Rutinitas pagi yang melelahkan kembali berjalan di rumah utama. Dua puluh orang pelayan yang terbagi antara lelaki dan perempuan sudah bergerak, mengerjakan tugas masing-masing. Tak terkecuali Arinda, walaupun malam di lewatkannya dengan sebuah kejadian yang tak mengenakkan, gadis itu tetap tahu tugasnya. Dia bertanggung jawab, takkan memperdaya siapapun untuk mendapatkan sebuah kemudahan hanya karena ulah Tuan Muda. Karena, Arinda sendiri tak pernah bisa menerima perbuatan Tuan Mudanya itu dengan lapang dada. Jadi, untuk apa dia berulah dan mencoba menjadi wanita yang hebat setelah ternoda? Bukankah Deondra sendiri pun tak ada niat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya?
Alrix sudah bangun sejak jam lima pagi, mengurus beberapa hal terkait urusan pertemuan dengan pengusaha besar dari luar negeri yang akan di adakan siang ini. Bergerak cepat menghubungi beberapa bawahannya untuk melakukan penelusuran, tentang Ayah Arinda yang di rawat di sebuah rumah sakit ternama.&
"Kita mau kemana, Kepala?" Jenika bertanya saat kepala mengumpulkan tujuh orang pelayan.Arinda salah satunya, tapi gadis itu terlihat santai di barisan sudut. Tak ada niat untuk bertanya karena moodnya pun memang kurang baik saat ini."Ikut Tuan Muda. Sudah jangan banyak tanya, cepat siapkan keperluan kalian selama di sana. Kita berangkat dua jam lagi," ucapnya seraya melangkah pergi, meninggalkan ketujuh pelayan yang langsung mengangguk."Jalan-jalan Arin, wah sudah lama sekali," ujar Jenika, berjalan beriringan menuju kamar masing-masing.Arinda hanya tersenyum menanggapi, tak terlalu peduli mau dan akan di bawa kemana. Kejadian tadi malam masih amat membekas, siapa yang bisa merasa semangat setelah di perlakukan seperti wanita murahan?Meraih tas ransel putih yang dipakainya saat datang pertama kali ke rumah ini, Arinda memasukkan beberapa pasang pakaian ke dalamnya. Tak lupa dia juga memasukkan setelan baju pelaya
Alrix menghalau anjing kecil itu ke dalam kandang, khawatir jika dia akan terus mengikutinya sampai ke dalam kamar Tuan Mudanya. Anjing kecil itu menyalak manja, seakan tak ingin di tinggal olehnya dan ingin selalu mengikuti kemanapun Alrix pergi. Namun, Alrix hanya mengusap kepalanya dan menutup pintu kandang kecil berisi beberapa ekor anjing yang ada di teras villa.Selepas mengurus anjing yang terus menyalak, pria yang memiliki sifat sabar itu melangkah lebar. Menaiki tangga untuk menyusul Tuan Mudanya ke kamar. Saat baru berbalik ke lorong kanan, dia melihat Deondra tengah berdiri tegak di depan pintu."Kenapa Tuan Muda tidak langsung masuk?" batinnya bingung, menghentikan langkahnya tak jauh dari sana.Dia melihat tangan Deondra terangkat, seakan tengah menghalangi seseorang agar tak keluar dari sana."Sedang apa kau di kamarku?" Terdengar suara Deondra yang seakan bicara dengan seseorang. Alrix menajamkan lagi pendengarannya.
Alrix menggeleng tak percaya saat melihat apa yang sudah terjadi di hadapannya. Dia beralih pada kepala pelayan yang ada di sampingnya, yang langsung menunduk sopan."Kau tahu bahwa Tuan Muda sudah mulai memiliki perasaan pada gadis ini, bukan?" Alrix bertanya yang langsung di pahami maksudnya oleh Kepala pelayan. "Jadi, simpan dulu rahasia ini dari para pelayan lain. Buatlah alasan yang jelas tentang hubungan kedua orang ini agar mereka tidak curiga pada Arinda. Kau mengerti?""Mengerti, Tuan."Kepala pelayan itu mengangguk lagi, lalu undur diri saat mendapat perintah lewat gestur wajah. Kembali melihat kearah Tuan Muda dan Arinda. Dua sosok itu sedang diam satu sama lain, saling menatap dengan wajah datar, seperti sesama teman, bukan seperti pelayan pada majikan."Bagaimana ceritanya kau bisa di kejar anjing-anjing itu, Arin?" Alrix mendekat, membuat Arinda mencebikkan bibirnya karena kesal mengingat insiden yang baru saja di ala
Arinda duduk di antara batu-batu sungai berair hangat tak jauh dari villa. Memandangi arus sungai yang mengalir, terbelah saat menghantam bebatuan yang di lewatinya. Kakinya terjuntai menyibak air, tak ada niatan mau ikut mandi seperti teman-temannya yang lain."Bagaimana keadaan Ayah?" gumamnya menatap langit yang membiru.Lima hari ini hanya itu saja yang dia pikirkan. Seusai pertanyaan Alrix, dia seperti berencana untuk mengunjungi Ayahnya dalam waktu dekat. Dia ingin menatap wajah ayahnya, bicara dan mengadu tentang semua rasa sakit yang di alaminya. Walaupun tahu ayahnya takkan menjawab ataupun mendengar, setidaknya ada seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya."Kamu tidak ikut mandi?" Seseorang menegurnya, membuat Arinda mendongak."Eh, tidak, Kak. Aku tidak biasa mandi di tempat terbuka seperti ini," balasnya sambil tersenyum.Pelayan pria itu balas tersenyum kecil. Dia duduk di batu yang bersebelahan dengan
Deondra sudah lebih dekat dengan gadis itu, hanya tinggal melompati bebatuan agar bisa sampai di tengah sungai. Di tatapnya sejenak wajah Adinda yang tengah diam memandangi air sungai. Sayup-sayup dia juga mendengar riuh rendah suara para pelayan wanita lain yang tengah berenang di sisi belakang tempat Arinda duduk. Menoleh lagi kearah Alrix, sekretarisnya itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya mantap. Seakan meyakinkan Tuan Mudanya untuk terus melanjutkan langkah.Baiklah, menepis semua ego dan gengsi yang ada di dalam hatinya. Deondra akhirnya melompat ke atas batu dan mendekati Arinda. Gadis itu terlihat masih belum sadar dengan kedatangannya. Bahkan saat Deondra melihat bahunya yang tersingkap akibat terjangan angin, dia langsung melepaskan jaket yang di pakainya dan melemparkannya ke pangkuan Arinda.Gadis itu terperanjak, langsung mendongak kearah Deondra yang tengah berdiri di dekatnya. Dia refleks bangkit dan menyeka air mata yang masih
Masih terdiam tanpa ada yang berniat membuka suara. Arinda menoleh kearah Deondra yang duduk nyaman di sampingnya. Dia sudah kesal sekarang, sedang apa Tuan Mudanya di sini kalau bicara saja tidak mau!"Sedang apa Anda di sini berlama-lama, Tuan? Tidakkah Anda takut para pelayan lain-""Apakah mereka berani membuat kesimpulan tentang diriku?" Deondra menyahut, memotong ucapan Arinda yang sudah dia ketahui akan di bawa kemana."Lagipula, kau yang akan di untungkan jika terjerat gosip bersamaku. Sepertinya kau tidak akan merasa rugi untuk hal itu," lanjutnya seraya tersenyum angkuh."Aku justru malas sekali berurusan denganmu." Suara cibiran terdengar jelas oleh Deondra. Di tatapnya wajah Arinda yang tengah melihat kearah depan."Kau benar-benar tidak tahu diri, ya?" Deondra bertanya dengan nada sinis, membuat kerutan di dahi Arinda timbul. "Soal apa, ya, Tuan?""Cih, baru kali ini aku menolong seseorang dan tak m
Deondra merenung di balkon kamarnya, menatap puncak bukit yang menghijau akibat hutan yang masih terjaga. Sesekali kicau burung terdengar nyaring, angin berhembus, dedaunan jatuh. Hatinya serasa hidup, tak seperti di kota yang hanya berhadapan dengan realita. Puncak ini, terkenal akan keindahannya. Hanya saja, perkampungan warga ada satu kilo meter dari jarak villa. Maka dari itu hanya satu-satu orang yang di lihatnya selama di sini. Membawa cangkul dan memakai topi anyaman bambu, menuju perkebunan mereka di sisi bukit.Alrix memasuki kamarnya saat tak mendengar suara perintah, padahal dia sudah mengetuk pintu. Di tangannya, sekeranjang buah strawberry segar terlihat menggiurkan. Meletakkannya di atas meja, Alrix melihat Arinda yang masih tak sadarkan diri."Berapa lama lagi gadis ini sadar? Apakah dia baik-baik saja?" batinnya bertanya, lalu menghela napas. "Tuan Muda?" Alrix mengambil lagi keranjang itu lalu berjalan kearah balkon dan mendapati Deondra di
Beberapa hari lagi menuju dua bulan sejak mereka pulang dari liburan di atas puncak. Arinda masih sama seperti gadis tiga bulan lalu. Masih berusaha untuk melupakan rasa sakit dan menerima semua kenyataan yang sudah terjadi padanya. Sadar bahwa Deondra selalu berusaha mendekati dan menarik perhatiannya, tapi hati yang retak tak mudah lagi merasakan kagum apalagi cinta. Bukankah semua itu hanyalah tinggal menunggu kata menerima? Jika sekali saja dia menerima pesona Deondra dan menerima perlakuan baiknya, maka tinggal menunggu waktu dia akan kembali jatuh dan tersakiti.Hari ini, sudah hampir menjelang siang. Arinda tengah mengepel rumah dengan kain. Dia berjongkok, melayangkan tangannya kekiri kanan untuk menggapai lantai yang harus di bersihkan. Selama ini, dia selalu mendapat tugas-tugas kecil, sekedar membantu dan juga menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan. Entah perasaannya saja atau tidak, yang pasti ini semua ada kaitannya dengan Deondra dan Alrix yang sedikit berubah
Seharian Arinda tidak keluar, karena dia malu jika bertemu dengan Ayah, Kakak ipar dan suami kakak iparnya itu. Dia juga kesulitan berjalan, akibat serangan Deondra yang tidak ada habisnya. Kuatnya tenaga Deondra saat melakukan percintaan, membuat Arinda kelelahan. Hingga akhirnya dia kembali tertidur dan berakhir di depan televisi sambil mengemil dan meminum susu kehamilan. Serial kartun anak-anak yang di tontonnya cukup menarik. Matanya sampai tak berkedip, menatap televisi lebar di hadapannya. Deondra yang ada di sofa yang sama hanya menggeleng pelan melihat tontonan istrinya. Dia sendiri membuka laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaannya. "Coba lihat ini, Sayang." Deondra bersuara, menarik jaket bulu yang dipakai istrinya itu. "Apa itu?" Mengalihkan pandangan dari televisi, Arinda melihat sebuah destinasi wisata alam terbuka. Beberapa villa di atas bukit tinggi juga tampak indah. Tapi dia seakan kurang suka dengan
Pagi hari di kamar pengantin, Arinda mulai mengerjabkan matanya perlahan. Menatap dada bidang yang ada di hadapannya. Dia tahu itu dada siapa, dada Tuan Muda yang sudah menjadi suaminya. Dia masih ingat semalam mereka baru menikah dan tadi malam Deondra melakukan ciuman panjang dan panas padanya. Namun, pria itu pengertian. Dia tak melanjutkan kegiatannya dan memintanya istirahat. Dia tahu bahwa Arinda kelelahan dan itu tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya.Tersenyum kecil, Arinda mendongak untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur. Perlahan dia melepaskan pelukan erat Deondra dan beranjak duduk.Pukul setengah enam pagi. Biasanya dia akan bangun lebih cepat, tapi karena tubuhnya yang lelah akibat pesta, membuatnya bangun lebih lama. Nyamannya tidur malam ini membuatnya terlelap lebih cepat. Saat bangun tubuhnya terasa lebih segar. Lelah yang di rasakannya semalam berkurang banyak.Dia merenggangkan tubuh untuk mengendurkan ototn
Arinda sudah bangun sejak subuh. Lima orang dari salon yang sudah dua hari ini merawatnya, membantunya menyiapkan diri. Arinda seakan di permak, dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya di bersihkan dan di poles. Tak ada satupun inci tubuhnya yang terlewat. "Jam berapa acaranya akan di mulai?" Frianca, ibunya Reta bertanya. Sedari tadi dia dan anaknya duduk di ranjang Arinda, mengawasi perias pengantin yang mendandani Arinda. "Jam sebelas Nyonya Muda sudah harus menaiki Altar. Kurang lebih satu jam setengah lagi kita sudah harus sampai di sana." Frianca mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari salah satu staff sekretaris yang turut mengawasi persiapan untuk pengantin wanita. Dia yang di beri tanggung jawab oleh Deondra untuk memastikan semua persiapannya sempurna. Termasuk dalam riasan dan mengantarkan Arinda ke tempat acara pernikahan. Arinda terdiam selama proses merias. Dia menatap pantulan cermin yang menampilk
Memasuki sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan, dia membawanya pergi dari sana.Selama di negara bagian selatan setelah Tuan Mudanya memindahtugaskanya, Riza bertemu dengan orang baru. Orang-orang yang paham bisnis dan pintar dalam mengembangkan usaha.Dua bulan dia di sana, salah satu temannya mengajaknya untuk membuka bisnis kuliner. Kebetulan Riza pandai memasak, bakat peninggalan setelah dia menjadi pelayan selama delapan bulan di rumah Deondra. Menggunakan hal itu, dia menerima ajakan temannya dan mulai terjun dalam dunia bisnis perkulineran. Dan bisnis barunya di terima dengan baik di kalangan rakyat negara itu, hingga saat ini mulai naik.Sampai di depan gerbang pemakaman tingkat tinggi, Riza memarkirkan mobilnya dan menemui seseorang yang di hormatinya itu."Saya sudah melakukan perintah Anda, Tuan Muda." Melepaskan alat penyadap di telinganya yang sengaja dia pasang atas perintah Deondra.Deondra terse
Deondra duduk di depan Recath, sambil menikmati teh hangat buatan Arinda.Menatap arah luar, gadisnya itu sedang bercerita dengan kedua temannya. Entah apa itu, tapi sepertinya sangat seru, hingga mereka sesekali tertawa."Pernikahan kami akan terjadi tiga hari lagi, Ayah. Sampai saat ini Arin belum ku beritahu," ujarnya sambil menatap wajah Ayah gadisnya itu."Baguslah, semakin cepat semakin baik. Usia kehamilan Arinda minggu depan masuk bulan kelima. Setidaknya dia sudah ada yang menjaga."Deondra tersenyum, menerawang hidupnya yang akan bahagia dengan keberadaan istrinya yang sedang hamil bayinya itu. Malamnya takkan sendiri lagi, tidurnya sudah ada yang menemani. Dan satu lagi, dia akan mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang, seperti yang di lakukan ibunya pada ayahnyaa. Mungkin akan berbeda, tapi itu tetaplah menjadi sebuah hal yang sama."Arinda masih muda, sedikit labil dan juga rapuh. Jika nanti setelah me
Meraba-raba bagian depan, Arinda tak dapat melihat apapun. Dua matanya di tutup Deondra, hingga membuatnya tidak tahu akan di bawa kemana."Masih jauh?" Arinda bertanya, masih ragu untuk melangkah."Tidak, hampir sampai." Deondra berkata, masih meminta Arinda melangkah maju."Sudah? Aku sudah lelah, Deon.""Sebentar lagi, Sayang. Majulah, beberapa langkah lagi."Arinda menyerah, dia tak bertanya lagi dan memilih untuk terus berjalan. Sesaat, Deondra menahan lengannya dan membuat langkahnya berhenti."Sudah sampai?""Sudah.""Lepaskan ikatan ini," pintanya membuat Deondra tersenyum.Dia melepaskan ikatan kain yang menutup matanya. Mengerjabkan matanya pelan, dia melihat sebuah gedung yang amat familliar di matanya. Beberapa gaun pengantin dan juga rancangan-rancangan ibunya tersusun di sana, beserta satu pita berbunga-bunga indah yang membentang dari satu sisi pintu ke sisi lainnya.&nbs
Mengait mie dengan sumpit, Arinda memakannya panjang-panjang. Uap mie yang masih panas itu seakan tak terasa di mulutnya akibat suhu dingin yang di sebabkan oleh salju.Hari ini mereka berdua tengah makan di sebuah restoran kaca. Bunga dan rumput hias menjalar bergantungan bersamaan dengan onggokan salju di atas atap kotak-kotak tempat mereka berdua menghabiskan makanan.Sepanjang jalanan terbuka di penuhi salju, bahkan rumah-rumah penduduk banyak yang tenggelam karena salju yang lumayan lebat. Tak terkecuali rumah Arinda, semalam dia harus memanggil pembersih salju untuk mengurangi tumpukan benda putih itu di halaman depan rumahnya."Boleh aku bertanya?" Arinda memasukkan lagi mie setelah berkata.Selama kehamilan, gadis itu sangat suka makan mie. Tapi bukan mie sembarangan, mie yang di makannya khusus buatan cheff ternama yang sudah di pastikan kesehatannya."Kapan aku melarang," ujar Deondra, sambil menarik tissue d
Deondra ikut tertawa kecil, dia suka saat Arinda tidak canggung jika menggoda dan membuatnya kesal. Merentangkan tangannya di sandaran sofa, dia kembali mendengar ucapan gadis itu."Anda mengatakan ada yang ingin di tunjukkan pada saya beberapa hari lalu, 'kan? Sampai sekarang kok belum ada tanda-tandanya, Tuan?"Deondra berpikir sejenak. "Oh iya, soal itu. Em, akan kutunjukkan nanti kalau saatnya sudah tiba. Kau santai saja dan bersenang-senanglah.""Hmm, oke. Sudah dulu, ya, Tuan. Kami akan segera berangkat, sampai jumpa.""Kau berharap berjumpa denganku, ya?" Sengaja berlama-lama, Deondra mengulurkan pembicaraan."Lah, bukannya Anda datang ke rumah ini tanpa di undang? Jadi, bukan saya yang berharap bertemu, tapi Tuan yang selalu beralasan rindu.""Memang kenyataannya begitu. Nanti kau akan merasakannya jika kau sudah jatuh cinta padaku," ujarnya dengan nada yakin."Hmm. Sudah, ya, Tuan. Bye!"Deondra
"Benar-benar mereka itu," ucap Recath tak bisa menyembunyikan perasaan hangat, saat mobil Deondra sudah melaju di depannya.Arinda diam, masih memegang dorongan kursi roda ayahnya. Mereka berdiri di depan rumah, mengantar kepergian Deondra dan Alrix yang habis merusuh sarapan pagi mereka."Begitulah sifat Deondra yang dulu, Arin." Recath berkata, menyadarkan Arinda yang tengah termenung di belakangnya. "Dia ceria dan juga penuh kasih sayang. Kamu dengar tadi, dia datang hanya untuk memastikan kamu sarapan pagi. Dia tidak makan sedikitpun sebelum Ayah memaksa."Arinda tersenyum, mendorong kursi roda ayahnya ke halaman. "Dia memang baik, tapi kadang menyebalkan."Merengut kecil, Arinda berkata lagi. "Dia tidak seharusnya seposesif ini. Nanti kalau Arin bosan bagaimana?"Recath terkekeh kecil. "Begitulah seseorang yang sudah di mabuk cinta, bisa saja berlebihan. Kalau kamu tidak suka, katakan jangan diam saja," ucap Recath tapi