namanya Kak Jenika."Arinda memperkenalkan Jenika yang langsung bersalaman hangat dengan wanita itu. Usia mereka seperti beda beberapa tahun, namun sama-sama cantik dan terlihat masih mu
Deondra tiba di rumahnya menjelang siang. Dia turun terburu-buru, meninggalkan Alrix yang baru mematikan mesin mobil.Dia masih kaget dengan sikap Deondra yang berubah setelah keluar dari ruangan ayah Arinda. Wajahnya mengeras dengan mata memerah, lalu bicara padanya dengan dua kalimat."Ayo pulang! Arinda menjauhiku karena dia sedang hamil!"Singkat, padat dan jelas pernyataan itu di dengarnya. Alrix bahkan sampai sampai berlari mengikutinya yang langsung memasuki lift. Pikirannya masih berkecamuk. Arinda hamil? Apa yang akan di lakukan Tuan Mudanya itu? Akankah dia menerimanya atau dia akan membuat Arinda tersiksa."Tuan Muda, sebentar!" Alrix berlari mendekatinya, menahan langkahnya yang tidak sabaran menuju dapur."Tuan Muda! Apa yang akan Anda lakukan padanya? Dia tidak bersalah," ujarnya sambil mencoba menahan langkah Deondra yang semakin cepat."Minggirlah, Alrix! Aku ingin mendengar pengakuannya!" Deondr
Deondra mengepalkan tangannya penuh dengan rasa bersalah. Menatap kepergian Arinda yang sudah hilang di balik tembok kamar mandi bawah tangga."Dia tengah menangis, dia sengaja pergi dariku untuk mengeluarkan semua rasa sakit hatinya," gumamnya sesak, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.Ucapan, tangisan dan juga penolakan gadis itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Sebegitu parahkah luka hatinya? Sebegitu bencikah Arinda padanya? Apa yang harus dia lakukan untuk membuatnya percaya bahwa dia menginginkan mereka? Menginginkan Arinda menjadi istrinya dan melahirkan anak itu dengannya.Menyugar rambutnya gusar, wajahnya memerah penuh penyesalan. Dia membiarkan tubuhnya merosot jatuh, lemah, tiada dayanya yang bisa di tunjukkan sebagai seseorang yang angkuh. Deondra, dia sudah menghancurkan hati wanita yang di cintainya itu.Namun, belum sempat dia terduduk, seseorang sudah menahan lengannya. Dia mendongak, menatap Alrix yang ten
Arinda menunduk, meraih sapu untuk membantu membersihkan rumah.Pagi ini suasana rumah sama seperti biasanya. Pada pelayan yang kembali bertugas, tak jauh berbeda dari apa yang di lakukannya. Walaupun sedikit menjauh dari perkumpulan teman-temannya, Arinda tetap melakukan pekerjaannya. Dia tidak ingin di anggap istimewa hanya karena hamil, dia tetap dirinya, yaitu seorang pelayan.Menatap sekeliling rumah, tidak ada yang kotor. Hingga dia memutuskan untuk ke dapur. Masih belum berani beradu tatap dengan para pelayan yang berselisih, gadis itu lebih memilih untuk menatap kakinya daripada arah depan."Ada yang bisa saya bantu, Kepala?"Yang di sebutnya menoleh, menatap Arinda yang tengah menunduk menatap kakinya yang dia ayun-ayunkan."Kamu sudah makan?" Kepala pelayan balik bertanya, mendekati Arinda yang langsung mendongak."Sudah, makan cake moca yang saya beli kemarin. Ini sudah setengah tujuh, sarapan sudah siap?"&
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi