Pukul sepuluh, pertemuan usai. Deondra sudah berjalan menuju ruangannya tanpa mempedulikan Alrix yang mengekor dan heboh sepanjang jalan di belakangnya.
"Ciee, Tuan Muda! Kapan acara pernikahannya?"
"Apakah saya perlu menyiapkan acaranya?"
"Gedung mewah mana yang Tuan pilih untuk menikahinya?"
"Apakah Tuan akan mengatakannya juga pada Arinda?"
"Saya di undang 'kan, Tuan?"
"Tuan! Tuan Muda!"
Alrix menahan pintu ruangan yang di tahan Deondra dari dalam. Dia tertawa saat pintu itu tertutup, lalu menyugar rambutnya dan menghela napas.
"Kalau Arinda tahu Tuan mengaku-ngaku seperti ini. Entah apa yang akan dia lakukan." Mengusap wajahnya, Alrix melangkah pergi, menyelesaikan beberapa urusannya sebelum pulang dan mengadakan pertemuan di rumah Deondra sendiri.
Bukan orang sembarangan, empat orang yang akan di bawa Deondra kitu adalah orang-orang yang paling berpengaruh dalam perusahaan milik Tuan Mudanya.
Membolak-balikan tubuhnya di antara ranjang, Arinda tidak bisa tidur lagi. Dia baru masuk setelah menyelesaikan tugas terakhir, menjelang malam dia yang baru beberapa saat terlelap sudah terbangun karena lapar.Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan saat dia meliriknya. Menyibak selimut, Arinda beranjak turun dan melangkah menuju pintu. Hari ini, karena dia yang di temukan hampir pingsan di dapur siang tadi, kepala pelayan melarangnya untuk pulang ke rumah sakit. Dia meminta Arinda untuk beristirahat agar tidak drop karena kelelahan.Karena desakannya itu, terpaksa dengan berat hati Arinda menganggukkan kepalanya dan melangkah menuju kamar. Lagipula itu untuk kebaikannya dan juga bayinya, bukan? Jadi, tidak ada salahnya jika dia menurut."Aku lapar," gumamnya pelan, mengusap perutnya sambil melangkah keluar kamar. "Kamu lapar, ya? Kita cari makanan di luar, oke?"Walaupun masih belum terlalu menerima, namun Arinda tak punya pilihan
"Kau tidak mau menawariku?" Deondra bertanya sesaat setelah kepergian kepala pelayan.Arinda menatapnya sekilas. "Memangnya Anda mau makanan murahan seperti ini?"Acuh, Arinda bertanya sambil menggigit paha ayam yang di penuhi saus. Gerakan lidahnya yang mengecap kepedasan, membuat Deondra seakan langsung bergelora. Dia menahannya susah payah, di tambah lagi gadis itu menjilat bibirnya dan juga jari-jari tangannya."Astaga, gadis ini seperti sengaja ingin menggoda diriku," batinnya sambil berdecak tanpa suara."Mau, tapi langsung dari tanganmu."Arinda menatapnya, lalu menggeleng tak percaya. "Sudah minta, tidak tahu diri!""Apa?"Arinda tak menjawab protes yang di layangkan Deondra. Santai, dia menghabiskan seporsi jumbo makanan cepat saji yang di pesannya."Memangnya di belakang tidak ada makanan sampai kau memesan makanan kurang sehat ini?" Deondra bertanya, mengalihkan isi kepalanya yang
"Arin!"Gadis yang tengah menata makan pagi di meja itu tersentak kecil. Dia menatap wajah Deondra yang pagi-pagi sudah mengganggu ketenangannya."Ada apa, Tuan Muda?"Ada banyak pelayan di sana, mengerjakan tugas mereka sambil sesekali melirik dua orang itu. Deondra tak peduli, dia menatap wajah Arinda dan mencocokkannya dengan photo setahun silam yang di kirimkan kakaknya tadi malam. Di dalam photo itu, ada Arinda, Kakaknya dan keponakannya, Syillia. Wajah Arinda terlihat cerah, senyumnya lebar dan tampak imut. Tengah berphoto dengan dua jari tengah dan telunjuk di depan wajah."Apakah kau mengenal wanita ini?"Mengalihkan photo yang di perhatikannya, Deondra memperlihatkan photo kakak perempuannya yang sudah lama bersarang laba-laba di dalam galerinya."Mana? Astaga!" Arinda berseru pelan, membuat Deondra menatapnya antusias."Kau mengenalnya?"Arinda balas menatapnya datar. "Saya melihatn
"Ayah, Ayah tahu siapa yang bertemu dengan Arin semalam?"Sambil membersihkan tubuh ayahnya dengan Washlap, Arinda mulai bicara."Em, ayah tidak tahu, Sayang. Siapa?"Arinda mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan wanita yang mengakui sebagai sahabat ibunya. Sambil membersihkan dada ayahnya yang masih tertutup perban."Katanya, dia baru tahu kalau Ayah dan Bunda kecelakaan. Jadi, dia datang ke rumah kita. Cuma, rumah kita 'kan kosong, jadi tidak ada siapa-siapa yang ada di sana.""Oh, begitu."Recath terdiam, dia menatap lurus saakan memikirkan sesuatu."Kamu ada bawa sertifikat rumah kita itu, Sayang?"Arinda mengangguk. "Ada di rumah sewa, Arin simpan. Kenapa, Yah?"Ayahnya tersenyum. "Kita bisa menggunakannya untuk menjual rumah itu. Agar ayah bisa membangun usaha kecil-kecilan sebagai penyambung hidup kita," ujarnya membuat Arinda terdiam.Dia melamu
Alrix membukakan pintu untuk Deondra. Tuan Mudanya itu bukannya keluar, malah sedang termenung di dalam mobilnya, seakan ada banyak pikiran yang mengganggui otaknya.Pukul setengah delapan pagi, mereka sudah datang ke rumah sakit ini. Sempat berselisih dengan Arinda di halaman rumahnya yang baru pulang setelah mengurus makan pagi dan juga mengganti pakaian ayahnya. Tidak banyak yang di lakukan gadis itu, dia hanya masuk ke dalam barisan para pelayan dan melepas keberangkatannya. Sempat dia meliriknya sejenak, tapi gadis itu hanya menundukkan kepalanya sama seperti para pelayan lain."Tuan Muda, kita sudah tiba," ucap Alrix, membuatnya tersadar."Aku takut, Al. Bagaimana kalau Tuan Recath membunuhku?""Astaga!" Alrix menepuk dahinya tak percaya. "Hadapilah, Tuan Muda. Anda harus menjadi seorang pria sejati untuk menaklukkan seorang wanita. Ayo, anda harus masuk dan menemuinya."Deondra menghela napas, sebelum akhirnya membuka
"Hai Tante!"Arinda mendekati sebuah meja di cafe dekat perumahan. Dia baru belanja beberapa kebutuhan dengan Jenika, sebelum akhirnya bertemu dengan seorang wanita yang mengaku sebagai sahabat bundanya kemarin."Arin!" Wanita itu bangkit, lalu memutari meja dan mendekap Arinda hangat. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya masih dalam keadaan berpelukan.Arinda tersenyum lebar. "Saya pengen beli cake moca, Tante. Jadi mampir dulu di sini. Karena katanya semalam sedang ada diskon," ujar Arinda membuat Jenika tertawa."Oh," ujar Allea, dia melepaskan pelukan. "Kamu rapi sekali, kerja di mana?" tanyanya saat menatap penampilan Arinda dan Jenika yang seragam."Saya bekerja sebagai pelayan di rumah seorang pengusaha. Ah, ini teman saya namanya Kak Jenika."Arinda memperkenalkan Jenika yang langsung bersalaman hangat dengan wanita itu. Usia mereka seperti beda beberapa tahun, namun sama-sama cantik dan terlihat masih mu
Deondra tiba di rumahnya menjelang siang. Dia turun terburu-buru, meninggalkan Alrix yang baru mematikan mesin mobil.Dia masih kaget dengan sikap Deondra yang berubah setelah keluar dari ruangan ayah Arinda. Wajahnya mengeras dengan mata memerah, lalu bicara padanya dengan dua kalimat."Ayo pulang! Arinda menjauhiku karena dia sedang hamil!"Singkat, padat dan jelas pernyataan itu di dengarnya. Alrix bahkan sampai sampai berlari mengikutinya yang langsung memasuki lift. Pikirannya masih berkecamuk. Arinda hamil? Apa yang akan di lakukan Tuan Mudanya itu? Akankah dia menerimanya atau dia akan membuat Arinda tersiksa."Tuan Muda, sebentar!" Alrix berlari mendekatinya, menahan langkahnya yang tidak sabaran menuju dapur."Tuan Muda! Apa yang akan Anda lakukan padanya? Dia tidak bersalah," ujarnya sambil mencoba menahan langkah Deondra yang semakin cepat."Minggirlah, Alrix! Aku ingin mendengar pengakuannya!" Deondr
Deondra mengepalkan tangannya penuh dengan rasa bersalah. Menatap kepergian Arinda yang sudah hilang di balik tembok kamar mandi bawah tangga."Dia tengah menangis, dia sengaja pergi dariku untuk mengeluarkan semua rasa sakit hatinya," gumamnya sesak, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding.Ucapan, tangisan dan juga penolakan gadis itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Sebegitu parahkah luka hatinya? Sebegitu bencikah Arinda padanya? Apa yang harus dia lakukan untuk membuatnya percaya bahwa dia menginginkan mereka? Menginginkan Arinda menjadi istrinya dan melahirkan anak itu dengannya.Menyugar rambutnya gusar, wajahnya memerah penuh penyesalan. Dia membiarkan tubuhnya merosot jatuh, lemah, tiada dayanya yang bisa di tunjukkan sebagai seseorang yang angkuh. Deondra, dia sudah menghancurkan hati wanita yang di cintainya itu.Namun, belum sempat dia terduduk, seseorang sudah menahan lengannya. Dia mendongak, menatap Alrix yang ten