Arinda duduk di antara batu-batu sungai berair hangat tak jauh dari villa. Memandangi arus sungai yang mengalir, terbelah saat menghantam bebatuan yang di lewatinya. Kakinya terjuntai menyibak air, tak ada niatan mau ikut mandi seperti teman-temannya yang lain.
"Bagaimana keadaan Ayah?" gumamnya menatap langit yang membiru.
Lima hari ini hanya itu saja yang dia pikirkan. Seusai pertanyaan Alrix, dia seperti berencana untuk mengunjungi Ayahnya dalam waktu dekat. Dia ingin menatap wajah ayahnya, bicara dan mengadu tentang semua rasa sakit yang di alaminya. Walaupun tahu ayahnya takkan menjawab ataupun mendengar, setidaknya ada seseorang yang mau mendengar keluh kesahnya.
"Kamu tidak ikut mandi?" Seseorang menegurnya, membuat Arinda mendongak.
"Eh, tidak, Kak. Aku tidak biasa mandi di tempat terbuka seperti ini," balasnya sambil tersenyum.
Pelayan pria itu balas tersenyum kecil. Dia duduk di batu yang bersebelahan dengan
Deondra sudah lebih dekat dengan gadis itu, hanya tinggal melompati bebatuan agar bisa sampai di tengah sungai. Di tatapnya sejenak wajah Adinda yang tengah diam memandangi air sungai. Sayup-sayup dia juga mendengar riuh rendah suara para pelayan wanita lain yang tengah berenang di sisi belakang tempat Arinda duduk. Menoleh lagi kearah Alrix, sekretarisnya itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya mantap. Seakan meyakinkan Tuan Mudanya untuk terus melanjutkan langkah.Baiklah, menepis semua ego dan gengsi yang ada di dalam hatinya. Deondra akhirnya melompat ke atas batu dan mendekati Arinda. Gadis itu terlihat masih belum sadar dengan kedatangannya. Bahkan saat Deondra melihat bahunya yang tersingkap akibat terjangan angin, dia langsung melepaskan jaket yang di pakainya dan melemparkannya ke pangkuan Arinda.Gadis itu terperanjak, langsung mendongak kearah Deondra yang tengah berdiri di dekatnya. Dia refleks bangkit dan menyeka air mata yang masih
Masih terdiam tanpa ada yang berniat membuka suara. Arinda menoleh kearah Deondra yang duduk nyaman di sampingnya. Dia sudah kesal sekarang, sedang apa Tuan Mudanya di sini kalau bicara saja tidak mau!"Sedang apa Anda di sini berlama-lama, Tuan? Tidakkah Anda takut para pelayan lain-""Apakah mereka berani membuat kesimpulan tentang diriku?" Deondra menyahut, memotong ucapan Arinda yang sudah dia ketahui akan di bawa kemana."Lagipula, kau yang akan di untungkan jika terjerat gosip bersamaku. Sepertinya kau tidak akan merasa rugi untuk hal itu," lanjutnya seraya tersenyum angkuh."Aku justru malas sekali berurusan denganmu." Suara cibiran terdengar jelas oleh Deondra. Di tatapnya wajah Arinda yang tengah melihat kearah depan."Kau benar-benar tidak tahu diri, ya?" Deondra bertanya dengan nada sinis, membuat kerutan di dahi Arinda timbul. "Soal apa, ya, Tuan?""Cih, baru kali ini aku menolong seseorang dan tak m
Deondra merenung di balkon kamarnya, menatap puncak bukit yang menghijau akibat hutan yang masih terjaga. Sesekali kicau burung terdengar nyaring, angin berhembus, dedaunan jatuh. Hatinya serasa hidup, tak seperti di kota yang hanya berhadapan dengan realita. Puncak ini, terkenal akan keindahannya. Hanya saja, perkampungan warga ada satu kilo meter dari jarak villa. Maka dari itu hanya satu-satu orang yang di lihatnya selama di sini. Membawa cangkul dan memakai topi anyaman bambu, menuju perkebunan mereka di sisi bukit.Alrix memasuki kamarnya saat tak mendengar suara perintah, padahal dia sudah mengetuk pintu. Di tangannya, sekeranjang buah strawberry segar terlihat menggiurkan. Meletakkannya di atas meja, Alrix melihat Arinda yang masih tak sadarkan diri."Berapa lama lagi gadis ini sadar? Apakah dia baik-baik saja?" batinnya bertanya, lalu menghela napas. "Tuan Muda?" Alrix mengambil lagi keranjang itu lalu berjalan kearah balkon dan mendapati Deondra di
Beberapa hari lagi menuju dua bulan sejak mereka pulang dari liburan di atas puncak. Arinda masih sama seperti gadis tiga bulan lalu. Masih berusaha untuk melupakan rasa sakit dan menerima semua kenyataan yang sudah terjadi padanya. Sadar bahwa Deondra selalu berusaha mendekati dan menarik perhatiannya, tapi hati yang retak tak mudah lagi merasakan kagum apalagi cinta. Bukankah semua itu hanyalah tinggal menunggu kata menerima? Jika sekali saja dia menerima pesona Deondra dan menerima perlakuan baiknya, maka tinggal menunggu waktu dia akan kembali jatuh dan tersakiti.Hari ini, sudah hampir menjelang siang. Arinda tengah mengepel rumah dengan kain. Dia berjongkok, melayangkan tangannya kekiri kanan untuk menggapai lantai yang harus di bersihkan. Selama ini, dia selalu mendapat tugas-tugas kecil, sekedar membantu dan juga menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan. Entah perasaannya saja atau tidak, yang pasti ini semua ada kaitannya dengan Deondra dan Alrix yang sedikit berubah
"Saya akan menemui Ayah nanti sore, sekaligus menemui sahabat saya. Apakah Tuan Muda tidak marah jika saya selalu pergi?" Bangkit dari duduknya, Arinda mensejahterakan dirinya dengan Alrix."Santai saja, Tuan Muda tidak marah. Lagipula kau pergi setelah semua tugasmu selesai. Hanya saja satu hal yang harus kamu ingat, jangan pulang terlalu malam."Arinda mengusap air matanya, lalu tersenyum kecil. "Baik, saya akan selalu mengingatnya. Terima kasih, Tuan. Saya pamit bekerja lagi," ujarnya sambil menunduk.Alrix mengangguk mengizinkan. Membiarkan Arinda melangkah keluar dari ruangan yang membuat Deondra harus menyembunyikan tubuhnya di balik lemari hias yang ada di dekat sana. Dalam persembunyian, dia dapat melihat Arinda yang terus berjalan menuju dapur. Sesekali tangannya terangkat seperti menyeka air mata.Deondra keluar dari balik rak. Dia mengusap rambut dan wajahnya dengan gusar untuk mengurangi perasaan bersalah. Memasuki ruan
Melangkah keluar kamar, Arinda membenarkan letak surainya sambil berjalan menuju dapur. Dia menemui kepala pelayan yang hanya mengangguk saat melihat Arinda sudah dekat.Sebelumnya dia sudah tahu dari Alrix, jadi tidak perlu banyak-banyak bertanya."Eh, Arin."Langkahnya terhenti, melihat kepala pelayan yang memanggilnya. "Ada apa, Kepala?" tanyanya sopan, mengikuti langkah Kepala pelayan yang mulai mendekat."Boleh titip Youghyt? Aku ingin membuat salad buah. Kebetulan habis," ucapnya sambil mengulurkan uang."Oh, boleh. Satu saja, Kepala?""Hmm." Dia mengangguk, melihat penampilan Arinda dari atas sampai bawah."Hati-hati, jangan pulang terlalu malam." Pesan terakhir membuat Arinda mengangguk sopan."Baik, saya pergi dulu, Kepala. Mudah-mudahan ada kabar baik setelah dua minggu kemarin," balasnya membuat gumam Amin terdengar.Setelah itu, Arinda kembali melangkah menuju pintu d
"Kamu benar," ucap Arinda, tersenyum lebih lebar. "Aku akan menangis setelah merasa lelah. Tapi hanya menangis, belum saatnya aku menyerah, bukan?"Frielza tersenyum, diikuti Reta. "Kalau bisa jangan menyerah. Terus berjuang, kalahkan kekejaman takdir yang menimpamu."Arinda mengangguk, lalu menghela napasnya untuk menghilangkan segala rasa sesak. Entah mengapa, setelah mendengar penuturan kedua temannya ini, hatinya seakan lega, tidak ada beban yang berat lagi di sana. Memang, saat terkena musibah, tempat bersandar amat di butuhkan untuk berkeluh kesah. Selain itu, dia juga bisa mendapat pencerahan dan juga kata-kata yang mengandung penyemangat.Arinda bangga akan hal ini, bangga karena memiliki dua orang teman yang mencintainya tulus apa adanya. Saat sudah jatuh miskin beginipun, dua temannya itu masih mau berteman dengannya. Tidak ada raut wajah jijik dan juga menjauh dari mereka."Kita masuk sekarang, yuk! Setelahnya kita ke ca
Merasa cukup mengatakan apa yang harus dia katakan. Arinda melihat lagi arloji miliknya. Sudah hampir jam enam, sudah satu jam setengah dia di dalam. Kedua temannya tidak boleh ikut karena prosedur rumah sakit. Memilih untuk menunggu di luar, Reta dan Frielza membiarkan Arinda masuk dan bicara nyaman berdua dengan ayahnya. Mereka tidak ingin temannya yang manja tapi tak pernah menangis di hadapan mereka itu canggung, karena keduanya yakin pasti Arinda akan mengadu dan mengeluarkan semua kesedihan yang di rasakannya. "Arin pulang dulu, ya, Ayah. Secepatnya Arin akan datang lagi." Ucapan Arinda kembali terdengar di telinganya, ayahnya bingung, anaknya pulang kemana? Apakah ke rumahnya? Tapi, jika benar di rumahnya, kenapa ada nada kesedihan di nada suaranya? "Pulanglah, Nak. Istirahatlah, Ayah akan segera bangun. Jaga diri kamu sampai Ayah sadar nanti, ya?" Menyahuti ucapan putrinya, Ayahnya hanya bisa bicara dalam hati. Dirasaka