Beberapa hari lagi menuju dua bulan sejak mereka pulang dari liburan di atas puncak. Arinda masih sama seperti gadis tiga bulan lalu. Masih berusaha untuk melupakan rasa sakit dan menerima semua kenyataan yang sudah terjadi padanya. Sadar bahwa Deondra selalu berusaha mendekati dan menarik perhatiannya, tapi hati yang retak tak mudah lagi merasakan kagum apalagi cinta. Bukankah semua itu hanyalah tinggal menunggu kata menerima? Jika sekali saja dia menerima pesona Deondra dan menerima perlakuan baiknya, maka tinggal menunggu waktu dia akan kembali jatuh dan tersakiti.
Hari ini, sudah hampir menjelang siang. Arinda tengah mengepel rumah dengan kain. Dia berjongkok, melayangkan tangannya kekiri kanan untuk menggapai lantai yang harus di bersihkan. Selama ini, dia selalu mendapat tugas-tugas kecil, sekedar membantu dan juga menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan. Entah perasaannya saja atau tidak, yang pasti ini semua ada kaitannya dengan Deondra dan Alrix yang sedikit berubah
"Saya akan menemui Ayah nanti sore, sekaligus menemui sahabat saya. Apakah Tuan Muda tidak marah jika saya selalu pergi?" Bangkit dari duduknya, Arinda mensejahterakan dirinya dengan Alrix."Santai saja, Tuan Muda tidak marah. Lagipula kau pergi setelah semua tugasmu selesai. Hanya saja satu hal yang harus kamu ingat, jangan pulang terlalu malam."Arinda mengusap air matanya, lalu tersenyum kecil. "Baik, saya akan selalu mengingatnya. Terima kasih, Tuan. Saya pamit bekerja lagi," ujarnya sambil menunduk.Alrix mengangguk mengizinkan. Membiarkan Arinda melangkah keluar dari ruangan yang membuat Deondra harus menyembunyikan tubuhnya di balik lemari hias yang ada di dekat sana. Dalam persembunyian, dia dapat melihat Arinda yang terus berjalan menuju dapur. Sesekali tangannya terangkat seperti menyeka air mata.Deondra keluar dari balik rak. Dia mengusap rambut dan wajahnya dengan gusar untuk mengurangi perasaan bersalah. Memasuki ruan
Melangkah keluar kamar, Arinda membenarkan letak surainya sambil berjalan menuju dapur. Dia menemui kepala pelayan yang hanya mengangguk saat melihat Arinda sudah dekat.Sebelumnya dia sudah tahu dari Alrix, jadi tidak perlu banyak-banyak bertanya."Eh, Arin."Langkahnya terhenti, melihat kepala pelayan yang memanggilnya. "Ada apa, Kepala?" tanyanya sopan, mengikuti langkah Kepala pelayan yang mulai mendekat."Boleh titip Youghyt? Aku ingin membuat salad buah. Kebetulan habis," ucapnya sambil mengulurkan uang."Oh, boleh. Satu saja, Kepala?""Hmm." Dia mengangguk, melihat penampilan Arinda dari atas sampai bawah."Hati-hati, jangan pulang terlalu malam." Pesan terakhir membuat Arinda mengangguk sopan."Baik, saya pergi dulu, Kepala. Mudah-mudahan ada kabar baik setelah dua minggu kemarin," balasnya membuat gumam Amin terdengar.Setelah itu, Arinda kembali melangkah menuju pintu d
"Kamu benar," ucap Arinda, tersenyum lebih lebar. "Aku akan menangis setelah merasa lelah. Tapi hanya menangis, belum saatnya aku menyerah, bukan?"Frielza tersenyum, diikuti Reta. "Kalau bisa jangan menyerah. Terus berjuang, kalahkan kekejaman takdir yang menimpamu."Arinda mengangguk, lalu menghela napasnya untuk menghilangkan segala rasa sesak. Entah mengapa, setelah mendengar penuturan kedua temannya ini, hatinya seakan lega, tidak ada beban yang berat lagi di sana. Memang, saat terkena musibah, tempat bersandar amat di butuhkan untuk berkeluh kesah. Selain itu, dia juga bisa mendapat pencerahan dan juga kata-kata yang mengandung penyemangat.Arinda bangga akan hal ini, bangga karena memiliki dua orang teman yang mencintainya tulus apa adanya. Saat sudah jatuh miskin beginipun, dua temannya itu masih mau berteman dengannya. Tidak ada raut wajah jijik dan juga menjauh dari mereka."Kita masuk sekarang, yuk! Setelahnya kita ke ca
Merasa cukup mengatakan apa yang harus dia katakan. Arinda melihat lagi arloji miliknya. Sudah hampir jam enam, sudah satu jam setengah dia di dalam. Kedua temannya tidak boleh ikut karena prosedur rumah sakit. Memilih untuk menunggu di luar, Reta dan Frielza membiarkan Arinda masuk dan bicara nyaman berdua dengan ayahnya. Mereka tidak ingin temannya yang manja tapi tak pernah menangis di hadapan mereka itu canggung, karena keduanya yakin pasti Arinda akan mengadu dan mengeluarkan semua kesedihan yang di rasakannya. "Arin pulang dulu, ya, Ayah. Secepatnya Arin akan datang lagi." Ucapan Arinda kembali terdengar di telinganya, ayahnya bingung, anaknya pulang kemana? Apakah ke rumahnya? Tapi, jika benar di rumahnya, kenapa ada nada kesedihan di nada suaranya? "Pulanglah, Nak. Istirahatlah, Ayah akan segera bangun. Jaga diri kamu sampai Ayah sadar nanti, ya?" Menyahuti ucapan putrinya, Ayahnya hanya bisa bicara dalam hati. Dirasaka
Masih berdiri di jalan masuk menuju cafe, Sudash sudah tak melihat lagi gadis itu. Entah duduk di mana, yang pasti dia sudah memiliki rencana untuk sebuah nomor yang ada di dalam ponselnya."Hey, kembalikan ponselku!"Dia berbalik, ketika ponsel yang tadi di genggamnya di rampas seseorang dari arah belakang. Mulutnya bungkam dengan mata membulat, saat melihat siapa yang sudah berdiri di depannya dan memegang ponselnya dengan dua jari dan bergaya angkuh."Sedang apa kau di sini?" Rendah suara Deondra terdengar, menatap tajam ke dalam mata Sudash yang sedang berusaha menarik napasnya yang sesak tiba-tiba.Gila, kenapa atmosfer di sini berubah menjadi dingin?"Aku, tadi aku sedang bertemu dengan kenalan baru. Kau tahu, dia sangat mirip dengan gadis muda yang menjadi pelayan di rumahmu," ucapnya santai walaupun jantungnya mulai tak stabil."Benarkah? Apakah kau yakin dia mirip? Atau memang benar dirinya?" Masi
"Saya paham, Tuan Muda. Dengan senang hati saya akan membantu Anda untuk melakukan hal itu," balas Alrix tapi Deondra hanya tersenyum singkat menjawabnya.Sampai di rumah, dia langsung keluar setelah Alrix membuka pintunya. Memasuki ruang tamu, dilihatnya Arinda tengah membawa beberapa pakaian di dalam keranjang. Padahal dia masih memakai pakaian hijau yang di kenakannnya saat pergi tadi."Pakaian siapa itu? Tidakkah kau berniat ganti baju sebelum kembali melakukan tugas?" Deondra bertanya, saat Arinda berdiri di dekat tangga untuk membiarkannya berjalan duluan."Ini pakaian milik Anda, Tuan. Tadinya Kak Lenore yang akan membawanya ke kamar, cuma kakinya terkilir karena menabrak meja setrika," ucapnya sopan, bahkan dia menundukkan kepalanya dalam.Raut wajah Deondra hampir tertawa mendengarnya. Bagaimana bisa pelayannya itu sangat ceroboh? Ck, ternyata bukan hanya gadis di hadapannya ini yang di capnya sebagai pelayan ceroboh. Folo
Sudash menelungsupkan kepalanya ke meja, menangisi ponsel barunya yang hancur di injak Deondra sore tadi. Di hadapannya, Lukhe tengah serius menatap layar laptop. Melirik Sudash, Lukhe hanya menghela napas."Ponselku," gumam Sudash samar-samar terdengar oleh Lukhe."Kenapa?" tanya Lukhe santai. "Kau sudah seperti di putuskan kekasih, Sudash. Menjijikkan sekali," lanjutnya mencibir.Sudash membuat suara tangis pura-pura, seraya memegang dadanya yang sakit. "Ponselku yang baru ku beli di USA hancur di injak Deon ...," ujarnya membuat suara parau yang minta di kasihani."Hah? Ponselmu yang baru kau beli dua minggu lalu? Bagaimana bisa?" Lukhe bertanya kaget, pasalnya baru beberapa minggu yang lalu Sudash pamer dan membanding-bandingkan ponsel itu padanya."Bisaa, karena aku meminta nomor gadis yang menjadi pelayan di rumahnya itu. Gila, dia benar-benar seperti seseorang yang cemburu ketika pacarnya di ganggu. Menurutmu, g
"Ada baiknya anda menyelesaikan masalah ini, Tuan Muda. Agar anda bisa segera beristirahat, besok kita kedatangan perwakilan dari perusahaan Mahershala Company. Anda harus tampil baik besok, bukan?" Deondra diam menggerakkan mouse yang ada di atas meja. Mematikan video yang terhubung dengan CCTV di ruangan Lukhe, dia membuka sebuah aplikasi penyimpanan berkas yang harus ditinjau ulang. Kembali menyelesaikan data, Deondra mencoba fokus pada layar laptop di hadapannya. Tapi, tetap saja ada yang terlintas di pikirannya. Apakah benar suatu saat nanti aku akan menikah? Dengan siapa? Jika bisa memilih, dia ingin tetap seperti ini, tidak tua, tidak butuh pendamping. Namun, sebuah perasaan ingin memiliki Arinda ada dan tersimpan jauh di dalam hatinya. "Apakah dia bisa jatuh cinta padaku? Sekarang, bagaimana perasaanku padanya? Apakah aku juga mencintainya?" Membatin dalam keheningan, Deondra merasakan lebih dalam tentang hatinya.